Вы находитесь на странице: 1из 10

MANAJEMEN PAJAK PADA PPH POTONG-PUNGUT

(WITHOLDING TAX)

Sabtu, 9 April 2011

PT. A PT. B
Bayar fee jasa teknik Rp 100 juta

Pihak pembayar: Pihak pemberi jasa


Pemberi hasil

Wajib potong PPh Pot-Put Pihak yang dipotong

Poin-poin penting dalam Manajeman PPh Potong-Pungut (potput) adalah:

1. Mengetahui jenis dan objek pajak PPh potput, diantaranya adalah:

PPh Pasal 21

Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
dari: pekerjaan, jasa, kegiatan. Menurut Keputusan Dirjen Pajak No Kep-545/PJ/2000
tanggal 29 Desember 2000, yang dimaksud Objek Pajak Penghasilan pasal 21 adalah
penghasilan yang dipotong oleh pemotong pajak untuk dikenakan Pajak Penghasilan
Pasal 21. Yang termasuk objek pajak PPh Pasal 21 adalah :

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur oleh wajib pajak berupa
gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium, termasuk honorarium anggota
dewan komisaris atau anggota dewan pengawas dari perusahaan, premi bulanan,
uang lembur, komisi, gaji istimewa, uang sokongan, uang ganti rugi, tunjangan
istri dan/atau tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan
khusus, tunjangan transport, tunjangan berupa pajak, tunjangan iuran pensiun,
tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja
dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;

b. Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh secara tidak teratur berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya termasuk
tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenisnya lainya
yang sifatnya tidak tetap;

c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;

d. Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan
Hari Tua (JHT), dan pembayaran lain yang sejenis;

e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri.

PPh Pasal 22

Yaitu merupakan PPh yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah,


Instansi/Lembaga Pemerintah dan Lembaga-Lembaga lainnya berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang, PPh yang dipungut/dibayar badan-badan
tertentu baik pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
Objek pemungutan PPh Pasal 22 Ada tiga jenis, yaitu:
1.Impor,
2.Pembelian barang oleh Bendaharawan Pemerintah, dan badan pemerintah tertentu
3.Penjualan hasil produksi industri tertentu
Pemungut PPh Pasal 22
1. Bank Devisa, dan Ditjen Bea & Cukai, atas impor barang,
2. Ditjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik Pusat atau Daerah yang
melakukan pembayaran pembelian barang,
3. BUMN dan BUMD atas pembelian barang dengan dana APB N/D
4. BI, BPPN, BULOG, Telkom, PLN, PT Garuda Ind., Indosat,Krakatau Steel,
Pertamina dan Bank BUMN atas pembelian barang, baik dananya dari APBN maupun
non-APBN
5. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, kertas, baja, dan otomotif,
yang ditunjuk kepala KPP, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri,
6. Pertamina dan badan lainnya yang bergerak di bidang bahan bakar minyak (BBM)
jenis Premix, super TT dan Gas, atas penjualan hasil produksinya,
7. Industri & Eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian
dan perikanan, yang ditunjuk kepala KPP, atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

PPh 22 Atas Impor

Tarifnya Menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarifnya 2,5% dari nilai impor,
Tidak menggunakan API, tarifnya 7,5% dari nilai impor, Yang tidak dikuasai, tarifnya
7,5% dari harga jual lelang.

Nilai Impor: Nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk, yaitu
Cost Insurance & Freight (CIF) ditambah bea masuk dan pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor.

Sifat pemungutan: Tidak Final.

Saat terutang = Saat pembayaran Bea Masuk.

Apabila mendapat fasilitas Bea Masuk ditunda/dibebaskan,

Saat terutang = saat penyelesaian Pemberitahuan Impor Barang (PIB)


Cara Pemungutan: dilakukan importir menggunakan SSP di bank devisa atau
bendaharawan Ditjen Bea & Cukai.

PPh Pasal 23
Pada dasarnya objek PPh Pasal 23 terdiri dari Passive income dan Active income.
Berikut merupakan tarif PPh 23 tahun 2009 berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008:

1. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh (15% dari
Jumlah bruto)
2. Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPh (15% dari
Jumlah bruto)
3. Royalty (15% dari Jumlah bruto)
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh 21
(15% dari Jumlah bruto)
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
PPh Final pasal 4 (2) (2% dari Jumlah bruto)
6. Jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008 (2% dari Jumlah bruto)

PPh Pasal 4 ayat (2)/ PPh Final


PPh Final Merupakan Pajak Penghasilan yang memiliki Tarif Pemajakan
tersendiri. Karakteristik dari PPh final sendiri adalah :

1. Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan


Penghasilan lain ( yang Non-Final ) dalam perhitungan PPh pada SPT tahunan.
2. Jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri dan dipotong pihak lain
sehubungan dengan Penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.
3. Biaya biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat Final tidak dapat dikurangkan

Berikut ini merupakan tabel tarif PPh Final:


Dasar
No. Obyek Tarif Sifat
Perhitungan
1. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI
Dasar Hukum : PP No. 131 Tahun 2000

Pengecualian:
a. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta SBI
tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
b. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh
bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank
luar negeri di Indonesia. 20% (untuk
c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI WPDN & BUT)
Jumlah Bruto
yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang 20% atau Tarif Final
Bunga
telah disahkan Menteri Keuangan, sepanjang P3B (untuk
dananya diperoleh dari sumber pendapatan WPLN)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana
Pensiun.
d. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk
Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhada, kapling siap
bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sepanjang
untuk dihuni sendiri.

2. Transaksi Saham Di Bursa Efek


Dasar Hukum : PP No. 41 Tahun 1994 jo.
PP No. 14 Tahun 1997

a. Bukan Saham Pendiri 0,1% X Nilai Transaksi


b. Saham Pendiri (0,1% X Nilai Transaksi) + (0,5%
X nilai saham pasar saat
Final
Penawaran Umum Perdana
(IPO))

3. Bunga atau Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan di


Bursa Efek
Dasar Hukum : PP No. 16 TAHUN 2009

a. Bunga Obligasi dengan kupon (interest bearing bond)


1. WP DN & BUT 15 % Jumlah bruto
2. WP LN selain BUT bunga sesuai Final
20 % atau Tarif
dengan masa
berdasarkan
kepemilikan
P3B
obligasi

b. Diskonto Obligasi dengan kupon


1. WP DN & BUT 15 %
2. WP LN selain BUT 20 % atau Tarif Selisih lebih
berdasarkan harga jual atau
P3B nilai nominal di
atas harga
perolehan
obligasi, tidak
termasuk bunga
berjalan

c. Diskonto Obligasi tanpa bunga (zero coupon bond)


1. WP DN & BUT 20 % Selisih lebih
2. WP LN selain BUT 20 % atau Tarif harga jual atau
berdasarkan nilai nominal di
P3B atas harga
perolehan
obligasi

d. bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima


dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana yang
terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
1. untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 0% Jumlah bruto
2. untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 5% bunga sesuai
3. untuk tahun 2014 dan seterusnya 15 % dengan masa
kepemilikan
obligasi / Selisih
lebih harga jual
atau nilai nominal
di atas harga
perolehan
obligasi

Pengecualian :
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau
pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia

4. Hadiah Undian 25% Jumlah Bruto Final


Dasar Hukum : PP No. 132 Tahun 2000 Hadiah Undian
KEP-395/PJ./2001
5. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Dasar Hukum : PP No. 29 Tahun 1996 jo.
PP No. 5 Tahun 2002 10% Jumlah Bruto Final

6. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau


Bangunan
Dasar Hukum : PP No. 48 Tahun 1994 jo.
PP No. 27 Tahun 1996 jo.
PP No. 79 Tahun 1999 jo.
PP No. 71 Tahun 2008

a. Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan Jumlah Bruto


5%
hak atas tanah dan/atau bangunan Nilai Pengalihan
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengalihkan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan yang jumlah bruto Jumlah Bruto
5%
nilai pengalihannya kurang dari Rp. 60 jt namun Nilai Pengalihan
Final
penghasilan lainnya dalam 1 tahun melebihi PTKP.
c. pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak Jumlah Bruto
1%
yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak Nilai Pengalihan
atas tanah dan/atau bangunan

7. Usaha Jasa Konstruksi


Dasar Hukum : PP No. 51 Tahun 2008 jo.
PP No. 40 Tahun 2009

a. Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penghasilan


2%
Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil bruto
b. Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh 4% Penghasilan
Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha bruto
c. Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh 3% Penghasilan
Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana bruto
dimaksud dalam huruf a dan huruf b
Final
d. Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan 4% Penghasilan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang bruto
memiliki kualifikasi usaha
e. Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan 6% Penghasilan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang bruto
tidak memiliki kualifikasi usaha
8. Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangan usahanya
Dasar Hukum: PP No. 4 Tahun 1995

Syarat : Jumlah Bruto


a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang Nilai Transaksi
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha Penjualan/
0,1 % Final
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan Pengalihan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Penyertaan
Indonesia. Modal

PPh Pasal 26
Pada dasarnya PPh Pasal 26 sama dengan objek pajak PPh Pasal 23, Namur dalam
PPh pasl 26 transaksi yang terjadi adalah antara pihak domestik dan pihak luar
negeri. Dalam PPh ini terdapar hal penting yang harus diperhatikan:
1. harus memperhatikan apakah ada tax treaty atau COD/COR. Kalau ada maka
jenis penghasilannya dilihat apakah termasuk Active atau Passive income jika
Passive income maka akan ada reduce rate, sedangkan jika Active income maka
tidak ada reduce rate.
Jika Active income dan terdapat BUT di Indonesia maka hak pemajakannya
mengikuti Undang-undang domestik, sedangkan jika tidak ada BUT di
Indonesia maka tidak ada hak pemajakan di indonesia.
2. jika tidak ada tax treaty maka langsung melihat pada UU domestik yaitu
dikenakan tarif 20% dari nilai bruto
2. Hak dan Kewajiban sebagai pemotong dan pihak yang dipotong.

a. Sebagai Pemotong kewajiban untuk melakukan pemotongan merupakan kewajiban


yang otomatis berikut juga sanksi apabila tidak menjalankan kewajiban, maka sanksinya
juga otomatis.

1. memotong : kegiatan menghitung pajak. Sarananya: Bukti potong


2. menyetor: menggunakan SSP
3. melapor: menggunakan SPM
karena hal tersebut diatas wajib maka kalau tidak dilaksanakan akan terkena sanksi
sebagai berikut:
1. tidak memotong : sanksi 100% dari pajak yang terutang
2. kurang memotong : sanksi 2%/bulan (Maks 24 Bulan) dari pajak yang terutang
3. terlambat menyetor : sanksi 2%/bulan
4. tidak menyetor : sengaja sanksi 400% atau sanksi pidana, lalai maka denda 200%
atau sanksi pidana kurungan
5. terlambat lapor : sanksi administrasi Rp 500 ribu
b. Sebagai Pihak yang dipotong maka memiliki hak untuk melakukan pengkreditan.
Bedanya adalah sebagai pihak yang dipotong hak nya tidak otomatis didapatkan, terdapat
persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak yang dipotong untuk menggunakan haknya,
syarat-syarat tersebut anatara lain:

1. harus ada bukti potong asli atau legalisir dari kantor pajak tempat yang memotong,
yang meminta legalisir si pihak yang memotong.

2. tahun yan tertera dibukti potong harus sama dengan tahun pengkreditan.

3. jenis pajak yang tertera dibukti potong dan SSP harus benar

4. jenis pajak potong pungutnya bukan PPh Final.


3. Mengetahui Sanksi-sanksi Terkait

Bagi pihak yang dipotong apabila tidak memenuhi syarat pengkreditan, maka atas
pajak yang dipotong tersebut tidak bisa dijadikan kredit pajak, maka nanti akan
menimbulkan kurang bayar pajak yang akan menimbulkan sanksi.

4. Mengetahui Saat Terhutang PPh Potput

Kita harus paham dan mengetahui saat-saat terhutang pajak, karena apabila kita
tidak mengerti dan salah menetapkan tanggal saat terhutang maka bisa menimbulkan
keterlambatan dan pada akhirnya akan menimbulkan sanksi.

Saat terhutang adalah yang mana yang lebih dulu terjadi antara : saat dibayar dan
saat terhutang (saat keluarnya invoice atau saat accrued, sudah dibukukan)

5. Mengetahui Cara Mengantisipasi Sanksi Yang Akan Timbul


a. dengan mengeluarkan proforma invoice
b. mengajukan permohonan pemindahbukuan (Pbk). Yang mengajukan adalah si
Pemotong.
c. melakukan tax review atas kewajiban PPh Potput. hal ini bisa mengurangi s anksi-
sanksi yang mungkin terjadi.

6. Lain-lainya

jika lawan transaksi tidak mau dipotong pajak/potput, maka yang bisa dilakukan
adalah:

menanggung sendiri PPh Potputnya (pajaknya yang ditanggung bukan biaya)

melakukan gross up (jumlah pajaknya bisa dibiayakan)

gross up akan efisien dilakukan oleh suatu perusahaan jika perusahaan tersebut dalam
keadaan laba, jika suatu perusahaan mengalami rugi maka jangan pernah melakukan
gross up, terlebih lagi jika PPh Final maka tidak perlu melakukan gross up.

Вам также может понравиться