Вы находитесь на странице: 1из 13

MAKALAH

KEWIRAUSAHAAN

REGULASI DAN INVESTASI TAMBANG DI INDONESIA

Disusun Oleh:

CHRISTIAN FELIX HUTAHAEAN

NPM. 14.11.108.701602.000806
Urutan peraturan perundang undangan Pertambangan di Indonesia
Tata urutan peraturan perundang undangan di Indonesia pada umumnya dan
peraturan pertambangan pada khususnya adalah :

1. Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 ayat 3 :


"Bumi dan Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat.
2. TAP MPR
o Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah
Kebijakan Hurup H Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup
angka 4, yang menyatakan: Mendayagunakan sumber daya alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan
budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang
pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
o Demikian juga pada Ketentuan Ketetapan MPR RI Nomor
IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
daya Alam, khususnya Pasal 6 yang menyatakan: Menugaskan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik
Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta
mencabut,mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan dengan
Ketetapan ini.
3. Undang-Undang Pokok
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan/Keputusan/Instruksi Presidan
6. Peraturan/Keputusan/Instruksi Menteri
7. Peraturan Daerah. Tingkat Provinsi dan Kabupaten sesuai kewenangannya
8. Peraturan/Instruksi/Keputusan Gubernur dan Bupati sesuai kewenangannya

Pada mulanya undang-undang pokok pertambangan di Indonesia adalahUndang-


Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan.Undang-undang
tersebut telah dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Daerah dan lain-
lainnya.
Sejak February 2009, Undang-Undang Pokok Pertambangan diganti
dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Sejak saat itu peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan dirjen dan
peraturan daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
No. 11 Tahun 1967
secara berangsur-angsur akan diganti.

Sampai dengan bulan Juli 2010 peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 4
Tahun 2009 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
baru berupa:

1. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.


2. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. (telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Click here for document. )
3. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaranan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara.
4. Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca
Tambang.
Sedangkan peraturan pelaksanaan yang lainnya masih mengacu kepada
peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967. Peraturan
peraturan lama yang belum ada penggantinya masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun
2009. Perbedaan pokok peraturan pertambangan lama dan baru dapat
dilihat Disini. Peraturan pertambangan tersebut berlaku diseluruh wilayah
negara kesatuan Republik Indonesia tetapi belum dapat berlaku secara
penuh apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) nya berdasarkan
tata ruang yang berlaku berada di Kawasan Hutan.

Apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangannya berada di kawasan hutan


maka berlaku ketentuan tambahan yang tercantum dalam pasal 38, 50 dan
78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. yang
bunyinya sebagai berikut :
1. pasal 38 ayat 3, 4 dan 5 UU No. 41 Tahun 1999
a. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan.
b. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan
pola pertambangan terbuka.
c. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis
dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Pasal 50 ayat 3 UU 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa "Setiap orang
dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
(kehutanan red)
3. Pasal 78 ayat (6) menyebutkan bahwa " Barang siapa dengan sengaja
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau
Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah)".
Penjabaran ketentuan yang tercantum dalam undang-undang kehutanan
tersebut tertuang dalam "

1. Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang
berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan diluar Sektor
Kehutanan.
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan dan
3. Peraturan Menteri Kehutanan no. P.38/Menhut-II/2012 tentang Perubahan
atas Permenhut no. P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan..

Mengingat kegiatan usaha pertambangan kalau tidak dikelola dengan baik


sangat berpotensi merusak lingkungan hidup maka kegiatan usaha
pertambangan pun harus tunduk dengan peraturan yang terkait dengan
lingkungan hidup yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan pengganti
dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Peraturan Pelaksanaannya. Undang-undang ini juga relatif baru
sehingga peraturan pelaksanaannya masih yang banyak menggunakan
peraturan lama dengan catatan asal tidak melanggar ketentuan perundang-
undangan yang baru. Penjabaran Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 - dengan
penjelasannya. Selain itu penjabarannya adalah melalui Peraturan Pemerintah
No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Kecelakaan kerja di sektor pertambangan sangat potensial untuk dapat terjadi.
Dalam rangka pencegahannya maka dunia pertambanganpun harus tunduk ke
peraturan yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Peraturan
perundang undangan yang terkait dengan keselamatan kerja di sektor
pertambangan :

1. Undang-Undang No.1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.


2. Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan Pengawasan
Keselamatan Kerja Bidang Pertambangan
3. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-15/Men/VII/2005 Tentang Waktu
Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah
Operasi Tertentu. Apabila kegiatan usaha pertambangan merupakan
penanaman modal baik modal asing maupun dalam negeri maka Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan
pelaksanaannya juga terkait dengan Peraturan Pertambangan.
Apabila hasil tambang akan diekspor keluar negeri, maka peraturan Menteri
Perdagangan No. 29/M-Dag/Per/5/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk
Pertambangan juga harus diikuti.

Investasi tambang dan kebijakan pasar bebas

Kebijakan ekonomi pasar terbuka yang semakin massif dilakukan oleh Presiden
Jokowi tentunya akan membawa dampak terhadap sektor ekonomi strategis
Indonesia. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri nasional dalam era
liberalisasi saat ini, Presiden Jokowi mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi 1
hingga 11, yang hendak menjadikan Indonesia sebagai salah satu basis produksi
dari rantai nilai global. Hal ini dilakukan Pemerintah Indonesia dengan membuka
akses pasar perdagangan dan liberalisasi investasi seluas-luasnya di Indonesia.

Model kebijakan ekonomi inilah yang kemudian mendorong Presiden Jokowi


mendesak Kementerian Perdagangan Indonesia untuk semakin aktif terlibat dalam
berbagai perundingan kerjasama kemitraan ekonomi di berbagai blok kawasan
dunia atau disebut Mega-Trading Block. Selain Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA), saat ini Indonesia tengah terlibat perundingan perjanjian kemitraan
ekonomi dengan enam negara mitra ekonomi ASEAN, atau yang disebut dengan
ASEAN Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang dimotori
oleh China.

Pada 18 Juli 2016 juga telah diluncurkan perundingan perjanjian kemitraan


ekonomi antara Indonesia dengan Uni Eropa atau disebut dengan Indonesia-
EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Selain itu,
Pemerintah Indonesia juga sedang mempertimbangkan agar Indonesia juga bisa
bergabung ke dalam Perjanjian kemitraan Trans-Pacific atau TPP, yang dimotori
oleh Amerika Serikat.

FTA dan Tambang

Perhatian terhadap persoalan tambang dan agenda pasar bebas semakin menguat
setelah meningkatnya angka Gugatan investor tambang asing terhadap sebuah
negara di berbagai belahan dunia, khususnya di kawasan Amerika latin, Afrika, dan
Asia. Awalnya kasus gugatan investor terhadap negara hanya dianggap sebagai
praktik bisnis yang umum. Namun, ketika trend gugatan ini meningkat, dimana
terhitung sejak 1987-2014 sudah mencapai 608 kasus khususnya di lembaga
arbitrase internasional di bawah Bank Dunia yang bernama ICSID (International
Center for Settlement Investment Disputes), berbagai praktisi hukum internasional
mulai mencermati bahwa gugatan ini telah menjadi ancaman bagi kedaulatan
sebuah negara.

Sektor tambang dan migas merupakan sektor yang paling banyak di gugat,
menempati urutan ke 2 dari total kasus yang masuk ke ICSID setelah sektor
ketenagalistrikan. Di tahun 2015 saja, ICSID menerima gugatan di sektor tambang
dan migas sebesar 27%, dan di sektor ketenagalistrikan sebesar 31% (Lihat gambar
disamping- ICSID Report 2015).
Distribusi kasus dibawah konvensi ISCID

Gugatan investor ini bernama Investor-State Dispute Settlement (ISDS), yang


muncul sebagai bentuk penegakan hukum dari pelaksanaan sebuah perjanjian
investasi internasional yang mengatur tentang standar perlindungan investasi asing
yang masuk ke sebuah negara (Host State). Biasanya, gugatan investor asing ini
terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang dianggap tidak
melindungi kepentingan investor. Menurut laporan UNCTAD 2014, ada dua
kebijakan negara yang paling banyak digugat investor yakni yang terkait
dengan: Pertama, pembatalan atau dugaan pelanggaran kontrak dan konsesi;
dan Kedua, pencabutan atau penolakan izin (berbagai bentuk izin termasuk
tambang).

Kebijakan negara lainnya yang juga turut digugat seperti reformasi kebijakan di
sektor energi terbarukan, tindakan diskriminasi investasi, pelanggaran terhadap
tindakan nasionalisasi langsung atas sebuah investasi, kebijakan mengenai
perpajakan, ekspor, kebijakan tarif, isu lingkungan, dan anti money-laundring[1].
Gugatan ISDS ini bertujuan untuk menuntut negara agar membayarkan kerugian
investor akibat penerapan kebijakan sebuah negara yang nilai tuntutannya bisa
mencapai US$ 8 Juta hingga US$2,5 Milyar.

Indonesia sudah mengalami beberapa gugatan ISDS di ICSID yang didasari


atas Bilateral Investment Treaty (BIT) yang ditandatangani oleh Indonesia dengan
beberapa negara. Dari total 6 kasus yang masuk ada di isu tambang, 50%
diantaranya berada di isu tambang[2]. Seperti gugatan Churcill Mining[3],
perusahaan tambang asal Inggris, yang menggugat Pemerintah Indonesia untuk
membayarkan kerugian sebesar US$1 Milyar akibat pencabutan izin wilayah
tambang oleh Bupati Kutai Timur.

Pengalaman Indonesia lainnya adalah dengan Gugatan Newmont di ICSID terkait


dengan ketentuan larangan ekspor konsentrat di dalam UU Minerba tahun 2004.
Akibat dari gugatan tersebut, berdampak terhadap melemahnya posisi tawar
Indonesia yang akhirnya memberikan izin kepada Newmont untuk melakukan
ekspor konsentrat. Atas kesepakatan ini Newmont kemudian mencabut
gugatannya[4].

Mekanisme ini awalnya diatur di dalam Perjanjian Investasi Bilateral atau Bilateral
Investment Treaty (BIT), namun dalam perkembangan Free Trade Agreement
(FTA) di abad 21 saat ini, standar perlindungan investasi di dalam BIT mulai
diadopsi ke dalam sebuah FTA. Model perjanjian seperti TPP, EU CEPA, dan
RCEP telah mengatur ketentuan perlindungan investasi secara spesifik didalamnya.

Trend dasar gugatan ISDS saat ini mungkin masih didominasi oleh BIT (Lihat
gambar[5]), tetapi dengan massifnya penandatanganan FTA yang akan dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia, maka kedepan Indonesia akan semakin berpotensi
digugat karena pelanggaran ketentuan dalam EU CEPA atau TPP. Misalnya
beberapa kebijakan Pemerintah Indonesia hari ini yang berpotensi digugat oleh
Investor, seperti kewajiban TKDN hingga level presentase tertentu, pembatalan dan
penertiban IUP, dan rencana moratorium lahan sawit dan tambang.

Tren Dasar Gugatan


Indonesia-EU CEPA:

Menelisik Kepentingan EU Terhadap Kebijakan Investasi Tambang Di Indonesia

Menarik jika menelisik hasil kunjungan Presiden Jokowi ke empat negara di Uni
Eropa pada April 2016 yang lalu, yakni Belanda, Belgia, Inggris, dan Jerman.
Pasalnya, lawatannya ke Eropa itu, Presiden Jokowi mengklaim berhasil
mengantongi komitmen investasi sebesar US$ 20,5 Milyar. Dari Komitment
investasi didominasi oleh sektor energy terbarukan, seperti pembangunan
infrastruktur pembangkit listrik maupun disektor transportasi.

Bersamaan dengan itu di Belgia, Presiden Jokowi bersama-sama dengan Presiden


Komisi Eropa, Jean Claude Junker, mengumumkan pencapaian
kesepakatan scooping paper sebagai bekal untuk masuk pada tahap perundingan
kerjasama ekonomi Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership
Agreement (CEPA)[6]. Didorongnya Kesepakatan Indonesia-EU CEPA seolah
sebagai salah satu jaminan Presiden Jokowi agar investasi dari negara-negara Eropa
itu segera masuk ke Indonesia.

EU merupakan pusat dari basis industri teknologi maju termasuk teknologi hijau.
Selama ini EU memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemenuhan
bahan baku industri ini, yang berasal dari komoditas tambang mentah termasuk
komoditas rare earth (Baca: Raw Material). Impor bahan baku ini didominasi oleh
China.

Paling tidak ada sekitar 20 komoditas raw materials yang dibutuhkan untuk
mendukung pertumbuhan industri tersebut, seperti Antimony (Stibium), Beryllium,
Borates, Chromium, Cobalt, Fluorspar (Fluorit), Gallium, Germanium, indium,
magnesite, magnesium, Natural graphite, Niobium, Phospate Rock, Platinum,
Heavy rare earth elements, light rare earth elements, silicon metal, dan
Tungsten[7].

Dalam rangka memastikan jaminan kecukupan bahan baku industri tersebut EU


memiliki strategi pengamanan energinya dengan mengeluarkan Energy Dan Raw
Material Initiative Policy. Raw Material Initiative yang dikeluarkan oleh EU adalah
dalam rangka memastikan kecukupan bahan baku industri EU, khususnya dalam
memproduksi barang teknologi tinggi (High-Tech product), seperti green
technology, telecommunications, space exploration, aerial imaging, aviation,
medical devices, micro-electronics, transportation, alat pertahanan[8].

Bahkan dalam kebijakan perdagangan internasional EU (Baca: EU Trade Policy),


EU akan memasukan aturan pengamanan Energi dan tambang (khususnya terkait
dengan Raw Material Initiative Policy) ke dalam seluruh Free Trade Agreements
(FTA) yang dirundingkan oleh EU dengan berbagai negara, termasuk dengan
Indonesia.

Dalam kerjasama kemitraan ekonomi komprehensif (Comprehensive Economic


Partnership Agreement) antara Indonesia dengan Uni Eropa (EU), akan
memprioritaskan sektor energi dan tambang. Melalui kerjasama EU-Indonesia
CEPA, akan didorong beberapa aturan yang memudahkan transfer komoditas raw
material ke EU melalui penurunan tariff. Selain itu, kerjasama ini juga hendak
mendorong terbukanya akses investasi EU ke Indonesia di sektor energi dan
tambang melalui pembukaan level kepemilikan asing di beberapa sektor tertentu[9].

Dalam kajian resmi Pemerintah EU mengenai keuntungan EU dalam Kerjasama


FTA dengan Indonesia, ada beberapa catatan penting EU terhadap kebijakan
investasi Indonesia yang sepertinya akan menghambat ekspansi EU di sektor
Energy dan Tambang (mineral dan metal). EU menyebutkan bahwa kebijakan
terkait dengan pelarangan ekspor konsentrat (mineral mentah) akan berdampak
negatif terhadap pasar internasional dan domestik EU. Selain itu, beberapa
kebijakan yang akan menghambat EU terkait dengan kebijakan kandungan lokal
(local content requirements), keberadaan BUMN disektor energi dan tambang, dan
subsidi energy Indonesia.

Inkonsistensi Kebijakan

Dalam Paket Kebijakan Ekonomi-nya, Presiden Jokowi kerap mengeluarkan


kebijakan perlindungan dan dukungan untuk penguatan industri nasional demi
meningkatkan daya saing Indonesia menghadapi pasar bebas. Pasalnya, kebijakan
tersebut harus bertentangan dengan keputusan Pemerintah Indonesia yang massif
mendorong kerjasama ekonomi internasional di berbagai kawasan ekonomi, seperti
RCEP, TPP, dan EU CEPA.

Misalnya saja terkait dengan kebijakan Kandungan Lokal. Bahwa kebijakan


kandungan lokal yang diterapkan Pemerintah Indonesia nampaknya menunjukan
peningkatan (Lihat Grafik 1), khususnya bagi kemajuan industri lokal. Termasuk di
sektor pertambangan dimana Kementerian ESDM mengklaim penerapan
Kandungan Lokal untuk sektor pertambangan sudah mencapai level 90%[10].

Grafik 1 Tingkat Kandungan Lokal

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2015

Namun, dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang memassifkan kerjasama


ekonomi internasional (Baca: FTA), maka tentunya akan kontradiktif dengan apa
yang sudah dicapai. Apalagi dengan penerapan mekanisme ISDS, maka jika
Pemerintah tetap menerapkan ketentuan kandungan lokal setelah menandatangani
FTA, seperti RCEP, TPP, dan EU CEPA, maka tidak menutup kemungkinan
Indonesia berpotensi digugat oleh investor asing yang merasa berkeberatan
terhadap kebijakan kandungan lokal.

Tentunya kembali bahwa policy space pemerintah yang akan diganggu oleh
kepentingan investor ketimbang untuk mempertahankan kepentingan nasional.
Begitu pun dengan UU Minerba kita. Misalkan keberatan EU dengan larangan
ekspor konsentrat. Kita sudah punya pengalaman dengan Newmont yang
menggugat UU Minerba khususnya terkait dengan larangan ekspor konsentrat.
Artinya, jika perusahaan EU merasa dirugikan dengan penerapan UU Minerba
No.4/2009, maka mereka bisa kapan pun menggugat Pemerintah Indonesia.

Inilah yang harus dipertimbangkan secara matang oleh Pemerintah ketika


menetapkan target penandatanganan FTA dengan beberapa kawasan di dunia
seperti RCEP, TPP, dan EU CEPA, yang didalamnya mengatur mekanisme ISDS
dan larangan kandungan lokal. Tidak hanya kepentingan industri lokal yang
terganggu, tetapi pemenuhan terhadap hak-hak dasar publik bisa terancam karena
policy space pemerintah Indonesa dibajak oleh kepentingan investor asing.
Sehingga rencana revisi UU Minerba berpotensi ditunggangi kepentingan investor
asing.

Вам также может понравиться