Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Era Reformasi ini sistem pemerintahan Indonesia kembali dihadapkan
dengan berbagai tantangan berat berkaitan dengan kebebasan
berdemokrasi yang selama ini di agung-agung kan dan menjadi ciri khas
Orde Reformasi. Kita mungkin mengenal istilah kata hak pilih rakyat atau
dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat yakni semboyan sistem
demokrasi budaya barat yang kita anut mungkin hal-hal tersebut akan mulai
dihilangkan oleh wakil rakyat yang duduk di parlemen itu sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam UUD 1945 pasal 20 ayat 1 bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang
Hal ini lah yang menjadi dasar hukum Beberapa anggota dewan terpilih
dalam pemilu 2014 yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP)
menggagas terciptanya RUU yang megatur tentang Pemilihan umum
kepala daerah oleh DPRD hal ini tentu menjadi perbincangan hangat di
kalangan masyarakat dan menjadi perdebatan di kalangan DPR itu
sendiri,dasar dari ingin dibentuknya RUU ini adalah penghematan APBN
dalam hal ini efisiensi biaya penyelenggaran pemilu sehingga APBN dapat
lebih di dayagunakan untuk sektor pembangunan ekonomi,pendidikan dan
sektor lainnya,namun di sisi lain harus ada hal yang di korban kan yakni
pesta demokrasi rakyat untuk memilih pemimpin daerahnya dan akhirnya
karena jumlah parlemen yang tidak seimbang antara Anggota DPR yang
pro dan kontra akan RUU pilkada pada akhirnya dengan cara voting
diputuskanlah untuk mengesahkan RUU pilkada menjadi UU pilkada yang
akan segera direlisasikan setelah mendapat persetujuan presiden.
Belum usai perbincangan masalah UU pilkada,muncul kembali sebuah
gagasan yang kontoversial dari legislatif untuk merevisi RUU MD3 yang
kembali pencetusnya adalah Partai-partai yang tergabung dalam Koalisi
Merah Putih UU MD3 adalah kependekan dari Undang-Undang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
1
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Revisi UU ini disusun untuk
membenahi pasal dan klausa UU No 27 tahun 2009 yang dianggap sudah
tidak lagi relevan.
Dalam penjelasan umum mengenai revisi UU MD3 disebutkan bahwa
tujuan disusunnya revisi UU ini adalah untuk mewujudkan lembaga
permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif dan akuntabel.
Revisi terhadap UU MD3 (MPR, DPR,DPD,DPRD) dianggap penting untuk
mengembangkan ketatanegaraan Indonesia,Namun apakah benar seperti
tujuan yang di canangkan? Apakah hal ini akan ada dampak dan kaitannya
dengan demokrasi rakyat? Hal tersebut masih menjadi pertanyaan orang
banyak apakah dapat efektif dan tepat sasaran seperti tujuan awal.Tak
lama setelah gagasan tersebut muncul UU MD3 langsung dirapatkan oleh
DPR namun sama hal nya dengan UU pilkada langsung dengan cepat
tanggal 8 juli lalu revisi UU MD3 disahkan secara aklamasi. Meskipun
menuai banyak protes dan kontroversi dari masyarakat UU MD3 tetap akan
di jalan kan oleh pemerintah sama hal nya seperti UU pilkada langsung.
D. Pengertian-Pengertian (Glosarium)
3
BAB II
PERMASALAHAN
4
BAB III
PEMBAHASAN
Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang
merasa prihatin terhadap kondisi DPR yang terinjak-injak menjadi bahan
5
pergunjingan dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak
aspiratif, dan sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk
undang-undang, mereka pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu
keluar dari gunjingan masyarakat tersebut.
7
Dari 467 anggota dewan yang hadir, 12 anggota DPR dari Partai
Hanura, 19 anggota DPR dari PKB, dan 78 anggota DPR dari PDI-
P memilih walk-out untuk menunjukkan penolakannya. Anggota DPR lain
dari Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN dan PPP
memilih mengesahkan UU ini secara aklamasi.Partai-partai tersebut
tergabung dalam sebuah koalisi partai oposisi pemerintah terpilih 2014
yang menamai diri mereka Koaisi Merah Putih atau KMP.
Golkar PKS
PKB Hanura
89 39
19 12
Partai yang menolak pengesahan UU MD 3 dan melakukan walk out dari sidang PAN PPP
Partai yang tergabung dalam KIH menolak UU MD3 namun tidak walk out 36 35
Partai yang anggota KMP yang mendukung pengesahan UU MD3
Partai yang tidak tergabung dalam KMP namun mendukung pengesahan UU MD3
10
Fraksi PKS DPR RI meyakini dalam revisi UU MD3 telah sesuai aturan
termasuk teknis pemilihan posisi pimpinan DPR
Partai Keadilan Sejahtera tetap meyakini semua pasal dalam Undang-
Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau UU MD3 konstitusional. Tak ada
pasal yang melanggar termasuk posisi pimpinan DPR.
Ketua Fraksi PKS DPR RI Hidayat Nur Wahid mengaku sangat
menghormati apapun putusan MK nanti atas uji materi UU MD3.
Menurutnya sudah kewenangan MK menguji sengketa atau gugatan produk
undang-undang yang diajukan.
Ketua DPR Marzuki Alie tidak setuju jika pasal dalam UU MD3 yang
menyebutkan bahwa pemanggilan anggota DPR harus melalui
persetujuan mahkamah kehormatan dianggap melindungi pelaku korupsi
Ketua DPR Marzuki Alie tidak setuju jika Undang-Undang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (MD3) dianggap bentuk melindungi pelaku korupsi seperti
yang dikatakan Ketua KPK Abraham Samad . Menurut Marzuki, tidak ada
aturan yang menyebut jika KPK harus meminta izin terlebih dahulu kepada
presiden sebelum KPK memanggil anggota DPR.
Marzuki menjelaskan, pasal tentang pemanggilan harus izin terlebih dahulu
agar KPK tidak bisa seenaknya mengobok-obok lembaga DPR. Sebab,
tidak ada satu lembaga pun yang punya kewenangan lebih kuat.
Wakil Ketua Majelis Tinggi Demokrat ini menekankan, KPK tak bisa panggil
Ketua DPR begitu saja. Kecuali, jika tangkap tangan, atau menangkap
karena sudah ada dua alat bukti, itu bisa saja.
Seperti diketahui, dalam Pasal 254 UUMD3, penyidik hanya boleh
memeriksa anggota DPR jika berstatus tersangka bukan saksi atau pihak
yang dimintai keterangan dalam penyelidikan.
Pemanggilan anggota dewan harus seizin presiden dan revisi pada pasal
72 ayat (3) dan (4) mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan yang
harus dilakukan atas permintaan DPR tidak mencerminkan komitmen untuk
mewujudkan pemerintahan yang adil dan bersih. Pejabat seakan
mendapatkan imunitas dari upaya penegakan hukum.
Dalam beberapa pasal juga menyebutkan bahwa pimpinan DPR tidak lagi
dipilih berdasarkan partai pemenang pemilu namun dipilih berdasarkan
suara terbanyak dengan dilakukannya voting oleh anggota-anggota DPR
dari hasil voting tersebut terpilihlah politisi partai golkar Setya Novanto
sebagai ketua DPR periode 2014 2019
12
D. UU MD3 tidak dapat efektif sesuai tujuan awal
Berikut ini ulasan terkait isu-isu yang dipermasalahkan terkait dengan
keefektifan dari dilakukannya revisi UUD MD3 :
Sebagai respon terhadap klaim eksekutif baik pusat maupun daerah terkait
program pembangunan daerah, sehingga Anggota DPR sering dianggap
tidak dapat bekerja dan merealisasikan pembangunan daerah.
Karena itu, kita dapat melihat bahwa hak ini merupakan hak yang wajar
muncul akibat sistem pemilu dan budaya masyarakat ketika bertemu
pejabat akan menagih kemampuannya memperjuangkan pembangunan
daerahnya. Apalagi, berdasarkan studi banding dengan parlemen di
Amerika Serikat, Anggota Parlemennya memiliki anggaran khusus untuk
program pembangunan.
13
diberikan hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan
daerah pemilihan.
Selanjutnya, hal tersebut diatur dalam Tata Tertib DPR yang disahkan
dalam Paripurna DPR Selasa, 16 September 2014. Dalam Pasal 195
disebutkan:
14
Anggota yang bersangkutan memberitahukan tindak lanjut usulan
program sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada konstituen di
daerah pemilihannya.
(1) tidak ada standar yang dipergunakan Anggota DPR untuk setiap
program yang diusulkan,
(2) sangat mungkin terjadi jual beli program termasuk pungli terhadap
masyarakat yang mengajukan program. Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa
berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat bagi pembangunan
bangsa.
Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3
cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing
kewenangan. Maka kewenangan membentuk program pembangunan
adalah kewenangan eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan
program ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif
mencampuri urusan kekuasaan eksekutif.
Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi,
pengawasan dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya
(memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan APBN),
kemudian dijadikan pertimbangan atau bahkan menekan eksekutif
sebagai bargaining position untuk mengakomodir usul program
pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat disebut juga sebagai
penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen adalah hak
untuk memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap
15
rasionalitas APBN yang diajukan pemerintah, bukan karena belum
diakomodirnya usulan program pembangunan dari Anggota DPR.
Selayaknya, memperjuangkan program pembangunan itu di eksekutif
melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat
desa, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional. Kekuasaan DPR
harusnya dibatasi pada koridor-koridor pemisahan kekuasaan, sehingga
dapat dihindarkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pasal 224
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap,
tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang
semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau
anggota DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam
hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah
disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang
dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
16
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Terkait dengan Imunitas ini, dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3, diatur
dalam Bab II Paragraf 6, Pasal 224 yang terdiri dari 7 Ayat
Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini,
maka secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar.
Karena, selaku anggota parlemen yang tugas utama berbicara (parle =
bicara), maka selayaknya tugas berbicara tersebut dilindungi undang-
undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat pernyataan,
pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak boleh
sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal
pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden /
Wakil Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian
dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara
hukum.
17
Pasal 245
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga
puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan
permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
anggota DPR:
Inilah yang menjadi permasalahan. Dan ini bukan terkait dengan imunitas,
melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga
melakukan tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan
dalam penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan. Disini terdapat perlakuan istimewa yang dianggap
bertentangan dengan prinsip hukum equalitiy before the law/ persamaan
dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu kiranya
membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.
Karena itu, kita Prof. Mardjono menganalisis terhadap persoalan Pasal 245
dalam ayat (1) mengecualikan Anggota DPR dari prosedur KUHAP dalam
proses penyidikan, karena penyidik memerlukan izin terlebih dahulu dari
Mahkamah Kehormatan Dewan(MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan
tata-cara melaksanakan hak-istimewa anggota DPR itu.
Apakah ini bertentangan dengan asas persamaan dalam hukum?
Dijawab Ya, kalau asas tersebut ditafsirkan sebagai perlakuan, dan
pasal ini ditafsirkan sebagai diskriminasi yang menguntungkan anggota
DPR. Tetapi dapat juga dijawab Tidak, kalau asas tersebut
19
ditafsirkan perlindungan, karena tidak ada diskriminasi yang
merugikan kelompok non-anggota DPR.
20
Dalam pandangannya, Koalisi Masyarakat Sipil mempermasalahkan
keberadaan Pasal 245 ini, dengan mengatakan bertentangan dengan
prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bahkan
sudah ada Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menyebutkan
keberadaan Pasal yang mengharuskan izin dari Presiden dalam Proses
Penyidikan (Kepala Daerah), menghambat proses peradilan dan secara
tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.
Dengan melihat analisis-analisis tersebut, maka kita dapat melihat dua
pemahaman yang berbeda dalam melihat prinsip persamaan dihadapan
hukum. Secara psikologis, sebenarnya kita bisa melihat dan merasakan,
mengapa Anggota DPR memberikan perlindungan atau perlakuan
khusus untuk mereka, yaitu agar tidak mudah diproses pidana dalam
berbagai kasus pidana. Dari aspek sikap, masih banyak anggota DPR yang
bertindak sok berkuasa sehingga terkadang berlaku seenaknya. Doktrin
power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely dari Lord Acton,
kiranya dapat menjadi pertimbangan kemungkinan penyalahgunaan
kekuasaan. Karena itu secara pribadi saya melihat Pasal 245 ini potensial
disalahgunakan DPR dan Anggotanya untuk berlaku seenaknya, sehingga
layak untuk didukung dihapuskan.
22
dipantau dan diawasi, jangan sampai komisi tidak fokus dalam
mempertajam analisis pengelolaan keuangan negara, akibat
dihapuskannya BAKN tersebut. Setiap komisi harus membentuk Panitia
Kerja yang fokus membahas pengelolaan akuntabilitas keuangan negara
untuk kemudian dibawa ke Komisi dan dibahas dalam rapat pengawasan.
Dari aspek badan penunjang keahlian, semestinya dibentuk sebuah badan
yang berisikan pakar dan professional dibawah DPR sebagai Pusat
Pengkajian dan Analisis APBN serta Pengelolaan Akuntabilitas Keuangan
Negara, sebagai contoh di Amerika Serikat mempunyai Congressional
Budget Office (CBo).
Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru
Apabila dicermati, dalam Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,
disebutkan Pengajuan permintaan Dewan perwakilan Rakyat kepada
Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir
dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi acuan,
mengingat untuk proses impeachment saja syaratnya 2/3 hadir dan
didukung 2/3 yang hadir, mengapa HMP harus dinaikkan menjadi hadir
dan didukung yang hadir. Jadi keberadaan syarat HMP pada UU MD3
lama sebenarnya sudah menyalahi konstitusi, oleh karena itu juga sudah
seharusnya dirubah.
Selain isu-isu tersebut, ada beberapa isu lain yang muncul, yaitu:
Pertama, minimnya ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan DPR dengan menghapus kewajiban fraksi melakukan
evaluasi kinerja anggotanya, dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya
itu. Kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik
dalam laporan kinerja tahunan sebagaimana diatur sebelumnya dalam
Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009 pun turut dihapus. DPR juga masih
akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat tertutup apabila
disetujui peserta rapat.
Kedua, soal Tren Penambahan Kewenangan MPR. Jika diamati sejak UU
No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang
disahkan pada 8 Juli 2014), ada kecenderungan penambahan kewenangan
MPR. Sebagian besar penambahan kewenangan praktis hanya untuk
kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan berdampak pada
pembengkakan anggaran. Selain itu, potensi penganggaran ganda bisa
ditemui pada pelaksanaan tugas MPR berupa penyerapan aspirasi
24
masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Mengingat anggota
MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang pada saat
bersamaan mendapatkan pula alokasi anggaran untuk kegiatan menyerap
aspirasi dari masyarakat.
Ketiga, soal Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR. Tidak konsistennya
pengaturan mekanisme pemilihan pimpinan DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota menunjukkan bahwa Pansus RUU MD3 tidak
mempunyai visi yang jelas terhadap desain kelembagaan pimpinan
lembaga legislatif. Selain itu, mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang
telah ditetapkan dalam UU MD3 yang baru merupakan daur ulang
mekanisme lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode
2004-2009 khususnya pada tahun pertama menjadi terhambat. Hal itu
disebabkan tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui Koalisi
Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan. Naskah Akademik, suatu dokumen
rujukan yang memuat asal usul atau latar belakang kenapa butuh UU MD3
yang baru, tidak pernah mencantumkan kebutuhan untuk mengubah
mekanisme pemilihan pimpinan DPR.
Keempat, soal Mahkamah Kehormatan.Dalam konteks tugas dan
wewenang, keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan
dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada
ranah kode etik, keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah
penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.
Dari isu-isu yang dipaparkan di atas terdapat banyak sekali hal-hal yang
menyangsikan keefektifan dari dilakukanya revisi pada UU MD3.Hal ini
menunjukan bahwa revisi yang dilakukan pada UU MD3 syarat dengan
kepentingan poitis sebagian anggota DPR seperti yang telah di jelaskan di
atas.Sehingga memunculkan berbagai keinginan dari masyarakat sipil dan
partai politik serta dari ormas-ormas untuk melakukan judical review ke
MK(Mahkamah konstitusi) untuk menolak membatalkan pengesahan UU
MD3 setidak nya ada 10 poin yang mendasari tidak efektifnya Naskah RUU
25
MD3 10 Jul 2014 yang membuat berbagai protes dan penolakan terjadi
yakni:
26
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Pada dasarnya tujuan dari revisi UU MD3 adalah mewujudkan lembaga
permusyawaratan/perwakilan (DPR) yang demokratis, efektif dan akuntabel.
Revisi terhadap UU MD3 dianggap penting untuk
mengembangkan ketatanegaraan Indonesia Namun kenyataannya saat
dilakukan revisi dan pasal yang direvisi pun tidak sejalan atau mewakili tujuan
tersebut hasil revisi UU MD3 10 Juli 2014 justru lebih mengarah pada immunitas
anggota dewan dari hukum,melanggar beberapa asas demokrsi,serta
memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada DPR hal ini pun memicu
protes untuk megajukan judical review ke MK(Mahkamah Konstitusi) Protes
bersal dari berbagai kalangan baik Parpol,LSM masyrakat maupun Lembaga
legislatif lain seperti DPD.Proses revisi pun terlalu singkat dan terkesan terburu
buru untuk dengan cepat disahkan pada tanggal 8 Juli 2014 padahal pengawasan
public tengah terpusat pada pemilihan presiden proses pengesehan pun di warnai
aksi penolakan dan walk out dari beberapa partai yang kontra UU MD3.
Pelaksanaan UU MD3 akan berimbas pada melemahnya sistem check and
belence dan goyahnya kesetabilan sistem pengawasan oleh rakyat pada
demokrasi pancasila yang selama ini kita anut karena UU MD3 telah memberikan
batas pengawasan dan keikutsertaan rakyat di dalam urusan parlemen.Kerena
revisi UU MD 3 secara teknis sudah sangat melenceng dari tujuan awal dan syarat
akan kepentingan politis golongan tertentu hal ini mengindikasikan bahwa
kedudepanya UU MD 3 10 Juli 2014 tidak akan dapat efektif dijalankan sesuai
tujuan awal apalagi untuk mengutamakan kepentingan rakyat.
B. Saran
Terlepas dari saratnya kepentingan partai politik untuk menguasai DPR,
revisi UU MD3 memang sudah selayaknya ditinjau ulang. Ada sekurangnya
4 alasan kenapa peninjauan ulang penting untuk dilakukan:
27
1. Revisi UU MD 3 justru melenceng dari tujuan awalnya. Ketika anggota
DPR telah mendapatkan imunitas hukum maka pemerintahan yang
demokratis, efektif dan akuntabel tidak akan tercapai.
2. Penjelasan mengenai revisi UU MD 3 terkesan tidak terang. Dalam
beberapa pasal yang direvisi (pemanggilan harus atas ijin presiden,
pergantian cara pemilihan ketua DPR, perubahan aturan mengenai
pemanggilan paksa/penyanderaan) hanya ada keterangan Cukup
Jelas tanpa pejelasan lebih lanjut.
3. Dokumen ini adalah satu-satunya acuan bagi masyarakat awam untuk
mengawasi implikasi revisi UU MD 3. Jika penjelasannya tidak terbuka,
bagaimana masyarakat bisa memiliki kesempatan untuk menjalankan
peran sebagai watchdog?
4. Waktu pengesahan UU ini yang hanya berjarak sehari sebelum
pemilihan umum justru bisa menimbulkan spekulasi di masyarakat.
Peninjauan ulang pasca pemilu layak untuk dilakukan.
28
Dari pembahasan mengenai berbagai macam revisi UU MD3 dan
dampaknya bagi demokrasi kita. Demokrasi bukan hanya pesta yang
dilakukan 5 tahun sekali. Demokrasi harus dijaga setiap saat. Kembali ke
Orde Baru bukan pilihan buat kita semua. Menatap ke depan dengan prinsip
keterwakilan dan demokrasi yang sehat lah yang seharusnya menjadi masa
depan kita. Tunjukkan kalau masyarakat siap untuk terus mengawasi politik
yang terjadi di negeri ini. Kita bisa memberikan penilaian positif dan negatif.
Hal ini karena demokrasi partisipatif maupun delibratif belum dilakukan
secara baik oleh partai politik di lembaga perwakilan rakyat.
29
DAFTAR PUSAKA
http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3143/1/pro.kontra.uu.md3
http://news.metrotvnews.com/topic/2914
http://www.change.org/p/tolak-revisi-ruu-md3-ajukan-judicial-review-ke-
mahkamah-konstitusi
http://news.okezone.com/read/2014/09/29/339/1045933/mk-tolak-
gugatan-uu-md3
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/10/12/mk-diminta-tafsirkan-uu-
md3
http://politik.news.viva.co.id/news/read/524313-pdip-resmi-gugat-revisi-uu-
md3-ke-mahkamah-konstitusi
http://nasional.kompas.com/read/2014/07/06/15292091/Revisi.UU.MD3.Di
nilai.Persulit.Anggota.DPR.Disentuh.Hukum
http://www.hipwee.com/opini/revisi-uu-md3-ancaman-untuk-demokrasi-
indonesia/
http://www.dpr.go.id/id/berita/pansus/2014/mar/05/7732/revisi-uu-md3-
untuk-perkuat-parlemen
30
31