Вы находитесь на странице: 1из 69

Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang masih menjadi
perhatian dunia yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB
dapat ditularkan melalui droplet dan termasuk airborne disease.1
Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2015 pada 20 High
Burden Country List, Indonesia berada pada peringkat dua dari 20 negara berada di bawah
India dengan persentase TB sebesar 10.3% atau naik satu peringkat dari tahun sebelumnya.
Ditingkat global diperkirakan terdapat 9.600.000 kasus TB baru dengan angka kematian
mencapai 1.500.000. Menurut WHO pada tahun 2014, estimasi prevalensi kasus TB di
Indonesia mencapai 1,000,000 kasus dengan jumlah kematian akibat TB diperkirakan
110,000 kematian per tahunnya. Apabila TB tidak diobati maka setelah lima tahun sekitar
50% dari penderita TB akan meninggal, 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi
dan 25% menjadi kasus kronik dan tetap menular.1,2
Penelitian ini dilakukan dikarenakan pada penelitian sebelumnya hanya sebagian kecil
dari faktor pada TB paru yang diteliti, seperti pada penelitian Girsang M dkk di Jawa Tengah
yang hanya meneliti faktor tempat tinggal dari penderita TB atau penelitian Nurjana dimana
hanya meneliti faktor usia penderita TB, sementara Dotoulong pada penelitiannya hanya
meneliti faktor umur, jenis kelamin, dan kepadatan rumah dari penderita TB saja.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Prevalensi TB di Indonesia tahun
2013 sebesar 0,4%. Lima provinsi dengan TB tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), DKI
Jakarta (0,6%), Papua (0,6%) Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%), dan Papua Barat (0,4%).3,4
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, total kasus TB di
Jakarta pada tahun 2016 mencapai 24.775 kasus. Laki-laki sebanyak 14.481 kasus dan
perempuan sebesar 10.294 kasus. Pada tahun 2015, di Jakarta Barat, angka kejadian TB paru
sebanyak 2.058 kasus, pada laki-laki sebanyak 1.302 kasus dan perempuan sebanyak 756
kasus.4 Jakarta menempati urutan kedua provinsi dengan pervalensi TB tertinggi, dimana
Angka kasus TB per 100.000 jiwa tertinggi di wilayah Jakarta Barat ditemukan di Puskesmas
Palmerah (76,5) dan Kalideres (72,3) pada tahun 2013.3
Case Fatality Rate (CFR) untuk kasus TB paru sebesar dua. Artinya ada dua orang
yang mati akibat TB paru per 100.000 penduduk di provinsi Jakarta.3 Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan

1
seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial seperti
dikucilkan oleh masyarakat.5
TB paru masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Puskesmas Kecamatan
Palmerah. Pada tahun 2013 angka kasus TB per 100.000 jiwa tertinggi di wilayah Jakarta
Barat ditemukan di Puskesmas Kecamatan Palmerah.2 Tahun 2016 sendiri terdapat total 382
kasus TB paru baru sedangkan pada tahun 2017 sejak bulan Januari hingga bulan Juni 2017
ditemukan 161 kasus baru TB paru. Oleh karena masih sedikitnya penelitian mengenai
gambaran kejadian TB paru dewasa dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Puskesmas
Kecamatan Palmerah maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Puskesmas
Kecamatan Palmerah periode Januari hingga Juni 2017.

1.2 Rumusan Masalah


1. Menurut WHO tahun 2014, estimasi prevalensi kasus TB di Indonesia mencapai
1,000,000 kasus dengan jumlah kematian akibat TB diperkirakan 110,000 kematian
per tahunnya.
2. Menurut riskesdas 2013, Jakarta menempati urutan kedua provinsi dengan prevalensi
TB tertinggi dibandingkan provinsi lainnya.
3. Berdasarkan data dari Kemenkes Republik Indonesia, total kasus TB di Jakarta pada
tahun 2016 mencapai 24.775 kasus.
4. Angka kasus TB per 100.000 jiwa tertinggi di wilayah Jakarta Barat ditemukan di
Puskesmas Kecamatan Palmerah (76,5) pada tahun 2013.
5. Case Fatality Rate (CFR) untuk kasus TB paru sebesar dua di provinsi Jakarta.
6. Penderita TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 hingga 4 bulan, di
mana penderita TB akan kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekita 20-30%.
7. Terdapat 161 kasus TB paru baru sejak Januari hingga Juni 2017 di Puskesmas
Kecamatan Palmerah
8. Masih sedikitnya penelitian mengenai gambaran kejadian TB paru dewasa dan faktor-
faktor yang mempengaruhi di Puskesmas Kecamatan Palmerah.

2
1.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran kejadian TB paru pada orang dewasa dan faktor-faktor yang
mempengaruhi di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode Januari-Agustus
2017.

I.3.2 Tujuan Khusus


a) Diketahuinya sebaran kejadian TB paru pada penderita dewasa di Puskesmas
Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.
b) Diketahuinya sebaran usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status
gizi, kontak TB, kepadatan hunian, ventilasi rumah dan pencahayaan rumah pada
penderita TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode
Januari-Agustus 2017.
c) Diketahuinya hubungan antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status
pekerjaan, status gizi, kontak TB, kepadatan hunian, ventilasi rumah, dan
pencahayaan rumah dengan kejadian TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan
Palmerah Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.

1.4 Manfaat Penelitian


I.4.1 Untuk Peneliti
a) Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti terutama mengenai
gambaran antara kejadian TB paru dengan faktor usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status pekerjaan, status gizi, kontak TB, kepadatan hunian, ventilasi
rumah, dan pencahayaan rumah pada penderita TB paru dewasa di Puskesmas
Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.
b) Penelitian ini dapat memberikan pengalaman peneliti terutama dalam bidang
penelitian klinik.
I.4.2 Untuk Institusi Pendidikan
a) Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan bagi mahasiswa fakultas
kedokteran tentang gambaran antara kejadian TB paru dengan usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status pekerjaan, status gizi, kontak TB, kepadatan hunian,
ventilasi rumah, dan pencahayaan rumah pada penderita TB paru dewasa di
Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.
I.4.3 Untuk Masyarakat

3
a) Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kejadian TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Palmerah
Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.

4
Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1. Definisi

Tuberkulosis (TB) menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah


penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).Sumber
penularan penyakit tuberkulosis adalah melalui percik renik (droplet nuclei) dahakyang
dikeluarkan oleh penderita tuberkulosis yang pemeriksaan Basil Tahan Asam nya (BTA)
positif.6Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.Namun, hal ini tidak
menyingkirkan kemungkinan penderita tuberkulosis dengan hasil pemeriksaan BTA Negative
tidak mengandung bakteri dalam dahaknya.Hal tersebut dapat terjadi oleh karena jumlah
kuman yang terkandung dalam sampel dahak yang diperiksa 5.000 bakteri/cc dahak
sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Tingkat penularan
penderita tuberkulosi BTA positif adalah 65%, penderita tuberkulosis BTA negative dengan
hasil kultur positif adalah 26%, sedangkan penderita tuberkulosis dengan hasil kultur
negativedan foto thoraks positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain
menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman.6
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB dikarenakan kemiskinan pada
berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia. Sekitar 10% pasien yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor
yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh
yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS, diabetes mellitus, dan malnutrisi (gizi buruk).
Faktor host yang mempengaruhi kejadian TB paru seperti jenis kelamin lebih banyak
ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, hal ini dikaitkan dengan perilaku laki-laki
dalam hal perilaku merokok. Selain itu juga usia mempengaruhi kejadian TB paru.
Tuberkulosis paru banyak ditemukan pada penderita usia produktif. Usia produktif
merupakan usia di mana seseorang berada pada tahap untuk bekerja/menghasilkan sesuatu
baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Sekitar 75% penderita TB paru ditemukan pada
usia produktif secara ekonomi (15-49 tahun). Pada usia tersebut apabila seseorang menderita
TB paru, maka dapat mengakibatkan individu tidak produktif lagi bahkan menjadi beban bagi

5
keluarganya.Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu
kerjanya 3-4 bulan, sehingga berdampak pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20-30%.1 Dampak sosial dari penyakit TB dapat menimbulkan stigma
masyarakat yang buruk dan dikucilkan dari masyarakat.

Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak


dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain karakteristik individu,
memburuknya kondisi sosial ekonomi, lingkungan fisik yang kurang memadai,
belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya
jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal.7

2.2. Kondisi Tuberkulosis di Indonesia

Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang menjadi


masalah kesehatan terbesar di dunia setelah HIV. Hingga saat ini Indonesia masih termasuk
salah satu negara yang menyumbangkan kasus tuberkulosis terbanyak di dunia sehingga
penyakit tuberkulosis masih menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan
(SDGs).Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2014, kasus
tuberkulosis di Indonesia mencapai 1.000.000 kasus dan jumlah kematian akibat tuberkulosis
diperkirakan 110.000 kasus setiap tahunnya.8
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1
juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun
(41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per
100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus,
dilaporkan sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara
pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700
kasus yang berasal dari 1,9% kasus TBRO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO
dari TB denganpengobatan ulang.Sedangkan data WHO 2016, pada tahun 2014, populasi
penderita TB di Indonesia sebanyak 254 juta kasus dan terdapat 1.010.000 kasus baru. Angka
insidens mencapai angka 399/100.000 penduduk dan angka mortalitas sebesar 49.5/100.000
penduduk.9Dilihat dari data tahun sebelumnya, dapat dikatakan bahwa jumlah kasus
meningkat, tetapi tingkat insiden menurun, sedangkan tingkat mortalitas meningkat.

6
Data dari hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis
TB paru oleh tenaga kesehatan adalah 0,4 persen, tidak berbeda dengan tahun 2007. Lima
provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta
(0,6%), Gorontalo (0,5%), dan Papua Barat (0,4%) (Kemenkes RI, 2013).3,4

2.3. Etiologi
Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh
Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri
tersebut diberi nama basil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru-paru kadang disebut sebagai
Koch Pulmonum (KP).10

Gambar 1. Bakteri Mikobakterium tuberkulosa

Kuman ini mempunyai ciri-ciri kuman berbentuk batang, tipis atau agak bengkok dan
bersifat aerob, berukuran 0,5-4 mikron X 0,3-0,6 mikron, memiliki granular atau tidak
bergranular, tunggal, berpasangan atau berkelompok, tidak berspora, tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipid terutama asam
mikolat. Dapat bertahan terhadap penghilangan warna dengan asam dari alkohol (BTA
positif), mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80oC, 20 menit pada suhu 60oC),
mudah mati dengan sinar matahari dan tahan hidup berbulan bulan pada suhu kamar yang
lembab.10

7
2.4. Cara Penularan

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan


kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan yang berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M.Tuberculosis biasanya secara
inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ
lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung
droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau
berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Sudah dibuktikan bahwa sosial
ekonomi yang baik, pengobatan teratur, dan pengawasan minum obat ketat berhasil
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.

Basil TB menginfeksi seseorang melalui pernapasan atau kadang melalui mulut


berupa makanan yang berasal dari hewan-hewan sakit. Sedangkan daya penularan dari
seseorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru
penderita, penyebaran dari kuman-kuman tersebut dalam udara, serta banyaknya kuman yang
dikeluarkan bersama dahak berupa droplet dan berada di udara sekitar penderita.

Penderita TB paru BTA positif mengeluarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet ini akan mengering dengan cepat dan
keadaan ini dapat tetap bertahan di udara untuk beberapa jam. Droplet yang mengandung
kuman ini masuk kedalam paru melalui saluran nafas sampai alveoli, dan terjadilah infeksi
primer. Kuman TB yang terfagositosis makrofag juga mempunyai kemampuan berkembang
biak di dalam sel sehingga dapat terjadi kerusakan pada masa ini.

Apabila keadaan host baik, maka proses penyakit akan segera diakhiri dengan
pembentukan kapsul disekitar lesi oleh elemen-elemen limfosit dan fibroblast. Sebaliknya
apabila kondisi tuan rumah buruk, maka tuberkel akan tumbuh dan berkembang ke jaringan
di sekitarnya termasuk saluran limfe, pembuluh darah, dan bronki. Dengan demikian akan
terjadi penyebaran yang luas, tuberkulosis milier atau mengenai satu organ yang jauh dari lesi
primer. Yang dimaksud lesi primer adalah daerah terbatas tempat masuknya kuman ke dalam
jaringan untuk pertama kalinya bersama nodus limfe regional.

Infeksi primer dapat berkembang menjadi beberapa kemungkinan, yaitu tetap sebagai
orang yang terinfeksi TB paru tapi tidak menjadi penderita, menjadi penderita TB paru tidak
menular karena kumannya hanya menyerang jaringan paru, tidak menjalar sampai saluran

8
pernafasan, menjadi penderita TB paru yang menular karena kumannya tidak hanya
menyerang paru saja, tetapi sampai saluran pernapasan sehingga kuman dapat keluar melalui
saluran pernapasan.

Tuberkulosis post primer (reinfeksi) terjadi apabila peradangan jaringan paru oleh
karena terjadi penularan ulang, baik secara endogen maupun eksogen, kemudian di dalam
tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tuberkulosis tersebut. Apabila host sangat
hipersensitif, maka reaksi deposisi kuman TB akan berlangsung cepat dengan proses
perkijuan yang ekstensif. Dikenal dua golongan TB paska primer yaitu TB sekunder dan TB
tertier. Tuberkulosis sekunder berjalan akut dengan manifestasi alergi yang lebih berat,
sedangkan TB tertier berjalan kronik dan produktif.

Berdasarkan cara-cara penularan tersebut maka TB paru juga dimasukan kedalam


golongan airbone disease, dengan masa inkubasi 4-12 minggu yakni mulai dari infeksi
samapai dapat menunjukan lesi pertama atau reaksi tuberkulin yang bermakna. Pada sebagian
besar orang yang telah terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi sakit TB. Untuk sementara
waktu kuman yang ada dalam tubuh dalam keadaan dormant (tidur) dan keberadaan kuman
tersebut dapat diketahui dengan tes tuberkulin. Mereka yang menjadi sakit disebut sebagai
penderita TB dan yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai resiko untuk menderita TB.10

2.5. Penemuan Penderita Tuberkulosis

Penemuan penderita bertujuan untuk mendapatkan penderita TB melalui serangkaian


kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga penderita TB, pemeriksaan fisik dan
laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien
tuberkulosis, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan
penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya penderita yang memahami
dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga
kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan
tersebut.6

Penemuan penderita merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana


penderita TB. Penemuan dan penyembuhan penderita TB menular secara bermakna akan
dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan
kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Keikutsertaan
penderita merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengendalian TB.6

9
Penemuan penderita TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak
TB dan populasi rentan. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Untuk
penjaringan terduga penderita TB dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung dengan promosi
secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat. Keterlibatan semua fasilitas
kesehatan ini dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan
pengobatan.6

Penemuan secara aktif penderita TB dapat dilakukan pada:6

1. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada
penderita dengan HIV, diabetes mellitus dan malnutrisi atau penyakit
immunosupresan.

2. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi


terjadinya penularan TB, seperti lapas/rutan, tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo.

3. Anak di bawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.

4. Kontak erat dengan pasien TB atau pasien TB yang resistan terhadap obat.

Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi penderita dengan gejala dan tanda
yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach
to Lung Health = PAL), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa
sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan penderita TB di faskes, mengurangi
terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.6

Tahap awal penemuan secara aktif penderita TB ini dilakukan dengan menjaring
mereka yang memiliki gejala utama penderita TB paru seperti batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-
gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Oleh karena itu, mengingat prevalensi TB
di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke faslitas kesehatan
masyarakat dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang terduga penderita TB

10
(terduga TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB),
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.5.1. Gejala Klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.10

1. Gejala respiratorik, berupa batuk 3 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak

ke luar. Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya

pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala

meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &

kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Gejala sistemik, berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.

2.5.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik penderita sering tidak menunjukkan kelainan apapun terutama pada
kasus kasus yang dini atau yang sudah terinfeksi secara asimtomatik.Tempat kelainan yang
paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila ada infiltrat yang agak luas, didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi bronkial. Akan didapatkan suara nafas tambahan yaitu
ronki basah dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafas
menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi akan
memberikan suara hipersonor atau timpani, dan auskultasi terdapat suara amforik.Bila
mengenai pleura, akan terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam
pernafasan. Perkusi akan pekak. Auskultasi akan terdengar suara nafas yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali.11

11
2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan.

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat


penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).12

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan. Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi
3 hari berturut-turut atau dengan cara: sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan),
dahak pagi (keesokan harinya), sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi).12

Bahan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6

cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum dikirim ke laboratorium.12

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:

2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif.

1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali

positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif bila 3 kali negatif


Mikroskopik negatif.

2.5.4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan
lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:13

-
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.

12
-
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

-
Bayangan bercak milier.

-
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:13

-
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas.

-
Kalsifikasi atau fibrotik.

-
Kompleks ranke.

-
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto thoraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif):12

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas

tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kavitas.12

2. Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.12

2.5.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan darah. Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua
sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah
satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi
tingkat penyembuhan penderita.

Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan daya tahan tubuh penderita, yaitu
dalam keadaan supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan TB.

13
Uji tuberkulin. Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi TB rendah. Di Indonesia dengan prevalensi TB yang tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar
sekali atau bula.12

2.6. Klasifikasi TB Paru

Pengelompokan pasien TB paru dapat terbagi menjadi:6

Lokasi dan anatomi penyakit.

Riwayat pengobatan sebelumnya.

Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.

Status HIV.

Menurut lokasi dan anatomi penyakit, TB dibagi menjadi 2, yaitu TB paru dan TB
ekstraparu. TB paru adalah infeksi TB yang terjadi di parenkim paru. TB milier juga
termasuk di dalam TB paru karena lesi terdapat pada jaringan paru. Sedangkan pasien dengan
TB di mediastinum maupun limfadenitis TB di rongga dada tidak termasuk karena lesi tidak
terdapat pada parenkim paru. TB ekstra paru merupakan infeksi TB yang terjadi di luar
parenkim paru. Seperti gibbus, Meningitis TB dan lain sebagainya.6

2.6.1. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Pasien baru TB

Pasien baru merupakan pasien TB yang belum pernah mendapat pengobatan sama
sekali ataupun pasien TB yang sudah mendapatkan pengobatan tetapi kurang dari 1
bulan (28 dosis).

2. Pasien yang pernah diobati TB

Pasien yang pernah diobati selama 1 bulan (28 dosis) atau lebih.

- Pasien kambuh

14
Pasien yang pernah mendapatkan pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan pemeriksaan bakteriologis atau klinis.

- Pasien yang diobati kembali setelah gagal

Pasien yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

- Pasien yang diobati kembali setelah putus obat

Pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up.

- Lain-lain

Pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.

3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

2.6.2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:6

- Mono-resisten

Resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

- Poli-resisten

Terdapat lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid dan Rifampisin secara
bersamaan.

- Multidrug resisten

Resisten terhadap Isoniazid dan Rifampisin secara bersamaan.

- Extensive drug resisten

TB multidrug resisten dan juga resisten terhadap florokuinolon dan satu jenis OAT
lini kedua jenis suntikan.

- Resisten rifampisin

2.6.3. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

- Pasien TB dengan HIV positif

15
Pasien TB dengan hasil HIV positif sebelumnya atau mendapat ART atau hasil HIV
positif saat diagnosis TB.

- Pasien TB dengan HIV negatif

Pasien TB dengan hasil HIV tes negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif saat
didiagnosis TB.

- Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui

Pasien TB tanpa ada hasil tes HIV pada saat diagnosis ditegakkan (Jika sudah ada
hasil tes maka akan mengikuti hasil tes terakhir).6

2.7. Pengobatan TB

Pengobatan TB memiliki tujuan yaitu menyembuhkan pasien dan memperbaiki


produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau
dampak buruk selanjutnya, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan penularan
TB, dan mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat. Pengobatan TB yang adekuat
harus memenuhi prinsip yaitu pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat
minimal mengandung empat macam obat, hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi.
Pemberian dosis yang tepat dan diminum secara teratur dan diawasi secara langsung oleh
PMO (Pengawas Meminum Obat) sampai selesai pengobatan. Pengobatan diberikan dalam
jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan. Pada tahap awal pengobatan diberikan setiap hari, bermaksud untuk secara
efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh
dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Tahap awal pada semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan. Pada tahap
lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih di dalam tubuh terutama
kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Pengobatan TB menggunakan paduan OAT jangka pendek selama 6 bulan yang terdiri
dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), Streptomisin (S), dan Ethambutol (E).
OAT terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pyrazinamid, dan Ethambutol. Obat-obat ini
digunakan sebagai kombinasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Rifampisin bekerja
menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan negatif. Isoniazid secara in vitro bersifat
tuberkulostatik dan tuberkulosid. Pyrazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap

16
kuman intrasel yang aktif membelah dan Mycobacterium tuberculosis. Ethambutol bekerja
menghambat sintesis metabolit sel, dan digunakan untuk menekan pertumbuhan kuman TB
yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin.6

Tabel 1. OAT Lini Pertama


Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi
hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopenia, demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
Pyrazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
gout arthritis
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan
dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopenia
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014

Pada program pengobatan TB di Indonesia paduan OAT yang tersedia ada 3 macam
yaitu kategori-1, kategori-2, kategori-3, dan sisipan (HRZE). Paduan OAT kategori-1 dan
kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet
OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien.
KDT (Kombinasi Dosis Tetap) yang memiliki keuntungan antara lain penatalaksanaan
sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal, peningkatan kepatuhan dan
penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja,
peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar,
perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit, menurunkan risiko
penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi. Paket
Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Setiap
kategori pengobatan terdiri dari 2 tahap pemberian yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan
berkala. Pada fase awal penderita minum obat setiap hari dengan pengawasan penuh
sedangkan fase intermiten penderita minum obat 3 kali seminggu.

Penggunaan OAT untuk masing-masing kategori dipilih berdasarkan:6

17
-
Kategori-1: 2(HRZE)/4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

Pasien TB paru terdiagnosis klinis.

Pasien TB ekstra paru.

Panduan obat ini terdiri atas: 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), dan Etambutol (E) diminum setiap hari diteruskan
dengan fase lanjutan atau intermiten selama 4 bulan dengan Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) tiga kali seminggu.

-
Kategori-2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

-
Pasien kambuh.

-
Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya.

-
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost-to follow up).

Paduan obat ini terdiri dari 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), dan Etambutol (E) diminum setiap hari, dan setiap
kali selesai minum obat langsung diberi suntikan Streptomisin di sarana pelayanan
kesehatan yang terdekat dengan rumah penderita. Kemudian satu bulan lagi diberikan
Paduan Sisipan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), dan
Etambutol (E) diminum setiap hari tanpa suntikan. Setelah itu diteruskan dengan fase
lanjutan atau intermiten selama 5 bulan dengan HRE diminum secara intermiten atau
1 kali dalam 2 hari atau 3 kali seminggu.

Catatan:

-
Cara melarutkan Streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg).

-
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.

18
-
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya
resistensi pada OAT lini kedua (OAT lini kedua yang digunakan terdiri dari
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,
dan PAS)

-
OAT lini kedua disediakan di Fanyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resisten obat.

-
Kategori-3: 2(HRZ)/4(HR)3

Diberikan untuk:

Penderita baru BTA negatif/Rontgen positif.

Penderita ekstra paru ringan.

Paduan obat ini terdiri dari 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z) diminum setiap hari kemudian diteruskan dengan
fase lanjutan atau intermiten selama 4 bulan dengan HR diminum 3 kali dalam
seminggu.

OAT untuk masing-masing kategori tersedia dalam bentuk kombipak yang sudah
dikemas dalam dos terpisah antara fase awal (intensif) dan fase lanjutan sehingga
memudahkan pasien dalam pemakaian obat.

Tabel 2. Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori I

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan


tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014

19
Tabel 3. Dosis panduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014

Tabel 4. Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol
Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014

Tabel 5. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT
Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014

Tabel 6. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan6


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)
Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,

20
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit/dokter spesialis
paru/fasilitas yang mampu menanganinya.

2.7.1 Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek


samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek samping
yang merugikan atau berat. Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting
untuk memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat
dapat segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin
tidak diperlukan.1

Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien untuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan
mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain hal tersebut, petugas
kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada
saat mereka datang ke fasilitas layanan kesehatan untuk mengambil obat. Efek samping yang
terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya.1

21
Tabel 7. Efek Samping OAT6
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Ringan
Tidak ada nafsu makan, H,R,Z OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
mual, sakit perut keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
sedikit makanan. Apabila keluhan semakin
hebat disertai muntah, waspada efek samping
berat dan segera rujuk ke dokter

Nyeri sendi Z Beri Aspirin, Paracetamol atau obat anti


radang non steroid

Kesemutan s/d rasa terbakar H Beri vitamin B6 (Piridoxin) 50-75 mg per


di telapak kaki atau tangan hari

Warna kemerahan pada air R Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi
seni (urine) obat penawar tapi perlu penjelasan kepada
pasien

Flu sindrom (demam, R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi


menggigil, lemas, sakit intermiten setiap hari
kepala, nyeri tulang)

Berat
Bercak kemerahan kulit H, R, Z, S Penatalaksanaan pada kulit
(rash) dengan atau tanpa rasa
gatal

Gangguan pendengaran S S dihentikan


(tanpa diketemukan
serumen)

Gangguan keseimbangan S S dihentikan

Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z Semua OAT dihentikan sampai ikterus


menghilang

Bingung, mual muntah Semua Semua OAT dihentikan, segera lakukan


(dicurigai terjadi gangguan jenis OAT pemeriksaan fungsi hati
fungsi hati apabila disertai
ikterus)

Gangguan penglihatan E E dihentikan

Purpura, renjatan (syok), R R dihentikan


gagal ginjal akut

Penurunan produksi urine S S dihentikan


Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014

22
2.8. Pencegahan TB

Pengendalian terbaik bagi penyakit TB ini adalah dengan pencegahan bagi


menghindar penularan. Pencegahannya adalah pada dasarnya dengan mencegah penularan
bakteri dari penderita TB yang terinfeksi dan menghilangkan atau dengan mengurangi resiko
akan kejadian penularan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan berbagai cara dan
yang paling utama adalah dengan pengobatan. Pengobatan yang diberikan adalah dengan
pemberian obat anti-TB yang benar dan diminum sesuai dengan kententuan penggunaan obat.
Selain itu, pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi atau
menghilangkan faktor risiko yaitu dengan mengupayakan kesehatan lingkungan dan perilaku,
antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi
kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah
sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang.14

Pengobatan TB secara lengkap juga memainkan peran penting dalam pencegahan TB.
Pengobatan TB harus lengkap dan teratur sesuai kategorinya dan petunjuk sampai pasien
dinyatakan sembuh. Apabila pasien berhenti menelan obat sebelum selesai pengobatan akan
berisiko untuk:

a. Penyakit tidak sembuh dan tetap menularkan ke orang lain.

b. Penyakit bertambah parah dan bisa berakibat kematian.

c. Kuman menjadi kebal atau tidak mempan terhadap OAT lini pertama.

Obat anti TB (OAT) lini pertama yang tersedia saat ini tidak dapat membunuh kuman
yang telah kebal terhadap OAT lini pertama menyebabkan pasien terpaksa membutuhkan
penanganan yang lebih mahal dan lebih lama.

Perilaku lain yang perlu dilakukan oleh penderita TB adalah menelan obat secara
teratur sampai tuntas sesuai jadwal dan aturan yang diberikan oleh dokter. Selain itu, tidak
membuang dahak di sembarang tempat dan tertutup seperti membuang dahak di dalam wadah
atau kaleng yang bertutup yang sudah diberikan air sabun. Buang dahak ke dalam lubang WC
atau timbun ke dalam tanah di tempat yang jauh dari keramaian. Menutup mulut dengan tisu
atau saputangan jika batuk, bersin atau saat tertawa. Setelah itu, tisu atau sapu tangan itu
disimpan dalam tempat yang tertutup dan dibuang di tempat sampah.15

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) antara lain:14

23
1. Menjemur alat tidur.

2. Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk. Sinar
matahari yang masuk ke dalam rumah akan dapat mematikan kuman TB.

3. Konsumsi makanan yang bergizi.

4. Tidak merokok dan minum minuman keras.

5. Melakukan olahraga secara teratur.

6. Buang air besar di jamban atau WC.

7. Mencuci tangan hingga bersih di air yang mengalir setelah selesai buang air besar,
sebelum dan sesudah makan.

8. Beristirahat cukup.

9. Tidak menggunakan peralatan mandi bersama.

2.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru

2.9.1. Usia

Riskesdas berhasil mewawancarai sebanyak 522.670 responden yang berusia


15-49 tahun, dengan angka kejadian TB paru pada usia tersebut sebesar 1.9%, dan
tertinggi ditemukan di Provinsi Papua (3.4%). Berdasarkan golongan umur produktif
diketahui bahwa kasus TB paling banyak ditemukan pada usia 21-40 tahun (61%).
Usia produktif merupakan usia di mana seseorang berada pada tahap untuk
bekerja/menghasilkan sesuatu baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Sebesar 75% penderita TB paru ditemukan pada usia yang paling produktif secara
ekonomi (15-49 tahun). Pada usia tersebut apabila seseorang menderita TB paru,
maka dapat mengakibatkan individu tidak produktif lagi bahkan menjadi beban bagi
keluarganya. Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu
kerjanya 3-4 bulan, sehingga berdampak pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20-30%.16

Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan kelompok umur, yang


berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB menurut data Riskesdas 2007 di Jawa
Tengah. Pada kelompok umur yang lebih muda antara usia 15 tahun hingga 44 tahun

24
kejadian TB lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua, dan
pada kelompok umur yang lebih tua (>=70 tahun) angka kejadian penyakit TB lebih
kecil dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih muda pada OR 1,180
(95%.CI:0,872-1,598).17

Penelitian lain mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB


paru pada masyarakat di propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 menunjukkan
pasien dengan usia muda (26-40 tahun) adalah paling tinggi dengan nilai proporsi
adalah sebanyak 28.4%, dewasa (41-64 tahun) 26.8%, kemudian remaja (15-25 tahun)
22.6%, anak-anak (5-14 tahun) 14.3% dan terendah adalah pada lansia 8.0 % daripada
41.641 responden.Umur produktif sangat berbahaya terhadap tingkat penularan
karena penderita pada umur ini penderita mudah berinteraksi dengan orang lain,
mobilitas yang tinggi dan memungkinkan untuk menularkan ke orang lain serta
lingkungan sekitar tempat tinggal.18

Penelitian lain mengatakan ada hubungan yang bermakna antara usia dengan
kejadian penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori (p= 0,012).Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indah Mahfuzhah di kota pontianak
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan penderita tuberculosis
paru. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Ogboi S.J, dkk tahun 2010 di
Nigeria yang menyatakan bahwa ada hubungan antara Umur dengan penderita
tuberculosis paru. Sedangkan Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Helda Suarni di Kota depok tahun 2009 di mana umur tidak mempuyai
hubungan dengan kejadian TB paru.19Penelitian lain di Indonesia kelompok umur 55
74 tahun mempunyai risiko yang lebih rendah (OR = 0,473) untuk menderita TB
dibandingkan dengan kelompok usia produktif (1534 tahun) dan bermakna secara
statistik (95%CI = 0,2540,880, p= 0,018).20

2.9.2. Jenis Kelamin

Menurut WHO,sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan


meninggal akibat TB paru. Dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan
lebih rentan terhadap kematian akibat TB paru akibat proses kehamilan dan
persalinan. Pada laki-laki, penyakit ini lebih tinggi, karena rokok dan minuman
alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Oktafiyana, berdasarkan jenis kelamin responden, yang paling banyak adalah

25
laki-laki sebanyak 70 orang (62,5%) karena laki-laki adalah kepala keluarga dan harus
mencari nafkah sehingga mereka kemungkinan besar terkena TB paru dari lingkungan
kerja mereka yang tidak baik, sedangkan responden berjenis kelamin perempuan
berjumlah sebanyak 42 orang (37,5%) yang kemungkinan mereka tertular penyakit
TB paru dari keluarga, kerabat dekat ataupun dari teman di lingkungan kerja mereka
bekerja.21Distribusi menurut jenis kelamin, penderita Tb paru tertinggi terjadi pada
kelompok laki-laki dibandingkan perempuan di masing-masing propinsi dengan
presentase di DKI Jakarta sebesar 60,8%, di Banten 52,0% dan di Sulawesi Utara
63,1%.22
Hasil penelitian menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kejadian penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori. Jenis
kelamin laki-laki mempunyai kemungkinan 6 kali lebih besar untuk terkena penyakit
TB dibanding jenis kelamin perempuan, dengan nilai p 0,000 (p < 0,05) dan OR 6.212
(95% Cl 2.451-15.743).19Penelitian lain mengatakan besar risiko laki-laki untuk
menderita TB 1.613kali dibandingkan dengan perempuan (95% CI = 1,0562,464, p =
0,027).19 Selain itu, variabel jenis kelamin (p=0,039, X2= 4,273) berhubungan dengan
kejadian TB paru di Sulawesi Selatan, di mana didapatkan laki-laki lebih banyak
menderita TB Paru.20

Hasil penelitian di Kabupaten Rejang Lebong yang menyatakan bahwa


menurut jenis kelamin, kejadian tuberkulosis paru sebagian besar (66%) terjadi pada
laki-laki. Sedangkan, angka prevalensi tuberkulosis dari beberapa laporan penelitian
menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin mulai terlihat pada usia 10 -16 tahun
dan tetap laki-laki menduduki peringkat yang lebih tinggi daripada perempuan. Pada
rentang usia 0 - 34 tahun, pasien tuberkulosis Paru lebih banyak ditemukan pada
perempuan. Hal ini disebabkan oleh kultur budaya patriaki yang banyak dijumpai
pada masyarakat Indonesia. Laki-laki memiliki akses kesehatan yang lebih baik
daripada perempuan. Data prevalensi penyakit tuberkulosis terbaru menunjukkan
bahwa penyakit tuberkulosis lebih banyak diderita oleh kaum laki-laki daripada
perempuan. Perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh fungsi biologi, tetapi juga
disebabkan oleh dampak dari faktor risiko dan paparan (gaya hidup seperti merokok,
pekerjaan, polusi udara dalam ruang berkaitan dengan proses memasak, dan dari
paparan industri).23

26
2.9.3. Tingkat Pendidikan

Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan.


Semakin rendah pendidikan maka ilmu pengetahuan di bidang kesehatan semakin
berkurang, baik yang menyangkut asupan makanan, penanganan keluarga yang
menderita sakit dan usaha-usaha preventif yang lainnya. Tingkat pendidikan yang
rendah dapat mempengaruhi pengetahuan di bidang kesehatan, maka secara langsung
maupun tidak lansung dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan
lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit TB
dan pada akhirnya tingginya kasus TB yang ada.24Tingkat pendidikan seseorang
mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang mengenai rumah yang memenuhi
syarat kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis paru sehingga dengan
pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan mempunyai perilaku hidup bersih dan
sehat. Tingkat pendidikan sendiri menempati factor tertinggi yang berarti kesembuhan
atau ketuntasan berobat penyakit tuberkulosis paru pada responden dengan tingkat
pendidikan yang rendah 8x untuk tidak sembuh dibandingkan dengan kesembuhan
atau ketuntasan tuberkulosis paru pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi.25

Hasil penelitian di Kota Tidore menunjukkan bahwa tingkat pendidikan


berpengaruh terhadap kejadian TB (p = 0,002). Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-
rata responden mempunyai pendidikan SMP sebanyak 51 orang (45,5%) dan SMA
sebanyak 40 orang (35,7%), di mana pada pendidikan seperti itu seharusnya mereka
tahu tentang penyakit TB paru tapi kemungkinan mereka tidak menggunakan alat
pelindung diri (APD) mereka dengan baik.26 Penelitian lain mengatakan bahwa
terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian TB paru usia produktif
di Indonesia.16

Penelitian di Sulawesi Selatan mengatakan tingkat pendidikan (p=0,001, X2=


10,311) berhubungan dengan kejadian TB paru, di mana tingkat pendidikan rendah
lebih banyak menderita TB paru yaitu 100 orang.Tingkat pendidikan paling banyak
adalah tamat SD sebanyak 27,2% (11.341 orang). Sedangkan paling rendah tamat
perguruan tinggi yaitu 5,1% (2.141 orang). Tingkat pendidikan dengan 2 kategori
yaitu: berpendidikan rendah lebih banyak 32.608 orang (78,3%) dibandingkan yang
berpendidikan tinggi hanya 9.033 orang (21,7%).20

27
Hasil Penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Paniki Bawah, didapatkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian
Tuberkulosis paru dengan nilai p value 0,400 (p<0,05) dan OR = 1,897 (95% CI =
0,614-5,862) dimana OR lebih dari angka satu yang berarti tingkat pendidikan
merupakan faktor resiko kejadian Tuberkulosis paru atau responden yang memiliki
pendidikan rendah beresiko 1,897 kali lebih besar untuk menderita penyakit
Tuberkulosis paru dibanding responden yang memiliki pendidikan tinggi tetapi karena
CI mencakup angka satu yang berarti tidak terdapat kemaknaan hubungan antara
tingkat pendidikan dengan kejadian Tuberkulosis paru.25Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiara Purba (2016) dimana didapatkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian Tuberkulosis
paru. Dan hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sumarmi (2012) bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan Tuberkulosis
paru dengan besar resiko sebesar 2,550 kali.

2.9.4. Status Pekerjaan

Berdasarkan status pekerjaan, kejadian TB paru lebih banyak pada responden


yang bekerja ( 55,0%). Menurut Smith & Moss ( 2004), jenis pekerjaan menentukan
faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu, bila pekerja bekerja di
lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan
mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan, paparan kronis udara
yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit
saluran pernafasan dan umumnya TB paru.Karekteristik pasien tuberkulosis paru di Poli
Paru RSUD Arifin Achmad Pekanbaru berdasarkan pekerjaan didapatkan terbanyak
pegawai/swasta yaitu 16 orang (22,5%).27 Hal ini kemungkinan karena faktor lingkungan
pekerjaan, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya sering berinteraksi dengan orang
lain dapat mempengaruhi tingkat penularan. Sehingga risiko untuk terpapar kuman
mycobacterium tuberculosis lebih besar. Hasil penelitian pada 60 orang pasien suspek
TB Paru di Puskesmas kamoning didapatkan responden dengan status pekerjaan
bekerja sebanyak 48 orang (80%).28
Hubungan antara penyakit TB paru erat kaitannya dengan pekerjaan. Secara
umum peningkatan angka kematian yang dipengaruhi rendahnya tingkat sosial
ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang
didasarkan pada tingkat pekerjaan. Pengaruh lingkungan kerja yang kurang baik dapat

28
menjadi penyebab timbulnya penyakit infeksi termasuk penyakit TB paru.
Lingkungan kerja yang buruk tidak pernah mendapatkan pengawasan, misalnya uap
dan gas-gas toksik yang dapat berbahaya bagi pernafasan jika terhirup dan
mencemarkan udara, debu yang dapat menjadi polutan dan juga mencemarkan udara,
suhu lingkungan yang lembab dan kotor dapat menjadi tempat berkembangnya bakteri
Mycobacterium tuberculosis, dan perilaku masyarakat yang tidak sehat seperti tidak
menjaga kebersihan diri dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan antara lingkungan kerja penderita TB paru terhadap
kejadian penyakit TB paru, hal ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian TB paru di wilayah penelitian.29

Hasil penelitian di Bandar Lampung, dari hasil uji statistik didapatkan nilai p-
value (0,00) berarti p < (0,05) artinya (Ho) ditolak, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan bermakna antara lingkungan kerja penderita TB paru
terhadap kejadian TB paru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung tahun 2015.
Adapun OR = 0,473 (0,372-0,602) dapat diketahui bahwa orang yang bekerja di
lingkungan kerja yang tidak baik mempunyai resiko 0,472 kali terkena TB paru
dibandingkan dengan orang yang bekerja di lingkungan kerja yang baik.21 Penelitian
lain juga menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pekerjaan dengan
kejadian TB pada usia produktif di Indonesia.16

Penelitian lain yang dilakukan oleh Surakhmi mendapatkan tidak ada


hubungan antara pekerjaan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas
Kertapati Palembang. Hasil yang diperoleh dari data yang dikumpulkan adalah nilai
OR sebesar 1.48 yaitu orang yang bekerja dapat meningkatkan risiko terkena TB paru
sebesar 1.5 kali (150%) dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja. Nilai P yang
diuji secara statistik adalah p-value 0.62 > a 0.05, artinya tidak ada hubungan yang
bermakna secara stistik antara pekerjaan dengan kejadian TB paru.30

2.9.5 Tingkat Pendapatan

Pendapatan banyak mempengaruhi terhadap perilaku dalam menjaga


kesehatan perindividu dan dalam keluarga. Hal ini disebakan oleh pendidikan akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang dalam mencari pengobatan, mempengaruhi
asupan makanan, mempengaruhi lingkungan tempat tanggal seperti keadaan rumah
dan bahkan kondisi pemukiman yang ditempati. Sekitar 90 % penderita tuberkulosis

29
paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Faktor
kemisikinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian tuberkulosis paru
namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan
yang rendah dengan angka kejadian TB paru.24 Keluarga yang mempunyai
pendapatan lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan
rumah tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan yang jumlah
dan kualitasnya memadai bagi keluarga mereka, serta mampu membiayai
pemeliharaan kesehatan yang mereka perlukan.16

Penelitian di Kabupaten Wonogiri menyatakan bahwa responden dengan


kondisi sosial ekonomi rendah banyak terjadi pada kelompok kasus (94,1%)
dibandingkan dengan responden pada kelompok kontrol (17,6%) dengan total kondisi
ekonomi rendah sebesar 55,9%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,001 dan
OR = 74,7, dan 95% CI = 13,9- 400.30 Hasil penelitian lain di BP4 Pati menunjukkan
proporsi tingkat pendapatan Rp 650.000,- sebesar 56,6 % lebih besar dari kelompok
bukan TB yaitu 34 %. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan dengan nilai p = 0,016, hasil kategorikal terbukti ada hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 2,536 dengan 95 %
Confidence Interval (CI) 1,155 5,568.31

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sri Marisya di wilayah kerja Puskesmas
Kabuaten Ketapang Kalimantan Barat yang mendapatkan hasil p=0.082 lebih besar
dari 0.05 dan nilai CI (0.917-2.985) dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara status ekonomi dengan kejadian TB paru di wilayah kerja tersebut.32

2.9.6 Status Gizi

Status gizi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan sebab status gizi
merupakan salah satu dari beberapa faktor penyebab terjadinya penyakit TB Paru.
Kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dan lain-lain, akan mempengaruhi daya
tahan tubuh seseorang. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan daya tahan
tubuh seseorang menjadi menurun sehingga sangat rentan terhadap penyakit TB Paru.
Ada kecenderungan responden yang memiliki IMT <18,5 kurang memperhatikan
asupan makanan yang mereka konsumsi.33Penelitian tentang gambaran status gizi
pasien TB paru ini juga telah dilakukan oleh Prof. Arsunan Arsin tahun 2012 di kota

30
Makassar terdapat paling banyak yang memiliki status gizi kurang (51,3%), dibandingkan
yang memiliki status gizi normal (40,7%) dan gizi lebih (8,0%).27
Hasil Penelitian hubungan status gizi dengan kejadian TB Paru di wilayah
kerja puskesmas putri ayu kota jambi 2014 didapatkanStatus gizi buruk pada jumlah
penderita TB Paru sebanyak 31orang (67,4%) daripada status gizi baik dengan jumlah
penderita sebanyak 14 orang (31,8%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa Faktor
status gizi mempunyai hubungan dengan kejadian TB Paru karena diperoleh p-value
0,002 (p < 0,05). Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR sebesar 4,429 (95% CI =
1,829-10,726) maksudnya adalah orang dengan status gizi buruk (IMT < 18,5)
mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB Paru sebanyak 4,429 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang status gizi baik (IMT 18,5).33
Hasil penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru
dewasa, didapatkanProporsi status gizi (IMT) kurang pada kelompok TB paru 64,2 %
lebih besar dari kelompok bukan TB 11,3 %.Keadaan status gizi dan penyakit infeksi
merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia,
penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya
tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan
gizi yang buruk ,maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan
dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun 31
Penelitian di Kota Tidore mengatakan hasil uji statistik diperoleh nilai p =
0.789 serta nilai OR=1.333 artinya p > alpha (0.005), sehingga dapat disimpulkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian TB paru.34Hasil
penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan kejadian TB paru dengan status gizi
(p = 0,003), yaitu orang yang gizi kurang/buruk mempunyai risiko terkena TB 2,101
kali lebih besar dibandingkan dengan yang gizi baik, bermakna secara statistik di
Indonesia (95% CI = 1,2003,679, p = 0,009).19Penelitian lain didapatkan hubungan
yang bermakna antara status gizi dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Andalas (p=0,001, p<0,05), odds ratio 9,412 artinya responden dengan
status gizi kurang beresiko 9,4 kali menderita TB Paru dibandingkan dengan
responden dengan status gizi normal dan atau berlebih.35

2.9.7. Status Imunisasi BCG

Imunisasi BCG ( basillus calmette guerin) merupakan imunisasi yang penting


bagi anak balita untuk mencegah penyakit TBC yang berat. Vaksin BCG merupakan

31
vaksin yang mengandung kuman TBC yang dilemahkan. Sesudah vaksinasi BCG,
kuman TB dapat masuk ke dalam tubuh, namun daya tahan tubuh yang meningkat
akan mengendalikan kuman TB. Penelitian (Simbolon, 2007) di kabupaten rejang
lebong menunjukkan bahwa orang yang tidak mendapat imunisasi BCG berisiko
sebesar 2,855 kali ( CI 95%, 1,012-8,059) lebih besar untuk terjadinya TB paru
dibandingkan orang yang mendapat imunisasi BCG. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Apriyanidi Kabupaten Donggala propinsi Sulawesi Tengah menemukan
bahwa kelompok yang tidak divaksinasi BCG mempunyai risiko 1,43 kali lebih besar
untuk menderita TB Paru dibandingkan orang yang pernah diimunisasi.Putrali dan
Gunadi, menyatakan bahwa efektifitas immunisasi BCG untuk melindungi dari semua
jenis TB adalah 37% dan untuk TB berat sebesar 66%. Hasil penelitian yang
dilakukan di India oleh Murhekar, dkk menemukan bahwa efek perlindungan vaksin
BCG pada kelompok usia 21-30 tahun lebih tinggi (63,2%) dibandingkan kelompok
usia 11- 20 tahun (51,8%).36Sejalan dengan penelitian ( Lienhardt, et al., 2005), yang
menyebutkan ada hubungan antara bekas luka/ parut imunisasi BCG dengan kejadian
TB Paru dengan nilai p-value sebesar 0.02. 37

2.9.8. Kebiasaan Merokok

Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian menghisap isinya.


Definisi merokok menurut WHO dalam Depkes tahun 2004 adalah mereka yang
merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan selama hidupnya. Merokok
merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat kronis dan obstruktif,
mulanya bronkitis dan emfisema. Efek merugikan tersebut mencakup meningkatnya
kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak. Kebiasaan merokok juga
meningkatkan TB paru sebanyak 2,2 kali.24Hasil penelitian faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian TB paru dewasa, didapatkan Proporsi mempunyai
riwayat kebiasaan merokok pada kelompok TB paru 54,7 % lebih besar dari
kelompok bukan TB 32,1 %. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 2,559 dengan 95 %
Confidence Interval (CI) 1,161 5,642, dengan nilai p = 0,019.31
Pajanan rokok akan meningkatkan resistensi saluran napas dan permeabilitas
epitel paru. Hal itu berinteraksi dengan produksi mukosilier yang akan mengganggu
kerja silia. Rokok akan mempengaruhi makrofag menurunkan responsif antigen,
meningkatkan sintesis elastase dan menurunkan produksi antiprotease. Apabila

32
dipergunakan bersama akan meningkatkan risiko perokok untuk mendapatkan infeksi
termasuk TB. Jadi insidens dan beratnya TB berhubungan dengan penggunaan rokok.

Dalam penelitian di Kota Tidore, menunjukan bahwa kebiasaan merokok


memiliki pengaruh terhadap TB dengan p-value 0,004 dengan risiko sebesar 5,60
kali.26 Penelitian lain mengatakan bahwa perokok aktif, khususnya mantan perokok
merupakan variabel yang paling dominan dengan kejadian TB pada usia produktif di
Indonesia (OR = 2,7; CI = 2,40-3,05). Hal ini menunjukkan bahwa mantan perokok
mempunyai peluang untuk terkena TB 2,7 kali dibandingkan dengan yang tidak
pernah merokok sama sekali.16

Penelitian di Sulawesi Selatan menyatakan variabel kebiasaan merokok (p=


0,002), X2= 10,077 berhubungan dengan kejadian TB Paru di mana diperoleh yang
merokok 47 orang menderita TB Paru.20

Penelitian lain di Kabupaten Wonogiri, mengatakan bahwa responden dengan


kebiasaan merokok yang kurang banyak terdapat pada responden kelompok kasus
(52,9%) dibandingkan dengan responden pada kelompok kontrol (44,1%) dengan
total kebiasaan merokok yang kurang sebanyak 48,5%. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p = 0,627, OR = 1,4, dan 95%CI = 0,55-3,7, yang menyatakan
tidak ada hubungan antara merokok dengan kejadian TB.31

2.9.9. Pencahayaan Rumah

Kuman TB dapat bertahan lama dalam suatu ruangan salah satunya


bergantung pada ketersedian pencahayaan alamiah yang mengandung ultraviolet.
Dalam ruangan yang lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari bahkan
berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang sehat ia akan menempel
pada saluran nafas dan jaringan paru dan jika daya tahan tubuh buruk orang terinfeksi
akan sakit.Hasil penelitian Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2013 diketahui bahwa
pada kasus TB paru pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat lebih banyak
dibandingkan pencahayaan rumah yang memenuhi syarat, yakni berjumlah 21
(63,6%) untuk yang tidak memenuhi syarat dan 12 (36,4%) untuk yang memenuhi
syarat.Dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p <0,05 (p=0,027) berarti
secara statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara kondisi pencahayaan

33
rumah dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Andalas. Odd Ratio pada
penelitian ini 3,500 diartikan bahwa kondisi pencahayaan rumah yang tidak
memenuhi syarat berisiko 3,5 kali lebih besar menderita TB paru dibandingkan
dengan yang memenuhi syarat.38
Sementara itu, penelitian di Kabupaten Wonogiri, pencahayaan ruangan yang
tidak memenuhi syarat banyak terdapat pada kelompok kasus (76,5%) dibandingkan
dengan responden pada kelompok kontrol (47,1%) dengan total pencahayaan ruangan
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 61,8%. Hasil uji statistik menunjukkan di mana
nilai p = 0,025, OR = 3,7, dan 95% CI = 1,3-10,3.Kuman tuberculosis dapat bertahan
hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahuntahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan
panas api, kuman mycobacterium tuberculosa akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar
matahari, rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita
tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.39
Penelitian di Kota Tidore menyatakan bahwa hasil uji statistik dari 60
responden diperoleh kelompok responden dengan hunian yang memiliki pencahayan
matahari dengan baik sebanyak 38 (63.3 %) responden, dan responden dengan
pencahayan yang kurang baik sebanyak 22 (36.7 %) respon dengan nilai p = 0.422
serta nilai OR=1.784 artinya p > alpha (0.005), sehingga dapat disimpulkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara faktor pencahayaan matahari dengan kejadian TB
paru.26

Penelitian yang dilakukan Fatimah (2008) di Kabupaten Cilacap menunjukkan


bahwa pencahayaan merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
penyakit tuberkulosis paru, dengan Proporsi pada kasus yang tidak memenuhi syarat
89,4 % dan yang memenuhi syarat ada 10,6 %. Secara statistik hasil analisa
menunjukkan nilai p = 0,003 dan OR = 4,214 dengan CI 95% = 1,653 < OR < 10,744
sehingga bermakna karena nilai p < 0,05 dengan demikian dapat dinyatakan ada
hubungan antara pencahayaan dengan kejadian tuberkulosis paru.40

2.9.10. Ventilasi Rumah

Ventilasi berfungsi membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen. Dengan


ventilasi yang baik selalu terjadi aliran udara yang terus menerus sehingga bakteri

34
tidak bertahan lama di dalam rumah. Hasil penelitian Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Andalas Tahun 2013 diketahui bahwa pada kasus TB lebih banyak terdapat ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat, yakni 18 (54,5%). Sedangkan untuk vetilasi
rumah yang memenuhi syarat pada kasus TB berjumlah 15 (45,5%). Dengan uji Chi
Square didapatkan nilai p=0,324 (>0,05), sehingga secara statistik tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di
wilayah kerja Puskesmas Andalas. Penelitian yang dilakukan Putra di Kota Solok
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi rumah dengan
kejadian TB paru.38

Penelitian yang dilakukan Fatimah (2008) di Kabupaten Cilacap didapatkan


Proporsi rumah yang luas ventilasi < 10% luas lantai lebih banyak pada kelompok
kasus (28,8%) dibanding pada kelompok kontrol (7,6%). Secara statistik hasil analisa
menunjukkan p = 0,003 dan OR = 4,932 dengan 95%CI = 1,716 < OR < 14,179
sehingga bermakna karena p < 0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa luas
ventilasi merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru atau ada hubungan antara
luas ventilasi dengan kejadian tuberkulosis paru. Rumah dengan ventilasi yang kurang
akan berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru. Ventilasi rumah berfungsi
untuk mengeluarkan udara yang tercemar (bakteri, CO2) di dalam rumah dan
menggantinya dengan udara yang segar dan bersih atau untuk sirkulasi udara tempat
masuknya cahaya ultra violet.40

Penelitian di Kabupaten Wonogiri, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat


banyak terdapat pada responden kelompok kasus (82,4%) dibandingkan dengan
responden pada kelompok kontrol (47,1%) dengan total luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 64,7%. Hasil uji statistik menunjukkan di mana nilai p =
0,005, ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian
tuberkulosis paru, OR = 5,2, dan 95% CI = 1,7-15,9.39Tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan cahaya tidak dapat masuk ke dalam rumahmengakibatkan
meningkatnya kelembaban dan suhu udara di dalam rumah, peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberculosis.39

35
Penelitian lain mengatakan bahwa kejadian TB paru pada penduduk usia 15
tahun ke atas di Sumatera banyak terjadi pada kelompok responden yang mempunyai
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat sebesar 0,57% sedangkan pada
responden dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat sebesar 0,43%. Berdasarkan
hasil analisis diperoleh nilai PR 1,314 (90% CI: 1,034- 1,670) dengan demikian
responden yang mempunyai ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat mempunyai
risiko 1,314 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan responden yang
memiliki ventilasi rumah yang memenuhi syarat.35
2.9.11. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam satu rumah tinggal berpengaruh terhadap kejadian


penyakit TB sebesar 25% dibandingkan dengan yang tidak padat sebesar 75%,
kepadatan hunian menyebabkan udara menjadi kotor, oksigen tidak mencukupi karena
saling berebut sesama keluarga, akibatnya terjadi sesak nafas, batuk dan besar
kemungkinan menjadi sakit, dan apabila ada yang membawa kuman TB, maka seisi
rumah akan tertular karena kepadatan hunian.38

Hasil penelitian di Kabupaten Wonogiri, Responden dengan kepadatan hunian


yang tidak memenuhi syarat banyak terdapat pada kelompok kontrol (5,9%)
dibanding dengan responden pada kelompok kasus (2,9%) dengan total kepadatan
hunian yang tidak memenuhi syarat sebesar (4,4%). Hasil uji statistik menunjukkan
dimana nilai p = 1,000, OR = 0,5, dan 95% CI = 0,04-5,6. Kepadatan merupakan pre-
requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit
khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat.39
Penelitian lain menyatakan tidak ada hubungan yang kuat antara kepadatan
hunian dengan kejadian penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori (p 0.79,
p>0.05).18Sementara itu, penelitian lain menunjukkan bahwa kejadian TB paru pada
penduduk usia 15 tahun ke atas di Sumatera banyak terjadi pada kelompok responden
dengan tingkat kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat sebesar 0,50%
sedangkan pada responden dengan tingkat kepadatan hunia rumah yang memenuhi
syarat sebesar 0,40%. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai PR 1,029 (90% CI :
0,798-1,327) dengan demikian responden dengan tingkat kepadatan hunian rumah
yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 1,029 kali untuk menderita TB paru
dibandingkan dengan responden dengan tingkat kepadatan hunian rumah yang

36
memenuhi syarat.41

2.9.13. Riwayat Kontak

Kontak serumah adalah riwayat seseorang kontak dengan penderita TB paru


aktif serumah/tinggal bersama secara terus-menerus. Lamanya menghirup udara yang
mengandung bakteri TB akan semakin menyebabkan banyaknya kuman yang masuk
ke paru-paru sehingga memiliki risiko untuk menderita TB paru.42Riwayat kontak
penderita dalam satu keluarga dengan anggota keluarga yang lain yang sedang
menderita TB Paru merupakan hal yang sangat penting karena kuman Mycobacterium
Tuberkulosis sebagai etiologi TB Paru adalah memiliki ukuran yang sangat kecil,
bersifat aerob dan mampu bertahan hidup dalam sputum yang kering atau ekskreta
lain dan sangat mudah menular melalui ekskresi inhalasi baik melalui nafas, batuk,
bersin ataupun berbicara (droplet infection). Sehingga adanya anggota keluarga yang
menderita TB paru aktif, maka seluruh anggota keluarga yang lain akan rentan dengan
kejadian TB paru termasuk juga anggota keluarga dekat . Riwayat kontak anggota
keluarga yang serumah dan terjadi kontak lebih dari atau sama dengan 3 bulan
berisiko untuk terjadinya TB paru terutama kontak yang berlebihan melalui
penciuman, pelukan, berbicara langsung. Hasil penelitian Rusnoto didapatkan sebesar
63,8% yang terdeteksi menderita TB paru yang berasal dari kontak serumah dengan
keluarga atau orang tua yang menderita TB paru.31

Penelitian di Kabupaten Wonogiri menyebutkan hasil analisis statistik


diperoleh hasil bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian TB adalah lama
kontak dengan penderita TB paru (OR=3.975;95%CI=1,887-8,375).43Hasil analisis
menggunakan Uji Chi-square didapatkan p value sebesar 0,494 yang artinya tidak
terdapat hubungan antara riwayat kontak serumah dengan kejadian Tuberkulosis di
wilayah kerja Puskesmas Paniki Bawah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ryana Kurniasari (2012) bahwa tidak terdapat hubungan antara
riwayat kontak penderita dalam satu rumah dengan kejadian Tuberkulosis paru. Hasil
penelitan ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka Fitriani (2013)
bahwa terdapat hubungan antara riwayat kontak penderita dengan kejadian
Tuberkulosis paru, dimana responden yang memiliki riwayat kontak penderita
beresiko 5,429 kali untuk menderita penyakit Tuberkulosis paru dibanding dengan
responden yang tidak memiliki riwayat kontak penderita.31

37
2.9.14. Pengetahuan tentang Penyakit TB Paru

Pengetahuan yang baik tentang penyakit TB paru dan pengobatannya akan


meningkatkan keteraturan penderita dibandingkan dengan penderita yang kurang akan
pengetahuannya. Oleh yang demikian, seseorang yang memiliki pengetahuan yang
baik tentang penularan penyakit TB, sumber infeksinya, risiko kejadiannya akan dapat
mencegah diri mereka dan keluarga mereka daripada penularan penyakit ini.24

Penelitian lain di Kabupaten Wonogiri, pengetahuan responden tentang TB


yang kurang, banyak terdapat pada kelompok kasus (52,9%) dibandingkan dengan
responden pada kelompok kontrol (29,4%) dengan total pengetahuan responden
tentang tuberkulosis yang kurang sebanyak 41,2%. Hasil uji statistik menunjukkan
nilai p = 0,085, OR = 2,7, dan 95% CI = 0,9-7,3.39Sementara itu, penelitian di BP4
Pati mengatakan proporsi tingkat pengetahuan kurang pada kelompok TB paru 90,6%
lebih besar dari kelompok bukan TB 26,4%. Hasil analisa statistik menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan dengan nilai p = 0,0001, hasil kategorikal terbukti
ada hubungan yang bermakna dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar
26,743 dengan 95% Confidence Interval (CI) 8,857 80,749.34

Hubungan pengetahuan pasien dengan kejadian TBC Paru pada pasien rawat
jalan di Poli RSUD Scholoo Keyen Kabupaten Sorong Selatan. Bahwa pengetahuan
baik dengan Kejadian TBC Paru (+) lebih besar (54,2%) daripada kejadian TBC Paru
(-) yaitu (45,8%). Pengetahuan cukup dengan kejadian TBC Paru dengan BTA (+)
lebih besar (76,9%) daripada kejadian TBC Paru BTA (-) yaitu (23,1%) dan
pengetahuan kurang dengan Kejadian TBC Paru (+) lebih besar (52,9%) daripada
kejadian TBC Paru (-) yaitu (47,1%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-
square diperoleh nilai p= 0,000 Nilai (alpha)0,05 dengan demikian Ho ditolak
yang berarti ada hubungan pengetahuan pasien dengan kejadian TBC Paru pada
pasien rawat jalan di Poli RSUD Scholoo Keyen Kabupaten Sorong Selatan. Hasil
penelitian diatas sesuai dengan teori yang di kemukakan oleh Arikunto (2005) bahwa
tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang untuk pencegahan penularan
penyakit TBC Paru. Dalam hal ini tingkat pengetahuan baik dan cukup dapat
mempengaruhi seseorang dalam pencegahan penularan tentang penyakit TBC Paru.
Seseorang yang berpengetahuan kurang akan menyebabkan seseorang tidak dapat
untuk mencegah dan menularkan sehingga dapat meningkatkan angka kejadian

38
penyakit TBC Paru. Pengetahuan merupakan proses belajar dengan menggunakan
panca indra yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk dapat
menghasilkan pengetahuan dan keterampilan (Notoatmodjo, 2007). 34

2.9.15. Sikap dan Perilaku

Dilihat dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
yang bersangkutan. Kesehatan manusia atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor
pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior
causes). Perilaku itu sendiri terbentuk atau ditentukan oleh tiga faktor yaitu:44,45

Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,


sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik,


tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya obat-obatan, puskesmas, jamban dan lain-lain.

Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan suatu kelompok penuntun atau
pembimbing bagi masyarakat.

Sikap adalah reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek. Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap adalah pengetahuan
yang dimiliki seseorang. Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki seseorang akan
memberikan kontribusi terhadap terbentuknya sikap yang baik. Pembentukan sikap
tidak dapat dilepaskan dari adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti
pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa,
serta faktor emosional dari individu. Ini membuktikan bahwa sikap yang kurang baik
merupakan faktor resiko untuk terjadinya penularan tuberkulosis paru. Jika sikap
masyarakat sudah baik maka masyarakat akan mudah untuk melakukan suatu
perbuatan yang baik, tetapi jika sikap ini masih kurang maka akan memberikan
dampak yang negatif bagi kesehatan masyarakat. Perubahan sikap harus didahului
oleh peningkatan tingkat pengetahuan agar mewujudkan komunitas yang sehat.44

Pada penelitian di Jakarta Utara mengenai hubungan tingkat pengetahuan dan


sikap masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit TB di RW 04 Kelurahan Lagoa

39
Jakarta Utara Tahun 2013, mendapatkan sebanyak 33 responden (55%) mempunyai
sikap positif serta sebanyak 27 responden (45%) mempunyai sikap yang negatif
dengan uji statistik p-value sebesar 0.003 (p<0.05), menyatakan ada hubungan yang
signifikan antara sikap dan kejadian penyakit TB paru.44

Namun, hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan di Desa Wori
Kecamatan Wori. Terdapat 53 responden yaitu sekitar (54.6%) memiliki sikap yang
positif dan 44 responden (45.4%) memiliki sikap yang negatif dengan uji statistiknya
p-value 0.281 (p> 0.05), yang berarti tidak ada hubungan antara sikap dengan
kejadian penyakit TB.46 Hal yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan di
NTB mengenai hubungan perilaku dan kondisi lingkungan fisik rumah dengan
kejadian TB paru di Kota Bima Provinsi NTB mendapatkan responden yang bersikap
positif adalah sebanyak 146 orang (77.7%) dan 42 orang bersikap negatif (22.3%)
dengan hasil uji chi-square p=0.160, yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara
sikap responden dengan kejadian TB paru.47

40
2.10 Kerangka Teori

Pengetahuan
Pencahyaan Kepadatan Tingkat TB
Hunian Pendapatan
ventilasi

Faktor Ekonomi & Tingkat


sosial Pendidika
F. Lingkungan
nm

Riwayat Merokok
Kontak

Pekerjaan
Jenis
Kelamin
Faktor
Penularan Host Umur

Berat
Badan
Imunisasi Tinggi
BCG Badan

Infeksi Status Gizi

Perilaku

Olahraga
Kejadian TB Etika Batuk
Paru
Buang
dahak Perilaku
hidup Sehat

41
2.11. Kerangka Konsep

Jenis Kelamin
BAB 3
Usia
Kepadatan
Hunian
Tingkat
pendidikan

Ventilasi
Kejadian TB Paru di Pekerjaan
Puskesmas Kecamatan
Palmerah

Pencahayaan
Alami
Status Gizi

Riwayat
Kontak

42
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif-
kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional mengenai gambaran faktor-faktor yang
mempengaruhi angka kejadian penderita Tuberkulosis di Puskesmas Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan diPuskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat pada
tanggal 14 Agustus - 31 Agustus 2017.

3.3 Sumber Data


Sumber data terdiri dari data primer yang diambil dari subjek penelitian dengan
menggunakan kuesioner diisi oleh subjek penelitian, serta pengambilan data sekunder
dari rekam medis, formulir TB 01 dan kartu tanda penduduk (KTP) di Puskesmas
Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat periode Januari- Agustus 2017.
Kuesioner yang disebar telah diuji coba kepada Penderita TB Paru di Puskesmas
Kecamatan Grogol Petamburan.
3.4 Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi
Populasi target adalah seluruh penderitaTB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan
Palmerah Jakarta Barat
Populasi terjangkau adalah seluruh penderita TB paru dewasa yang datang ke poli
TB Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat.
3.4.2 Sampel
Sampel adalah seluruh penderita TB paru di Puskesmas Kecamatan Palmerah yang
memenuhi kriteria inklusi.
3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
3.5.1 Kriteria Inklusi
Penderita yang terdiagnosis tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan Palmerah
Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.

43
Penderita yang berobat TB paru di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat
periode Januari-Agustus 2017.
Semua penderita TB paru dewasa yang bersedia menjadi responden di Puskesmas
Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.
3.5.2 Kriteria Eksklusi
Semua penderita TB paru pada anak diPusekesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta
Barat periode Januari- Agustus 2017.
Semua penderita TB paru yang disertai komplikasi penyerta; diabetes melitus,
HIV.
Penderita MDR Tuberkulosis paru.
3.6 Perhitungan Besar Sampel
3.6.1 Besar Sampel
Perhitungan besar sampel berdasarkan rumus :

Z()2 . p . q
n1= d2 n2= n + ( 10 % . n1)

Keterangan :
n1 : Jumlah sampel minimal
n2 : Jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen
responden yang mungkin drop out)
Z() : Tingkat batas kepercayaan, dengan = 5 %
Didapat Z() pada kurva normal = 1,96
d2 : Kesalahan yang dapat ditolerir (10-15%)
p : Proporsi variabel yang ingin diteliti
q : 1p

Tabel 8. Proporsi Variabel Independen


Judul Variabel (Z)2 P q D n1

Loihala M. Faktor-Faktor yang Berhubungan Umur 3,84 56,1% 45,9% 15% 43


dengan Kejadian TBC Paru pada Pasien
Rawat Jalan di Poli RSUD Schoolo Keyen
Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2015.
Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Jenis Kelamin 3,84 56,4% 44,6% 15% 43

44
Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin
dan kepadatan hunian dengan kejadian
penyakit TB paru di Desa Wori Kecamatan
Wori. Jurnal Kedokteran Komunitas dan
Tropik. 2015
Analisis Hubungan Kondisi Fisik Rumah Pekerjaan 3,84 53,2% 46,8% 15% 43
Dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di
Puskesmas Kotabumi II, Bukit Kemuning
dan Ulak Rengas Kab. Lampung Utara
Tahun 2012
Muaz F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan 3,84 59,8% 41,2% 15% 43
Kejadian Tb Paru Basil Tahan Asam Positif
di Puskesmas Kecamatan Serang Kota
Serang.2014
Loihala M. Faktor-Faktor yang Status Gizi 3,84 65% 35% 15% 43
Mempengaruhi Kejadian Tb Paru Basil
Tahan Asam Positif di Puskesmas
Kecamatan Serang Kota Serang.2014
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo K. Faktor Lingkungan 3,84 64,7% 35,3% 15% 43
Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di (Ventilasi)
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
2012
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo K. Faktor Lingkungan 3,84 61,8% 38,2% 15% 43
Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di (Pencahayaan)
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
2012
Azhar K, Perwitasari D. Kondisi Fisik Lingkungan 3,84 58.3% 41.7% 15% 43
Rumah dan Perilaku dengan Prevalensi TB (Kepadatan
Paru Di Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Hunian)
Sulawesi Utara. Jurnal Media Litbangkes.
2013
Rusnoto, dkk. Faktor-faktor yang Riwayat 3,84 63,8% 36,2% 15% 43
berhubungan dengan kejadian TB paru pada Kontak
usia dewasa (studi kasus di balai pencegahan

45
dan pengobatan penyakit paru Pati).
Universitas Diponegoro. 2006.

Berdasarkan rumus didapatkan angka :


n = Z2. p. q = 1.962 . 0.5 . 0.5
L2 0,152
n = 0.9604
0.0225
n = 42,68 (dibulatkan menjadi 43 subjek penelitian)

Untuk menjaga kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out maka
dihitung

n2 = n1 + (10% . n1)

n2 = 42,68 + (10% . 42,68)

n2 = 46,948 (Dibulatkan menjadi 47 subyek penelitian)

3.6.2 Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik non-
probability sampling yaituConvenience sampling,
3.7 Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variabel tergantung (dependen) dan variabel bebas
(independen). Variabel tergantung berupa kejadian penderita Tuberkulosis di
Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat.
Variabel bebas berupa usia, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan, status gizi,
riwayat kontak serumah, faktor lingkungan.
3.8 Cara Kerja
3.8.1 Mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian
3.8.2 Menentukan jumlah sampel minimal.
3.8.3 Menyusun kuesioner.
3.8.4 Menghubungi Kepala Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat yang menjadi
tempat penelitian untuk melaporkan tujuan dan meminta ijin untuk mengadakan
penelitian di puskesmas tersebut.

46
3.8.5 Menentukan sampel dengan teknik non-probability sampling yaitu convinience
sampling. Sampel diambil berdasarkan populasi terjangkau yaitu seluruh penderita
tuberkulosis di Puskesmas Kecamatan Palmerah, yang sudah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
3.8.6 Melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan instrumen penelitian
berupakuesioner, dan rekam medis di Puskesmas Kecamatan Palmerah dan
melakukan uji kuisioner ke pengunjung Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan.
3.8.7 Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program Computer
Statistical Package for Social Science version 16 (SPSS).
3.8.8 Penulisan laporan penelitian.
3.8.9 Pelaporan penelitian.
3.9 Manajemen Data
3.9.1 Pengumpulan Data
Sumber Data
Sumber data ini terdiri dari data primer yaitu data yang diperoleh oleh peneliti yang
diambil dari sampel menggunakan kuesioner dan rekam medik penderita TB paru di
Puskesmas Kecamatan Palmerah.
Instrumen Penelitian

Alat yang diperlukan :


1. Kuesioner.
2. Kartu Tanda Penduduk.
3. Rekam Medik.
4. Formulir TB 01.
3.9.2 Pengolahan Data
Terhadap data yang telah dikumpulkan akan dilakukan pengolahan berupa proses
editting, verivikasi, coding dan tabulasi. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan
menggunakan program komputer SPSS.
3.9.3 Penyajian Data
Data yang didapat, disajikan secara tektular dan tabular.
3.9.4 Analisis Data
Terhadap data yang telah diolah dilakukan analisis Univariat dengan menggunakan
program komputer, yaitu program SPSS (Statistical Package for Social Science)
3.9.5 Interpretasi Data

47
Data diinterpretasikan secara deskriptif variabel-variabel yang telah ditentukan.
3.9.6 Pelaporan Data
Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan
dipresentasikan di hadapan staf pengajar Program Pendidikan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
dalam forum pendidikan Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UKRIDA.

3.9.7 Etika Penelitian


Pada penelitian ini, semua data yang didapatkan dari Puskesmas kecamatan Palmerah,
Jakarta Barat akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian.
3.10 Definisi Operasional
3.10.1 Usia
Definisi : Lamanya kehidupan responden dihitung sejak tahun lahir sampai tahun
saat dilakukan penelitian
Alat Ukur : Kuisioner/data rekam medis/KTP
Cara Ukur : Mengisi kuisioner/membaca data rekam medis/membaca KTP
Hasil Ukur : 18-49 tahun, 50 tahun
Skala Ukur : Nominal
Koding : 0 = 18-49 tahun, 1 50 tahun
3.10.2 Jenis Kelamin
Definisi : Perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi dari responden laki-laki dan
perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan
upaya meneruskan garis keturunan
Alat Ukur : Kuisioner/data rekam medis/KTP
Cara Ukur : Mengisi kuisioner/membaca data rekam medis/membaca KTP
Hasil Ukur : Laki-laki, perempuan
Skala Ukur : Nominal
Koding : 2 = Perempuan, 1 = Laki-laki
3.10.3 Pendidikan
Definisi : Tingkat pendidikan formal terakhir yang berhasil ditempuh oleh
responden, mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh UU No. 20 tahun 2003
BAB VI, Pasal 14 tentang sistem pendidikan nasional, yang ditunjukkan dengan
ijazah yang dimiliki

48
Alat Ukur : Kuisioner/data rekam medis
Cara Ukur : Mengisi kuisioner/membaca data rekam medis
Hasil Ukur : Rendah, bila responden tidak bersekolah atau tidak tamat sekolah
menengah pertama (SMP); Sedang, bila responden mendapat pendidikan dengan
masa belajar hingga SMA; Tinggi, bila responden mendapat pendidikan dengan
masa belajar hingga tamat perguruan tinggi (Sarjana / Diploma)
Skala Ukur : Ordinal
Koding : 3 = Tinggi, 2 = Sedang, 1 = Rendah
3.10.4 Status Pekerjaan
Definisi : profesi atau kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari dalam upaya
mendapatkan imbalan uang atau materi untuk pemenuhan kebutuhan hidup
keluarga.
Alat ukur : kuesioner / data rekam medis
Cara ukur : Mengisi kuisioner/membaca data rekam medis
Hasil ukur : bekerja, tidak bekerja
Skala ukur : nominal
Koding : 0 = tidak bekerja, 1= bekerja
3.10.5 Status Gizi
Definisi : suatu pengukuran gizi seseorang menggunakan indeks massa tubuh,yang
diukur menggunakan BB dan TB
Alat ukur : rekam medis
Cara ukur : melihat rekam medis
Hasil ukur : < 18,5 (kurang) , 18,5-22,9 (cukup), 23(lebih)
Skala ukur : Ordinal
Koding 1 = < 18,5, koding2 = 18,5-22,9, koding 3 = 23
3.10.6 Riwayat Kontak
Definisi : Riwayat kontak seseorang dengan penderita TB paru yang
serumah/tinggal bersama secara terus-menerus sebelum didiagnosis penyakit TB
paru.
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : Mengisi kuesioner
Hasil Ukur : Riwayat kontak (+), riwayat kontak (-)
Skala Ukur : Nominal

49
Koding : 1 = Kontak dengan penderita, 0 = Tidak kontak dengan penderita
3.10.7 Lingkungan

3.10.7.1. Ventilasi

Definisi : Tempat keluar masuknya udara dari luar ke dalam ruangan


yang biasanya tidak tertutup rapat. Merupakan komposit dari
pertanyaan tentang ventilasi ruangan keluarga dan kamar tidur.

Alat ukur : Kuesioner

Cara ukur : Mengisi Kuesioner

Hasil ukur : Memenuhi syarat ( jika kedua ruangan mempunyai luas


10% luas lantai) Tidak memenuhi syarat ( jika salah satu atau kedua
ruangan luasnya < 10% luas lantai atau tidak ada ventilasi)

Skala ukur : Nominal

Koding : 0 = memenuhi syarat, 1 = tidak memenuhi syarat

3.10.7.2. Pencahayaan

Definisi : Status pencahayaan alami di dalam rumah berdasarkan


intensitas cahaya yang masuk. Komposit untuk pencahayaan alami
pada ruangan keluarga dan kamar tidur.

Alat ukur : Kuesioner

Cara ukur : Mengisi Kuesioner

Hasil ukur : Memenuhi Syarat ( bila pada siang hari tidak diperlukan
bantuan alat penerangan untuk dapat membaca dengan jelas pada
kedua ruangan ( cukup) , Tidak Memenuhi Syarat ( bila pada siang hari
diperlukan bantuan alat penerangan untuk dapat membaca dengan jelas
pada salah satu atau kedua ruangan)

Skala ukur : Nominal

Koding : 0 = memenuhi syarat, 1 = tidak memenuhi syarat

50
3.10.7.3. Kepadatan Rumah

Definisi : Perbandingan luas rumah (m2) dengan jumlah penghuni


rumah

Alat ukur : Kuesioner

Cara ukur : Mewawancara responden

Hasil ukur : Memenuhi syarat bila rasio hunian 10 m2/ orang (tidak
padat) , tidak memenuhi syarat bila rasio hunian < 10 m2/orang (
padat).

Skala ukur : Nominal

Koding : 0 = memenuhi syarat, 1 = tidak memenuhi syarat

51
Bab IV
Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai gambaran kejadian TB paru dewasa


dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat
periode Januari- Agustus 2017, didapatkan sampel sebanyak 47 penderita TB paru dewasa.
Hasil penelitian ini kami sajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 9. Analisis Univariat Distribusi karakteristik pasien Tuberkulosis paru (TB paru) di
Poli TB Paru di Puskesmas Keacamatan Palmerah Jakarta Barat Periode Januari-
Agustus 2017.

Variabel Frekuensi (n=47) Persentase (%)


Usia
Produktif (15-49 tahun ) 33 70.2
Non-Produktif (50 tahun) 14 29.8
Jenis Kelamin
Laki-laki 28 59.6
Perempuan 19 40.4
Tingkat Pendidikan
Rendah 22 46.8
Sedang 16 34
Tinggi 9 19.1
Status Pekerjaan
Bekerja 22 46.8
Tidak Bekerja 25 53.2
Status Gizi
Kurang 24 51.1
Cukup 18 38.3
Lebih 5 10.6
Riwayat Kontak
Ada 11 23.4
Tidak ada 36 76.6
Ventilasi
Memenuhi Syarat (luas 10% luas lantai) 16 34
Tidak Memenuhi Syarat (luasnya < 10% 31 66
luas lantai atau tidak ada ventilasi)
Pencahayaaan Alami 19 40.4
Memenuhi Syarat 28 59.6
Tidak Memenuhi Syarat
Kepadatan Hunian 18 38.3
Memenuhi Syarat (10m2 per orang) 29 61.7
Tidak Memenuhi Syarat (< 10m2 per
orang)

52
Umur Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Non Produktif 8 6 14
Produktif 20 13 33
28 19 47

Jenis Kelamin Pekerjaan


Tidak bekerja Bekerja
Laki-laki 10 18 28
Perempuan 15 4 19
25 22 47

Pekerjaan Status Gizi


Kurang Cukup Lebih
Tidak Bekerja 14 9 2 25
Bekerja 10 9 3 22
24 18 5 47

Status Gizi Pendidikan


Rendah Sedang Tinggi
Kurang 12 9 3 24
Cukup 10 6 2 18
Lebih 0 1 4 5
22 16 9 47

Ventilasi Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Memenuhi Syarat 5 6 5 16
Tidak Memenuhi 17 10 4 31
Syarat
22 16 9 47

53
Pencahayaan Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Memenuhi Syarat 6 6 7 19
Tidak Memenuhi 16 10 2 28
Syarat
22 16 9 47

Kepadatan Hunian Riwayat Kontak TB


Tidak Kontak Kontak
Memenuhi Syarat 12 6 18
Tidak Memenuhi 24 5 29
Syarat
36 11 47

Umur TB Paru
BTA Positif BTA Negatif
Non Produktif 7 7 14
Produktif 23 10 33
30 17 47

Jenis Kelamin TB Paru


BTA Positif BTA Negatif
Laki-laki 18 10 28
Perempuan 12 7 19
30 17 47

54
Bab V
Pembahasan

5.1 Sebaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Dewasa


di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat Periode Januari- Agustus 2017
Berdasarkan tabel 9 didapatkan bahwa sebaran usia dengan total subjek penelitian 47
sampel, proporsi usia 15-49 tahun berjumlah 33 orang (70.2%) penderita TB paru dan
proporsi usia 50 tahun berjumlah 14 orang (29.8%) penderita TB paru. Dapat disimpulkan
bahwa penderita usia 15-49 tahun lebih banyak dibandingkan penderita berusia 50 tahun
yang menderita TB paru dewasa yang berada di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta
Barat Periode Januari- Agustus 2017.Penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Depkes RI
tahun 2007 dalam pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis yang menyatakan bahwa
sebanyak 75% dari individu yang terinfeksi kuman TB berada dalam kelompok usia produktif
(15-50 tahun).Hal ini kemungkinan karena pada pasien kelompok usia produktif akan lebih sering
menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Risiko
terkena paparan menjadi lebih besar karena kemungkinan kontak dengan orang yang menderita
tuberkulosis paru menjadi lebih sering.27
Hasil penelitian di Poli Paru RSUD Arifin Achmad Pekanbaru didapatkan usia terbanyak
yaitu pada usia produktif (18-55 tahun) yang berjumlah 80 orang (84,5%). Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kelompok usia pasien
tuberkulosis paru berada pada kelompok usia produktif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Prof. Arsunan Arsin dkk di Kota Makassar, kelompok usia terbanyak berada pada kelompok usia
produktif 25-44 tahun yaitu sebanyak 56 orang (49,6%) sedangkan kelompok umur >64tahun
yaitu sebanyak 3 orang (2,7%).27
Hasil ini dikuatkan dengan teori yang ada di Kemenkes (2010) dimana penderita TB
Paru sebagian besar menyerang kelompok usia produktif (15-55 tahun). Dijelaskan bahwa
sebagian besar yaitu 80 90% orang telah terinfeksi kuman TB namun belum tentu menjadi
sakit, sebenarnya paparan kuman TB sudah sejak lama terjadiatau kuman dorman di dalam
tubuh dan ketika daya tahan tubuh menurun yang biasanya terjadi pada usia produktif
dikarenakan aktifitas dan mobilitas yang tinggi serta gaya hidup diantaranya kebiasaan
merokok tanpa memperhatikan pola makan, maka terjadi aktivasi bakteri dorman tersebut
yang pada akhirnya timbulah sakit.6

Berdasarkan table9didapatkan bahwa sebaran jenis kelamin dengan total subjek

55
penelitian 47 sampel, proporsi laki-laki berjumlah 28 orang (59.6%) penderita TB paru dan
proporsi perempuan berjumlah 19 orang (40.4%) penderita TB paru. Dapat disimpulkan
bahwa penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan penderita perempuan yang menderita
TB paru dewasa yang berada di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode
Januari-Agustus 2017.Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Prof. Arsunan Arsin dkk pada
tahun 2012 mengenai gambaran asupan zat gizi dan status gizi pasien tuberkulosis paru di Kota
Makassar didapatkan hasil dari total 113 pasien terdapat 73 orang (64,6%) berjenis kelamin laki
laki dan 40 orang (35,4%) berjenis kelamin perempuan.Kemudian penelitian Andhika di
Kabupaten Bandung Barat tahun 2012, yang memaparkan bahwa pasien tuberkulosis paru laki-
laki sebanyak 54,8%.27 Hasil penelitian tersebut sesuai dengan laporan Department of Gender and
Womens Health World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahwa insiden dan
prevalensi tuberkulosis lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki daripada
perempuan.Menurut R.E. Watkins dan A.J. Plant hal ini disebabkan karena kebiasaaan merokok
pada laki-laki. Merokok telah diidentifikasi sebagai salah satu dari sejumlah variabel yang
mungkin terkait dalam risiko angka kejadian tuberkulosis menurut jenis kelamin di dunia.27
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktafiyana, berdasarkan jenis kelamin
responden, yang paling banyak adalah laki-laki sebanyak 70 orang (62,5%) karena laki-laki
adalah kepala keluarga dan harus mencari nafkah sehingga mereka kemungkinan besar
terkena TB paru dari lingkungan kerja mereka yang tidak baik, sedangkan responden berjenis
kelamin perempuan berjumlah sebanyak 42 orang (37,5%) yang kemungkinan mereka
tertular penyakit TB paru dari keluarga, kerabat dekat ataupun dari teman di lingkungan kerja
mereka bekerja.21 Distribusi menurut jenis kelamin, penderita Tb paru tertinggi terjadi pada
kelompok laki-laki dibandingkan perempuan di masing-masing propinsi dengan presentase di
DKI Jakarta sebesar 60,8%, di Banten 52,0% dan di Sulawesi Utara 63,1%.22
Berdasarkan tabel 9 didapatkan bahwa sebaran tingkat pendidikan penderita TB
paru di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 dengan
total subjek penelitian 47 sampel, dengan proporsi terbesar pada tingkat pendidikan rendah
sebanyak 22 orang (46.8%), dan proporsi terkecil pada tingkat pendidikan tinggi sebanyak 9
(19.1%), sedangkan tingkat pendidikan sedang sebanyak 16 (34%). Dapat disimpulkan
bahwa secara mayoritas tingkat pendidikan penderita TB di Puskesmas Kecamatan Palmerah
Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 adalah rendah. Penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian di Kota Tidore menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
kejadian TB. Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata responden mempunyai pendidikan
SMP sebanyak 51 orang (45,5%) dan SMA sebanyak 40 orang (35,7%), di mana pada

56
pendidikan seperti itu seharusnya mereka tahu tentang penyakit TB paru tapi kemungkinan
mereka tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) mereka dengan baik.26 Penelitian di
Sulawesi Selatan, Tingkat pendidikan paling banyak adalah tamat SD sebanyak 27,2%
(11.341 orang). Sedangkan paling rendah tamat perguruan tinggi yaitu 5,1% (2.141 orang).20

Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan. Semakin


rendah pendidikan maka ilmu pengetahuan di bidang kesehatan semakin berkurang, baik
yang menyangkut asupan makanan, penanganan keluarga yang menderita sakit dan usaha-
usaha preventif yang lainnya. Tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi
pengetahuan di bidang kesehatan, maka secara langsung maupun tidak lansung dapat
mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang merugikan
kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit TB dan pada akhirnya tingginya kasus TB yang
ada.24 Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang
mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan tentang penyakit
tuberkulosis paru sehingga dengan pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan
mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Tingkat pendidikan sendiri menempati factor
tertinggi yang berarti kesembuhan atau ketuntasan berobat penyakit tuberkulosis paru pada
responden dengan tingkat pendidikan yang rendah 8x untuk tidak sembuh dibandingkan
dengan kesembuhan atau ketuntasan tuberkulosis paru pada responden dengan tingkat
pendidikan tinggi.25

Berdasarkan tabel 9didapatkan bahwa sebaran status Pekerjaan penderita TB paru


dewasa di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode Januari-agustus 2017
dengan total subjek penelitian 47 sampel, proporsi kelompok yang bekerja sebanyak 22 orang
(46.8%), dan proporsi kelompok yang tidak bekerja sebanyak 25 orang (53.2%). Dapat
disimpulkan bahwa penderita TB paru lebih banyak yang tidak bekerja di Puskesmas
kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017. Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian Annisa Siregar dkk pada tahun 2015 mengenai hubungankondisi fisik
rumah dan pekerjaan dengan kejadian Tuberkulosis Paru di Desa Bandar Khalipah
Kecamatan Percut Sei Tuan, didapatkan mayoritas responden kasus ialah tidak bekerja. Jika
responden tidak bekerja maka akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan,
pekerjaan seseorang juga akan dapat mencerminkan sedikit banyaknya informasi yang
diterima, informasi tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, penyediaan makanan bergizi,
lingkungan rumah yang sehat serta pemeliharaan status kesehatan. Hal ini dapat berpengaruh

57
bagi jasmani, rohani, dan sosial sehingga bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka dapat
menurunkan status kesehatan dimana daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang
penyakit TB Paru.48
Berdasarkan tabel 9 didapatka bahwa sebaran Status Gizi penderita TB paru di
Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 dengan total
subjek penelitian 47 sampel, dengan proporsi status gizi kurang berjumlah 24 ( 51.1%), status
gizi cukup berjumlah 18 ( 38.3%) dan status gizi lebih sebanyak 5 ( 10.6%). Dapat
disimpulkan bahwa penderita TB paru di puskesmas kecamatan Palmerah periode Januari-
Agustus 2017 sebagian besar memiliki status gizi kurang. Hasil penelitian ini sesuai dengan
Penelitian yang dilakukan oleh Fadhalna dkk di rumah sakit Undata Palu Sulawesi Tengah
tahun 2017 menunjukan hasil yang sama yaitu mayoritas penderita TB paru memiliki IMT
dibawah normal sebanyak 29 orang (64.4%) dari total 45 sampel.50 Penelitian lain yang
dilakukan olehHasil yang sama juga diperlihatkan oleh penelitian Tedja dkk mengenai status
nutrisi pasien rawat inap TB paru di rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dimana
terdapat 229 pasien TB paru dengan IMT yang rendah (66.4%), 85 pasien dengan IMT
normal (6.4%) dan 9 pasien dengan IMT lebih (2.6%). Nutrisi dan infeksi berinteraksi satu
sama lain secara sinergis. Infkesi berulang menyebabkan tubuh kehilangan nitrogen dan
memperburuk status nutrisi sehingga dapat terjadi malnutrisi, sebaliknya malnutrisi akan
meningkatkan kerentanan pejamu terhadap infeksi.51Nutrisi juga memengaruhi
kecenderungan kesembuhan dari infeksi TB. Pada IMT overweight kemungkinan reinfeksi
TB dapat terjadi apabila IMT yang berlebihan menjurus kearah penyakit metabolik yang
dapat meningkatkan resiko reinfeksi TB seperti diabetes melitus.52

Berdasarkan tabel 9didapatkan bahwa sebaran riwayat kontak penderita TB paru di


Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 dengan total
subjek penelitian 47 sampel, dengan proporsi terbesar pada riwayat kontak negatif sebanyak
36 (76.6%), sedangkan riwayat kontak positif sebanyak 11 (23.4%). Dapat disimpulkan
bahwa secara mayoritas penderita TB paru di Puskesmas Kecamatan Pamerah Jakarta Barat
Periode Januari-Agustus 2017 tidak ada riwayat kontak dengan Penderita TB Paru. Riwayat
kontak sangat berpengaruh terhadap penyebaran kuman penyebab Tuberkulosis serta
meningkatkan angka kejadian penderita TB Paru. Namun hal itu juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan tempat penderita itu tinggal, salah satunya adalah ventilasi dan kepadatan hunian.
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka
perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat.39

58
Begitu juga dengan ventilasi, rumah dengan ventilasi yang kurang akan berpengaruh terhadap
kejadian tuberkulosis paru. Ventilasi rumah berfungsi untuk mengeluarkan udara yang
tercemar (bakteri, CO2) di dalam rumah dan menggantinya dengan udara yang segar dan
bersih atau untuk sirkulasi udara tempat masuknya cahaya ultra violet.40 Walaupun penderita
TB ini tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita lain, namun memiliki lingkungan
yang tidak memenuhi syarat seperti yang dijelaskan diatas dapat meningkat angka kejadian
TB paru.
Berdasarkantabel9didapatkanbahwasebaran ventilasi rumah penderita TB paru dengan
total subjekpenelitian 47sampel,proporsi ventilasi rumah penderita TB yang memenuhi syarat
rumah sehat berjumlah 16 orang (12.8%)danproporsi ventilasi rumah penderita TB paru yang
tidak memenuhi syarat rumah sehat berjumlah 41 orang (87.2%) penderita TB paru.
Dapatdisimpulkanbahwa ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat
lebihbanyakdibandingkan ventilasi rumah yang memenuhi syarat rumah sehatpada penderita
TB parudewasa yang berada di PuskesmasKecamatanPalmerah Jakarta Barat periodeJanuari-
Agustus2017. Penelitian yang dilakukan oleh Syafri tahun 2015 mengenai hubungan kondisi
fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas ngemplak boyolali
menghasilkan hasil yang berbeda dimana didapatkan 19 rumah penderita TB paru (100%)
memiliki ventilasi yang memenuhi syarat rumah sehat yaitu >= 10% dari luas lantai.49
Sedangkan dari hasil penelitian oleh Izzati dkk mengenai faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas Andalas tahun 2013
didapatkan hasil rumah yang memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar 18
rumah (54.5%) dan yang memenuhi syarat sebesar 15 rumah (45.5%). 38 Penelitian lain
dilakukan oleh Wiwiek dan Octaviani pada tahun 2014 mengenai gambaran faktor risiko
penderita TB di puskesmas kabupaten Banyumas terdapat 10 dari total 15 penderita TB paru
yang memiliki rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat rumah sehat.53
Berdasarkantabel9 didapatkanbahwasebaran pencahayaan rumah penderita TB paru
dengan total subjekpenelitian 47sampel,proporsi pencahayaan rumah penderita TB paru yang
memenuhi syarat rumah sehat berjumlah 4 orang (8.5%) penderita TB parudanproporsi
pencahayaan rumah penderita TB paru yang tidak memenuhi syarat rumah sehat berjumlah
43 orang (91.5%) penderita TB paru. Dapatdisimpulkanbahwa pencahayaan rumah yang
tidak memenuhi syarat lebihbanyakdibandingkan pencahayaan rumah yang memenuhi syarat
rumah sehatpada peenderita TB parudewasa yang berada di PuskesmasKecamatanPalmerah
Jakarta Barat periodeJanuari-Agustus2017. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Syafri dimana terdapat 15 rumah (78.9%) dengan pencahayaan tidak

59
memenuhi syarat rumah sehat (<60 lux) dan 4 rumah (21.1%) dengan pencahayaan yang
memenuhi syarat.49 Begitu juga dengan penelitian Suharyo pada tahun 2013 mengenai
determinasi penyakit tuberkulosis di daerah pedesaan dimana berdasarkan hasil observasi dan
pengukuran didapatkan hasil bahwa keadaan pencahayaan rumah subyek penelitian rata-rata
adalah 21 lux dan tidak memenuhi syarat rumah sehat, hal tersebut juga dipengaruhi dari
jarangnya jendela rumah untuk dibuka setiap hari dan letak jendela yang tidak strategis
sehingga sinar matahari tidak dapat masuk ke dalam rumah.54
Kondisiruanganberhubungandengankejadian TB
parudimanamasyarakatdengankondisiruangan yang tidakmemenuhisyaratmempunyaipeluang
lebih tinggi untuktertularTB parudibandingkandenganrumahdengankondisiruangan yang
memenuhisyarat.Kondisiruanganmemenuhisyaratjikatersediaventilasi> 10% luaslantai,
jendeladibukasetiaphari, pencahayaancukupbaik di ruangtidur, dapurmaupunruangkeluarga.
Rumahdenganpencahayaandanventilasi yang baik akanmenyulitkanpertumbuhankuman,
karenasinar ultraviolet dapatmematikankumandan ventilasi yang
baikmenyebabkanpertukaranudarasehinggamengurangikosentrasikuman.
Rumahdenganventilasirumah< 10% dariluaslantaimempunyaipeluangmenderita TB4,56 kali
dibandingkandengan yang mempunyairumahdenganventilasi> 10%
luaslantai,sedangkansumberpenerangan yang tidaksehatmempunyairisikomenderita TB
sebesar 1,8kali dibandingkandengan yang menggunakanpenerangan yang sehat.19
Berdasarkan tabel 9 didapatkan bahwa sebaran Kepadatan Hunian dengan total
subjek penelitian 47 sampel, penderita TB Paru dengan kepadatan hunian yang memenuhi
syarat sebanyak18 (38.3%), sedangkan yang tidak memenuhi syarat berjumlah 29 (61.7%)
Dapat disimpulkan bahwa kelompok penderita TB paru dewasa, di Puskesmas Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017, sebagian besar memiliki Kepadatan
Hunia yang tidak memenuhi syarat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rusnoto dkk
mengenai Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada Usia Dewasa,
didapatkan Proporsi kepadatan rumah yang tidak standar (26,4 %) pada kelompok TB paru
lebih besar dari kelompok bukan TB (5,7 %).31 Kemudian penelitian Azzyyati, di Jembatan
Besi Palmerah, Jakarta Barat tahun 2016 memaparkan bahwa pada kelompok penderita TB
Paru hampir sebagian memiliki hunian yang padat yaitu 7 orang (58.3%) dan memiliki hunian
yang tidak padat yaitu 5 orang (41.7%).Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Putra (2011)
di Kota Solok yang menyimpulkan bahwa kepadatan hunian merupakan salah satu faktor resiko
meningkatnya kejadian TB Paru, dimana risiko untuk terkena TB Paru sebesar 5,95 kali lebih

60
tinggi pada responden yang tinggal pada kepadatan rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan.22
Kepadatan hunian merupakan pencetus awal pada proses penularan penyakit dan 84%
rumah responden kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat atau lebih dari 10m 2 per orang.
Semakin padat tingkat hunian, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit menular yang
melalui udara akan semakin mudah dan cepat terjadi. Oleh karena itu, kepadatan hunian dalam
rumah merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB Paru. Untuk itu departemen
kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/luas
bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10m2 per orang.22 hasil penelitian Nurliza
Rohayu dkk di Kabupaten Buton Selatan tahun 2016, didapatkan dari 40 responden, terdapat
21 responden (52,5%) memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat sedangkan 19
responden (47,5%) memiliki kepadatan hunian yang memenuhisyarat.42

61
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional terhadap
47 sampel terpilih yaitu penderita TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 dapat diambil kesimpulan
bahwa penderita laki-laki (59,6%) dengan jumlah 28 orang, lebih banyak
dibandingkan perempuan. Penderita TB di Puskesmas Kecamatan Palmerah juga
didominasi oleh penderita dengan usia produktif (15-49 tahun) sebanyak 33 orang
(70,2%) , memiliki tingkat pendidikan yang rendah sejumlah 22 orang (46,8%), dan
sebagian besar mereka tidak bekerja (53,2%). Penderita TB di Puskesmas Kecamatan
Palmerah sebagian besar memiliki status gizi kurang sebesar 51% (24 orang), dan
tidak memiliki kontak sebesar 76,6% (36 orang). Penderita TB paru di Puskesmas
Kecamatan Palmerah memiliki sistem ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar
66% (31 orang), sistem pencahayaan alamai yang tidak memenuhi syarat 59,6% (28
orang), serta tingkat kepadatan hunia yang tinggi sebesar 61,7 %(29 orang).

6.2 Saran
Dari hasil penelitian dan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan beberapa hal:

6.2.1 Bagi Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat


Kepada kepala Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat agar
melakukan pendataan dan pemetaan yang lebih lengkap penderita
tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat.
Kepada kepala Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat untuk
mengadakan kegiatan penyuluhan di Puskesmas dan Puskesmas
Kecamatan Palmerah Jakarta Barat mengenai bahayanya penyakit dan
pentingnya pengobatan tuberkulosis secara rutin.
Kepada kepala Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat untuk
mengadakan kegiatan yang mendukung penemuan penderita
tuberkulosis di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat.
6.2.2Bagi Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa

62
Agar lebih memperhatikan kesehatan diri dan mengikuti kegiatan yang
mendukung pengobatan tuberkulosis paru secara teratur.
Agar lebih memperhatikan lingkungan sekitarnya, seperti kondisi
rumah, kontak dengan anggota keluarga maupun orang lain sekitar
penderita oleh karena bahayanya penularan tuberkulosis.

Daftar Pustaka

63
1. Daniel TM. Tuberculosis, Harrison's principles of internal medicine ed 19. New York:
Mc Graw-Hills; 2015.h.1102-11.

2. Reni, Wahyono TYM, Yulismar. Kejadian efek samping obat anti tuberkulosis pada
pasien tuberkulosis. Jurnal Respirasi Indonesia. 2016; 36(4):222-230.

3. Rahayu LS, Alim ES, Purwanto SE, Amirullah G, Safitri DE, Dewanti LP. Analisis
situasi tuberkulosis di provinsi dki jakarta dengan metode root cause analysis (RCA).
Prosiding Kolokium Doktor dan Seminar Hasil Penelitian Hibah. 2016:277-290.

4. Kementerian Kesehatan RI. Data dan informasi profil kesehatan Indonesia 2016. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2016.

5. Surya A, Basri C, Kamso S. Pedoman nasional pengendalian tuberculosis. Jakarta:


Direktorat Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2011.

6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI; 2014.h.1-50.

7. Girsang M, Tobing K, Rafrizal. Faktor penyebab kejadian tuberculosis serta


hubungannya dengan lingkungan tempat tinggal di provinsi Jawa Tengah (analisis lanjut
Riskesdas 2007). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. 2011;39(1):34-41

8. Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. TOSS TB:
temukan TB obati sampai sembuh. 2 April 2016. Didapat dari: www.depkes.go.id.
Diakses pada tanggal 14 Agustus 2017

9. World Health Organization. Global tuberculosis report 2016. Geneva: World Health
Organization; 2016.

10. Longo DL, Dennis KL, Larry JL. Harrisons principle of internal medicine. Edisi ke 18.
US: McGraw Hill; 2012.h.2821-2

11. Sudoyo,AW, Setiyobudi,B.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:Tuberkulosis Paru.Ed


5.Jakarta:InternaPublishing.2009.2230-39.

64
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalakasanaan
tuberkulosis di Indonesia. 2014. h.15-25.

13. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo.Buku Ajar Ilmu


Penyakit Paru.Surabaya.2010.9-38

14. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku saku
kader program penanggulangan TB. Departemen Kesehatan RI. 2009.

15. Staf Pengajar PSIK-FK UNSRI. Upaya keluarga dalam pencegahan penularan
tuberkulosis paru ke anggota keluarga lainnya di Puskesmas Sidoreko Pagalaram tahun
2010. Jaji. 2010

16. Nurjana MA. Faktor risiko terjadinya tuberculosis paru usia produktif (15-49 tahun) di
Indonesia. Media Litbangkes. 2015;25(3):165-170

17. Girsang M, Tobing K, Rafrizal. Faktor penyebab kejadian tuberculosis serta


hubungannya dengan lingkungan tempat tinggal di provinsi Jawa Tengah (analisis lanjut
Riskesdas 2007). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. 2011;39(1):34-41

18. Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin
dan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB paru di Desa Wori Kecamatan Wori.
Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik. 2015;3(2):23-8

19. Rukmini, UW Chatarina. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB paru


dewasa di Indonesia (analisis data riset kesehatan dasar tahun 2010). Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. 2014;14(4):320-331

20. Nurhanah, Amiruddin R, Abdullah T. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian


tuberkulosis paru pada masyarakat di Propinsi Sulawesi Selatan 2017. Jurnal MKMI.
2010;6(4):204-9

21. Oktafiyana F, Nurhayati, Murhan A. Hubungan lingkungan kerja penderita TB paru


terhadap kejadian penyakit tb paru. Jurnal Keperawatan. 2016;12(1):52-7.

22. Azhar K, Perwitasari D. Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku dengan Prevalensi TB Paru
Di Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Sulawesi Utara. Jurnal Media Litbangkes. 2013;
23(4):174-80.

65
23. Rokhmah D. Gender dan Penyakir Tuberkulosis: Implikasinya terhadap akses Layanan
Kesehatan Masyarakat Miskin yang Rendah. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2013;7(10): 448-51.

24. Muaz F. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis paru basil tahan asam
positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. Universitas
Islam Negeri. 2014

25. Mardjo T M, Ratag B T, Asrifuddin A. Hubungan antara Tingkat Pendidikan,


Pendapatan, dan Riwayat Kontak Serumah dnegan Kejadian Tuberkulosis Paru di
wilayah Kerja Puskesmas Paniki Bawah Kota Manado. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Sam Ratulangi Manado. 2016.

26. Ibrahim I. Faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru di wilayah Kota Tidore. Global
Health Science. 2017;2(1):34-40

27. Puspita E, Christianto E. Gambaran Status Gizi pada Pasien Tuberkulosis Paru yang
Menjalani Rawat Jalan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Jurnal JOM FK.2016;3(2):
2-11

28. Arivany P F. Pengetahuan Suspek TB Paru dalam Melakukan Pemeriksaan Sputum di


Puskesmas Kamoning. Jurnal FKM UNAIR. 2017; 5(1):75-84.

29. World Health Organization. World health statistics 2017: monitoring health for the
SDGs, Sustainable Development Goals. Geneva: World Health Organization; 2017.

30. Oktavia S, Mutahar R, Destriatania S. Analisa faktor risiko kejadian TB paru di


Puskesmas Kertapati Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarkat. 2016;7

31. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian


TB paru pada usia dewasa (studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan penyakit
paru Pati). Universitas Diponegoro. 2006.

32. Setiami S, Sutomo A, Hariyono W. Hubungan antara tingkat pengetahuan, status


ekonomi dan kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa
di Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kesahatan
Masyarakat. 2007;1978-0575.

66
33. Herlina , Eris. Hubungan Status Gizi dan Kelembaban Udara dengan Kejadian TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi 2014. Jurnal Stikes Prima Jambi.
2015; 4(1). 75-81

34. Loihala M. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru pada pasien
rawat jalan di Poli RSUD Schoolo Keyen Kabupaten Sorong Selatan tahun 2015. Jurnal
Kesehatan Prima. 2016;10(2):1665-71

35. Jepsen DF, et al. Diabetes is a risk factor for pulmonary tuberculosis: A case-control
study from Mwanza, Tanzania. Plos One Journal. 2011;6(8):1-7.

36. Simbolon D. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2007;2(3):112-18

37. Zuriya Y. Hubungan Antara Faktor Host dan Lingkungan dengan Kejadian TB Paru di
wilayah Kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. 2016.

38. Izzati S, Basyar M, Nazar J. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas Andalas tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015;4(1):262-8.

39. Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo K. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
2012;11(2):198-204.

40. Fatimah S. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan kejadian
TB Paru di Kabupaten Cilacap ( Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,
Gandrungmangu, Bantarsari) tahun 2008. Universitas Diponegoro. 2008

41. Darwel. Faktor-faktor yang berkorelasi terhadap hubungan kondisi lingkungan rumah
dengan kejadian tuberkulosis paru di Sumatera (analisis data Riskesdas 2010). FKUI.
2012.

42. Rohayu N, Yusran S, Ibrahim K. Analisis faktor risiko kejadian TB paru BTA positif
pada masyarakat pesisir di Puskesmas Kadatua Kabupaten Buton Selatan tahun 2016.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Halu Oleo. 2016.

67
43. Andriyani W. Hubungan riwayat kontak serumah dalam kejadian TB paru di Kabupaten
Wonogiri. UNDIP. 2013.

44. Astuti S. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap upaya
pencegahan penyakit tuberkulosis di RW 04 Kelurahan Lagoa Jakarta Utara tahun 2013.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah. 2013;1(2).

45. Notoatmodjo S. Ilmu kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dasar. Jakarta: Rinieka


Cipta;2007. h. 118-33.

46. Wenas A, Kandou G, Rombot D. Hubungan perilaku dengan kejadian penyakit TB paru
di Desa Wori Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik. 2015;3(2).

47. Ibrahim E, Imam B. Hubungan perilaku dan kondisi lingkungan fisik rumah dengan
kejadian TB paru di Kota Bima Provinsi NTB. Bagian Kesehatan Lingkungan FKM
Unhas Makasar. 2011;2(3).

48. Siregar A F, Nurmaini, Nuraini D. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan
dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei
Tuan Tahun 2015. Jurnal FKM USU. 2015

49. Syafri AK. Hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah
kerja puskesmas ngemplak boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan UMS. 2015

50. Fadhalna, Ihwan, Suwastika IN. Gambaran indeks massa tubuh penderita tuberkulosis
(TB) positif yang melakukan pengobatan di gerdunas tb paru rumah sakit undata palu
sulawesi tengah.Biocelebes. 2017;11(1):9-12
51. Tedja I, Syam AF, Rumende CM. Status nutrisi pasien rawat inap tuberkulosis paru di
rumah sakit cipto mangunkusumo jakarta. Indonesian Journal of Chest. 2014; 1(3): 95-98
52. Priyantomo, E.P., Salam A., dan Arundina, A. Description of body mass index in
tuberculosis patient with anti tuberculosis drugs theraphy in unit pengobatan penyakit
paru (UP4) pontianak. 2014
53. Fatchurohmah W, Sari OP. Gambaran faktor resiko pada penderita tuberkulosis di
puskesmas di kabupaten banyumas. Mandala of Health. 2014;7(3):556-63

68
54. Suharyo. Determinasi penyakit tuberkulosis di daerah pedesaan. KEMAS. 2013;9(1):85-
91

69

Вам также может понравиться

  • 443-1930-2-PB (1) Hubungan Status Refraksi, Dengan Kebiasaan Membaca, Aktivitas Di Depan Komputer, Dan
    443-1930-2-PB (1) Hubungan Status Refraksi, Dengan Kebiasaan Membaca, Aktivitas Di Depan Komputer, Dan
    Документ4 страницы
    443-1930-2-PB (1) Hubungan Status Refraksi, Dengan Kebiasaan Membaca, Aktivitas Di Depan Komputer, Dan
    Rosalia
    Оценок пока нет
  • IGD EMERGENSI
    IGD EMERGENSI
    Документ18 страниц
    IGD EMERGENSI
    leliamedia
    Оценок пока нет
  • Apa Panggilanmu
    Apa Panggilanmu
    Документ1 страница
    Apa Panggilanmu
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Epistaksis Anterior Dekstra/Sinistra et Causa Fraktur Os Nasal
    Epistaksis Anterior Dekstra/Sinistra et Causa Fraktur Os Nasal
    Документ47 страниц
    Epistaksis Anterior Dekstra/Sinistra et Causa Fraktur Os Nasal
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • DP 2
    DP 2
    Документ3 страницы
    DP 2
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • DP 2
    DP 2
    Документ3 страницы
    DP 2
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Skripsi Faktor Resiko Miopia Pada Siswa
    Skripsi Faktor Resiko Miopia Pada Siswa
    Документ56 страниц
    Skripsi Faktor Resiko Miopia Pada Siswa
    Rangga Duo Ramadan
    Оценок пока нет
  • Coass IV-penyakit Meniere
    Coass IV-penyakit Meniere
    Документ14 страниц
    Coass IV-penyakit Meniere
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Referat Anestesi - Propofol
    Referat Anestesi - Propofol
    Документ11 страниц
    Referat Anestesi - Propofol
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • PR Ika 27 Feb 2017
    PR Ika 27 Feb 2017
    Документ3 страницы
    PR Ika 27 Feb 2017
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Referat Anestesi - Propofol
    Referat Anestesi - Propofol
    Документ11 страниц
    Referat Anestesi - Propofol
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Background
    Background
    Документ4 страницы
    Background
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Case Ujian OD Matur + OS Hipermatur
    Case Ujian OD Matur + OS Hipermatur
    Документ23 страницы
    Case Ujian OD Matur + OS Hipermatur
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Referat Karsinoma Laring
    Referat Karsinoma Laring
    Документ22 страницы
    Referat Karsinoma Laring
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • BB Bayi
    BB Bayi
    Документ1 страница
    BB Bayi
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Case Pseudofakia
    Case Pseudofakia
    Документ12 страниц
    Case Pseudofakia
    Pratiwi Agustiyanti Soepratiknyo
    Оценок пока нет
  • Referat Anestesi - Propofol
    Referat Anestesi - Propofol
    Документ11 страниц
    Referat Anestesi - Propofol
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Referat Anestesi - Propofol
    Referat Anestesi - Propofol
    Документ11 страниц
    Referat Anestesi - Propofol
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Background
    Background
    Документ4 страницы
    Background
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Otitis Eksterna Maligna - Gio
    Otitis Eksterna Maligna - Gio
    Документ14 страниц
    Otitis Eksterna Maligna - Gio
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • NEFRITIS LUPUS
    NEFRITIS LUPUS
    Документ22 страницы
    NEFRITIS LUPUS
    Sri Soelistijawati
    100% (4)
  • PBL Blok 23
    PBL Blok 23
    Документ9 страниц
    PBL Blok 23
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Coass I Vestibuler
    Coass I Vestibuler
    Документ22 страницы
    Coass I Vestibuler
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • PR Ujian DR Djoko Katarak
    PR Ujian DR Djoko Katarak
    Документ4 страницы
    PR Ujian DR Djoko Katarak
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • PBL Fix
    PBL Fix
    Документ21 страница
    PBL Fix
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Coass I Vestibuler
    Coass I Vestibuler
    Документ22 страницы
    Coass I Vestibuler
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • LUPUS
    LUPUS
    Документ28 страниц
    LUPUS
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Penatalaksanaan
    Penatalaksanaan
    Документ8 страниц
    Penatalaksanaan
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет
  • Background
    Background
    Документ24 страницы
    Background
    Fiqih Vidiantoro
    Оценок пока нет