Вы находитесь на странице: 1из 5

SISTEM PRODUKSI DALAM

EKONOMI ISLAM

A. DEFENISI DAN MOTIVASI PRODUKSI


Produksi merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi. Dalam kehidupan, tidak
akan pernah ada kegiatan konsumsi, distribusi, ataupun perdagangan barang dan jasa tanpa
diawali oleh proses produksi. Secara umum produksi merupakan proses untuk menghasilkan
suatu barang dan jasa tanpa diawali oleh proses produksi. Secara umum produksi
merupakan proses untuk menghasilkan suatu barang dan jasa, atau proses peningkatan
utility (nilai) suatu benda. Dalam istilahnya ekonomi, produksi merupakan suatu proses
(siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan
memanfaatkan faktor-faktor produksi (amal/kerja, modal, tanah) dalam waktu tertentu.
Dalam sitem ekonomi Islam, definisi produksi tidak jauh berbeda dengan apa yang
disebutkan di atas. Akan tetapi, dalam sistem ini, ada beberapa nilai yang membuat sistem
produksi sedikit berbeda, di mana barang yang ingin diproduksi dan proses produksi serta
proses distribusi harus sesuai dengan nilai-nilai syariah. Dalam artian, semua kegiatan yang
bersentuhan dengan proses produksi dan distribusi harus dalam kerangka halal. Karena itu,
terkadang dalam sistem ekonomi Islam ada pembatasan produksi terhadap barang-barang
mewah dan bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Dengan tujuan untuk menjaga
resources yang ada agar tetapoptimal. Di samping itu, ada beberapa nilai yang dapat di
jadikan sandaran oleh produsen sebagai motivasi dalam melakukan proses produksi, yaitu:
Pertama, profit bukanlah satu-satunya elemen pendorong dalam berproduksi,
sebagai halnya yang terjadi pada sistem kapitalisme. Kendipun profit sebagai target utama
dalam produksi, namun dalam sitem ekonomi Islam perolehan secara halal dan adil dalam
profit merupakan motivasi utama dalam berproduksi.
Kedua, produsen harus memperhatikan dampak sosial (sosial return) sebagai akibat
atas proses produksi pada suatu lingkungan masyarakat dianggapa mampu menanggulangi
masalah sosial (pengangguran), namun harus memperhatikan dampak negatif dari proses
produksi yang berimbas pada masyarakat dan lingkungan, seperti limbah produksi,
pencemaran lingkungan, maupun gangguan lainnya.
Selain itu, barang yang diproduksi pun harus merefleksikan kebutuhan dasar
masyarakat, sehingga produktivitas barang dapat disesuaikan dengan prioritas kebutuhan
yang harus didahulukan untuk diproduksi. Seyogianya, produsen Muslim tidak akan
memproduksi barang dan jasa yang bersifat tersier dan sekunder selama kebutuhan primer
masyarakat terhadapa barang dan jasa belum terpenuhi.
Ketiga, produsen harus memperhatikan nilai-nilai spiritualisme, di mana nilai
tersebut harus dijadikan sebagai penyeimbang dalam melakukan produksi. Di samping
produksi bertujuan untuk mendapatkan profit yang maksimal, produsen harus berkeyakinan
dalam memperoleh ridha Allah. Hal ini bertujuan untuk menjaga perintah dan larangan
Allah dalam berbagai kegiatan produksi. Selain itu, dalam menetapkan harga barang dan
jasa harus berdasarkan nilai-nilai keadilan. Upah yang diberikan kepada karyawan harus
mencerminkan daya dan upaya yang telah dilakukan oleh karyawan, sehingga tidak terdapat
pihak yang tereksploitasi.
Allah Swt berfirman, dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagai mana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakn.(QS. Al-
Qashash:77)
Uraian diatas menunjukan adanya aturan syariah dalam mengoptimalkan segala
kemampuan dan memanfaatkan fasilitas yang ada (sumber daya alam) untuk diberdayakan
sebagai barang dan jasa demi kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini, syariah sangat
menganjurkan adanya profesionalisme kerja dalam proses produksi. Karena segala sesuatu
harus ditempatkan pada porsinya dan berdasarkan keseriusan atau kesungguhan dalam
operasional. Dengan demikian, optimalisasi dan efisiensi kerja pun dapat dicapai dalam
operasional produk.
B. FAKTOR PRODUKSI
Di kalangan para ekonom Muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor
produksi. Karena terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Menurut Al-Maududi dan
Abu Suud, faktor produksi terdiri dari atas amal/kerja (labor), tanah (land), dan
modal(capital). Uraian ini berbeda dengan M.A. Mannan yang menyatkan bahwa faktor
produksi hanya berupa amal/kerja dan tanah. Menurutnya. Capital (modal) bukanlah
merupakan faktor produksi yang independen, karena capital (modal) bukanlah merupakan
faktor dasar. Capital merupakan manifestasi dan hasil atas suatu pekerjaan.
Faktor atau elemen penunjang dalam kegiatan produksi.
1. Amal/kerja (Labor)
2. Etika Kerja dan Penetapan Upah
3. Capital (modal)
a. Urgensi Capital (Modal)

Capital bisa kita dapatkan dengan cara mengambil dari sebagian income
(pendapatan) yang diproyeksikan untuk kegiatan investasi sebagi ganti kegiatan konsumsi
yang kita lakukan. Dengan adanya kegiatan tersebut, capital yang akan didapatkan oleh
masyarakat akan menjadi besar sebagai akumulasi atas dana-dana tersebut. Sebagai efek
domino, kegiatan produksi akan semakin berkembang dan roda perekonomian dapat
berjalan.

b. Subtansi Return of Capital Dalam Ekonomi Islam


Ulama fiqh dan para ekonom bersepakat tentang konsep capital, di mana capital
adalah bagian dari harta kekayaan yang dimaksudkan untuk menghasilkan barang dan
jasa. Akan tetapi, fokus pembahasan tersebut terletak pada konsep harta yang bersifat
umum. Menurut As-Suyuthi, harta adalah segala sesuatu yang dimungkinkan untuk
dimiliki oleh manusia dan bermanfaat bagi lingkungan. Adapun imam Syafii
berpendapat, harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat
diperjualbelikan serta diwajibkan bagi yang merusaknya untuk mengganti.
C. Fixed Asset

Dalam fixed asset, akad yang lebih tepat digunakan adalah akad ijarah (sewa), dan
bukan akad musyarakah. Misalnya, ada dua pihak yang mempunyai kemampuan yang
berbeda. Pihak 1 mempunyai peralatan produksi, sedang pihak II mempunyai kecakapan
dalam menjalankan bisnis. Maka gambaran yang tepat untuk menjalankan usaha
tersebut adalah, pihak I menyewakan peralatan kepada pihak II dengan memberikan
upah tertentu dan dalam waktu tertentu. Dalam akad tersebut, tidak tepat apabila
menggunakan akad mudharabah. Dalam artian, pihak I memberikan kemampuan dan
usahannya. Pihak II memberikan peralatan dan modalnya. Kemudian kedua pihak
melakukan partnership dan bersekutu dalam untung dan rugi. Dalam hal ini, jamhur
ulama lebih memilih akad ijarah daripada akad mudharabah dengan beberapa alasan,
yaitu:

1. Sempurnannya syarat-syarat akad ijarah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm.


2. Mudah malakukan perhitungan matematis terhadap penggunaan peralatan
berhubungan dengan upah yang harus dibayarkan.
3. Rendahnya resiko investasi atas kontribusi peralatan produksi dalam menghasilkan
barang. Dalam artian, fixed asset mempunyai peran yang lebih besar dalam proses
produksi dibandingkan dengan faktor lainnya.
4. Tidak sempurnannya syarat mudharabah, karena modal yang diberikan biasanya
berupa uang.
D. Financial Asset
Financial Asset adalah sebuah modal berupa uang yang diinvestasikan untuk
membiayai proses produksi.

C. SUMBER DAYA ALAM (NATURAL RESOURCES)

Land (bumi) meliputi segala sesuatu yang ada di dalam dan di luar ataupun di sekitar
bumi yang menjadi sumber-sumber ekonomi, seperti pertambangan, pasir, tanah pertanian,
sungai dan lain sebagainya. Bumi bisa diberdayakan untuk pertanian, peternakan, pendirian
kawasan industri, perdagangan, sarana transportasi, ataupun pertambangan.

Mekanisme Pemberdayaan Bumi

Ulama fiqh berbeda pendapat tentang mekanisme pemberdayaan lahan pertanian


oleh orang lain dan penentuan return yang berhak diperoleh masing-masing pihak.
Sebagaian berpendapat, bahwa mekanisme yang tepat adalah muzaraah. Akan tetapi,
ulama yang lain menolaknya dan menawarkan konsep penyewaan dengan sistem uang
(ijarah).

1. Muzaraah
Al-Muzaraah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, di mana pemilik tanah memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk di tanami dan dipelihara dengan imbalan bagaian tertentu, misalnya setengah atau
sepertiga dari hasil panen sesuai dengan kesepakatan.
2. Sewa Tanah ( Al-Ijarah )
Ulama membolehkan pelaksanaan muzaraah dengan menggunakan uang, makanan,
maupun segala sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai harta.

Вам также может понравиться