Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1
seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial seperti
dikucilkan oleh masyarakat.5
TB paru masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Puskesmas Kecamatan
Palmerah. Pada tahun 2013 angka kasus TB per 100.000 jiwa tertinggi di wilayah Jakarta
Barat ditemukan di Puskesmas Kecamatan Palmerah.2 Tahun 2016 sendiri terdapat total 382
kasus TB paru baru sedangkan pada tahun 2017 sejak bulan Januari hingga bulan Juni 2017
ditemukan 161 kasus baru TB paru. Oleh karena masih sedikitnya penelitian mengenai
gambaran kejadian TB paru dewasa dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Puskesmas
Kecamatan Palmerah maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Puskesmas
Kecamatan Palmerah periode Januari hingga Juni 2017.
2
1.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran kejadian TB paru pada orang dewasa dan faktor-faktor yang
mempengaruhi di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode Januari-Agustus
2017.
3
a) Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kejadian TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Palmerah
Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.
4
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi
5
keluarganya.Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu
kerjanya 3-4 bulan, sehingga berdampak pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20-30%.1 Dampak sosial dari penyakit TB dapat menimbulkan stigma
masyarakat yang buruk dan dikucilkan dari masyarakat.
6
Data dari hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis
TB paru oleh tenaga kesehatan adalah 0,4 persen, tidak berbeda dengan tahun 2007. Lima
provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta
(0,6%), Gorontalo (0,5%), dan Papua Barat (0,4%) (Kemenkes RI, 2013).3,4
2.3. Etiologi
Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh
Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri
tersebut diberi nama basil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru-paru kadang disebut sebagai
Koch Pulmonum (KP).10
Kuman ini mempunyai ciri-ciri kuman berbentuk batang, tipis atau agak bengkok dan
bersifat aerob, berukuran 0,5-4 mikron X 0,3-0,6 mikron, memiliki granular atau tidak
bergranular, tunggal, berpasangan atau berkelompok, tidak berspora, tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipid terutama asam
mikolat. Dapat bertahan terhadap penghilangan warna dengan asam dari alkohol (BTA
positif), mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80oC, 20 menit pada suhu 60oC),
mudah mati dengan sinar matahari dan tahan hidup berbulan bulan pada suhu kamar yang
lembab.10
7
2.4. Cara Penularan
Penderita TB paru BTA positif mengeluarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet ini akan mengering dengan cepat dan
keadaan ini dapat tetap bertahan di udara untuk beberapa jam. Droplet yang mengandung
kuman ini masuk kedalam paru melalui saluran nafas sampai alveoli, dan terjadilah infeksi
primer. Kuman TB yang terfagositosis makrofag juga mempunyai kemampuan berkembang
biak di dalam sel sehingga dapat terjadi kerusakan pada masa ini.
Apabila keadaan host baik, maka proses penyakit akan segera diakhiri dengan
pembentukan kapsul disekitar lesi oleh elemen-elemen limfosit dan fibroblast. Sebaliknya
apabila kondisi tuan rumah buruk, maka tuberkel akan tumbuh dan berkembang ke jaringan
di sekitarnya termasuk saluran limfe, pembuluh darah, dan bronki. Dengan demikian akan
terjadi penyebaran yang luas, tuberkulosis milier atau mengenai satu organ yang jauh dari lesi
primer. Yang dimaksud lesi primer adalah daerah terbatas tempat masuknya kuman ke dalam
jaringan untuk pertama kalinya bersama nodus limfe regional.
Infeksi primer dapat berkembang menjadi beberapa kemungkinan, yaitu tetap sebagai
orang yang terinfeksi TB paru tapi tidak menjadi penderita, menjadi penderita TB paru tidak
menular karena kumannya hanya menyerang jaringan paru, tidak menjalar sampai saluran
8
pernafasan, menjadi penderita TB paru yang menular karena kumannya tidak hanya
menyerang paru saja, tetapi sampai saluran pernapasan sehingga kuman dapat keluar melalui
saluran pernapasan.
Tuberkulosis post primer (reinfeksi) terjadi apabila peradangan jaringan paru oleh
karena terjadi penularan ulang, baik secara endogen maupun eksogen, kemudian di dalam
tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tuberkulosis tersebut. Apabila host sangat
hipersensitif, maka reaksi deposisi kuman TB akan berlangsung cepat dengan proses
perkijuan yang ekstensif. Dikenal dua golongan TB paska primer yaitu TB sekunder dan TB
tertier. Tuberkulosis sekunder berjalan akut dengan manifestasi alergi yang lebih berat,
sedangkan TB tertier berjalan kronik dan produktif.
9
Penemuan penderita TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak
TB dan populasi rentan. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Untuk
penjaringan terduga penderita TB dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung dengan promosi
secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat. Keterlibatan semua fasilitas
kesehatan ini dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan
pengobatan.6
1. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada
penderita dengan HIV, diabetes mellitus dan malnutrisi atau penyakit
immunosupresan.
3. Anak di bawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.
4. Kontak erat dengan pasien TB atau pasien TB yang resistan terhadap obat.
Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi penderita dengan gejala dan tanda
yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach
to Lung Health = PAL), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa
sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan penderita TB di faskes, mengurangi
terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.6
Tahap awal penemuan secara aktif penderita TB ini dilakukan dengan menjaring
mereka yang memiliki gejala utama penderita TB paru seperti batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-
gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Oleh karena itu, mengingat prevalensi TB
di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke faslitas kesehatan
masyarakat dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang terduga penderita TB
10
(terduga TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB),
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.10
1. Gejala respiratorik, berupa batuk 3 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar. Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik, berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
11
2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan.
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan. Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi
3 hari berturut-turut atau dengan cara: sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan),
dahak pagi (keesokan harinya), sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi).12
cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum dikirim ke laboratorium.12
1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan
lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
-
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
12
-
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
-
Bayangan bercak milier.
-
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
-
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas.
-
Kalsifikasi atau fibrotik.
-
Kompleks ranke.
-
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luas lesi yang tampak pada foto thoraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif):12
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kavitas.12
Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan daya tahan tubuh penderita, yaitu
dalam keadaan supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan TB.
13
Uji tuberkulin. Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi TB rendah. Di Indonesia dengan prevalensi TB yang tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar
sekali atau bula.12
Status HIV.
Menurut lokasi dan anatomi penyakit, TB dibagi menjadi 2, yaitu TB paru dan TB
ekstraparu. TB paru adalah infeksi TB yang terjadi di parenkim paru. TB milier juga
termasuk di dalam TB paru karena lesi terdapat pada jaringan paru. Sedangkan pasien dengan
TB di mediastinum maupun limfadenitis TB di rongga dada tidak termasuk karena lesi tidak
terdapat pada parenkim paru. TB ekstra paru merupakan infeksi TB yang terjadi di luar
parenkim paru. Seperti gibbus, Meningitis TB dan lain sebagainya.6
1. Pasien baru TB
Pasien baru merupakan pasien TB yang belum pernah mendapat pengobatan sama
sekali ataupun pasien TB yang sudah mendapatkan pengobatan tetapi kurang dari 1
bulan (28 dosis).
Pasien yang pernah diobati selama 1 bulan (28 dosis) atau lebih.
- Pasien kambuh
14
Pasien yang pernah mendapatkan pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
Pasien yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
- Lain-lain
Pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.
- Mono-resisten
- Poli-resisten
Terdapat lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid dan Rifampisin secara
bersamaan.
- Multidrug resisten
TB multidrug resisten dan juga resisten terhadap florokuinolon dan satu jenis OAT
lini kedua jenis suntikan.
- Resisten rifampisin
15
Pasien TB dengan hasil HIV positif sebelumnya atau mendapat ART atau hasil HIV
positif saat diagnosis TB.
Pasien TB dengan hasil HIV tes negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif saat
didiagnosis TB.
Pasien TB tanpa ada hasil tes HIV pada saat diagnosis ditegakkan (Jika sudah ada
hasil tes maka akan mengikuti hasil tes terakhir).6
2.7. Pengobatan TB
Pengobatan TB menggunakan paduan OAT jangka pendek selama 6 bulan yang terdiri
dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), Streptomisin (S), dan Ethambutol (E).
OAT terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pyrazinamid, dan Ethambutol. Obat-obat ini
digunakan sebagai kombinasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Rifampisin bekerja
menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan negatif. Isoniazid secara in vitro bersifat
tuberkulostatik dan tuberkulosid. Pyrazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap
16
kuman intrasel yang aktif membelah dan Mycobacterium tuberculosis. Ethambutol bekerja
menghambat sintesis metabolit sel, dan digunakan untuk menekan pertumbuhan kuman TB
yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin.6
Pada program pengobatan TB di Indonesia paduan OAT yang tersedia ada 3 macam
yaitu kategori-1, kategori-2, kategori-3, dan sisipan (HRZE). Paduan OAT kategori-1 dan
kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet
OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien.
KDT (Kombinasi Dosis Tetap) yang memiliki keuntungan antara lain penatalaksanaan
sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal, peningkatan kepatuhan dan
penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja,
peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar,
perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit, menurunkan risiko
penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi. Paket
Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Setiap
kategori pengobatan terdiri dari 2 tahap pemberian yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan
berkala. Pada fase awal penderita minum obat setiap hari dengan pengawasan penuh
sedangkan fase intermiten penderita minum obat 3 kali seminggu.
17
-
Kategori-1: 2(HRZE)/4(HR)3
Panduan obat ini terdiri atas: 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), dan Etambutol (E) diminum setiap hari diteruskan
dengan fase lanjutan atau intermiten selama 4 bulan dengan Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) tiga kali seminggu.
-
Kategori-2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
-
Pasien kambuh.
-
Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya.
-
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost-to follow up).
Paduan obat ini terdiri dari 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), dan Etambutol (E) diminum setiap hari, dan setiap
kali selesai minum obat langsung diberi suntikan Streptomisin di sarana pelayanan
kesehatan yang terdekat dengan rumah penderita. Kemudian satu bulan lagi diberikan
Paduan Sisipan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z), dan
Etambutol (E) diminum setiap hari tanpa suntikan. Setelah itu diteruskan dengan fase
lanjutan atau intermiten selama 5 bulan dengan HRE diminum secara intermiten atau
1 kali dalam 2 hari atau 3 kali seminggu.
Catatan:
-
Cara melarutkan Streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg).
-
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
18
-
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya
resistensi pada OAT lini kedua (OAT lini kedua yang digunakan terdiri dari
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,
dan PAS)
-
OAT lini kedua disediakan di Fanyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resisten obat.
-
Kategori-3: 2(HRZ)/4(HR)3
Diberikan untuk:
Paduan obat ini terdiri dari 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pyrazinamid (Z) diminum setiap hari kemudian diteruskan dengan
fase lanjutan atau intermiten selama 4 bulan dengan HR diminum 3 kali dalam
seminggu.
OAT untuk masing-masing kategori tersedia dalam bentuk kombipak yang sudah
dikemas dalam dos terpisah antara fase awal (intensif) dan fase lanjutan sehingga
memudahkan pasien dalam pemakaian obat.
19
Tabel 3. Dosis panduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Sumber : Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis tahun 2014
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas
dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,
20
bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit/dokter spesialis
paru/fasilitas yang mampu menanganinya.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien untuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan
mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain hal tersebut, petugas
kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada
saat mereka datang ke fasilitas layanan kesehatan untuk mengambil obat. Efek samping yang
terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya.1
21
Tabel 7. Efek Samping OAT6
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Ringan
Tidak ada nafsu makan, H,R,Z OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
mual, sakit perut keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
sedikit makanan. Apabila keluhan semakin
hebat disertai muntah, waspada efek samping
berat dan segera rujuk ke dokter
Warna kemerahan pada air R Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi
seni (urine) obat penawar tapi perlu penjelasan kepada
pasien
Berat
Bercak kemerahan kulit H, R, Z, S Penatalaksanaan pada kulit
(rash) dengan atau tanpa rasa
gatal
22
2.8. Pencegahan TB
Pengobatan TB secara lengkap juga memainkan peran penting dalam pencegahan TB.
Pengobatan TB harus lengkap dan teratur sesuai kategorinya dan petunjuk sampai pasien
dinyatakan sembuh. Apabila pasien berhenti menelan obat sebelum selesai pengobatan akan
berisiko untuk:
c. Kuman menjadi kebal atau tidak mempan terhadap OAT lini pertama.
Obat anti TB (OAT) lini pertama yang tersedia saat ini tidak dapat membunuh kuman
yang telah kebal terhadap OAT lini pertama menyebabkan pasien terpaksa membutuhkan
penanganan yang lebih mahal dan lebih lama.
Perilaku lain yang perlu dilakukan oleh penderita TB adalah menelan obat secara
teratur sampai tuntas sesuai jadwal dan aturan yang diberikan oleh dokter. Selain itu, tidak
membuang dahak di sembarang tempat dan tertutup seperti membuang dahak di dalam wadah
atau kaleng yang bertutup yang sudah diberikan air sabun. Buang dahak ke dalam lubang WC
atau timbun ke dalam tanah di tempat yang jauh dari keramaian. Menutup mulut dengan tisu
atau saputangan jika batuk, bersin atau saat tertawa. Setelah itu, tisu atau sapu tangan itu
disimpan dalam tempat yang tertutup dan dibuang di tempat sampah.15
23
1. Menjemur alat tidur.
2. Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk. Sinar
matahari yang masuk ke dalam rumah akan dapat mematikan kuman TB.
7. Mencuci tangan hingga bersih di air yang mengalir setelah selesai buang air besar,
sebelum dan sesudah makan.
8. Beristirahat cukup.
2.9.1. Usia
24
kejadian TB lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua, dan
pada kelompok umur yang lebih tua (>=70 tahun) angka kejadian penyakit TB lebih
kecil dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih muda pada OR 1,180
(95%.CI:0,872-1,598).17
Penelitian lain mengatakan ada hubungan yang bermakna antara usia dengan
kejadian penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori (p= 0,012).Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indah Mahfuzhah di kota pontianak
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan penderita tuberculosis
paru. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Ogboi S.J, dkk tahun 2010 di
Nigeria yang menyatakan bahwa ada hubungan antara Umur dengan penderita
tuberculosis paru. Sedangkan Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Helda Suarni di Kota depok tahun 2009 di mana umur tidak mempuyai
hubungan dengan kejadian TB paru.19Penelitian lain di Indonesia kelompok umur 55
74 tahun mempunyai risiko yang lebih rendah (OR = 0,473) untuk menderita TB
dibandingkan dengan kelompok usia produktif (1534 tahun) dan bermakna secara
statistik (95%CI = 0,2540,880, p= 0,018).20
25
laki-laki sebanyak 70 orang (62,5%) karena laki-laki adalah kepala keluarga dan harus
mencari nafkah sehingga mereka kemungkinan besar terkena TB paru dari lingkungan
kerja mereka yang tidak baik, sedangkan responden berjenis kelamin perempuan
berjumlah sebanyak 42 orang (37,5%) yang kemungkinan mereka tertular penyakit
TB paru dari keluarga, kerabat dekat ataupun dari teman di lingkungan kerja mereka
bekerja.21Distribusi menurut jenis kelamin, penderita Tb paru tertinggi terjadi pada
kelompok laki-laki dibandingkan perempuan di masing-masing propinsi dengan
presentase di DKI Jakarta sebesar 60,8%, di Banten 52,0% dan di Sulawesi Utara
63,1%.22
Hasil penelitian menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kejadian penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori. Jenis
kelamin laki-laki mempunyai kemungkinan 6 kali lebih besar untuk terkena penyakit
TB dibanding jenis kelamin perempuan, dengan nilai p 0,000 (p < 0,05) dan OR 6.212
(95% Cl 2.451-15.743).19Penelitian lain mengatakan besar risiko laki-laki untuk
menderita TB 1.613kali dibandingkan dengan perempuan (95% CI = 1,0562,464, p =
0,027).19 Selain itu, variabel jenis kelamin (p=0,039, X2= 4,273) berhubungan dengan
kejadian TB paru di Sulawesi Selatan, di mana didapatkan laki-laki lebih banyak
menderita TB Paru.20
26
2.9.3. Tingkat Pendidikan
27
Hasil Penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Paniki Bawah, didapatkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian
Tuberkulosis paru dengan nilai p value 0,400 (p<0,05) dan OR = 1,897 (95% CI =
0,614-5,862) dimana OR lebih dari angka satu yang berarti tingkat pendidikan
merupakan faktor resiko kejadian Tuberkulosis paru atau responden yang memiliki
pendidikan rendah beresiko 1,897 kali lebih besar untuk menderita penyakit
Tuberkulosis paru dibanding responden yang memiliki pendidikan tinggi tetapi karena
CI mencakup angka satu yang berarti tidak terdapat kemaknaan hubungan antara
tingkat pendidikan dengan kejadian Tuberkulosis paru.25Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiara Purba (2016) dimana didapatkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian Tuberkulosis
paru. Dan hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sumarmi (2012) bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan Tuberkulosis
paru dengan besar resiko sebesar 2,550 kali.
28
menjadi penyebab timbulnya penyakit infeksi termasuk penyakit TB paru.
Lingkungan kerja yang buruk tidak pernah mendapatkan pengawasan, misalnya uap
dan gas-gas toksik yang dapat berbahaya bagi pernafasan jika terhirup dan
mencemarkan udara, debu yang dapat menjadi polutan dan juga mencemarkan udara,
suhu lingkungan yang lembab dan kotor dapat menjadi tempat berkembangnya bakteri
Mycobacterium tuberculosis, dan perilaku masyarakat yang tidak sehat seperti tidak
menjaga kebersihan diri dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan antara lingkungan kerja penderita TB paru terhadap
kejadian penyakit TB paru, hal ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian TB paru di wilayah penelitian.29
Hasil penelitian di Bandar Lampung, dari hasil uji statistik didapatkan nilai p-
value (0,00) berarti p < (0,05) artinya (Ho) ditolak, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan bermakna antara lingkungan kerja penderita TB paru
terhadap kejadian TB paru di Puskesmas Panjang Bandar Lampung tahun 2015.
Adapun OR = 0,473 (0,372-0,602) dapat diketahui bahwa orang yang bekerja di
lingkungan kerja yang tidak baik mempunyai resiko 0,472 kali terkena TB paru
dibandingkan dengan orang yang bekerja di lingkungan kerja yang baik.21 Penelitian
lain juga menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pekerjaan dengan
kejadian TB pada usia produktif di Indonesia.16
29
paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Faktor
kemisikinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian tuberkulosis paru
namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan
yang rendah dengan angka kejadian TB paru.24 Keluarga yang mempunyai
pendapatan lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan
rumah tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan yang jumlah
dan kualitasnya memadai bagi keluarga mereka, serta mampu membiayai
pemeliharaan kesehatan yang mereka perlukan.16
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sri Marisya di wilayah kerja Puskesmas
Kabuaten Ketapang Kalimantan Barat yang mendapatkan hasil p=0.082 lebih besar
dari 0.05 dan nilai CI (0.917-2.985) dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara status ekonomi dengan kejadian TB paru di wilayah kerja tersebut.32
Status gizi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan sebab status gizi
merupakan salah satu dari beberapa faktor penyebab terjadinya penyakit TB Paru.
Kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dan lain-lain, akan mempengaruhi daya
tahan tubuh seseorang. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan daya tahan
tubuh seseorang menjadi menurun sehingga sangat rentan terhadap penyakit TB Paru.
Ada kecenderungan responden yang memiliki IMT <18,5 kurang memperhatikan
asupan makanan yang mereka konsumsi.33Penelitian tentang gambaran status gizi
pasien TB paru ini juga telah dilakukan oleh Prof. Arsunan Arsin tahun 2012 di kota
30
Makassar terdapat paling banyak yang memiliki status gizi kurang (51,3%), dibandingkan
yang memiliki status gizi normal (40,7%) dan gizi lebih (8,0%).27
Hasil Penelitian hubungan status gizi dengan kejadian TB Paru di wilayah
kerja puskesmas putri ayu kota jambi 2014 didapatkanStatus gizi buruk pada jumlah
penderita TB Paru sebanyak 31orang (67,4%) daripada status gizi baik dengan jumlah
penderita sebanyak 14 orang (31,8%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa Faktor
status gizi mempunyai hubungan dengan kejadian TB Paru karena diperoleh p-value
0,002 (p < 0,05). Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR sebesar 4,429 (95% CI =
1,829-10,726) maksudnya adalah orang dengan status gizi buruk (IMT < 18,5)
mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB Paru sebanyak 4,429 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang status gizi baik (IMT 18,5).33
Hasil penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru
dewasa, didapatkanProporsi status gizi (IMT) kurang pada kelompok TB paru 64,2 %
lebih besar dari kelompok bukan TB 11,3 %.Keadaan status gizi dan penyakit infeksi
merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia,
penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya
tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan
gizi yang buruk ,maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan
dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun 31
Penelitian di Kota Tidore mengatakan hasil uji statistik diperoleh nilai p =
0.789 serta nilai OR=1.333 artinya p > alpha (0.005), sehingga dapat disimpulkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian TB paru.34Hasil
penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan kejadian TB paru dengan status gizi
(p = 0,003), yaitu orang yang gizi kurang/buruk mempunyai risiko terkena TB 2,101
kali lebih besar dibandingkan dengan yang gizi baik, bermakna secara statistik di
Indonesia (95% CI = 1,2003,679, p = 0,009).19Penelitian lain didapatkan hubungan
yang bermakna antara status gizi dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Andalas (p=0,001, p<0,05), odds ratio 9,412 artinya responden dengan
status gizi kurang beresiko 9,4 kali menderita TB Paru dibandingkan dengan
responden dengan status gizi normal dan atau berlebih.35
31
vaksin yang mengandung kuman TBC yang dilemahkan. Sesudah vaksinasi BCG,
kuman TB dapat masuk ke dalam tubuh, namun daya tahan tubuh yang meningkat
akan mengendalikan kuman TB. Penelitian (Simbolon, 2007) di kabupaten rejang
lebong menunjukkan bahwa orang yang tidak mendapat imunisasi BCG berisiko
sebesar 2,855 kali ( CI 95%, 1,012-8,059) lebih besar untuk terjadinya TB paru
dibandingkan orang yang mendapat imunisasi BCG. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Apriyanidi Kabupaten Donggala propinsi Sulawesi Tengah menemukan
bahwa kelompok yang tidak divaksinasi BCG mempunyai risiko 1,43 kali lebih besar
untuk menderita TB Paru dibandingkan orang yang pernah diimunisasi.Putrali dan
Gunadi, menyatakan bahwa efektifitas immunisasi BCG untuk melindungi dari semua
jenis TB adalah 37% dan untuk TB berat sebesar 66%. Hasil penelitian yang
dilakukan di India oleh Murhekar, dkk menemukan bahwa efek perlindungan vaksin
BCG pada kelompok usia 21-30 tahun lebih tinggi (63,2%) dibandingkan kelompok
usia 11- 20 tahun (51,8%).36Sejalan dengan penelitian ( Lienhardt, et al., 2005), yang
menyebutkan ada hubungan antara bekas luka/ parut imunisasi BCG dengan kejadian
TB Paru dengan nilai p-value sebesar 0.02. 37
32
dipergunakan bersama akan meningkatkan risiko perokok untuk mendapatkan infeksi
termasuk TB. Jadi insidens dan beratnya TB berhubungan dengan penggunaan rokok.
33
rumah dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Andalas. Odd Ratio pada
penelitian ini 3,500 diartikan bahwa kondisi pencahayaan rumah yang tidak
memenuhi syarat berisiko 3,5 kali lebih besar menderita TB paru dibandingkan
dengan yang memenuhi syarat.38
Sementara itu, penelitian di Kabupaten Wonogiri, pencahayaan ruangan yang
tidak memenuhi syarat banyak terdapat pada kelompok kasus (76,5%) dibandingkan
dengan responden pada kelompok kontrol (47,1%) dengan total pencahayaan ruangan
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 61,8%. Hasil uji statistik menunjukkan di mana
nilai p = 0,025, OR = 3,7, dan 95% CI = 1,3-10,3.Kuman tuberculosis dapat bertahan
hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahuntahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan
panas api, kuman mycobacterium tuberculosa akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar
matahari, rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita
tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.39
Penelitian di Kota Tidore menyatakan bahwa hasil uji statistik dari 60
responden diperoleh kelompok responden dengan hunian yang memiliki pencahayan
matahari dengan baik sebanyak 38 (63.3 %) responden, dan responden dengan
pencahayan yang kurang baik sebanyak 22 (36.7 %) respon dengan nilai p = 0.422
serta nilai OR=1.784 artinya p > alpha (0.005), sehingga dapat disimpulkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara faktor pencahayaan matahari dengan kejadian TB
paru.26
34
tidak bertahan lama di dalam rumah. Hasil penelitian Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Andalas Tahun 2013 diketahui bahwa pada kasus TB lebih banyak terdapat ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat, yakni 18 (54,5%). Sedangkan untuk vetilasi
rumah yang memenuhi syarat pada kasus TB berjumlah 15 (45,5%). Dengan uji Chi
Square didapatkan nilai p=0,324 (>0,05), sehingga secara statistik tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di
wilayah kerja Puskesmas Andalas. Penelitian yang dilakukan Putra di Kota Solok
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi rumah dengan
kejadian TB paru.38
35
Penelitian lain mengatakan bahwa kejadian TB paru pada penduduk usia 15
tahun ke atas di Sumatera banyak terjadi pada kelompok responden yang mempunyai
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat sebesar 0,57% sedangkan pada
responden dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat sebesar 0,43%. Berdasarkan
hasil analisis diperoleh nilai PR 1,314 (90% CI: 1,034- 1,670) dengan demikian
responden yang mempunyai ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat mempunyai
risiko 1,314 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan responden yang
memiliki ventilasi rumah yang memenuhi syarat.35
2.9.11. Kepadatan Hunian
36
memenuhi syarat.41
37
2.9.14. Pengetahuan tentang Penyakit TB Paru
Hubungan pengetahuan pasien dengan kejadian TBC Paru pada pasien rawat
jalan di Poli RSUD Scholoo Keyen Kabupaten Sorong Selatan. Bahwa pengetahuan
baik dengan Kejadian TBC Paru (+) lebih besar (54,2%) daripada kejadian TBC Paru
(-) yaitu (45,8%). Pengetahuan cukup dengan kejadian TBC Paru dengan BTA (+)
lebih besar (76,9%) daripada kejadian TBC Paru BTA (-) yaitu (23,1%) dan
pengetahuan kurang dengan Kejadian TBC Paru (+) lebih besar (52,9%) daripada
kejadian TBC Paru (-) yaitu (47,1%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-
square diperoleh nilai p= 0,000 Nilai (alpha)0,05 dengan demikian Ho ditolak
yang berarti ada hubungan pengetahuan pasien dengan kejadian TBC Paru pada
pasien rawat jalan di Poli RSUD Scholoo Keyen Kabupaten Sorong Selatan. Hasil
penelitian diatas sesuai dengan teori yang di kemukakan oleh Arikunto (2005) bahwa
tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang untuk pencegahan penularan
penyakit TBC Paru. Dalam hal ini tingkat pengetahuan baik dan cukup dapat
mempengaruhi seseorang dalam pencegahan penularan tentang penyakit TBC Paru.
Seseorang yang berpengetahuan kurang akan menyebabkan seseorang tidak dapat
untuk mencegah dan menularkan sehingga dapat meningkatkan angka kejadian
38
penyakit TBC Paru. Pengetahuan merupakan proses belajar dengan menggunakan
panca indra yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk dapat
menghasilkan pengetahuan dan keterampilan (Notoatmodjo, 2007). 34
Dilihat dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
yang bersangkutan. Kesehatan manusia atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor
pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior
causes). Perilaku itu sendiri terbentuk atau ditentukan oleh tiga faktor yaitu:44,45
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan suatu kelompok penuntun atau
pembimbing bagi masyarakat.
Sikap adalah reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek. Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap adalah pengetahuan
yang dimiliki seseorang. Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki seseorang akan
memberikan kontribusi terhadap terbentuknya sikap yang baik. Pembentukan sikap
tidak dapat dilepaskan dari adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti
pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa,
serta faktor emosional dari individu. Ini membuktikan bahwa sikap yang kurang baik
merupakan faktor resiko untuk terjadinya penularan tuberkulosis paru. Jika sikap
masyarakat sudah baik maka masyarakat akan mudah untuk melakukan suatu
perbuatan yang baik, tetapi jika sikap ini masih kurang maka akan memberikan
dampak yang negatif bagi kesehatan masyarakat. Perubahan sikap harus didahului
oleh peningkatan tingkat pengetahuan agar mewujudkan komunitas yang sehat.44
39
Jakarta Utara Tahun 2013, mendapatkan sebanyak 33 responden (55%) mempunyai
sikap positif serta sebanyak 27 responden (45%) mempunyai sikap yang negatif
dengan uji statistik p-value sebesar 0.003 (p<0.05), menyatakan ada hubungan yang
signifikan antara sikap dan kejadian penyakit TB paru.44
Namun, hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan di Desa Wori
Kecamatan Wori. Terdapat 53 responden yaitu sekitar (54.6%) memiliki sikap yang
positif dan 44 responden (45.4%) memiliki sikap yang negatif dengan uji statistiknya
p-value 0.281 (p> 0.05), yang berarti tidak ada hubungan antara sikap dengan
kejadian penyakit TB.46 Hal yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan di
NTB mengenai hubungan perilaku dan kondisi lingkungan fisik rumah dengan
kejadian TB paru di Kota Bima Provinsi NTB mendapatkan responden yang bersikap
positif adalah sebanyak 146 orang (77.7%) dan 42 orang bersikap negatif (22.3%)
dengan hasil uji chi-square p=0.160, yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara
sikap responden dengan kejadian TB paru.47
40
2.10 Kerangka Teori
Pengetahuan
Pencahyaan Kepadatan Tingkat TB
Hunian Pendapatan
ventilasi
Riwayat Merokok
Kontak
Pekerjaan
Jenis
Kelamin
Faktor
Penularan Host Umur
Berat
Badan
Imunisasi Tinggi
BCG Badan
Perilaku
Olahraga
Kejadian TB Etika Batuk
Paru
Buang
dahak Perilaku
hidup Sehat
41
2.11. Kerangka Konsep
Jenis Kelamin
BAB 3
Usia
Kepadatan
Hunian
Tingkat
pendidikan
Ventilasi
Kejadian TB Paru di Pekerjaan
Puskesmas Kecamatan
Palmerah
Pencahayaan
Alami
Status Gizi
Riwayat
Kontak
42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
43
Penderita yang berobat TB paru di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat
periode Januari-Agustus 2017.
Semua penderita TB paru dewasa yang bersedia menjadi responden di Puskesmas
Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017.
3.5.2 Kriteria Eksklusi
Semua penderita TB paru pada anak diPusekesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta
Barat periode Januari- Agustus 2017.
Semua penderita TB paru yang disertai komplikasi penyerta; diabetes melitus,
HIV.
Penderita MDR Tuberkulosis paru.
3.6 Perhitungan Besar Sampel
3.6.1 Besar Sampel
Perhitungan besar sampel berdasarkan rumus :
Z()2 . p . q
n1= d2 n2= n + ( 10 % . n1)
Keterangan :
n1 : Jumlah sampel minimal
n2 : Jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen
responden yang mungkin drop out)
Z() : Tingkat batas kepercayaan, dengan = 5 %
Didapat Z() pada kurva normal = 1,96
d2 : Kesalahan yang dapat ditolerir (10-15%)
p : Proporsi variabel yang ingin diteliti
q : 1p
44
Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin
dan kepadatan hunian dengan kejadian
penyakit TB paru di Desa Wori Kecamatan
Wori. Jurnal Kedokteran Komunitas dan
Tropik. 2015
Analisis Hubungan Kondisi Fisik Rumah Pekerjaan 3,84 53,2% 46,8% 15% 43
Dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di
Puskesmas Kotabumi II, Bukit Kemuning
dan Ulak Rengas Kab. Lampung Utara
Tahun 2012
Muaz F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan 3,84 59,8% 41,2% 15% 43
Kejadian Tb Paru Basil Tahan Asam Positif
di Puskesmas Kecamatan Serang Kota
Serang.2014
Loihala M. Faktor-Faktor yang Status Gizi 3,84 65% 35% 15% 43
Mempengaruhi Kejadian Tb Paru Basil
Tahan Asam Positif di Puskesmas
Kecamatan Serang Kota Serang.2014
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo K. Faktor Lingkungan 3,84 64,7% 35,3% 15% 43
Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di (Ventilasi)
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
2012
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo K. Faktor Lingkungan 3,84 61,8% 38,2% 15% 43
Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di (Pencahayaan)
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
2012
Azhar K, Perwitasari D. Kondisi Fisik Lingkungan 3,84 58.3% 41.7% 15% 43
Rumah dan Perilaku dengan Prevalensi TB (Kepadatan
Paru Di Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Hunian)
Sulawesi Utara. Jurnal Media Litbangkes.
2013
Rusnoto, dkk. Faktor-faktor yang Riwayat 3,84 63,8% 36,2% 15% 43
berhubungan dengan kejadian TB paru pada Kontak
usia dewasa (studi kasus di balai pencegahan
45
dan pengobatan penyakit paru Pati).
Universitas Diponegoro. 2006.
Untuk menjaga kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out maka
dihitung
n2 = n1 + (10% . n1)
46
3.8.5 Menentukan sampel dengan teknik non-probability sampling yaitu convinience
sampling. Sampel diambil berdasarkan populasi terjangkau yaitu seluruh penderita
tuberkulosis di Puskesmas Kecamatan Palmerah, yang sudah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
3.8.6 Melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan instrumen penelitian
berupakuesioner, dan rekam medis di Puskesmas Kecamatan Palmerah dan
melakukan uji kuisioner ke pengunjung Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan.
3.8.7 Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program Computer
Statistical Package for Social Science version 16 (SPSS).
3.8.8 Penulisan laporan penelitian.
3.8.9 Pelaporan penelitian.
3.9 Manajemen Data
3.9.1 Pengumpulan Data
Sumber Data
Sumber data ini terdiri dari data primer yaitu data yang diperoleh oleh peneliti yang
diambil dari sampel menggunakan kuesioner dan rekam medik penderita TB paru di
Puskesmas Kecamatan Palmerah.
Instrumen Penelitian
47
Data diinterpretasikan secara deskriptif variabel-variabel yang telah ditentukan.
3.9.6 Pelaporan Data
Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan
dipresentasikan di hadapan staf pengajar Program Pendidikan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
dalam forum pendidikan Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UKRIDA.
48
Alat Ukur : Kuisioner/data rekam medis
Cara Ukur : Mengisi kuisioner/membaca data rekam medis
Hasil Ukur : Rendah, bila responden tidak bersekolah atau tidak tamat sekolah
menengah pertama (SMP); Sedang, bila responden mendapat pendidikan dengan
masa belajar hingga SMA; Tinggi, bila responden mendapat pendidikan dengan
masa belajar hingga tamat perguruan tinggi (Sarjana / Diploma)
Skala Ukur : Ordinal
Koding : 3 = Tinggi, 2 = Sedang, 1 = Rendah
3.10.4 Status Pekerjaan
Definisi : profesi atau kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari dalam upaya
mendapatkan imbalan uang atau materi untuk pemenuhan kebutuhan hidup
keluarga.
Alat ukur : kuesioner / data rekam medis
Cara ukur : Mengisi kuisioner/membaca data rekam medis
Hasil ukur : bekerja, tidak bekerja
Skala ukur : nominal
Koding : 0 = tidak bekerja, 1= bekerja
3.10.5 Status Gizi
Definisi : suatu pengukuran gizi seseorang menggunakan indeks massa tubuh,yang
diukur menggunakan BB dan TB
Alat ukur : rekam medis
Cara ukur : melihat rekam medis
Hasil ukur : < 18,5 (kurang) , 18,5-22,9 (cukup), 23(lebih)
Skala ukur : Ordinal
Koding 1 = < 18,5, koding2 = 18,5-22,9, koding 3 = 23
3.10.6 Riwayat Kontak
Definisi : Riwayat kontak seseorang dengan penderita TB paru yang
serumah/tinggal bersama secara terus-menerus sebelum didiagnosis penyakit TB
paru.
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : Mengisi kuesioner
Hasil Ukur : Riwayat kontak (+), riwayat kontak (-)
Skala Ukur : Nominal
49
Koding : 1 = Kontak dengan penderita, 0 = Tidak kontak dengan penderita
3.10.7 Lingkungan
3.10.7.1. Ventilasi
3.10.7.2. Pencahayaan
Hasil ukur : Memenuhi Syarat ( bila pada siang hari tidak diperlukan
bantuan alat penerangan untuk dapat membaca dengan jelas pada
kedua ruangan ( cukup) , Tidak Memenuhi Syarat ( bila pada siang hari
diperlukan bantuan alat penerangan untuk dapat membaca dengan jelas
pada salah satu atau kedua ruangan)
50
3.10.7.3. Kepadatan Rumah
Hasil ukur : Memenuhi syarat bila rasio hunian 10 m2/ orang (tidak
padat) , tidak memenuhi syarat bila rasio hunian < 10 m2/orang (
padat).
51
Bab IV
Hasil Penelitian
Tabel 9. Analisis Univariat Distribusi karakteristik pasien Tuberkulosis paru (TB paru) di
Poli TB Paru di Puskesmas Keacamatan Palmerah Jakarta Barat Periode Januari-
Agustus 2017.
52
Umur Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Non Produktif 8 6 14
Produktif 20 13 33
28 19 47
Ventilasi Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Memenuhi Syarat 5 6 5 16
Tidak Memenuhi 17 10 4 31
Syarat
22 16 9 47
53
Pencahayaan Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Memenuhi Syarat 6 6 7 19
Tidak Memenuhi 16 10 2 28
Syarat
22 16 9 47
Umur TB Paru
BTA Positif BTA Negatif
Non Produktif 7 7 14
Produktif 23 10 33
30 17 47
54
Bab V
Pembahasan
55
penelitian 47 sampel, proporsi laki-laki berjumlah 28 orang (59.6%) penderita TB paru dan
proporsi perempuan berjumlah 19 orang (40.4%) penderita TB paru. Dapat disimpulkan
bahwa penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan penderita perempuan yang menderita
TB paru dewasa yang berada di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat periode
Januari-Agustus 2017.Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Prof. Arsunan Arsin dkk pada
tahun 2012 mengenai gambaran asupan zat gizi dan status gizi pasien tuberkulosis paru di Kota
Makassar didapatkan hasil dari total 113 pasien terdapat 73 orang (64,6%) berjenis kelamin laki
laki dan 40 orang (35,4%) berjenis kelamin perempuan.Kemudian penelitian Andhika di
Kabupaten Bandung Barat tahun 2012, yang memaparkan bahwa pasien tuberkulosis paru laki-
laki sebanyak 54,8%.27 Hasil penelitian tersebut sesuai dengan laporan Department of Gender and
Womens Health World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahwa insiden dan
prevalensi tuberkulosis lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki daripada
perempuan.Menurut R.E. Watkins dan A.J. Plant hal ini disebabkan karena kebiasaaan merokok
pada laki-laki. Merokok telah diidentifikasi sebagai salah satu dari sejumlah variabel yang
mungkin terkait dalam risiko angka kejadian tuberkulosis menurut jenis kelamin di dunia.27
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktafiyana, berdasarkan jenis kelamin
responden, yang paling banyak adalah laki-laki sebanyak 70 orang (62,5%) karena laki-laki
adalah kepala keluarga dan harus mencari nafkah sehingga mereka kemungkinan besar
terkena TB paru dari lingkungan kerja mereka yang tidak baik, sedangkan responden berjenis
kelamin perempuan berjumlah sebanyak 42 orang (37,5%) yang kemungkinan mereka
tertular penyakit TB paru dari keluarga, kerabat dekat ataupun dari teman di lingkungan kerja
mereka bekerja.21 Distribusi menurut jenis kelamin, penderita Tb paru tertinggi terjadi pada
kelompok laki-laki dibandingkan perempuan di masing-masing propinsi dengan presentase di
DKI Jakarta sebesar 60,8%, di Banten 52,0% dan di Sulawesi Utara 63,1%.22
Berdasarkan tabel 9 didapatkan bahwa sebaran tingkat pendidikan penderita TB
paru di Puskesmas Kecamatan Palmerah Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 dengan
total subjek penelitian 47 sampel, dengan proporsi terbesar pada tingkat pendidikan rendah
sebanyak 22 orang (46.8%), dan proporsi terkecil pada tingkat pendidikan tinggi sebanyak 9
(19.1%), sedangkan tingkat pendidikan sedang sebanyak 16 (34%). Dapat disimpulkan
bahwa secara mayoritas tingkat pendidikan penderita TB di Puskesmas Kecamatan Palmerah
Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 adalah rendah. Penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian di Kota Tidore menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
kejadian TB. Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata responden mempunyai pendidikan
SMP sebanyak 51 orang (45,5%) dan SMA sebanyak 40 orang (35,7%), di mana pada
56
pendidikan seperti itu seharusnya mereka tahu tentang penyakit TB paru tapi kemungkinan
mereka tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) mereka dengan baik.26 Penelitian di
Sulawesi Selatan, Tingkat pendidikan paling banyak adalah tamat SD sebanyak 27,2%
(11.341 orang). Sedangkan paling rendah tamat perguruan tinggi yaitu 5,1% (2.141 orang).20
57
bagi jasmani, rohani, dan sosial sehingga bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka dapat
menurunkan status kesehatan dimana daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang
penyakit TB Paru.48
Berdasarkan tabel 9 didapatka bahwa sebaran Status Gizi penderita TB paru di
Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 dengan total
subjek penelitian 47 sampel, dengan proporsi status gizi kurang berjumlah 24 ( 51.1%), status
gizi cukup berjumlah 18 ( 38.3%) dan status gizi lebih sebanyak 5 ( 10.6%). Dapat
disimpulkan bahwa penderita TB paru di puskesmas kecamatan Palmerah periode Januari-
Agustus 2017 sebagian besar memiliki status gizi kurang. Hasil penelitian ini sesuai dengan
Penelitian yang dilakukan oleh Fadhalna dkk di rumah sakit Undata Palu Sulawesi Tengah
tahun 2017 menunjukan hasil yang sama yaitu mayoritas penderita TB paru memiliki IMT
dibawah normal sebanyak 29 orang (64.4%) dari total 45 sampel.50 Penelitian lain yang
dilakukan olehHasil yang sama juga diperlihatkan oleh penelitian Tedja dkk mengenai status
nutrisi pasien rawat inap TB paru di rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dimana
terdapat 229 pasien TB paru dengan IMT yang rendah (66.4%), 85 pasien dengan IMT
normal (6.4%) dan 9 pasien dengan IMT lebih (2.6%). Nutrisi dan infeksi berinteraksi satu
sama lain secara sinergis. Infkesi berulang menyebabkan tubuh kehilangan nitrogen dan
memperburuk status nutrisi sehingga dapat terjadi malnutrisi, sebaliknya malnutrisi akan
meningkatkan kerentanan pejamu terhadap infeksi.51Nutrisi juga memengaruhi
kecenderungan kesembuhan dari infeksi TB. Pada IMT overweight kemungkinan reinfeksi
TB dapat terjadi apabila IMT yang berlebihan menjurus kearah penyakit metabolik yang
dapat meningkatkan resiko reinfeksi TB seperti diabetes melitus.52
58
Begitu juga dengan ventilasi, rumah dengan ventilasi yang kurang akan berpengaruh terhadap
kejadian tuberkulosis paru. Ventilasi rumah berfungsi untuk mengeluarkan udara yang
tercemar (bakteri, CO2) di dalam rumah dan menggantinya dengan udara yang segar dan
bersih atau untuk sirkulasi udara tempat masuknya cahaya ultra violet.40 Walaupun penderita
TB ini tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita lain, namun memiliki lingkungan
yang tidak memenuhi syarat seperti yang dijelaskan diatas dapat meningkat angka kejadian
TB paru.
Berdasarkantabel9didapatkanbahwasebaran ventilasi rumah penderita TB paru dengan
total subjekpenelitian 47sampel,proporsi ventilasi rumah penderita TB yang memenuhi syarat
rumah sehat berjumlah 16 orang (12.8%)danproporsi ventilasi rumah penderita TB paru yang
tidak memenuhi syarat rumah sehat berjumlah 41 orang (87.2%) penderita TB paru.
Dapatdisimpulkanbahwa ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat
lebihbanyakdibandingkan ventilasi rumah yang memenuhi syarat rumah sehatpada penderita
TB parudewasa yang berada di PuskesmasKecamatanPalmerah Jakarta Barat periodeJanuari-
Agustus2017. Penelitian yang dilakukan oleh Syafri tahun 2015 mengenai hubungan kondisi
fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas ngemplak boyolali
menghasilkan hasil yang berbeda dimana didapatkan 19 rumah penderita TB paru (100%)
memiliki ventilasi yang memenuhi syarat rumah sehat yaitu >= 10% dari luas lantai.49
Sedangkan dari hasil penelitian oleh Izzati dkk mengenai faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas Andalas tahun 2013
didapatkan hasil rumah yang memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar 18
rumah (54.5%) dan yang memenuhi syarat sebesar 15 rumah (45.5%). 38 Penelitian lain
dilakukan oleh Wiwiek dan Octaviani pada tahun 2014 mengenai gambaran faktor risiko
penderita TB di puskesmas kabupaten Banyumas terdapat 10 dari total 15 penderita TB paru
yang memiliki rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat rumah sehat.53
Berdasarkantabel9 didapatkanbahwasebaran pencahayaan rumah penderita TB paru
dengan total subjekpenelitian 47sampel,proporsi pencahayaan rumah penderita TB paru yang
memenuhi syarat rumah sehat berjumlah 4 orang (8.5%) penderita TB parudanproporsi
pencahayaan rumah penderita TB paru yang tidak memenuhi syarat rumah sehat berjumlah
43 orang (91.5%) penderita TB paru. Dapatdisimpulkanbahwa pencahayaan rumah yang
tidak memenuhi syarat lebihbanyakdibandingkan pencahayaan rumah yang memenuhi syarat
rumah sehatpada peenderita TB parudewasa yang berada di PuskesmasKecamatanPalmerah
Jakarta Barat periodeJanuari-Agustus2017. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Syafri dimana terdapat 15 rumah (78.9%) dengan pencahayaan tidak
59
memenuhi syarat rumah sehat (<60 lux) dan 4 rumah (21.1%) dengan pencahayaan yang
memenuhi syarat.49 Begitu juga dengan penelitian Suharyo pada tahun 2013 mengenai
determinasi penyakit tuberkulosis di daerah pedesaan dimana berdasarkan hasil observasi dan
pengukuran didapatkan hasil bahwa keadaan pencahayaan rumah subyek penelitian rata-rata
adalah 21 lux dan tidak memenuhi syarat rumah sehat, hal tersebut juga dipengaruhi dari
jarangnya jendela rumah untuk dibuka setiap hari dan letak jendela yang tidak strategis
sehingga sinar matahari tidak dapat masuk ke dalam rumah.54
Kondisiruanganberhubungandengankejadian TB
parudimanamasyarakatdengankondisiruangan yang tidakmemenuhisyaratmempunyaipeluang
lebih tinggi untuktertularTB parudibandingkandenganrumahdengankondisiruangan yang
memenuhisyarat.Kondisiruanganmemenuhisyaratjikatersediaventilasi> 10% luaslantai,
jendeladibukasetiaphari, pencahayaancukupbaik di ruangtidur, dapurmaupunruangkeluarga.
Rumahdenganpencahayaandanventilasi yang baik akanmenyulitkanpertumbuhankuman,
karenasinar ultraviolet dapatmematikankumandan ventilasi yang
baikmenyebabkanpertukaranudarasehinggamengurangikosentrasikuman.
Rumahdenganventilasirumah< 10% dariluaslantaimempunyaipeluangmenderita TB4,56 kali
dibandingkandengan yang mempunyairumahdenganventilasi> 10%
luaslantai,sedangkansumberpenerangan yang tidaksehatmempunyairisikomenderita TB
sebesar 1,8kali dibandingkandengan yang menggunakanpenerangan yang sehat.19
Berdasarkan tabel 9 didapatkan bahwa sebaran Kepadatan Hunian dengan total
subjek penelitian 47 sampel, penderita TB Paru dengan kepadatan hunian yang memenuhi
syarat sebanyak18 (38.3%), sedangkan yang tidak memenuhi syarat berjumlah 29 (61.7%)
Dapat disimpulkan bahwa kelompok penderita TB paru dewasa, di Puskesmas Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat periode Januari-Agustus 2017, sebagian besar memiliki Kepadatan
Hunia yang tidak memenuhi syarat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rusnoto dkk
mengenai Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada Usia Dewasa,
didapatkan Proporsi kepadatan rumah yang tidak standar (26,4 %) pada kelompok TB paru
lebih besar dari kelompok bukan TB (5,7 %).31 Kemudian penelitian Azzyyati, di Jembatan
Besi Palmerah, Jakarta Barat tahun 2016 memaparkan bahwa pada kelompok penderita TB
Paru hampir sebagian memiliki hunian yang padat yaitu 7 orang (58.3%) dan memiliki hunian
yang tidak padat yaitu 5 orang (41.7%).Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Putra (2011)
di Kota Solok yang menyimpulkan bahwa kepadatan hunian merupakan salah satu faktor resiko
meningkatnya kejadian TB Paru, dimana risiko untuk terkena TB Paru sebesar 5,95 kali lebih
60
tinggi pada responden yang tinggal pada kepadatan rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan.22
Kepadatan hunian merupakan pencetus awal pada proses penularan penyakit dan 84%
rumah responden kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat atau lebih dari 10m 2 per orang.
Semakin padat tingkat hunian, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit menular yang
melalui udara akan semakin mudah dan cepat terjadi. Oleh karena itu, kepadatan hunian dalam
rumah merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB Paru. Untuk itu departemen
kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/luas
bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10m2 per orang.22 hasil penelitian Nurliza
Rohayu dkk di Kabupaten Buton Selatan tahun 2016, didapatkan dari 40 responden, terdapat
21 responden (52,5%) memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat sedangkan 19
responden (47,5%) memiliki kepadatan hunian yang memenuhisyarat.42
61
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional terhadap
47 sampel terpilih yaitu penderita TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan
Palmerah, Jakarta Barat Periode Januari-Agustus 2017 dapat diambil kesimpulan
bahwa penderita laki-laki (59,6%) dengan jumlah 28 orang, lebih banyak
dibandingkan perempuan. Penderita TB di Puskesmas Kecamatan Palmerah juga
didominasi oleh penderita dengan usia produktif (15-49 tahun) sebanyak 33 orang
(70,2%) , memiliki tingkat pendidikan yang rendah sejumlah 22 orang (46,8%), dan
sebagian besar mereka tidak bekerja (53,2%). Penderita TB di Puskesmas Kecamatan
Palmerah sebagian besar memiliki status gizi kurang sebesar 51% (24 orang), dan
tidak memiliki kontak sebesar 76,6% (36 orang). Penderita TB paru di Puskesmas
Kecamatan Palmerah memiliki sistem ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar
66% (31 orang), sistem pencahayaan alamai yang tidak memenuhi syarat 59,6% (28
orang), serta tingkat kepadatan hunia yang tinggi sebesar 61,7 %(29 orang).
6.2 Saran
Dari hasil penelitian dan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan beberapa hal:
62
Agar lebih memperhatikan kesehatan diri dan mengikuti kegiatan yang
mendukung pengobatan tuberkulosis paru secara teratur.
Agar lebih memperhatikan lingkungan sekitarnya, seperti kondisi
rumah, kontak dengan anggota keluarga maupun orang lain sekitar
penderita oleh karena bahayanya penularan tuberkulosis.
Daftar Pustaka
63
1. Daniel TM. Tuberculosis, Harrison's principles of internal medicine ed 19. New York:
Mc Graw-Hills; 2015.h.1102-11.
2. Reni, Wahyono TYM, Yulismar. Kejadian efek samping obat anti tuberkulosis pada
pasien tuberkulosis. Jurnal Respirasi Indonesia. 2016; 36(4):222-230.
3. Rahayu LS, Alim ES, Purwanto SE, Amirullah G, Safitri DE, Dewanti LP. Analisis
situasi tuberkulosis di provinsi dki jakarta dengan metode root cause analysis (RCA).
Prosiding Kolokium Doktor dan Seminar Hasil Penelitian Hibah. 2016:277-290.
4. Kementerian Kesehatan RI. Data dan informasi profil kesehatan Indonesia 2016. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2016.
8. Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. TOSS TB:
temukan TB obati sampai sembuh. 2 April 2016. Didapat dari: www.depkes.go.id.
Diakses pada tanggal 14 Agustus 2017
9. World Health Organization. Global tuberculosis report 2016. Geneva: World Health
Organization; 2016.
10. Longo DL, Dennis KL, Larry JL. Harrisons principle of internal medicine. Edisi ke 18.
US: McGraw Hill; 2012.h.2821-2
64
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalakasanaan
tuberkulosis di Indonesia. 2014. h.15-25.
14. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku saku
kader program penanggulangan TB. Departemen Kesehatan RI. 2009.
15. Staf Pengajar PSIK-FK UNSRI. Upaya keluarga dalam pencegahan penularan
tuberkulosis paru ke anggota keluarga lainnya di Puskesmas Sidoreko Pagalaram tahun
2010. Jaji. 2010
16. Nurjana MA. Faktor risiko terjadinya tuberculosis paru usia produktif (15-49 tahun) di
Indonesia. Media Litbangkes. 2015;25(3):165-170
18. Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin
dan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB paru di Desa Wori Kecamatan Wori.
Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik. 2015;3(2):23-8
22. Azhar K, Perwitasari D. Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku dengan Prevalensi TB Paru
Di Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Sulawesi Utara. Jurnal Media Litbangkes. 2013;
23(4):174-80.
65
23. Rokhmah D. Gender dan Penyakir Tuberkulosis: Implikasinya terhadap akses Layanan
Kesehatan Masyarakat Miskin yang Rendah. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2013;7(10): 448-51.
24. Muaz F. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis paru basil tahan asam
positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. Universitas
Islam Negeri. 2014
26. Ibrahim I. Faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru di wilayah Kota Tidore. Global
Health Science. 2017;2(1):34-40
27. Puspita E, Christianto E. Gambaran Status Gizi pada Pasien Tuberkulosis Paru yang
Menjalani Rawat Jalan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Jurnal JOM FK.2016;3(2):
2-11
29. World Health Organization. World health statistics 2017: monitoring health for the
SDGs, Sustainable Development Goals. Geneva: World Health Organization; 2017.
66
33. Herlina , Eris. Hubungan Status Gizi dan Kelembaban Udara dengan Kejadian TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi 2014. Jurnal Stikes Prima Jambi.
2015; 4(1). 75-81
34. Loihala M. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru pada pasien
rawat jalan di Poli RSUD Schoolo Keyen Kabupaten Sorong Selatan tahun 2015. Jurnal
Kesehatan Prima. 2016;10(2):1665-71
35. Jepsen DF, et al. Diabetes is a risk factor for pulmonary tuberculosis: A case-control
study from Mwanza, Tanzania. Plos One Journal. 2011;6(8):1-7.
36. Simbolon D. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2007;2(3):112-18
37. Zuriya Y. Hubungan Antara Faktor Host dan Lingkungan dengan Kejadian TB Paru di
wilayah Kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. 2016.
38. Izzati S, Basyar M, Nazar J. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas Andalas tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015;4(1):262-8.
39. Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo K. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.
2012;11(2):198-204.
40. Fatimah S. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan kejadian
TB Paru di Kabupaten Cilacap ( Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,
Gandrungmangu, Bantarsari) tahun 2008. Universitas Diponegoro. 2008
41. Darwel. Faktor-faktor yang berkorelasi terhadap hubungan kondisi lingkungan rumah
dengan kejadian tuberkulosis paru di Sumatera (analisis data Riskesdas 2010). FKUI.
2012.
42. Rohayu N, Yusran S, Ibrahim K. Analisis faktor risiko kejadian TB paru BTA positif
pada masyarakat pesisir di Puskesmas Kadatua Kabupaten Buton Selatan tahun 2016.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Halu Oleo. 2016.
67
43. Andriyani W. Hubungan riwayat kontak serumah dalam kejadian TB paru di Kabupaten
Wonogiri. UNDIP. 2013.
44. Astuti S. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap upaya
pencegahan penyakit tuberkulosis di RW 04 Kelurahan Lagoa Jakarta Utara tahun 2013.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah. 2013;1(2).
46. Wenas A, Kandou G, Rombot D. Hubungan perilaku dengan kejadian penyakit TB paru
di Desa Wori Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik. 2015;3(2).
47. Ibrahim E, Imam B. Hubungan perilaku dan kondisi lingkungan fisik rumah dengan
kejadian TB paru di Kota Bima Provinsi NTB. Bagian Kesehatan Lingkungan FKM
Unhas Makasar. 2011;2(3).
48. Siregar A F, Nurmaini, Nuraini D. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Pekerjaan
dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei
Tuan Tahun 2015. Jurnal FKM USU. 2015
49. Syafri AK. Hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah
kerja puskesmas ngemplak boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan UMS. 2015
50. Fadhalna, Ihwan, Suwastika IN. Gambaran indeks massa tubuh penderita tuberkulosis
(TB) positif yang melakukan pengobatan di gerdunas tb paru rumah sakit undata palu
sulawesi tengah.Biocelebes. 2017;11(1):9-12
51. Tedja I, Syam AF, Rumende CM. Status nutrisi pasien rawat inap tuberkulosis paru di
rumah sakit cipto mangunkusumo jakarta. Indonesian Journal of Chest. 2014; 1(3): 95-98
52. Priyantomo, E.P., Salam A., dan Arundina, A. Description of body mass index in
tuberculosis patient with anti tuberculosis drugs theraphy in unit pengobatan penyakit
paru (UP4) pontianak. 2014
53. Fatchurohmah W, Sari OP. Gambaran faktor resiko pada penderita tuberkulosis di
puskesmas di kabupaten banyumas. Mandala of Health. 2014;7(3):556-63
68
54. Suharyo. Determinasi penyakit tuberkulosis di daerah pedesaan. KEMAS. 2013;9(1):85-
91
69