Вы находитесь на странице: 1из 11

MAKALAH USHUL FIQIH

TENTANG

MURADIF DAN MUSYTARAK

Oleh:

Kelompok 2

1. Adisman Junika Fandi


2. Nefri Yanti
3. Oppi Arista
4. Putri Andela Sari
5. Rulli Vandra

MAN 3 TANAH DATAR

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li an-nas dan


sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang
benderang (QS. Ibrahim 14 : 1).

Al-Quran merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang


menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu
keislaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan pemadu dalam gerakan-
gerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian,
pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsiran dan
pendalaman ilmu kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya
umat Islam terlebih dalam konteks masa kini guna memberikan solusi terhadap
problematika umat yang semakin menggelobal.

Oleh karena itu, makalah kecil ini akan mencoba memberikan sedikit
wawasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat Al-Quran yang musytarak dan
ketentuan-ketentuan hukumnya.

B. Pembahasan

a. Pengertian musytarok

Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja
yang berarti bersekutu seperti dalam ungkapan yang berarti kaum
itu bersekutu.

Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian
musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama
ushul adalah anatara lain:

Menurut Ibn Al-Hajib dalam kitab Syarah Al-Mufasshal :



Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda,
dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut

Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:


Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda
batasannya dengan jalan bergantian. Maksudnya pergantian disini adalah kata
musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata
tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya.

Seperti kata yang dalam pemakaian bahasa Arab dapat berarti masa suci
dan bias pula masa haidl, lafad bisa berarti mata, sumber mata air, dzat,

harga, orang yang memata-matai (jasus) dan emas, kata musytarak antara tangan

kanan dan kiri, kata dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula
tahun masehi.
Bab II

Pembahasan

a. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak

Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangatlah banyak


sekali, namun ulama ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling
mempengaruhi antara lain sebagai berikut :

1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata


untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata

, dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara

sempurna( ). Satu kabilah untuk menunjukkan ()


Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.

2. Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti

lafadz yang asalnya bermakna ( logam/barang tambang dalam


api) selanjutnya digunakan untuk menunjukkan arti
(penindasan agama) kemudian bermakna (terjerumus dalam

kesesatan).

3. Terjadinya makna yang berkisar/keragu-raguaan ) ) antara makna hakiki dan


majaz.

4. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan )) antara makna hakiki

dan makna istilah urfi. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa
kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara. Seperti

lafadz yang dalam arti bahasa bermakna doa, kemudian dalam istilah

syara digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita malumi.

b. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak


Apabila dalam nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah terdapat lafadz yang
musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul
adalah sebagai berikut :

a) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara


arti bahasa dan istilah syara, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara,
kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
arti dalam istilah bahasa

b) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang
ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang
menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah
lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah
suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah
keadaan/kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash tersebut.

c) Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut,
menurut golongan hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat
menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan malikiyah dan syafiiyah
membolehkan menggunakan salah satu artinya.

c. Contoh-Contoh Lafadz Musytarak

1. Firman Allah swt. dalam Al-Baqarah : 229

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah
syara yaitu melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan
diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali ikatan secara mutlaq.

Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.

Lafadz pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah

bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara yaitu ibadah yang

mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz


yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalm QS.
Al-ahzab : 56

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai


orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.

Lafadz pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah

tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena

dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat.

Sedangkan sholat dalam istilah syara hanya diwajibkan kepada manusia.

2. Firman Allah Al-Baqarah : 228

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru'.

Lafadz Quru dalam pemakain bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa
pula berarti masa haidl. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan
segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari
dalam ayat tersebut.

Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru tersebut diatas.
Sebagian ulama yaitu Imam Syafii mengartikannya dengan masa suci. Alasan
beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada adad (kata
bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa Arab madudnya harus
mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah
mengartikannya dengan masa haidl. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz
tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya
masing-masing quru dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya
bisa terjadi jika quru diartikan haidl. Sebab jika lafadz quru diartikan suci, maka
hanya ada dua quru (tidak sampai tiga)[16]

3. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 222


Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Lafadz dapat berarti masa/waktu haidl (zaman) dan bisa pula berarti
tempat keluarnya darah haidl (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut
ulama diartikan tempat keluarnya darah haidl. Karena adanya qarinah haliyah
yaitu bahwa orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli

istri-istrinya dalam waktu haidl. Sehinnga yang dimaksud lafadz diatas


adalah bukanlah waktu haidl akan tetapi larangan untuk istimta pada tempat
keluarnya darah haidl (qubul).

d. Pengertian Muradif

Muradif ialah lafalnya banyak sedangkan artinya adalah sama (sinonim),


misalnya lafal asad dan allits (artinya singa), himtah dan qamhu (artinya gandum)
e. Hukum Lafal Muradif

Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak


ada halangan dari syara. Pendapat lain mengatakan: meletakkan lafal muradif di
tempat lainnya, diperbolehkan asal masih satu bahasa
Tentang lafal muradif tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
bahwa lafal yang satu dapat menempati tempat yang lain selama tidak mengubah
makna dan tidak ada larangan syara untuk mempergunakannya.
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal selain Al-Quran yaitu
zikir-zikir dalam ayat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan, tidak
boleh membaca takbir kecuali dengan lafal Allahuakbar. Demikian pula pendapat
Imam Syafii. Sedangkan Imam Abu Hanifah memperbolehkan takbir dengan
lafal yang sama artinya dengan Allahuakbar seperti Allah Al-Adzam atau Allah
Al-Ala atau Allah Al-Ajall. Perbedaan pendapat ini adalah disebabkan apakah kita
beribadah dengan lafalnya atau maknanya.
f. Contoh-contoh

Dalam Alquran, seorag pembaca akan banyak menemukan lafal-lafal muradif.

Seperti contoh:

1. Al-Khauf dan Khasyah (Takut).

Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi

rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna

ketakutannya daripada kata Al-khauf. Sebuah contoh berikut akan

memperlihatkan kejelasannya:




Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya

dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang

buruk. (QS. Arrad : 21)

Dalam ayat ini memberitahukan pembaca ahwa sesungguhnya Al-khasyah

dikhususkan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab kata Al-khasy itu

disebabkan kemuliaan yang dimuliakan. Sedangkan kata Al-khauf disebabkan

karena kelemahan (dlaif) Al-khaif itu sendiri.

2. Asy-syukh dan al-Bukhl (Pelit).

Al-askary juga membedakan Al-bukhl dengan kata Adl-dlann. Dengan adl-

dlann yang berarti kecelaannya atu aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya.



Dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang

ghaib (QS. At-takwir : 24)

Disini tidak dikatakan dengan Al-bukhl. Di lain waktu juga dikatakan Adl-dlanin

bi ilmihi.

3. Al-Hasad dan Al-Hiqd (Dengki)




15. orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat

untuk mengambil barang rampasan: "Biarkanlah Kami, niscaya Kami mengikuti

kamu"; mereka hendak merobah janji Allah. Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak

(boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya"; mereka

akan mengatakan: "Sebenarnya kamu dengki kepada kami". bahkan mereka tidak

mengerti melainkan sedikit sekali. (Al-Fath 48:15)

4. As-Sabil dan Ath-Thariq (Jalan)





55. dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan

orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.

(Al-Anam 06: 55)


BAB III

PENUTUP

Dari sedikit pemaparan diatas, dapat kita pahami bahwa perbedaan akan
interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran akan menimbulkan kesimpulan-
kesimpulan hukum yang berbeda pula. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
pemahaman terhadap bahasa Arab dari berbagai aspeknya sangatlah penting untuk
dikaji secara konperehensif sehingga kita dapat mengaktualisasikan pesan-pesan
teks Al-Quran dalam konteks zaman kontemporer yang penuh tantangan dan
problematika-problematika umat yang membutuhkan jawaban-jawaban yang
dapat memberikan pencerahan terhadap ummat.

Ahkirnya penulis berharap semoga makalah yang kecil ini sedikit dapat
memberikan kontribusi positif dalam rangka untuk memahami Al-Quran sebagai
modal utama bagi umat Islam, khususnya kita sebagai generasi muda Islam
sehinnga mampu menjawab tantangan zaman yang sangat kompleks. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta

Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Dawah Islamiyah,1990)

Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996).

Syafii Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001,

Burhanudin, Fiqih Ibadah, Cet. I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001

Вам также может понравиться