Вы находитесь на странице: 1из 25

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Candida albicans

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk

tumbuh dalam bentuk yang berbeda, yang akan berkembang menjadi blastospora dan

menghasilkan kecambah dan akan membentuk hifa semu. Candida albicans dapat

tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada pH

antara 4,5-6,5. Jamur Candida albicans dapat tumbuh dalam perbenihan pada suhu

280C-370C. Candida albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan

terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak

kelompok berbentuk bulat atau lonjong (Tjampakasari, 2008).

Jamur Candida albicans dapat dibiakkan pada berbagai media pertumbuhan

antara lain pada Potatto Dextrose Agar (PDA), agar dengan 0,1% glukosa, Sabaroud

Dextrose Agar (SDA), dan Corn Meal Agar (CMA). Pada media SDA atau Glucose

Yeast Extract Peptone Water, Candida albicans berbentuk bulat atau oval yang biasa

disebut dengan bentuk khamir dengan ukuran 3,5-6 x 6-10 m. Koloni bewarna krem,

agak mengkilat dan halus (Jawetz, 2012).

1. Klasifikasi Candida albicans

Menurut Jawetz (2012), klasifikasi dari Candida albicans adalah sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

6
7

Subphylum : Saccharomycotina

Class : Saccharomycetes

Ordo : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Candida

Spesies : Candida albicans

2. Morfologi Candida albicans

Candida albicans secara mikroskopis berbentuk oval dengan ukuran 2-5 3-

6m. Biasanya dijumpai Clamidospora yang tidak ditemukan pada

spesies Candida yang lain dan merupakan pembeda pada spesies tersebut

hanya Candida albicans yang mampu menghasilkan Clamydospora yaitu spora yang

dibentuk karena hifa, pada tempat tertentu membesar, membulat, dan dinding

menebal, letaknya di terminal lateral (Jawetz, 2012).

Spesies Candida albicans memiliki 2 jenis morfologi, yaitu bentuk seperti

khamir dan bentuk hifa. Selain itu, fenotipe atau penampakan mikroorganisme ini juga

dapat berubah dari warna putih dan rata menjadi kerut tidak beraturan, berbentuk

bintang, lingkaran, bentuk seperti topi, dan tidak tembus cahaya. Jamur ini memiliki

kemampuan untuk menempel pada sel inang dan melakukan kolonisasi (Jawetz dkk.,

2012).

Gambar II.1 Koloni Candida albicans pada media SDA (Gandjar, 2005)
8

3. Metabolisme Candida albicans

Candida albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi

pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5. Jamur ini dapat tumbuh

dalam perbenihan pada suhu 280C-370C. Candida albicans membutuhkan senyawa

organik sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses

metabolismenya. Unsur karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat. Jamur ini

merupakan organisme anaerob fakultatif yang mampu melakukan metabolisme sel,

baik dalam suasana anaerob maupun aerob. Proses akhir fermentasi anaerob

menghasilkan persediaan bahan bakar yang diperlukan untuk proses oksidasi dan

pernafasan. Pada proses asimilasi, karbohidrat dipakai oleh Candida albicans sebagai

sumber karbon maupun sumber energi untuk melakukan pertumbuhan sel

(Tjampakasari, 2006).

4. Patogenitas Candida albicans

Berbagai faktor virulensi terlibat dalam patogenesis Candida albicans. Peran

kunci dimainkan oleh dinding sel dan protein yang disekresikan. Permukaan

sel Candida albicans adalah titik kontak pertama dengan hospes, dan berperan penting

dalam adhesi, kolonisasi, dan imunomodulasi. Dinding sel Candida

albicans merupakan sebuah struktur elastis yang menyediakan perlindungan fisik dan

dukungan osmotik, serta menentukan bentuk sel. Dinding sel adalah mediator utama

interaksi antara sel jamur dan substrat hospes. Interaksi ini mengakibatkan terjadinya

proses adhesi ke jaringan hospes dan diperkirakan sebagai salah satu faktor virulensi

penting dalam perkembangannya menjadi organisme patogen (Bates dan Rosa, 2006).
9

Mekanisme adhesi ke jaringan hospes merupakan kombinasi dari mekanisme

spesifik dan non-spesifik. Mekanisme spesifik meliputi interaksi ligan-reseptor,s

edangkan mekanisme non-spesifik meliputi agregasi, gaya elektrostatik, dan

hidrofobisitas permukaan sel. Interaksi non-spesifik merupakan mekanisme utama

tetapi bersifat reversibel. Sifat ini akan menjadi irreversibel jika terjadi mekanisme

spesifik dalam proses adhesi yang mengakibatkan dinding sel Candida

albicans berinteraksi dengan reseptor atau ligan dari sel hospes (Tjampakasari, 2006).

Hidrofobisitas permukaan sel berperan penting pada patogenesis jamur

oportunistik Candida albicans. Permukaan sel hidrofobik, dibandingkan dengan sel

hidrofilik, menunjukkan perlekatan yang lebih besar pada epitel, sel endotel, dan

protein matriks ekstraselular. Permukaan sel hidrofobik ini akan menjadi lebih resisten

terhadap sel fagosit. Sehingga semakin hidrofobik permukaan sel, maka Candida

albicans akan semakin mudah melekat pada jaringan hospes (Pereira dan Tatiana,

2008).

Faktor virulensi lainnya adalah sifat dimorfik Candida albicans, bahkan

sebagian peneliti menyatakan sifatnya yang polimorfik. Dua bentuk utama Candida

albicans adalah bentuk ragi dan bentuk pseudohifa yang juga disebut sebagai

miselium. Dalam keadaan patogen, Candida albicans lebih banyak ditemukan dalam

bentuk miselium atau filamen dibandingkan bentuk spora. Bentuk hifa mempunyai

virulensi yang lebih tinggi dibandingkan bentuk spora karena ukuran yang lebih besar

sehingga sulit untuk difagositosis oleh sel makrofag (Pereira dan Tatiana, 2008)
10

5. Pemeriksaan Kultur pada Candida albicans

Menurut Greenwood et.al. (2007), media kultur yang dipakai untuk biakan

Candida albicans adalah Sabouraud dextrose agar (SDA) dengan atau tanpa

antibiotik, ditemukan oleh Raymond Sabouraud (1864-1938) seorang ahli dermatologi

berkebangsaan Perancis. Pemeriksaan kultur dilakukan dengan mengambil sampel

cairan atau kerokan sampel pada tempat infeksi, kemudian diperiksa secara berturutan

menggunakan Sabouraud dextrose broth kemudian Sabouraud dextrose agar plate.

Pemeriksaan kultur darah sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis

(Bhavan et.al., 2010).

Sabouraud dextrose broth (SDB) berguna untuk membedakan Candida albicans

dengan spesies jamur lain seperti Cryptococcus, Hasenula, Malaesezzia. Pemeriksaan

ini juga berguna mendeteksi jamur kontaminan untuk produk farmasi (Yunihastuti

dkk., 2005). Pembuatan SDB dapat ditempat dalam tabung atau plate dan diinkubasi

pada suhu 370C selama 24-48 jam, setelah 3 hari tampak koloni Candida albicans

sebesar kepala jarum pentul, 1-2 hari kemudian koloni dapat dilihat dengan jelas.

Koloni Candida albicans berwarna putih kekuningan, menimbul di atas permukaan

media, mempunyai permukaan yang pada permulaan halus dan licin dan dapat agak

keriput dengan bau ragi yang khas. Pertumbuhan pada SDB baru dapat dilihat setelah

4-6 minggu, sebelum dilaporkan sebagai hasil negatif. Jamur dimurnikan dengan

mengambil koloni yang terpisah, kemudian ditanam seujung jarum biakan pada media

yang baru untuk selanjutnya dilakukan identifikasi jamur. Pertumbuhan Candida

albicans pada SDA dapat dilihat pada Gambar II di berikut ini (Yunihastuti dkk.,

2005).
11

Gambar II. 2. Pertumbuhan C. albicans


pada SDA berbentuk krim berwarna putih, licin disertai bau yang khas (Murray et.al., 2003)

1. Pemeriksaan Langsung Candida albicans dengan Pewarnaan Gram

Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan Gram sedikit membutuhkan waktu

dibandingkan pemeriksaan dengan KOH. Pemeriksaan ini dapat melihat jamur

Candida albicans berdasarkan morfologinya, tetapi tidak dapat mengidentifikasi

spesiesnya. Pemulasan dengan pewarnaan Gram dapat disimpan untuk penilaian

ulangan (Greenwood et.al., 2007).

Pewarnaan Gram memperlihatkan gambaran seperti sekumpulan jamur dalam

bentuk blastospora, hifa atau pseudohyfae, atau campuran keduanya. Sel jaringan

seperti epitel, leukosit, eritrosit, dan mikroba lain seperti bakteri atau parasit juga dapat

terlihat dalam sediaan. Jamur muncul dalam bentukan budding yeast cells dan

pseudomycelium juga terlihat pada sebagian besar sediaan seperti pada Gambar 2

(Vandepitte et.al., 2003).

Gambar II. 3. Pseudohifa pada pewarnaan (Murray et.al., 2003)


12

Sabourauds dextrose agar plate/SDA plate direkomendasikan untuk sampel

atau bahan klinis yang berasal dari kuku dan kulit. Media ini selektif untuk fungi dan

yeast melihat pertumbuhan dan identifikasi Candida albicans yang mempunyai pH

asam/pH 5,6. Penambahan antibiotika membuat media ini lebih selektif yang bertujuan

untuk menekan bakteri yang tumbuh bersama jamur di dalam bahan klinis

(Yunihastuti dkk., 2005). Pertumbuhan pada SDA plate terlihat jamur yang

menunjukkan tipikal kumpulan mikroorganisma yang tampak seperti krim putih dan

licin disertai bau khas/yeast odour. Pertumbuhan SDA plate dapat dilihat pada

Gambar II.2 (Paul & Shearer, 2008).

2. Identifikasi Candida albicans dengan Germ Tube

Germinating blastospores/germ tube terlihat berbentuk bulat lonjong seperti

tabung memanjang dari yeast cells (Reynolds-Braude phenomenon) pada serum

manusia yang ke dalamnya disuntikkan koloni yang diduga sebagai strain Kandida ke

dalam tabung kecil dan diinkubasi pada suhu 370C selama 2-3 jam. Germ tube

terbentuk dalam dua jam setelah proses inkubasi. Bagian ujung yang menempel pada

yeast cells terlihat adanya pengerutan/pengecilan (tidak ada konstriksi). Bentuk germ

tube dari Candida albicans dapat dilihat pada Gambar II. 4 (Iwen, 2007).

Gambar II. 4.(1) Chlamydospore. (2) Clamydospore membentuk germ tube baru. (3) Germ tube mulai
terbentuk dari hifa sejati (anak panah) (Murray et.al., 2003).
13

6. Oral Candidiasis

Oral candidiasis merupakan infeksi oportunistik yang paling umum

mempengaruhi mukosa oral. Pada sebagian besar kasus, lesi tersebut disebabkan oleh

jamur Candida albicans. Candida albicans adalah salah satu komponen dari

mikroflora oral dan sekitar 30-50% (Gravina et al., 2007).

Oral candidiasis utamanya disebabkan oleh Candida albicans, dan jarang

karena spesies candida lainnya. Candida albicans, Candida tropicalis, dan Candida

glabrata bersama terdiri lebih dari 80% dari spesies yang terisolasi dari infeksi

Candida pada manusia (Martin S., 2008).

Untuk menginvasi lapisan mukosa, mikroorganisme harus menempel ke

permukaan epitel, oleh karena itu, strain Candida dengan potensi adhesi yang lebih

baik lebih patogenik daripada strain dengan adhesi. Penetrasi jamur dari sel epitel

difasilitasi oleh produksi lipase mereka, dan agar jamur bertahan di epitel, mengatasi

deskuamasi konstan sel epitel permukaan. Terdapat hubungan yang jelas antara oral

candidiasis dan pengaruh faktor predisposisi lokal dan umum. Faktor predisposisi

lokal yang mampu untuk mempromosikan pertumbuhan Candida atau mempengaruhi

respon imun oral mucosa. Faktor predisposisi umum biasanya berhubungan dengan

status imun dan endokrin pasien (Martin S., 2008).

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya oral candidiasis.

Faktor-faktor tersebut adalah faktor predisposisi dan terbagi menjadi faktor

predisposisi lokal dan umum;

1. Lokal: pemakaian gigi tiruan, merokok, steroid topical, tidak seimbangnya

keadaan rongga mulut, kualitas dan kuantitas saliva.


14

2. Umum: penyakit yang menekan sistem imun,status kesehatan yang

terganggu, kemoterapi, dan kelainan endokrin.

Status kekebalan tubuh dapat dipengaruhi oleh obat-obatan juga penyakit, yang

menekan sistem imun bawaan. Candidiasis pseudomembranous juga berhubungan

dengan infeksi jamur pada anak, yang tidak memiliki sistem imun yang berkembang

sempurna.Denture stomatitis, angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis disebut

sebagai infeksi yang berhubungan dengan candida, dan lesi ini dapat, selain karena

candida, disebabkan oleh bakteri (Martin S., 2008).

7. Presentasi klinis oral candidiasis

Secara umum presentasi klinis dari oral candidiasis terbagi atas lima bentuk:

Candidiasis pseudomembranosa, Candidiasis atropik, Candidiasis hiperplastik, dan

Candidiasis eritematosa atau Keilitis angular. Pasien dapat menunjukan satu atau

kombinasi dari beberapa presentasi ini.

1. Candidiasis pseudomembranosa

Candidiasis pseudomembranosa secara umum diketahui sebagai thrush, yang

merupakan bentuk yang sering terdapat pada neonatus. Ini juga dapat terlihat pada

pasien yang menggunakan terapi kortikosteroid atau pada pasien dengan

imunosupresi. Candidiasis pseudomembran memiliki presentasi dengan plak putih

yang multipel yang dapat dibersihkan. Plak putih tersebut merupakan kumpulan

dari hifa. Mukosa dapat terlihat eritema. Ketika gejala-gejala ringan pada jenis

candidiasis ini pasien akan mengeluhkan adanya sensasi seperti tersengat ringan

atau kegagalan dalam pengecapan (Skoglund & Sunzel, 1994).


15

2. Candidiasis atropik

Candidiasis atropik ditandai dengan adanya kemerahan difus, sering dengan

mukosa yang relatif kering. Area kemerahan biasanya terdapat pada mukosa yang

berada dibawah pemakaian seperti gigi palsu. Hampir 26% pasien dengan gigi

palsu terdapat candidiasis atropik (Fenlon&Sherriff, 1998).

3. Candidiasis hiperplastik

Candidiasis hiperplastik dikenal juga dengan leukoplakia candida. Candidiasis

hiperplastik ditandai dengan adanya plak putih yang tidak dapat deibersihkan. Lesi

harus disembuhkan dengan terapi antifungal secara rutin (Fenlon&Sherriff, 1998).

4. Candidiasis eritematosa

Banyak penyebab yang mendasari candidiasis eritematosa. Lesi secara klinis

lesi timbul eritema. Lesi sering timbul pada lidah dah palatum. Berlainan dengan

bentuk candidiasis pseudomembran, penderita candidiasis eritematosa tidak

ditemui adanya plak-plak putih. Tampilan klinis yang terlihat padacandidiasis ini

yaitu daerah yang eritema atau kemerahan dengan adanya sedikit perdarahan di

daerah sekitar dasar lesi. Hal ini sering dikaitkan terjadinya keluhan mulut kering

pada pasien. Lesi ini dapat terjadi dimana saja dalam rongga mulut, tetapi daerah

yang paling sering terkena adalah lidah, mukosa bukal, dan palatum. Menurut

Herawati (2008), candidiasis eritematosa dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe,

yaitu :

Tipe 1 : inflamasi sederhana terlokalisir atau pinpoint hiperemia.

Tipe 2 : eritematosa atau tipe sederhana yang umum eritema lebih

tersebar meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigi

tiruan.
16

Tipe 3 : tipe granular (inflamasi papila hiperplasia) umumnya meliputi

bagian tengah palatum durum dan alveolar ridge.

5. Cheilitis angular

Cheilitis angular ditandai dengan pecah-pecah,mengelupas maupun ulserasi

yang mengenai bagian sudut mulut. Gejala ini biasanya disertai dengan

kombinasi dari bentuk infeksi candidiasis lainnya, seperti tipe erimatosa. Oral

candidiasis didiagnosis berdasarkan tanda klinis dan gejalanya. Adapun tes

tambahan yaitu, sitologi eksfoliatif, kultur, dan biopsi jaringan (Hosseini, 2006).

8. Terapi Candidiasis

Candidiasis pada rongga mulut umumnya ditanggulangi dengan menggunakan

obat antijamur, dengan memperhatikan faktor predisposisinya atau penyakit yang

menyertainya, hal tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan atau

penyembuhan (Mc Cullough, 2005;Silverman, 2001).

Menurut Tripathi (2001), obat antijamur diklasifikasikan menjadi beberapa

golongan yaitu :

1. Antibiotik

a. Polyenes : amfotericin B, Nystatin, Hamycin, Nalamycin

b. Heterocyclicbenzofuran : griseofulvin

2. Antimetabolite: Flucytosine (5 Fe)

3. Azoles

a. Imidazole (topical): clotrimazol, Econazol, miconazol (sistemik):

ketokonazol

b. Triazoles (sistemik) : Flukonazole, Itrakonazole


17

4. Allylamine Terbinafine

5. Antijamur lainnya : tolnaftate, benzoic acid, sodiumtiosulfat.

Dari beberapa golongan antijamur tersebut diatas, yang efektif untuk kasus pada

rongga mulut, sering digunakan antara lain amfotericine B, nystatin, miconazole,

clotrimazole, ketokonazole, itrakonazole,dan flukonazole (Mc cullough, 2005).

Amfoterisin B dihasilkan oleh streptomyces nodusum, mekanisme kerja obat ini

yaitu dengan cara merusak membran sel jamur. Efek samping terhadap ginjal

seringkali menimbulkan nefrositik. Sediaan berupa lozenges (10 ml ) dapat digunakan

sebanyak 4 kali/hari (Greenberg, 2003).

Nystatin dihasilkan oleh streptomyces noursei,mekanisme kerja obat ini dengan

cara merusak membran sel yaitu terjadi perubahan permeabilitas membran sel. Sediaan

berupa suspensi oral 100.000 U/5ml dan bentuk cream 100.000 U/g, digunakan untuk

kasus denture stomatitis (Greenberg, 2003).

Miconazole mekanisme kerjanya dengan cara menghambat enzim cytochrome

P450 sel jamur, lanosterol 14 demethylase sehingga terjadi kerusakan sintesa

ergosterol dan selanjutnya terjadi ketidak normalan membran sel. Sediaan dalam

bentuk gel oral (20 mg/ml), digunakan 4 kali/hari setengah sendok makan, ditaruh

diatas lidah kemudian dikumurkan dahulu sebelum ditelan (Greenberg, 2003).

Clotrimazole, mekanisme kerja sama dengan miconazole, bentuk sediaannya

berupa troche 10 mg, sehari 3-4 kali (Greenberg, 2003).

Ketokonazole (ktz) adalah antijamur broad spectrum.Mekanisme kerjanya

dengan cara menghambat cytochrome P450 sel jamur, sehingga terjadi perubahan
18

permeabilitas membran sel, obat ini dimetabolisme di hepar. Efek sampingnya berupa

mual/muntah, sakit kepala,parestesia, dan rontok. Sediaan dalam bentuk tablet 200mg

dosis satu kali/hari dikonsumsi pada waktu makan (Greenberg, 2003).

Itrakonazole, efektif untuk pengobatan candidiasis penderita

immunocompromised. Sediaan dalam bentuk tablet, dosis 200mg/hari selama 3

hari,bentuk suspensi (100-200 mg) / hari,selama 2 minggu. Efek samping obat berupa

gatal-gatal,pusing, sakit kepala, sakit di bagian perut (abdomen),dan hypokalemi

(Greenberg, 2003).

Flukonazole, dapat digunakan pada seluruh penderita candidiasis termasuk pada

penderita immunosupresiv. Efek samping mual, sakit di bagian perut, sakit kepala,

daneritema pada kulit. Mekanisme kerjanya dengan cara mempengaruhi Cytochrome P

450 sel jamur, sehingga terjadi perubahan membran sel. Absorpsi tidak dipengaruhi

oleh makanan. Sediaan dalam bentuk capsul 50mg, 100mg, 150mg, dan 200mg single

dose dan intra vena. Kontra indikasi pada wanita hamil dan menyusui (Greenberg,

2003).

B. Taksonomi Kunyit

Menurut Winarto (2008), mengklasifikasikan tanaman kunyit sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Commelinidae


19

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma longa L.

(1) (2)
Gambar II.5: (1) Tumbuhan Kunyit. (2). Rimpang Kunyit (Winarto, 2008)

1. Deskripsi Tanaman Kunyit

Salah satu jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat

tradisional adalah kunyit (Curcuma domestica). Kunyit termasuk salah satu suku

temu- temuan (Zingiberaceae) (Winarto, 2005).

Curcuma domestica merupakan terna berumur panjang, bagian didalam tanah

berupa rimpang yang mempunyai struktur yang berbeda dengan Zingiber, yaitu

berupa suatu induk rimpang yang tebal berdaging seperti gasing (kerucut) (empu)

yang membentuk anakan rimpang yang lebih panjang dan langsing, warna sebelah

dalam kuning jingga, pusatnya lebih pucat, tunas diatas tanah berbeda dengan Zingiber

(Tjitrosoepomo, 1994).

Daun tanaman runcing dan licin dengan panjang sekitar 30 cm dan lebar 8 cm.

Bunga muncul dari batang semu dengan panjang sekitar 10-15 cm. Warna bunga

putih atau putih bergaris hijau dan terkadang ujung bunga berwarna merah jambu.
20

Bagian utama dari tanaman adalah rimpangnya yang berada didalam tanah. Rimpang

ini biasanya tumbuh menjalar dan rimpang induk biasanya berbentuk elips

(Agoes, 2010).

Ekstrak rimpang Curcuma domestica dapat meningkatkan ketebalan

endometrium dan diameter uterus, ketebalan epitel vagina, dan diameter duktus

kelenjar mammae musculus yang diovariektomi secara bilateral (Kusmana dkk.,

2007). Hasil penelitian Hartono (2005) nenunjukkan bahwa rimpang kunyit memiliki

efek hepatoprotektor dan mampu mencegah kenaikan kadar Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase (SGOT) atau Serum Glutamic Pyruvic Transaminase

(SGPT) akibat pemberian asetaminofen dosis toksik.

2. Kandungan Tanaman Kunyit

Kandungan kimia kunyit terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan

moisture. Minyak esensial dihasilkan dengan destilasi uap dari rimpang yaitu

aphellandrene, sabinene, cineol, borneol, zingiberene dan sesquiterpene. Kurkumin

merupakan komponen aktif dari kunyit yang berperan untuk warna kuning yang

terdiri dari kurkumin I, kurkumin II dan kurkumin III (Chattopadhyay, 2004). Dalam

tanaman kunyit terkandung senyawa kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin,

desmetoksikumin 10% dan bisdesmetoksikurkumin 15% serta zat- zat lainnya,

seperti minyak asiri atau volatil oil, lemak, karbohidrat, protein, pati, vitamin C, zat

besi, fosfor, dan kalsium (Sundari & Winarno, 2001).

a. Kurkuminoid

Kurkuminoid adalah senyawa yang berpartisipasi dalam pembentukan warna ada

kunyit. Serbuk kering rhizome (turmerik) mengandung 3-5% kurkumin dan dua
21

senyawa derivatnya dalam jumlah yang kecil yaitu desmetoksi kurkumin dan

bisdesmetoksi kurkumin, yang ketiganya sering disebut sebagai kurkuminoid

(Tonessen & Karlsen, 1995). Kurkumin tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol

atau dimetilsulfoksida (DMSO). Degradasi kurkumin tergantung pada pH dan

berlangsung lebih cepat pada kondisi netral-basa (Aggarwal et.al., 2003).

Kurkumin dalam suasana basa atau pada lingkungan pH 8,5-10,0 dalam waktu

yang relatif lama dapat mengalami proses disosiasi, kurkumin mengalami degradasi

membentuk asam ferulat dan feruloilmetan. Warna kuning coklat feruloilmetan akan

mempengaruhi warna merah dari kurkumin yang seharusnya terjadi. Sifat kurkumin

lain yang penting adalah kestabilannya terhadap cahaya (Van der Good, 1997).

Kurkumin dapat mengganggu siklus sel kanker paru A549 dan menekan pertumbuhan sel.

Efek penekanan tergantung pada konsentrasi. Efek tidak hanya bergantung dari sitotoksik

nonspesifik, tetapi juga dari induksi apoptosis (Zhang et.al., 2004).

Gambar II.6: Struktur kimia kurkumin (Aggarwall et.al., 2003).

Kurkumin mempunyai aroma yang khas dan tidak bersifat toksik bila

dikonsumsi oleh manusia. Jumlah kurkumin yang aman dikonsumsi oleh manusia

adalah 100 mg/hari (Rosmawani dkk, 2007); (Rahayu, 2010).

Kurkumin memiliki rumus dan bobot moleku masing-masing adalah C21H20O6.

Titik lebur kurkumin berkisar 183 0C. Kurkumin tidak larut dalam air dan eter, tetapi

larut dalam etanol dan asam asetat glasial (Krisnamurthy et.al. 1996).
22

Fungsi lain dari kurkumin adalah sebagai antioksidan, antiinflamasi, efek

pencegah kanker serta menurunkan resiko serangan jantung. Pada penilitian yang

dilakukan oleh Chipault et.al. (1985), kunyit mempunyai indeks antioksidan sebesar

15.9 (ulangan I) dan 29.6 (ulangan II) yang diuji dengan teknik obsorbsi oksigen.

Sedangkan Cort (1984) yang dikutip Farell (1990) menyatakn bahwa indeks

antioksidan pada kunyit sebesar 5.0.

b. Minyak atsiri

Selain kurkumin, kunyit juga mengandung minyak atsiri yang menentukan

aroma dan cita rasa kunyit. Dalam perdagangan internasional, minyak ini dikenal

sebagai turmeric oil atau turmerol (Purseglove, 1981).

Kandungan minyak atsiri terdiri dari d-alfa-pelandren, d-sabinen, cineol,

borneol, zingiberen, tirmeron, seskuiterpen alkohol, alfa-atlanton, dan gama-

atlanton (Said, 2007). Senyawa resin dan tanin juga bersifat antioksidan (Hernawan

dan Setyawan, 2003). Minyak atsiri diperoleh dengan cara ekstraksi atau penyulingan.

Minyak atsiri mempunyai bebrapa sifat yaitu:

a. Warna : kuning jingga

b. Bau : aromatik dan peppery

c. Berat jenis : 0.94gr pada 24 0C

d. Kelarutan : 1 vol. Minyak larut dalam 1.8 volume 90% etanol

(Krisnamurthy et.al., 1996)

Guenther (1992), menyatakan bahwa pada destilasi rimpang kunyit kering

dihasilkan 1.3-5.5% minyak atsiri dengan bau aromatis dan berwarna jingga

kemerahan. Sedangkan Krisnamurthy et.al. (1996), melaporakan bahwa kandungan


23

minyak atsiri rimpang kunyit bervariasi antara 2.5-7.5%, tergantung pada varietas dan

tempat tumbuhnya.

Kandungan lengkap dari minyak atsiri yaitu:

a. Monoterpen yang terdiri dari p-simen, 1:8-sineol, alfa-feladren,

sabinen, borneol.

b. Sesquiterpen yang terdiri dari turmeron, ar-turmeron, zingiberen, alfa-

atlanton, gama-atlanton, dan beta-sesquifeladren (Purseglove et.al.,

1981).

Kedua komponen diatas terdapat dalam empat bentuk yaitu monoterpen

hidrokarbon, monoterpen teroksigenasi, sesquiterpen hidrokarbon, dan sesquiterpen

teroksigenasi. Komponen yang paling dominan adalah sesquiterpen teroksigenasi.

Komponen utama dari minyak atsiri ini adalah turmerol yaitu suatu alkohol dengan

rumus molekul C13H18O atau C14H10O (Purseglove et.al., 1981).

3. Khasiat dan Manfaat Kunyit

Menurtu Winarto (2008), kunyit memiliki banyak khasiat dan kegunaan terutama

pada rimpangnya. Rimpang kunyit merupakan obat, dalam pengobatan herbal,

sudah banyak jenis-jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan rimpang kunyit

seperti demam, pilek dengan hidung tersumbat, rematik, diare, disentri, gatal-gatal pada

kulit, bengkak, bau badan, malaria, dan panas dalam atau sariawan usus atau sariawan

mulut.
24

Di samping itu, kunyit juga dapat menurunkan kadar lemak tinggi

(hyperlipidemia), menyembuhkan nyeri dada, asma, rasa tidak enak di perut (dispepsia),

rasa baal di bahu, terlambat haid karena darah tidak lancar, haid tidak teratur, sakit perut

sehabis melahirkan, radang hidung, radang telinga, radang gusi, radang rahim,

keputihan, radang usus buntu, radang amandel

(tonsilitis), penyakit kuning (jaudice), hepatitis, batu empedu (cholelithiasis), dan

tekanan darah tinggi (Winarto, 2008).

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, beberapa penelitian

telah membuktikan secara ilmiah berbagai manfaat kunyit antara lain :

1. Kunyit sebagai agen antiseptik dan antibakteri alami, berguna sebagai

desinfektan luka biasa mau pun luka bakar.

2. Kunyit dapat bermanfaat mengobati haid yang tidak lancar.

3. Kunyit bermanfaat sebagai obat penghilang rasa sakit alami.

4. Dapat membantu dalam metabolisme lemak dan membantu dalam

manajemen berat badan.

5. Telah lama digunakan dalam pengobatan Cina sebagai pengobatan untuk

depresi.

6. Kunyit dapat mencegah panas dalam.

7. Kunyit dapat mencegah keputihan.

8. Mencegah gatal-gatal dan penyakit kulit.

9. Mencegah rasa tidak nyaman dimulut seperti sariawan, bengkak pada mulut,

dan gatal-gatal pada tenggorokan.

10. Akar kunyit dipercaya dapat menyembuhkan penyakit rematik dan bengkak-

bengkak pada tubuh (Kartasapoetra, 2009).


25

C. Daya hambat dan Daya bunuh Jamur/Antijamur

1. Pengertian Daya hambat Jamur

Menurut Jawetz et.al. (1996), istilah antijamur memiliki dua pengertian, yaitu

suatu senyawa yang dapat menghambat jamur (fungistatik). Fungistatik yaitu senyawa

antijamur yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur

sehingga jumlah sel jamur yang hidup relatif tetap. Pertumbuhan jamur akan

berlangsung kembali bila kontak dengan obat dihentikan.

2. Pengertian Daya Bunuh Jamur

Daya bunuh jamur/antijamur adalah suatu kemampuan senyawa yang dapat

membunuh pertumbuhan jamur (fungisidal). Fungisidal yaitu senyawa antijamur yang

mempunyai kemampuan untuk membunuh jamur sehingga dinding sel jamur menjadi

hancur karena lisis, akibatnya jamur tidak dapat bereproduksi kembali, meskipun

kontak dengan obat telah dihentikan (jawetz et.al., 1996).

3. Cara Pengukuran Uji Daya Antijamur

Uji daya antijamur yang diujikan ada yang bersifat fungisidal sebagai

membunuh pertumbuhan jamur dan fungistatik sebagai menhambat pertumbuhan

jamur (jawetz et. al., 1996).

Daya hambat dan daya bunuh suatu kandungan ekstrak tumbuhan terhadap

pertumbuhan jamur adalah Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi

Bunuh Minimum (KBM). Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) adalah konsentrasi

terendah suatu kandungan ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan jamur yang
26

menunjukkan jumlah koloni jamur paling sedikit pada SDA dan Konsentrasi Bunuh

Minimum (KBM) adalah kemampuan dari suatu ekstrak dalam membunuh

pertumbuhan jamur ditandai pada media SDA yang sama sekali tidak terdapat

pertumbuhan jamur (Silvia et.al., 2017).

D. Uji Aktifitas Antijamur

Pengujian aktifitas antijamur sama artinya dengan menentukan kerentanan jamur

terhadap suatu zat antijamur. Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antijamur

in vitro antara lain adalah pH lingkungan, komponen media, stabilitas zat antijamur,

ukuran inokulum, masa inkubasi, dan aktivitas metabolisme mikroorganisme (Brooks

et.al., 2007).

Uji antijamur bertujuan untuk mengukur respon pertumbuhan populasi jamur

terhadap suatu agen antifungi yang telah ditentukan. Dua sistem uji standar untuk

menentukan level resistensi in-vitro zat antijamur dibagi menjadi:

1. Uji Dilusi

a. Metode dilusi cair

Pada metode ini ditentukan konsentrasi hambat minimum (KHM) dan

konsentrasi bunuh minimum (KBM) suatu zat antifungi terhadap jamur yang

diujikan. Metode ini membutuhkan larutan antifungi yang telah diencerkan

secara seri, yaitu dengan mengencerkan bahan antifungi dengan media cair,

selanjutnya pada setiap tabung dimasukan 0,1 ml atau 1ml inoculum standard.

Dua tabung dipakai sebagai kontrol positif diisi media dan inokulum,

kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam dan diamati kekurangan
27

pada masing-masing tabung. Tabung yang jernih menunjukan adanya

hambatan pertumbuhan jamurnya. Hasil dapat diakuratkan dengan ditanam

ulang pada media agar, maka akan lihat pertumbuhan koloni-koloni jamur,

selanjutnya ditentukan KHM, yaitu konsentrasi zat terkecil yang masih

menghambat pertumbuhan kuman dan ditentukan KBM (Brooks et.al., 2007).

b. Metode dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair, namun mengunakan media

padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen

antimikroba yang di uji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji

(Brooks et.al., (2007).

2. Uji Difusi

Metode yang sering digunakan untuk uji resistensi zat antifungi/tes Kirby &

Bauer. Pada motode ini zat antifungi diberikan pada media pembenihan yang telah

diinokulasi oleh jamur, setelah diinkubasi, dihitung diameter zona terakhir disekitar

zat antifungi yang diinterpretasikan sebagai kekuatan hambat suatu zat terhadap

pertumbuhan suatu jamur (Brooks et.al., 2007). Metode ini dibagi menjadi tiga yaitu,

metode lubang, metode gores silang dan metode kertas cakram.

a. Metode lubang/perforasi

Jamur uji yang umurnya 18-24 jam disuspensikan ke dalam media agar

pada suhu sekitar 45 0C. Suspensi jamur dituangkan ke dalam cawan petri steril.

Setelah agar memadat, dibuat lubang dengan diameter 6 mm kemudian

dimasukan zat yang akan diuji aktifitasnya sebanyak 20 L dan diinkubasi paa

suhu 37 0C selama 18-24 jam. Aktifitas antijamur dapat dilihat dari daerah

bening yang mengelilingi lubang perforasi.


28

b. Metode gores silang

Zat yang akan diuji diserap ke dalam kertas saring dengan cara

meneteskan pada kertas saring kosong larutan antijamur sejumlah volume

tertentu dengan kadar tertentu. Kertas saring disebut diletakan di atas permukaan

agar padat, kemudian digores dengan suspensi fungi 90% pada agar melalui

kertas saringnya, diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C. Aktifitas

antijamurdapat dilihat dari daerah bening yang tidak ditumbuhi jamur dekat

kertas saring.

c. Metode kertas cakram

Zat yang akan diuji diserap ke dalam cakram kertas dengan cara

meneteskan pada cakram kertas kosong larutan antijamur sejumlah volume

tertentu dengan kadar tertentu pula. Kertas cakram diletakan diatas permukaan

agar padat yang telah dituangkan jamur sebelumnya. Cawan petri diinkubasi

pada suhu 300C selama 2 sampai 4 hari. Aktfitas antijamur dapat dilihat dari

daerah hambat di sekeliling kertas cakram (Brooks et.al., 2007).

Menurut Brooks et.al., (2007), terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan

terkait uji antijamur karena bisa menyebabkan perubahan hasil yang signifikan:

a. pH lingkungan

Beberapa zat lebih aktif bekerja di lingkungan yang asam, sedangkan zat

lainnya aktif bekerja di lingkungan yang basa.

b. Media pertumbuhan
29

Beberapa zat mempengaruhi pertumbuhan suatu mikroba atau mempengaruhi

efektifitas bahan antijamur, media pertumbuhan harus mampu mendukung

pertumbuhan jamur dan tidak menghambat efektifitas antijamur.

c. Stabilitas zat antijamur

Beberaa zat antijamur menurun afektifitasnya pada suhu inkubator, beberapa

zat menurun dengan lambat, dan zat lainnya bertahan lama.

d. Inokulum

Secara umum, semakin besar ukuran inokulum semakin rendah kepekaan atau

sensitifitas kuman sehingga zona hambatan menjadi lebih kecil. Uji antijamur

jumlah jamur yang dianjurkan yaitu 105-108 CFU/ml.

e. Inkubasi

Waktu yang diperlukan untuk uji antijamur umumnya 16-24 jam. Semakin

lama masa inkubasi semakin besar kemungkinan timbulnya mutan.

Sedangkan suhu optimal pertumbuhan mikroba yaitu sama seperti suhu tubuh

manusia.

E. Metode Ekstraksi Maserasi

Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solute) antara dua pelarut

tidak saling bercampur dengan tujuan untuk memperoleh ekstrak murni (Achmadi,

2002). Menurut Harborne (2001), ekstraksi merupakan proses pemeriksaan komponen

atau zat aktif suatu simplisia dngan mengunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi

bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung

komponen-komponen aktif.
30

Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam

pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi

masuk ke dalam pelarut. Jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah

ekstraksi secara dingin dengan cara maserasi dan perkolasi, ekstraksi secara panas

dengan cara soxhletasi, refluks dan penyulinagan uap air (Harborne, 2001).

Maserasi dilakukan dengan cara memasukan bagian simplisia dengan derajat yang

cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari pada bagian, ditutup dan

dibiarkan selama 2-5 hari, terlindungi dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari

lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari. Penyarian

diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup,

dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan

(Harborne, 2001).

Вам также может понравиться