Вы находитесь на странице: 1из 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Era Reformasi ini sistem pemerintahan Indonesia kembali dihadapkan
dengan berbagai tantangan berat berkaitan dengan kebebasan
berdemokrasi yang selama ini di agung-agung kan dan menjadi ciri khas
Orde Reformasi. Kita mungkin mengenal istilah kata hak pilih rakyat atau
dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat yakni semboyan sistem
demokrasi budaya barat yang kita anut mungkin hal-hal tersebut akan mulai
dihilangkan oleh wakil rakyat yang duduk di parlemen itu sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam UUD 1945 pasal 20 ayat 1 bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang
Hal ini lah yang menjadi dasar hukum Beberapa anggota dewan terpilih
dalam pemilu 2014 yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP)
menggagas terciptanya RUU yang megatur tentang Pemilihan umum
kepala daerah oleh DPRD hal ini tentu menjadi perbincangan hangat di
kalangan masyarakat dan menjadi perdebatan di kalangan DPR itu
sendiri,dasar dari ingin dibentuknya RUU ini adalah penghematan APBN
dalam hal ini efisiensi biaya penyelenggaran pemilu sehingga APBN dapat
lebih di dayagunakan untuk sektor pembangunan ekonomi,pendidikan dan
sektor lainnya,namun di sisi lain harus ada hal yang di korban kan yakni
pesta demokrasi rakyat untuk memilih pemimpin daerahnya dan akhirnya
karena jumlah parlemen yang tidak seimbang antara Anggota DPR yang
pro dan kontra akan RUU pilkada pada akhirnya dengan cara voting
diputuskanlah untuk mengesahkan RUU pilkada menjadi UU pilkada yang
akan segera direlisasikan setelah mendapat persetujuan presiden.
Belum usai perbincangan masalah UU pilkada,muncul kembali sebuah
gagasan yang kontoversial dari legislatif untuk merevisi RUU MD3 yang
kembali pencetusnya adalah Partai-partai yang tergabung dalam Koalisi
Merah Putih UU MD3 adalah kependekan dari Undang-Undang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
1
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Revisi UU ini disusun untuk
membenahi pasal dan klausa UU No 27 tahun 2009 yang dianggap sudah
tidak lagi relevan.
Dalam penjelasan umum mengenai revisi UU MD3 disebutkan bahwa
tujuan disusunnya revisi UU ini adalah untuk mewujudkan lembaga
permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif dan akuntabel.
Revisi terhadap UU MD3 (MPR, DPR,DPD,DPRD) dianggap penting untuk
mengembangkan ketatanegaraan Indonesia,Namun apakah benar seperti
tujuan yang di canangkan? Apakah hal ini akan ada dampak dan kaitannya
dengan demokrasi rakyat? Hal tersebut masih menjadi pertanyaan orang
banyak apakah dapat efektif dan tepat sasaran seperti tujuan awal.Tak
lama setelah gagasan tersebut muncul UU MD3 langsung dirapatkan oleh
DPR namun sama hal nya dengan UU pilkada langsung dengan cepat
tanggal 8 juli lalu revisi UU MD3 disahkan secara aklamasi. Meskipun
menuai banyak protes dan kontroversi dari masyarakat UU MD3 tetap akan
di jalan kan oleh pemerintah sama hal nya seperti UU pilkada langsung.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan pembuatan


makalah yang berjudul UU MD3 dan dampak bagi demokrasi.Yang
mengangkat beberapa pokok bahasan tentang UU MD3

B. Fokus (Batasan Masalah)


1. Dampak pengesahan UU MD3 bagi demokrasi rakyat
2. Hal yang mendasari dilakukanya revisi pada UU MD3
3. Proses merevisi sampai dilakukannya pengesahan pada UU MD3

C. Maksud dan Tujuan


1. Maksud
Memberikan pemahaman dan menambah wawasan masyarakat
tentang revisi UU MD3 yang dilakukan oleh anggota Legislatif
2. Tujuan
a. Mengidentifikasi seberapa penting UU MD3 dan dampak nya
pada demokrasi rakyat
2
b. Mengulas kaitan politis di balik UU MD3 dan pengesahan UU
pilkada dengan anggota para anggota Legislatif yang pro dan
kontra
c. Memberikan gambaran secara luas bagaimana suatu sistem
perumusan dan revisi RUU yang itu dilakukan
d. Menguraikan apakah UU MD3 akan efektif sesuai tujuan awal
dilakukannya revisi dan pengesahan
e. Mengidenfikasi maksud dilakukan nya Rivisi pada UU MD3 yang
kemudian telah disahkan

D. Pengertian-Pengertian (Glosarium)

1. Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap


suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.Di Indonesia,
kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada
tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau
era setelah Orde Baru

2. Demokrasi (bentuk atau sistem) pemerintahan yg seluruh rakyatnya


turut serta memerintah dng perantaraan wakilnya; pemerintahan
rakyat; gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yg sama bagi semua
warga negara

3. UU (Undang-Undang) adalah Legislasi atau Undang-


undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau
unsur pemerintahan yang lainnya

4. Revisi peninjauan (pemeriksaan) kembali untuk perbaikan

5. Aklamasi pernyataan setuju secara lisan dr seluruh peserta rapat


tersebut terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara

6. Legislatif berwenang membuat undang-undang,dewan yg


berwenang membuat undang-undang

3
BAB II
PERMASALAHAN

A. Apakah yang mendasari dilakukannya revisi dan pengesahan pada


UU MD3 ?

B. Bagaimana proses revisi UU MD3 dilakukan mulai dari usulan revisi


sampai pro dan kontra setelah UU MD3 tersebut disahkan ?

C. Bagaimana pemberlakuan UU MD3 dapat mempengaruhi prospek


demokrasi kita dan Apakah UU MD3 dapat efektif sesuai tujuan
awal?

4
BAB III

PEMBAHASAN

A. Hal yang Mendasari Dilakukannya Revisi dan Pengesahan


pada UU MD3
UU MD3 adalah kependekan dari Undang-Undang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Revisi UU ini disusun untuk
membenahi pasal dan klausa UU No 27 tahun 2009 yang dianggap sudah
tidak lagi relevan.
Dalam penjelasan umum mengenai revisi UU MD3 disebutkan bahwa
tujuan disusunnya revisi UU ini adalah untuk mewujudkan lembaga
permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif dan akuntabel.
Revisi terhadap UU MD3 dianggap penting untuk
mengembangkan ketatanegaraan Indonesia.
Selain itu UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 (UU MD3 Lama) didesain
untuk memposisikan parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai
lembaga legislatif yang kokoh dan berwibawa. Namun pada taraf
implementasinya, dipandang banyak mengandung kelemahan. Parlemen
(khususnya DPR), selama 2009-2014 ini menjadi salah satu lembaga yang
paling disorot dan diberi cap buruk. Baik dalam kinerjanya maupun dalam
tingkah lakunya (banyak yang terjerat korupsi, ada pula yang melakukan
perbuatan tercela). Tak sedikit pula yang mengujinya di Mahkamah
Konstitusi. Karena itu tak mengherankan, dari tahun 2010 (padahal usianya
baru 2 tahun), telah dimasukkan RUU Revisi ttg UU 28 Tahun 2009 dalam
Prolegnas 2011 (Prolegnas Nomor 26), tahun 2012 (Prolegnas Nomor 40 )
, tahun 2013 (Prolegnas Nomor 48), dan tahun 2014 (Prolegnas Nomor 37)
untuk dilakukan perubahan.

Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang
merasa prihatin terhadap kondisi DPR yang terinjak-injak menjadi bahan

5
pergunjingan dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak
aspiratif, dan sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk
undang-undang, mereka pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu
keluar dari gunjingan masyarakat tersebut.

B. Proses revisi UU MD3 dilakukan mulai dari usulan revisi


sampai dilakukannya pengesahan serta pro dan kontra setelah
disahkannya UU MD3 tersebut

Pada 24 Oktober 2013, DPR secara resmi mengusulkan rancangan


Undang-Undang tentang perubahan Undang-Undang Nomor 27 tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (RUU
Perubahan UU MD3) mencerminkan tindakan yang jauh dari harapan
rakyat Indonesia. Tak lama kemudian sebelum disahkan 8 Juli lalu, pada
19 Mei 2014 Pansus bahkan telah mengadakan rapat dengar pendapat
dengan Kapolri tentang perubahan atas UU No 27 Tahun 2009 . Kapolri
memberikan setidaknya 3 catatan penting atas rencana perubahan yang
didiskusikan dengan Pansus:
1. Mengenai pemanggilan paksa: pada draft RUU MD3 pasal 72 ayat
(3) dijelaskan bahwa: Panggilan paksa dilaksanakan oleh pejabat
Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat Tentara Nasional
Indonesia atas permintaan DPR
2. Mengenai penyanderaan: pada UU No. 27 tahun 2009 diatur bahwa
apabila seorang pejabat tidak memenuhi panggilan yang diatur pada
ayat (3) dengan alasan yang sah, maka ia dapat disandera paling
lama 15 hari. Dalam draft RUU MD3 pasal 72 ayat (4) disebutkan
bahwa: Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan
dapat disandera paling lama 30 hari sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
3. Masih mengenai penyanderaan dalam draft RUU MD 3 pasal 72
ayat (4) kemudian diberikan penjelasan: Penyanderaan
6
dilaksanakan oleh pejabat Kepolisian Republik Indonesia atau
pejabat Tentara Nasional Indonesia atas permintaan DPR.
Keberatan Kapolri atas RUU MD3 didasarkan pada upaya POLRI untuk
menegakkan hukum sesuai dengan KUHAP dan juga upaya penegakan
Hak Asasi Manusia di Indonesia:

1. Pemanggilan seseorang melalui upaya paksa dilakukan POLRI


dalam rangka penegakan hukum sebagaimana diatur dalam hukum
acara pidana. Dalam KUHAP pasal (7) ayat 1 huruf g, dijelaskan
bahwa penyidik memiliki wewenang untuk memanggil seseorang
dalam statusnya sebagai tersangka atau saksi terkait sebuah tindak
pidana. Maka, wacana pemanggilan paksa hanya atas permintaan
DPR bertentangan dengan KUHAP.
2. Jangka waktu penyanderaan 15 hari pada UU No 27 tahun 2009
tidak memiliki dasar pertimbangan yang jelas. Kenapa seseorang
harus disandera selama itu, serta apa yang menjadi alasan
seseorang harus dihilangkan kebebasannya dalam jangka waktu
tersebut? Apalagi di draft RUU MD3 diwacanakan batas waktu
penyanderaan diperpanjang hingga 30 hari.
3. Belum diatur mekanisme bagi tersandera yang tetap tidak mau
memberikan informasi. Apakah akan ada penyanderaan lanjutan?
Atau terdakwa dibebaskan begitu saja tanpa konsekuensi hukum
apapun?
4. Belum diatur bentuk pertanggungjawaban negara apabila tersandera
terbukti tidak terkait dengan kasus yang dituduhkan. Apakah ada
kompensasi material atau non-material yang diberikan? Kepada
siapa pertanggung jawaban harus diberikan: ke parlemen secara
institusional, partai atau ke individu?
Pada tanggal 8 Juli 2014 Revisi UU MD 3 telah disahkan secara
aklamasi. Tepat satu hari sebelum pemilihan presiden 2014 RUU MD 3
telah disahkan sebagai Undang-Undang MD 3 oleh DPR. Pengesahan
berlangsung dengan cukup dramatis karena diwarnai aksi walk-out.

7
Dari 467 anggota dewan yang hadir, 12 anggota DPR dari Partai
Hanura, 19 anggota DPR dari PKB, dan 78 anggota DPR dari PDI-
P memilih walk-out untuk menunjukkan penolakannya. Anggota DPR lain
dari Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN dan PPP
memilih mengesahkan UU ini secara aklamasi.Partai-partai tersebut
tergabung dalam sebuah koalisi partai oposisi pemerintah terpilih 2014
yang menamai diri mereka Koaisi Merah Putih atau KMP.

Perbandingan Anggota DPR yang Pro dan


Kontra UU MD 3
KOALISI INDONESIA HEBAT KOALISI MERAH PUTIH (KMP)
Partai-partai yang menolak atau Partai-partai yang mendukung
menunda pengesahan UUMD3 dan mengesahkan UUMD3

PDI-P Nasdem Demokrat Gerindra


78 21 60 71

Golkar PKS
PKB Hanura
89 39
19 12
Partai yang menolak pengesahan UU MD 3 dan melakukan walk out dari sidang PAN PPP
Partai yang tergabung dalam KIH menolak UU MD3 namun tidak walk out 36 35
Partai yang anggota KMP yang mendukung pengesahan UU MD3

Partai yang tidak tergabung dalam KMP namun mendukung pengesahan UU MD3

Setelah di Sahkan slah satu partai politik yakni PDI-Perjuangan


mengajukan judicial review untuk meninjau ulang UU ini ke MK
namun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya
permohonan PDI Perjuangan terkait uji materi (judicial review) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (UU
MD3).Dalam pendapatnya, Mahkamah mengatakan permohonan pemohon
tidak tidak beralasan menurut hukum. PDI Perjuangan mendaftarkan uji
materi UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(MD3). Dalam permohonannya PDI Perjuangan mengaku telah dirugikan
tujuh pasal dalam UU tersebut. Pasal tersebut adalah Pasal 84, 97, 104,
115, 121, dan 152.. Tidak hanya partai politik, masyarakat juga mendorong
8
agar UU MD 3 ditinjau ulang. Tekanan masyarakat agar dilaksanakan
peninjauan ulang disuarakan lewat petisi ini . Hingga saat ini sudah ada
lebih dari 23.000 orang yang menyatakan dukungan terhadap peninjaun
kembali UU MD3.
Saat ini, setidaknya ada 5 kelompok yang mengajukan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi, antara lain:
Penggugat Point Gugatan
PDIP[6] Pimpinan DPR dan alat kelengkapan dipilih
anggota DPR secara musywarah atau voting
Koalisi Masyarakat Penyidikan anggota DPR terkait pidana umum
Sipil[7] harus mendapat persetujuan tertulis Mahkamah
Kehormatan Dewan
Hak Anggota DPR untuk mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan Dapil
Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan
Negara sebagai salah satu alat kelengkapan
DPR.
Pegiat dan LSM Tidak ada jaminan keterwakilan perempuan
Perempuan[8] dalam kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan
DPR.
Boyamin Saiman Pimpinan DPRD langsung ditetapkan
dan Sutrisno[9] berdasarkan peringkat perolehan suara parpol
dalam pemilu legislatif.
DPD[10] Tidak dilibatkannnya DPD dalam proses
pembahasan RUU MD3
Berdasarkan analisa dari beberapa dokumen dan pemberitaan media
yang tersedia secara publik (sampai dengan 10 Juli 2014), revisi atas
Undang-Undang MD3 No. 27 Tahun 2009, memiliki 10 poin penting:
1. DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi
kinerja(anggotanya) dan melapor epada publik.
2. DPR tidak wajib lapor pengelolaan anggaran keuangan pada publik
di lapotran kinerja tahunan.
9
3. DPR masih mempertahankan rapat-rapat nya berlangsung tertutup.
4. Kewenangan MPR ditingkatkan dan anggaran bengkak mainly untuk
kepentingan sosialisasi.
5. Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR yang tidk konsisten (pasal
28)dan melanggar prinsip keterwakilan.
6. Dihapusnya ketentuan Keterwakilan Perempuan padahal jumlahnya
di DPR turun terus.
7. Proses penyelidikan DPR untuk pidana tertentu perlu
persetujuanMAhkamah Kehormatan.
8. Butuh 30 hari izin untuk menyidik PR bisa dipakai untuk
menghilangkan bukti atau lari.
9. Hilangnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara(BAKN) dalam alat
kelengkapan DPR .
10. DPR bisa usul program pembangunan dapil tanpa penjelasan yang
trans[aran dan akuntabel.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 tengah
melakukan kajian terkait potensi kerugian yang disebabkan dari
pengesahan UU tersebut. Tim koalisi menilai, dalam UU MD3 yang baru
disahkan pada 8 Juli 2014 itu, banyak pasal yang dianggapmemberikan
kewenangan terlalu luas kepada DPR. Salah satunya ialah masalah
penyidikan perkara hukum harus mengantongi izin terlebih dahulu dari
Mahkamah Kehormatan DPR sebelum memeriksa anggota dewan.
Selain itu, koalisi itu juga menyoroti munculnya pasal yang
memberikan hak kepada anggota DPR alokasi anggaran layaknya dana
aspiras. Hal ini muncul dalam pasal 80 huruf J UU MD3 dimana anggota
dewan berhak mengajukan usul pembangunan di daerah pemilihannya dan
berhak mendapatkan anggaran atas usulan itu.
Di tengah-tengah pihak yang kontra akan revisi ada sebagian pihak yang
pro dan mendukung sepeuhnya revisi UUMD3 karena dianggap dapat
memberikan dampak positif bagi perkembanagn sistem ketatanegaraan di
masa mendatang

10
Fraksi PKS DPR RI meyakini dalam revisi UU MD3 telah sesuai aturan
termasuk teknis pemilihan posisi pimpinan DPR
Partai Keadilan Sejahtera tetap meyakini semua pasal dalam Undang-
Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau UU MD3 konstitusional. Tak ada
pasal yang melanggar termasuk posisi pimpinan DPR.
Ketua Fraksi PKS DPR RI Hidayat Nur Wahid mengaku sangat
menghormati apapun putusan MK nanti atas uji materi UU MD3.
Menurutnya sudah kewenangan MK menguji sengketa atau gugatan produk
undang-undang yang diajukan.
Ketua DPR Marzuki Alie tidak setuju jika pasal dalam UU MD3 yang
menyebutkan bahwa pemanggilan anggota DPR harus melalui
persetujuan mahkamah kehormatan dianggap melindungi pelaku korupsi
Ketua DPR Marzuki Alie tidak setuju jika Undang-Undang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (MD3) dianggap bentuk melindungi pelaku korupsi seperti
yang dikatakan Ketua KPK Abraham Samad . Menurut Marzuki, tidak ada
aturan yang menyebut jika KPK harus meminta izin terlebih dahulu kepada
presiden sebelum KPK memanggil anggota DPR.
Marzuki menjelaskan, pasal tentang pemanggilan harus izin terlebih dahulu
agar KPK tidak bisa seenaknya mengobok-obok lembaga DPR. Sebab,
tidak ada satu lembaga pun yang punya kewenangan lebih kuat.
Wakil Ketua Majelis Tinggi Demokrat ini menekankan, KPK tak bisa panggil
Ketua DPR begitu saja. Kecuali, jika tangkap tangan, atau menangkap
karena sudah ada dua alat bukti, itu bisa saja.
Seperti diketahui, dalam Pasal 254 UUMD3, penyidik hanya boleh
memeriksa anggota DPR jika berstatus tersangka bukan saksi atau pihak
yang dimintai keterangan dalam penyelidikan.

C. Pemberlakuan UU MD3 akan mempengaruhi prospek


demokrasi kita
Demokrasi menekankan pada pentingnya check and balance di seluruh
institusi negara. Di Indonesia berjalannya check and balance bisa dilihat
dari tidak adanya monopoli wewenang dari sebuah institusi. Namun revisi
11
UU MD3 justru kembali meletakkan seluruh kuasa pada tangan eksekutif
dan legislatif. Ada 3 point penting yang betentangan atau tidak sejalan
dengan sistem domokrasi yang sudah dijalan kan di awal masa reformasi
hingga sekarang yaitu:

Pemanggilan anggota dewan harus seizin presiden dan revisi pada pasal
72 ayat (3) dan (4) mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan yang
harus dilakukan atas permintaan DPR tidak mencerminkan komitmen untuk
mewujudkan pemerintahan yang adil dan bersih. Pejabat seakan
mendapatkan imunitas dari upaya penegakan hukum.

Dalam beberapa pasal juga menyebutkan bahwa pimpinan DPR tidak lagi
dipilih berdasarkan partai pemenang pemilu namun dipilih berdasarkan
suara terbanyak dengan dilakukannya voting oleh anggota-anggota DPR
dari hasil voting tersebut terpilihlah politisi partai golkar Setya Novanto
sebagai ketua DPR periode 2014 2019

Revisi UU MD3 dalam pasal 72 ayat 7a dan 7b juga menyebutkan


dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan
perempuan, khususnya terkait dengan Alat Kelengkapan DPR (AKD).
(Menurut pernyataan Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014,
dan betul tidak ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi Undang-Undang
MD3 versi 10 Juli 2014.) Hal ini tentu akan memberikan limit pada fungsi
dan keterwakilan perempuan di dalam DPR yang bertentangan dengan
kebebasan berdemokrasi yang membrikan hak untuk dipilih dan memilih
tanpa memandang gender

Beberapa hal di atas tentunya memberikan rasa ketidakadilan pada sistem


demokrasi di legislatif yang telah berjalan selama ini hal-hal di atas
mengindikasikan adanya kepentingan politis beberapa golongan di DPR
apabila point-point tersebut tidak benar-benar di jalankan untuk
kepentingan rakyat

12
D. UU MD3 tidak dapat efektif sesuai tujuan awal
Berikut ini ulasan terkait isu-isu yang dipermasalahkan terkait dengan
keefektifan dari dilakukannya revisi UUD MD3 :

1. Isu Hak untuk Mengusulkan dan Memperjuangkan Program


Aspirasi Pembangunan Daerah Pemilihan Oleh Anggota DPR
Hak ini, terdapat dalam Pasal 80 huruf (j) bahwa Anggota DPR berhak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihannya. Hak ini muncul dengan berbagai alasan, yaitu
Sistem pemilu legislatif yang memilih langsung Anggota DPR, membuat
Caleg banyak mengumbar janji, sehingga harus dibukakan kanal terhadap
pelaksanaan janji tersebut. Sehingga hak ini sebagai respon Anggota DPR
yang sering ditagih konstituennya di daerah dalam memperjuangkan
progam pembangunan daerah.

Sebagai respon terhadap klaim eksekutif baik pusat maupun daerah terkait
program pembangunan daerah, sehingga Anggota DPR sering dianggap
tidak dapat bekerja dan merealisasikan pembangunan daerah.

Karena itu, kita dapat melihat bahwa hak ini merupakan hak yang wajar
muncul akibat sistem pemilu dan budaya masyarakat ketika bertemu
pejabat akan menagih kemampuannya memperjuangkan pembangunan
daerahnya. Apalagi, berdasarkan studi banding dengan parlemen di
Amerika Serikat, Anggota Parlemennya memiliki anggaran khusus untuk
program pembangunan.

Hak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihan ini juga


merupakan implikasi sumpah Anggota DPR yang tertuang dalam Pasal 78
UU 17 Tahun 2014 ttg MD

Hal memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili tersebut juga merupakan


kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 81 khususnya huruf (e)[11],
(i)[12] dan (j)[13]. Karena itu, secara sistematis dengan keberadaan
sumpah dan kewajiban memperjuangkan aspirasi rakyat, maka juga

13
diberikan hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan
daerah pemilihan.

Selanjutnya, hal tersebut diatur dalam Tata Tertib DPR yang disahkan
dalam Paripurna DPR Selasa, 16 September 2014. Dalam Pasal 195
disebutkan:

Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan program


pembangunan daerah pemilihan.
Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan ke
dalam program pembangunan nasional dalam APBN.
Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari
inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah
pemilihan.
Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
Anggota diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari tiap-tiap
daerah pemilihannya selama 1 (satu) menit atau setara 1 (satu) lembar
kertas A4 pada setiap rapat paripurna DPR.
Paling lambat 1 hari sebelum rapat paripurna DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan, Anggota mendaftarkan usulan
program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Sekretariat
Jenderal DPR.
Pimpinan DPR meneruskan usulan program sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada komisi terkait untuk dibahas dengan mitra kerja.
Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan
kepada Badan Anggaran untuk disinkronisasikan.
Badan Anggaran menyampaikan hasil sinkronisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) kepada komisi terkait dan selanjutnya komisi
terkait memberitahukan kepada Anggota yang mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya.

14
Anggota yang bersangkutan memberitahukan tindak lanjut usulan
program sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada konstituen di
daerah pemilihannya.

Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan


daerah tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan
negatifnya. Sisi positifnya adalah terjalinnya hubungan yang erat antara
wakil rakyat dengan rakyat di daerah pemilihannya, karena setiap aspirasi
dapat diperjuangkan menjadi program pemerintah. Namun sisi negatifnya
adalah

(1) tidak ada standar yang dipergunakan Anggota DPR untuk setiap
program yang diusulkan,

(2) sangat mungkin terjadi jual beli program termasuk pungli terhadap
masyarakat yang mengajukan program. Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa
berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat bagi pembangunan
bangsa.

Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3
cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing
kewenangan. Maka kewenangan membentuk program pembangunan
adalah kewenangan eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan
program ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif
mencampuri urusan kekuasaan eksekutif.

Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi,
pengawasan dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya
(memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan APBN),
kemudian dijadikan pertimbangan atau bahkan menekan eksekutif
sebagai bargaining position untuk mengakomodir usul program
pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat disebut juga sebagai
penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen adalah hak
untuk memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap

15
rasionalitas APBN yang diajukan pemerintah, bukan karena belum
diakomodirnya usulan program pembangunan dari Anggota DPR.
Selayaknya, memperjuangkan program pembangunan itu di eksekutif
melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat
desa, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional. Kekuasaan DPR
harusnya dibatasi pada koridor-koridor pemisahan kekuasaan, sehingga
dapat dihindarkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.

2. Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR

Pasal 224

(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena


pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat
DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap,
tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang
semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau
anggota DPR.

(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,


pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam
rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta
wewenang dan tugas DPR.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam
hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah
disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang
dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang


diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas

16
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan


putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan
pemanggilan keterangan tersebut.

(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak


memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat
pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki
kekuatan hukum/batal demi hukum.

Terkait dengan Imunitas ini, dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3, diatur
dalam Bab II Paragraf 6, Pasal 224 yang terdiri dari 7 Ayat

Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini,
maka secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar.
Karena, selaku anggota parlemen yang tugas utama berbicara (parle =
bicara), maka selayaknya tugas berbicara tersebut dilindungi undang-
undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat pernyataan,
pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak boleh
sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal
pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden /
Wakil Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian
dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara
hukum.

Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang


Penyidikan Pasal 245:

17
Pasal 245

(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap


anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga
puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan
permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
anggota DPR:

tertangkap tangan melakukan tindak pidana;


disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan
bukti permulaan yang cukup; atau
disangka melakukan tindak pidana khusus.

Inilah yang menjadi permasalahan. Dan ini bukan terkait dengan imunitas,
melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga
melakukan tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan
dalam penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan. Disini terdapat perlakuan istimewa yang dianggap
bertentangan dengan prinsip hukum equalitiy before the law/ persamaan
dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu kiranya
membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.

Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle)


merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM
dan dianut pula dalam UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa semua
warga harus mendapat perlindungan yang sama dalam hukum tidak boleh
18
ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini. Prof.
Mardjono mengatakan kata kuncinya adalah perlindungan. Pendapat
yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa persamaan yang dimaksud
adalah untuk perlakuan. Perbedaan kata kunci ini dapat membawa
kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.
Dengan kata-kunci perlindungan, maka yang dituju adalah perintah
kepada negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama
adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan
masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini
mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap
kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya
diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas.
Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.

Namun, kalau dipergunakan kata-kunci perlakuan, maka penafsiran yang


berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada
negara/pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum
antara warganya. Dan dalam masyarakat yang terstruktur dalam kelas,
maka ini mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada
anggota kelas tertentu. Khususnya dalam beberapa kasus bahwa kelas
pejabat Negara dan/atau kelas orang kaya mendapat perlakuan
khusus/istimewa dalam proses peradilan pidana. Diskriminasi yang dilarang
di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.

Karena itu, kita Prof. Mardjono menganalisis terhadap persoalan Pasal 245
dalam ayat (1) mengecualikan Anggota DPR dari prosedur KUHAP dalam
proses penyidikan, karena penyidik memerlukan izin terlebih dahulu dari
Mahkamah Kehormatan Dewan(MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan
tata-cara melaksanakan hak-istimewa anggota DPR itu.
Apakah ini bertentangan dengan asas persamaan dalam hukum?
Dijawab Ya, kalau asas tersebut ditafsirkan sebagai perlakuan, dan
pasal ini ditafsirkan sebagai diskriminasi yang menguntungkan anggota
DPR. Tetapi dapat juga dijawab Tidak, kalau asas tersebut

19
ditafsirkan perlindungan, karena tidak ada diskriminasi yang
merugikan kelompok non-anggota DPR.

Lebih lanjut, Prof Mardjono mengatakan:

Suara protes mengkaitkan ini juga dengan kemungkinan tersangka


menghilangkan barang-bukti, menghalangi penyidikan, terlalu dicari-cari
sebagai alasan. Pendapat yang mengatakan ini bertentangan dengan asas
peradilan cepat, sederhana, biaya ringan juga, menurut saya, tidak tepat.
Karena asas terakhir ini ditujukan untuk menguntungkan/melindungi
seorang tersangka, agar penyidik jangan mengulur-waktu perkara.

Dengan Pasal 245, memang tersangka/anggota DPR lebih beruntung,


karena kasusnya akan dinilai dahulu oleh MKD (apakah cukup ditangani
secara internal, melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani
oleh Penyidik). Pada dasarnya setiap Organisasi Profesi (Dokter, Advokat,
Akuntan,Psikolog, dan lain-lain) mengatur demikian untuk anggota
profesinya. Mengapa kita harus curiga untuk Anggota DPR?

Pertanyaan sekarang adalah apakah hak istimewa (prerogative right) ini


perlu atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Kalau kita mengakui
bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang mempersonifikasikan
kedaulatan rakyat, maka perlakuan istimewa ini, adalah sudah
sepantasnya kita berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan menurut
saya kita juga tidak ingin anggota-anggotanya dapat begitu saja dipangil
oleh Penyidik untuk pelangaran hukum yang tidak-serius. Dan bukankah
ayat (3) sudah menyempitkan/membatasi hak istimewa ini, dengan tiga
perkecualian atas hak-istimewa dalam ayat (1)
Berbeda halnya dengan pendapat dari Koalisi Masyarakat Sipil yang
mengajukan protes terhadap keberadaan Pasal 245 ini, karena
menganggap adanya perlakuan yang berbeda kepada Anggota DPR
dalam penyidikan tindak pidana. Setelah disahkan menjadi undang-
undang, Koaliasi Masyarakat Sipil pun mengajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi, dengan Nomor Perkara 76 dan 83/PUU-XII/2014.

20
Dalam pandangannya, Koalisi Masyarakat Sipil mempermasalahkan
keberadaan Pasal 245 ini, dengan mengatakan bertentangan dengan
prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bahkan
sudah ada Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menyebutkan
keberadaan Pasal yang mengharuskan izin dari Presiden dalam Proses
Penyidikan (Kepala Daerah), menghambat proses peradilan dan secara
tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.
Dengan melihat analisis-analisis tersebut, maka kita dapat melihat dua
pemahaman yang berbeda dalam melihat prinsip persamaan dihadapan
hukum. Secara psikologis, sebenarnya kita bisa melihat dan merasakan,
mengapa Anggota DPR memberikan perlindungan atau perlakuan
khusus untuk mereka, yaitu agar tidak mudah diproses pidana dalam
berbagai kasus pidana. Dari aspek sikap, masih banyak anggota DPR yang
bertindak sok berkuasa sehingga terkadang berlaku seenaknya. Doktrin
power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely dari Lord Acton,
kiranya dapat menjadi pertimbangan kemungkinan penyalahgunaan
kekuasaan. Karena itu secara pribadi saya melihat Pasal 245 ini potensial
disalahgunakan DPR dan Anggotanya untuk berlaku seenaknya, sehingga
layak untuk didukung dihapuskan.

3. Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)


Pada UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama), BAKN merupakan
salah satu alat kelengkapan DPR (diatur dalam Pasal 110-116). BAKN
bertugas:
1. Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang
disampaikan DPR;
2. Menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
kepada komisi;
3. Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil
pemerikasaan BPK atas permintaan komisi; dan
4. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan
tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
21
Dengan melihat tugas tersebut, maka BAKN dibuat untuk mempertajam
fungsi pengawasan DPR khususnya dalam pengelolaan keuangan negara.
Namun, berdasarkan evaluasi Pansus MD3, dimana ada keinginan besar
supaya komisi lebih berdaya,[16]sehingga BAKN dihapuskan dan
memberikan kewenangan lebih kepada Komisi, yang tersebut dalam Pasal
98 Ayat (3) UU MD3 Baru:
(3) Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:
1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-
undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
2. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan
dengan ruang lingkup tugasnya;
3. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan
tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan
berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
4. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
5. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.

Dengan demikian, komisi diberikan tugas untuk memperdalam setiap


laporan hasil pemeriksaan BPK, yang kemudian dijadikan bahan untuk
melakukan evaluasi kinerja pemerintahan. Agar berdaya, maka hasil rapat
kerja komisi atau rapat gabungan dengan pemerintah tersebut bersifat
mengikat dan wajib dilaksanakan pemerintah. Apabila tidak dilaksanakan,
maka komisi dapat mengusulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket,
hak menyatakan pendapat, atau hak anggota mengajukan pertanyaan
sesuai peraturan perundang-undangan. Pejabat pemerintah yang tidak
menjalankan hasil rapat tersebut dapat direkomendasikan diberikan sanksi
kepada presiden.

Pengaturan mengikatnya hasil rapat kerja komisi tersebut yang menjadi


pembeda dengan yang diatur dalam UU MD3 lama. Hal inilah yang menjadi
salah satu semangat Revisi UU MD3. Karena itu, secara rasional,
penghapusan BAKN dapatlah diterima. Namun demikian, patut untuk terus

22
dipantau dan diawasi, jangan sampai komisi tidak fokus dalam
mempertajam analisis pengelolaan keuangan negara, akibat
dihapuskannya BAKN tersebut. Setiap komisi harus membentuk Panitia
Kerja yang fokus membahas pengelolaan akuntabilitas keuangan negara
untuk kemudian dibawa ke Komisi dan dibahas dalam rapat pengawasan.
Dari aspek badan penunjang keahlian, semestinya dibentuk sebuah badan
yang berisikan pakar dan professional dibawah DPR sebagai Pusat
Pengkajian dan Analisis APBN serta Pengelolaan Akuntabilitas Keuangan
Negara, sebagai contoh di Amerika Serikat mempunyai Congressional
Budget Office (CBo).

4 Turunnya Angka Kuorum Pengambilan Keputusan DPR Dalam


Hal Hak Menyatakan Pendapat
Turunnya angka kuorum pengambilan keputusan DPR dalam hal Hak
Menyatakan Pendapat (HMP) terdapat dalam Pasal 210 Ayat (3) UU MD3
Baru sebagai Perubahan Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama.

Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru

Usul sebagaimana dimaksud pada Usul sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) menjadi hak menyatakan ayat (1) menjadi hak menyatakan
pendapat DPR apabila mendapatkan pendapat DPR apabila mendapatkan
persetujuan dari rapat paripurna persetujuan dari rapat paripurna
DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3
(tiga per empat) dari jumlah anggota (dua per tiga) dari jumlah anggota
DPR dan keputusan diambil dengan DPR dan keputusan diambil dengan
persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga persetujuan paling sedikit 2/3 (dua
per empat) dari jumlah anggota DPR per tiga) dari jumlah anggota DPR
yang hadir. yang hadir.

Latar belakang turunnya angka kuorum ini adalah pengalaman DPR


Periode 2009-2014 yang kesulitan untuk melanjutkan Hasil Hak Angket
Kasus Bail Out Bank Century (yang menyatakan Bail Out Bank Century
tidak dibenarkan dan dinyatakan telah terjadi pelanggaran pidana) untuk
23
dibawa Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Untuk itu diperlukan penurunan
angka kuorum.

Apabila dicermati, dalam Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,
disebutkan Pengajuan permintaan Dewan perwakilan Rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir
dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi acuan,
mengingat untuk proses impeachment saja syaratnya 2/3 hadir dan
didukung 2/3 yang hadir, mengapa HMP harus dinaikkan menjadi hadir
dan didukung yang hadir. Jadi keberadaan syarat HMP pada UU MD3
lama sebenarnya sudah menyalahi konstitusi, oleh karena itu juga sudah
seharusnya dirubah.

Selain isu-isu tersebut, ada beberapa isu lain yang muncul, yaitu:
Pertama, minimnya ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan DPR dengan menghapus kewajiban fraksi melakukan
evaluasi kinerja anggotanya, dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya
itu. Kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik
dalam laporan kinerja tahunan sebagaimana diatur sebelumnya dalam
Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009 pun turut dihapus. DPR juga masih
akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat tertutup apabila
disetujui peserta rapat.
Kedua, soal Tren Penambahan Kewenangan MPR. Jika diamati sejak UU
No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang
disahkan pada 8 Juli 2014), ada kecenderungan penambahan kewenangan
MPR. Sebagian besar penambahan kewenangan praktis hanya untuk
kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan berdampak pada
pembengkakan anggaran. Selain itu, potensi penganggaran ganda bisa
ditemui pada pelaksanaan tugas MPR berupa penyerapan aspirasi
24
masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Mengingat anggota
MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang pada saat
bersamaan mendapatkan pula alokasi anggaran untuk kegiatan menyerap
aspirasi dari masyarakat.
Ketiga, soal Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR. Tidak konsistennya
pengaturan mekanisme pemilihan pimpinan DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota menunjukkan bahwa Pansus RUU MD3 tidak
mempunyai visi yang jelas terhadap desain kelembagaan pimpinan
lembaga legislatif. Selain itu, mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang
telah ditetapkan dalam UU MD3 yang baru merupakan daur ulang
mekanisme lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode
2004-2009 khususnya pada tahun pertama menjadi terhambat. Hal itu
disebabkan tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui Koalisi
Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan. Naskah Akademik, suatu dokumen
rujukan yang memuat asal usul atau latar belakang kenapa butuh UU MD3
yang baru, tidak pernah mencantumkan kebutuhan untuk mengubah
mekanisme pemilihan pimpinan DPR.
Keempat, soal Mahkamah Kehormatan.Dalam konteks tugas dan
wewenang, keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan
dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada
ranah kode etik, keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah
penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.

Dari isu-isu yang dipaparkan di atas terdapat banyak sekali hal-hal yang
menyangsikan keefektifan dari dilakukanya revisi pada UU MD3.Hal ini
menunjukan bahwa revisi yang dilakukan pada UU MD3 syarat dengan
kepentingan poitis sebagian anggota DPR seperti yang telah di jelaskan di
atas.Sehingga memunculkan berbagai keinginan dari masyarakat sipil dan
partai politik serta dari ormas-ormas untuk melakukan judical review ke
MK(Mahkamah konstitusi) untuk menolak membatalkan pengesahan UU
MD3 setidak nya ada 10 poin yang mendasari tidak efektifnya Naskah RUU

25
MD3 10 Jul 2014 yang membuat berbagai protes dan penolakan terjadi
yakni:

Hal-hal tersebut yang meyebabkan hasil revisi UU MD3 mencerminkan


suatu politisasi yang di tolak oleh kalangan publik dan partai karena tidak
sesuai dengan sistem yang telah berlaku selama ini.

26
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Pada dasarnya tujuan dari revisi UU MD3 adalah mewujudkan lembaga
permusyawaratan/perwakilan (DPR) yang demokratis, efektif dan akuntabel.
Revisi terhadap UU MD3 dianggap penting untuk
mengembangkan ketatanegaraan Indonesia Namun kenyataannya saat
dilakukan revisi dan pasal yang direvisi pun tidak sejalan atau mewakili tujuan
tersebut hasil revisi UU MD3 10 Juli 2014 justru lebih mengarah pada immunitas
anggota dewan dari hukum,melanggar beberapa asas demokrsi,serta
memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada DPR hal ini pun memicu
protes untuk megajukan judical review ke MK(Mahkamah Konstitusi) Protes
bersal dari berbagai kalangan baik Parpol,LSM masyrakat maupun Lembaga
legislatif lain seperti DPD.Proses revisi pun terlalu singkat dan terkesan terburu
buru untuk dengan cepat disahkan pada tanggal 8 Juli 2014 padahal pengawasan
public tengah terpusat pada pemilihan presiden proses pengesehan pun di warnai
aksi penolakan dan walk out dari beberapa partai yang kontra UU MD3.
Pelaksanaan UU MD3 akan berimbas pada melemahnya sistem check and
belence dan goyahnya kesetabilan sistem pengawasan oleh rakyat pada
demokrasi pancasila yang selama ini kita anut karena UU MD3 telah memberikan
batas pengawasan dan keikutsertaan rakyat di dalam urusan parlemen.Kerena
revisi UU MD 3 secara teknis sudah sangat melenceng dari tujuan awal dan syarat
akan kepentingan politis golongan tertentu hal ini mengindikasikan bahwa
kedudepanya UU MD 3 10 Juli 2014 tidak akan dapat efektif dijalankan sesuai
tujuan awal apalagi untuk mengutamakan kepentingan rakyat.

B. Saran
Terlepas dari saratnya kepentingan partai politik untuk menguasai DPR,
revisi UU MD3 memang sudah selayaknya ditinjau ulang. Ada sekurangnya
4 alasan kenapa peninjauan ulang penting untuk dilakukan:

27
1. Revisi UU MD 3 justru melenceng dari tujuan awalnya. Ketika anggota
DPR telah mendapatkan imunitas hukum maka pemerintahan yang
demokratis, efektif dan akuntabel tidak akan tercapai.
2. Penjelasan mengenai revisi UU MD 3 terkesan tidak terang. Dalam
beberapa pasal yang direvisi (pemanggilan harus atas ijin presiden,
pergantian cara pemilihan ketua DPR, perubahan aturan mengenai
pemanggilan paksa/penyanderaan) hanya ada keterangan Cukup
Jelas tanpa pejelasan lebih lanjut.
3. Dokumen ini adalah satu-satunya acuan bagi masyarakat awam untuk
mengawasi implikasi revisi UU MD 3. Jika penjelasannya tidak terbuka,
bagaimana masyarakat bisa memiliki kesempatan untuk menjalankan
peran sebagai watchdog?
4. Waktu pengesahan UU ini yang hanya berjarak sehari sebelum
pemilihan umum justru bisa menimbulkan spekulasi di masyarakat.
Peninjauan ulang pasca pemilu layak untuk dilakukan.

Dalam penijauan ulang atau judicial review juga harus mengedepankan


prinsip keterbukaan pada rakyat agar rakyat dapat menjalankan fungsi
pengawasannya untuk menjaga sistem check and belence tetap stabil
menghapus atau menganti pasal-pasal yang membatasi kewenangan
pengawasan rakyat seperti pasal yang mengatur rapat dan anggaran
pembangunan dapil DPR bersifat tertutup dan mengganti pasal-pasal yang
melenceng dari sistem demokrasi seperti pasal yang membatasi peran
keikutsertaan perempuan mengembalikan tradisi awal filosofi bangsa yakni
musyawarah mufakat serta menghilangkan atau meminimalisir
penggunaan sistem voting yang kita adopsi dari budaya barat karena dapat
menimbulkan perseteruan dan ketimpangan dan terbentuk kelompok
mayoritas dan minoritas yang memecah-belah. Sistem musyawarah untuk
mencapai mufakat adalah jalan terbaik untuk mengambil suatu keputusan
sama hal saat pemilihan ketua DPR sudah menjadi tradisi bahwa ketua
DPR dipilih dari partai pemenang pemilu (Partai yang memiliki wakil paling
banyak di Parlemen)

28
Dari pembahasan mengenai berbagai macam revisi UU MD3 dan
dampaknya bagi demokrasi kita. Demokrasi bukan hanya pesta yang
dilakukan 5 tahun sekali. Demokrasi harus dijaga setiap saat. Kembali ke
Orde Baru bukan pilihan buat kita semua. Menatap ke depan dengan prinsip
keterwakilan dan demokrasi yang sehat lah yang seharusnya menjadi masa
depan kita. Tunjukkan kalau masyarakat siap untuk terus mengawasi politik
yang terjadi di negeri ini. Kita bisa memberikan penilaian positif dan negatif.
Hal ini karena demokrasi partisipatif maupun delibratif belum dilakukan
secara baik oleh partai politik di lembaga perwakilan rakyat.

Bagi mahasiswa, untuk mendorong perbaikan bangsa dapat


dilakukan dengan cara, tanpa harus terjebak dalam blok-blok partai politik
yang terpolisasi. Sehingga peran mahasiswa sebagai agent of change, dan
agent of control sosial dapat dilakukan dengan baik.

29
DAFTAR PUSAKA

http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3143/1/pro.kontra.uu.md3

http://news.metrotvnews.com/topic/2914

http://www.change.org/p/tolak-revisi-ruu-md3-ajukan-judicial-review-ke-
mahkamah-konstitusi

http://news.okezone.com/read/2014/09/29/339/1045933/mk-tolak-
gugatan-uu-md3

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/10/12/mk-diminta-tafsirkan-uu-
md3

http://politik.news.viva.co.id/news/read/524313-pdip-resmi-gugat-revisi-uu-
md3-ke-mahkamah-konstitusi

http://nasional.kompas.com/read/2014/07/06/15292091/Revisi.UU.MD3.Di
nilai.Persulit.Anggota.DPR.Disentuh.Hukum

http://www.hipwee.com/opini/revisi-uu-md3-ancaman-untuk-demokrasi-
indonesia/

http://www.dpr.go.id/id/berita/pansus/2014/mar/05/7732/revisi-uu-md3-
untuk-perkuat-parlemen

30
31

Вам также может понравиться