Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pemahaman Matematik (mathematical understanding)

1. Pengertian

Istilah pemahaman Asessmen sebagai terjemahan dari istilah mathematical

understanding berbeda dengan jenjang memahami dalam taksonomi Bloom.

Dalam taksonomi Bloom, secara umum indikator memahami matematik meliputi :

mengenal dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika dengan

benar pada kasus sederhana. Namun sesungguhnya, pemahaman matematik

memiliki tingkat kedalaman tuntutan kognitif yang berbeda.

Beberapa pakar menggolongkan tingkat kedalaman tuntutan kognitif

pemahaman matematik dalam beberapa tahap. Polya (Sumarmo, 1987) merinci

kemampuan pemahaman pada empat tingkat yaitu :

a. Pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh kegiatan mengingat dan

menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana.

Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah.

b. Pemahaman induktif : menerapkan rumus atau konsep dalam kasus

sederhana atau dalam kasus serupa. Kemampuan ini tergolong pada

kemampuan tingkat rendah.

c. Pemahaman rasional : membuktikan kebenaran suatu rumus dan teorema.

Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.

11
12

d. Pemahaman intuitif : memperkirakan kebenaran dengan pasti (tanpa ragu-

ragu) sebelum menganalisis lebih lanjut. Kemampuan ini tergolong pada

kemampuan tingkat tinggi.

Berbeda dengan Polya, Pollatsek (Sumarmo, 1987) menggolongkan

pemahaman dalam dua tingkat yaitu :

a. Pemahaman komputasional : menerapkan rumus dalam perhitungan

sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik. Kemampuan

ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah.

b. Pemahaman fungsional : mengaitkan satu konsep/prinsip dengan

konsep/prinsip lainnya, dan menyadari proses yang dikerjakannya.

Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.

Serupa dengan Polatsek, Skemp (Sumarmo, 1987) menggolongkan

pemahaman dalam dua tingkat yaitu :

a. Pemahaman instrumental : hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang

lainnya, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan

mengerjakan perhitungan secara algoritmik. Kemampuan ini tergolong

pada kemampuan tingkat rendah.

b. Pemahaman relasional : mengaitkan satu konsep/prinsip dengan

konsep/prinsip lainnya. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan

tingkat tinggi.

Mirip pendapat Polatsek dan Skemp, Copeland (Sumarmo,1987)

menggolongkan pemahaman dalam dua tingkat yaitu :


13

a. Knowing how to : mengerjakan suatu perhitungan secara rutin/algoritmik.

Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah.

b. knowing : mengerjakan suatu perhitungan secara sadar. Kemampuan ini

tergolong pada kemampuan tingkat tinggi1

2. Indikator pemahaman matematis

Menurut Sanjaya (2009) indikator yang termuat dalam pemahaman konsep

diantaranya :

1. Mampu menerangka secara verbal mengenai apa yang telah dicapainya

2. Mampu menyajikan situasi matematika kedalam berbagai cara serta

mengetahui perbedaan

3. Mampu mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau

tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut

4. Mampu menerapkan hubungan antara konsep dan prosedur

5. Mampu memberikan contoh dan contoh kontra dari konsep yang dipelajari

6. Mampu menerapkan konsep secara algoritma

7. Mampu mengembangkan konsep yang telah dipelajari.

Pendapat di atas sejalan dengan Peraturan Dirjen Dikdasmen Nomor

506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November 2001 tentang rapor pernah diuraikan

bahwa indikator siswa memahami konsep matematika adalah mampu :

1. Menyatakan ulang sebuah konsep,

2. Mengklasifikasi objek menurut tertentu sesuai dengan konsepnya,

1
Heris Hendriana dan Utari Sumarmo, Penilaian Belajar Matematika, (2014, Bandung : PT.
Refika Aditama). Hal. 20
14

3. Memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep,

4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis,

5. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep,

6. Menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi

tertentu,

7. Mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah.

B. Modul

1. Pengertian Modul

Modul adalah salah satu bentuk bahan ajar berupa bahan cetakan. Modul

pembelajaran biasanya digunakan dalam perkuliahan pada perguruan tinggi

dengan pembelajaran jarak jauh dengan tidak tatap muka. Ada beberapa

pengertian tentang modul, antara lain sebagai berikut :

a. Modul adalah alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode,

batasan-batasan materi pembelajaran, petunjuk kegiatan belajar, latihan,

dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik

untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dan dapat digunakan secara

mandiri.

b. Modul adalah alat pembelajaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan

belajar pada materi kuliah tertentu untuk keperluan proses pembelajaran

tertentu; sebuah kompetensi atau subkompetensi yang dikemas dalam satu

modul secara utuh (self contained), mampu membelajarkan diri sendiri

atau dapat digunakan untuk belajar secara mandiri (self instructional).

Penggunaan modul tidak tergantung pada media lain, memberikan


15

kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan memberikan rangkuman,

memberikan kesempatan untuk melakukan tes sendiri (self test),

mengakomodasi kesuitan siswa dengan memeberikan tindak lanjut dan

umpan balik.2

Dengan memerhatikan kedua pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan

bahwa modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau cetak yang

disusun secara sistematis, memuat materi pembelajaran, metode, tujuan

pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar atau indikator pencapaian

kompetensi, petunjuk kegiatan belajar mandiri (self instructional), dan

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji diri sendiri malalui latihan

yang disajikan dalam modul tersebut.

Modul memiliki sifat self contained, artinya dikemas dalam satu kesatuan

yang utuh untuk mencapai kompetensi tertentu. Modul juga memiliki sifat

membantu dan mendorong pembacanya untuk mampu membelajarkan diri sendiri

(self instructional) dan tidak bergantung pada median lain (self alone) dalam

penggunaannya.

2. Tujuan dan Manfaat Penyusunan Modul

Salah satu tujuan penyususnan modul adalah menyediakan bahan ajara yang

sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa,

yakni bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik materi ajar dan karakteristik

siswa, serta setting atau latar belakang lingkungan sosialnya.

2
Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, (2011, Bandung : Pustaka Setia), hal. 219
16

Modul memiliki beberapa manfaat, baik ditinjau dari kepentingan siswa

maupun dari kepentingan guru. Bagi siswa, modul bermanfaat, antara lain :

a. Siswa memiliki kesempatan melatih diri belajar secara mandiri

b. Belajar menjad lebih menarik karena dapat dipelajari di luar kelas dan di

luar jam pembelajaran

c. Berkesempatan mengekspresikan cara-cara belajar yang sesuai dengan

kemampuan dan minatnya

d. Berkesempatan menguji kemampuan diri sendiri dengan mengerjakan

latihan yang disajikan dalam modul

e. Mampu membelajarkan diri sendiri

f. Mengembangkan kemampuan siswa dalam berinteraksi langsung dengan

lingkungan dan sumber belajar lainnya

Bagi guru, penyusunan modul bermanfaat karena :

a. Mengurangi kebergantungan terhadap ketersediaan buku teks

b. Memperluas wawasan karena disusun dengan menggunakan berbagai

referensi

c. Menambah khazanah pengetahuan dan pengalaman dalam menulis bahan

ajar

d. Membangun komunikasi yang efektif antara dirinya dan siswa karena

pembelajaran tidak harus berjalan secara tatap muka

e. Menambah angka kredit jika dikumpulkan menjadi buku dan diterbitkan.3

3
Ibid. Hal. 220
17

2. Prinsip-Prinsip Penyusunan Modul Pembelajaran

Sebagaimana bahan ajar yang lain, penyusunan modul hendaknya

memerhatikan berbagai prinsip yang membuat modul tesebut dapat memenuhi

tujuan penyusunannya. Prinsip-prinsip yang harus dikembangkan, antara lain :

a. Disusun dari materi yang mudah untuk memahami yang lebih sulit, dan

dari yang konkret untuk memahami yang semi konkret dan abstrak;

b. Menekankan pengulangan untuk memperkuat pemahaman;

c. Umpan balik yang positif akan memberikan penguatan terhadap siswa;

d. Memotivasi adalah salah satu upaya yang dapat menetukan keberhasilan

belajar;

e. Latihan dan tugas untuk menguji diri sendiri.4

3. Alur Penyusunan Modul

Modul pada dasarnya merupakan sarana pembelajaran yang memuat materi

dan cara-cara pembelajarannya. Oleh karena itu, penyusunannya hendaknya

mengikuti cara-cara penyususnan perangkat pembelajaran pada umumnya.

Sebelum menyusun modul, guru harus melakukan identifikasi terhadap

kompetensi dasar yang akan dibelajarkan. Selain itu, guru juga melakukan

identiikasi terhadp indikator-indikator pencapaian kompetensi yang terdapat

dalam silabus yang telah disusun. Penyusunan sebuah modul pembelajaran

diawali dengan urutan kegiatan sebgai berikut :

a. Menetapkan judul modul yang akan disusun

b. Menyiapkan buku-buku sumber dan buku referensi lainnya

4
Ibid. Hal. 221.
18

c. Melakukan identifikasi terhadap kompetensi dasar, melakukan kajian

terhadap materi pembelajarannya, serta merancang bentuk kegiatan

pembelajaran yang sesuai

d. Mengidentifikasi indikator pencapaian kompetensi dan merancang bentuk

dan jenis penilaian yang akan disajikan

e. Merancang format penulisan modul

f. Penyusunan draf modul

Setelah draf modul tersusun, kegiatan berikutnya adalah melakukan validasi

dan finalisasi terhadap draf modul tersebut. kegiatan ini sangat penting agar

modul yang disajikan (dibelajarkan) kepada siswa benar-benar valid dari segi isi

dan efektivitas modul dalam mencapai kompetensi yang ditetapkan.

Kegiatan validasi ini, antara lain dengan menguji, "apakah hubungan antara

tujuan mata pelajaran, standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan indikator

telah sesuai?". Selain itu, kita juga harus menguji tingkat efektivitas kegiatan

belajar yang kita pilih mampu membantu siswa dalam mencapai kompetensi

minimal yang ditetapkan, serta mempertimbangkan keterjangkauan tersedianya

alat dan bahan kegiatan pembelajaran.

Dalam kegiatan finalisasi, hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahasa

(penulisan kalimat) dan tata letak (layout). Penulisan kalimat dalam modul

hendaknya menggunakan kalimat yang sederhana dan mudah dipahami. Selain itu,

kalimat harus dipola sedemikian rupa sehingga menjadi komunikatif dan akrab

bagi siswa. Penulisan kalimat yang komunikatif berpengaruh terhadap minat

belajar.
19

Tata letak (layout) berhubungan dengan ilustrasi, ukuran huruf, spasi, serta

hal-hal lain yang berhubungan dengan penampilan modul secara fisik. Ilustrasi

sangat penting terutama yang dapat memperjelas pemahaman siswa atas konsep

materi yang dibelajarkan sehingga mengurangi verbalisme. Konsistensi terhadap

ukuran huruf dan jenis huruf, juga akan berpengaruh terhadap kenyamanan dalam

membaca. Demikian pula, dengan spasi (ruang kosong), antar baris atau kata perlu

dijaga konsistensinya, sehingga perbedaan antar bab, subbab, serta bagian-bagian

lain dalam modul tidak membingungkan. Tata letak yang baik akan menimbulkan

daya tarik tersendiri terhadap minat belajar siswa.

4. Pengisian Format Modul

a. Halaman sampul paling tidak memuat judul pokok bahasan dan logo. Pada

halaman ini, dapat juga ditambahkan beberapa hal, misalnya nama penulis,

pertemuan ke berapa, nama mata pelajaran, dan keterangan lain yang

dianggap sangat perlu sebagai informasi.

b. Pokok bahasan, ditulis seperti tertulis pada standar kompetensi.

c. Pengantar berisi tentang kedudukan modul dalam suatu mata pelajaran,

ruang lingkup materi modul, serta kaitan antarpokok bahan dan sub-sub

pokok bahasan.

d. Kompetensi dasar dikutip dari standar isi (kurikulum). Satu kompetensi

dasar biasanya dirancang menjadi beberapa kegiatan belajar, bargantung

pada keluasan dan kedalaman materi.

e. Tujuan pembelajaran adalah rumusan tingkah laku gambaran tentang

kemampuan tertentu yang harus dicapai siswa setelah menyelesaikan


20

pengalaman belajar tertentu. Disamping menggunakan rumusan tingkah

laku yang jelas (menggunakan satu kata kerja yang operasional dan

spesifik), rumusan tujuan pembelajaran sekurang-kurangnya memuat

unsur audiens, behaviour, dan content. Lebih baik lagi jika ditambah

degree, baik kualitatif maupun kuantitatif. Rumusan tingkah laku dalam

tujuan pembelajaran dapat berhubungan dengan aspek kognitif, afektif,

dan psikomotorik.

f. Kegiatan belajar. Dalam satu modul, biasanya terdiri atas1-3 kegiatan

belajar atau lebih, sesuai dengan apa yang tercantum dalam silabus dan

RPP.

g. Judul kegiatan belajar ditulis secara singkat, tetapi menggambarkan

keseluruhan isi materi pembelajaran.

h. Uraian dan contoh. Pada bagian ini, sebelum menuliskan uraian dan

contoh, tuliskan judul dalam sub-sub unit kecil. Uraian hendaknya ditulis

dengan bahasa yang sederhana, tetapi tidak mengurangi substansi materi.

Penulisan uraian disajikan dalam bentuk bertutur sehingga memberi kesan

seolah-olah guru berada di depan siswanya. Menyertakan contoh secara

lengkap dan jelas dalam uraian akan sangat membantu siswa dalam

memahami isi materi pembelajaran yang disajikan dalam modul.

i. Latihan dalam modul merupakan alat untuk menguji diri-sendiri bagi

siswa. Dengan mengerjakan tugas atau soal-soal dalam latihan, ssiwa

dapat mengukur seberapa besar kemampuannya menguasai pokok-pokok

atau isi materi pembelajaran. Pada bagian ini, hendaknya disertakan


21

petunjuk-petunjuk yang praktis dan jelas. Butir-butir latihan hendaknya

menghindari sejauh mungkin bentuk pilihan ganda atau isian singkat.

Seluruh materi latihan dapat diambil langsung dari uraian dan contoh,

dapat juga diambil dari materi yang tidak tertulis pada uraian dan contoh,

tetapi memiliki hubungan yang erat.

j. Pada bagian rangkuman, tuliskan pokok-pokok materi yang telah disajikan

dalam uraian dan contoh.

k. Tes formatif pada modul dibuat untuk mengukur kemajuan belajar siswa

dalam satu unit pembelajaran. Berbeda dengan latihan, butir-butir tes

formatif diberikan dalam bentuk tes objektif (benar-salah, pilihan ganda,

isian atau melengkapi kalimat, dan menjodohkan atau memasangkan yang

sesuai). Pemberian tes yang objektif memudahkan siswa dalam melakukan

pengukuran (memberi nilai) atas kemampun diri sendiri.

l. Umpan balik dan tindak lanjut. Berikan rumus yang dapat digunakan

untuk memaknai pencapaian hasil belajar siswa sehingga dapat diberikan

umpan balik dan tindak lanjut yang harus dilakukan olehnya.

m. Kunci jawaban diberikan (pada halaman berbeda) dengan maksud agar

siswa dapat mengukur kemampuan diri sendiri.

n. Daftar pustaka mencantumkan daftar kepustakaan yang dijadikan sumber

dalam penyususnan modul. Penulisan daftar pustaka mencantumkan nama

penulis buku (tanpa menggunakan gelar), judul buku (dicetak miring dan
22

digarisbawahi), kota tempat buku diterbitkan, nama penerbit, tahun terbit,

dan halaman.5

Berdasarkan uraian tersebut, pada dasarnya, menulis modul tidak terlalu

rumit. Oleh karena itu, sangat mungkin setiap guru dapat menyusun modul

sebagai pengembangan kemampuan profesinya dalam bidang pengembangan

bahan ajar. Selain itu, penggunaan modul dalam pembelajaran, melatih siswa

untuk belajar mandiri. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan modul

adalah kecermatan dalam menyusun kalimat sehingga modul yang tersusun

komunikatif dan mudah digunakan sebagai panduan belajar bagi siswa.

C. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

1. Pengertian Realistic Mathematic Education (RME)

Freudenthal dari Belanda, gagasan ini muncul karena adanya perkembangan

matematika modern di Amerika dan praktek pembelajaran matematika yang

terlalu mekanistik di Belanda. Pembelajaran yang dimaksud adalah guru memberi

siswa suatu rumus lalu memberi contoh cara menggunakan rumus untuk

menyelesaikan soal diikuti dengan memberi soal latihan sebanyak-banyaknya

tentang penggunaan rumus tersebut. Untuk pengembangan dan penerapan guru

memberi soal cerita yang dapat diselesaikan dengan rumus tadi. Pada era 1980

terjadi perubahan dasar teori belajar pada pembelajaran matematika yaitu dari

behaviorism ke arah konstruktivisme realistic.

5
Ibid. Hal. 222
23

Sedangkan perkembangan pembelajaran matematika yang menggunakan

metode demonstrasi di Indonesia, Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SD

bekerjasama dengan Balai Pembinaan Guru mengadakan pembinaan guru untuk

menambah wawasan guru tentang bagaimana pembelajaran suatu materi

matematika yang menggunakan metode demonstrasi atau realistik.

Jadi, Realistic Mathematics Education (RME) adalah pendekatan pengajaran

yang bertitik tolak dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan ketrampilan

proses of doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi

dengan teman sekelas sehinggga mereka dapat menemukan sendiri (Student

Inventing sebagai kebalikan dari teacher telling) dan pada akhirnya menggunakan

matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun secara

kelompok.6

2. Prinsip-Prinsip Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)

Secara umum pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) mengkaji

tentang materi apa yang akan diajarkan kepada siswa beserta rasionalnya,

bagaimana siswa belajar matematika, bagaimana topik-topik matematika

seharusnya diajarkan, serta bagaimana menilai kemajuan belajar siswa. Gravenjer

dalam (Irwan Rozani, 2010) menyebutkan tiga prinsip pendekatan Realistic

Mathematic Education (RME)sebagai berikut :

1. Guided Reinventation and Progessive Mathematizing

Berdasarkan prinsip Reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan

untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan.
6
Istarani dan M.Ridwa, 50 Tipe Pembelajaran Koopertif. (2014, Medan : CV. Media Persada),
hal. 61.
24

Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah konstektual yang dapat

menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute

pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke

tingkat belajar matematika secara formal (Progessive Mathemazing).

2. Didactical Phenomologi

Berdasarkan prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam

pembelajran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i)

memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran

dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses Progressive

Mathemazing.

3. Self Developed Models

Berdasarkan prinsip ini saat mengerjakan masalah konstektual siswa diberi

kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk

menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada

tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinnya. Selanjutnya melalui

generalisasi dan pemformalan akhirnya mode tersebut menjadi sungguh-sungguh

ada (entity) yang dimiliki siswa.

Berdasarkan uraian di atas, maka prinsip pendekatan Realistic Mathematic

Education (RME) adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan

sendiri konsep matematika dalam menyelesaikan berbagai masalah. Masalah

tersebut dapat berupa masalah konstektual yang harus dirubah kedalam bentuk

masalah matematika, kemudian menyelesaikannya dengan menggunakan konsep,

operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa. Siswa
25

mengembangkan cara penyelesaian tersebut dengan menggunakan cara-cara

matematika yang sudah diketahuinya.7

2. Karakteristik Pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)

Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, menurut

Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994:114-115), PMR memiliki empat

karakteristik yang diuraikan sebagai berikut:

1. Menggunakan masalah konstektual (the use of context).

Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah konstektual sehingga

memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya dan pengetahuan

awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah

konstektual yang diangkat sebagai materi awal dalam pembelajaran harus sesuai

dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang

sudah dipahami atau mudah dibayangkan.

Menurut Treffers dan Goffree (dalam Suhermandkk., 2003:149-150), masalah

konstektual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu

a. Untuk membantu siswa dalam pembentukan konsep matematika

b. Untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir

siswa bermatematika

c. Untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber dan domain aplikasi

matematika dan

7
Erman Suherman,dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (2001, Bandung :
JICA). hal. 128.
26

d. Untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan

matematika pada situasi nyata (realitas). Realitas yang dimaksud di sini

sama dengan konstektual.

2. Menggunakan instrument vertical seperti model, skema, diagram dan symbol

symbol (use models, bridging by vertical instrument).

Istilah model berkaitan dengan situasi dan model matematika yang dibangun

sendiri oleh siswa (self developed models), yang merupakan jembatan bagi siswa

untuk membuat sendiri model model dari situasi nyata ke abstrak atau dari

situasi informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam

menyelesaikan masalah konstektual yang merupakan keterkaitan antara model

situasi dunia nyata yang relevan dengan lingkungan siswa ke dalam model

matematika.

Menggunakan kontribusi siswa (student contribution). Siswa diberi

kesempatan seluas luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal

yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian berbagai prosedur untuk

memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses

pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua

pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.

3. Proses pembelajaran yang interaktif (interactivity).

Mengoptimalkan proses belajar mengajar melalui interaksi antar siswa, siswa

dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting dalam

PMR. Bentuk bentuk interaksi seperti: negoisasi, penjelasan, pembenaran,

persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk


27

pengetahun matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika

informal yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru harus memberikan kesempatan

kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka melalui proses belajar

yang interaktif.

4. Terkait dengan topik lainnya (intertwining).

Berbagai struktur dan konsep dalam matematika saling berkaitan, sehingga

keterkaitan atau pengintegrasian antar topic atau materi pelajaran perlu

dieksplorasi untuk mendukung agar pembelajaran lebih bermakna. Oleh karena itu

dalam PMR pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang

penting

Dengan pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan

masalah. Di samping itu dengan pengintegrasian dalam pembelajaran, waktu

pembelajaran menjadi lebih efisien. Hal ini dapat terlihat melalui masalah

kontekstual yang diberikan.

3. Ciri Ciri Realistic Mathematic Education (RME)

Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan

PMR memiliki beberapa ciri, yaitu:

1. Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga

memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (Contextual

Problem) merupakan bagian yang esensial.

2. Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (Doing

Mathematics).
28

3. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika

di bawah bimbingan orang dewasa (guru).

4. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi

fokus dari semua aktivitas di kelas.

5. Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah

kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving

problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).

4. Langkah-langkah Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)

Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika

realistik juga diperlukan upaya mengaktifkan siswa . Upaya itu dapat diwujudkan

dengan cara:

1. Mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar.

2. Mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense peserta didik.

Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa

untuk dapat menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan

dikuasainya.

Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan diatas adalah

menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan

karakteristik PMR (Pembelajaran Matematika Realistik).

Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta memperhatikan berbagai

pendapat tentang proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR di

atas, maka disusun langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR

sebagai berikut :
29

1. Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang

sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah

yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa,

guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum

dipahami siswa.

Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik

pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam

pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.

2. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek

matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi

pemecahan masalah, selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan

caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga

dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang

lainnya.

Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga

siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik

PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua mernggunakan

model.

3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban.

Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk

membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok,


30

selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap

ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun

pendapat tersebut berbeda dengan lainya.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam

langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa (

students constribution ) dan karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi (

interactivity ) antara siswa dengan siswa yang lain.

4. Menyimpulkan.

Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk

menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah

realistic yang diselesaikan.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong kedalam

langkah ini adalah adanya interaksi ( interactivity ) antara siswa dengan guru (

pembimbing ).

5. Kelebihan Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)

Menurut suwarsono (2001:5) terdapat kekuatan atau kelebihan dari

pembelajaran matematika realistik, yaitu:

1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas

kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-

hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas

kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang


31

dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh

mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas

kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus

tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan yang lain. Setiap

orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu

sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut.

Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan

cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang

paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah

tersebut.

Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada

siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan

suatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk

menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang

sudah tahu ( misalnya guru ). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses

tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.8

6. Kekurangan Realistic Mathematic Education (RME)

Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan PMR dapat muncul

justru menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-

kesulitan tersebut, yaitu

8
Ibid. Hal. 127.
32

1. Upaya mengimplementasikan RME membutuhkan perubahan pandangan

yang sangat mendasar megenahi beberapa hal yang tidak mudah untuk

dipraktekkan, misalnya mengenahi siswa, guru, dan peranan soal

kontekstual.

Di dalam RME, siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari

segala sesuatu yang sudah jadi tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif

mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru tidak lagi terutama sebagai

pengajar, tetapi lebih sebagai pendamping bagi siswa.

Di samping itu peranan soal konstektual tidak sekedar dipandang sebagai

wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru digunakan

sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika itu sendiri.

2. Pencarian soal-soal konstektual yang memenuhi syarat-syarat yang

dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah

untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-

lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermaca-

macam cara.

3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk

menyesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh

guru.

4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat

melakukan penemuan kembali konsep konsep atau prinsip prinsip

matematika yang dipelajari.


33

5. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal

konstektual, proses pematematikaan horisontal, dan proses

pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana,

karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat,

agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali

terhadap konsep-konsep matematika tertentu.

Вам также может понравиться