Вы находитесь на странице: 1из 4

UN, PISA, dan TIMSS di Indonesia

Rima Febriani
Sebenarnya bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia saat ini? Sudah lumayan baguskah?
Atau semakin terpuruk? Lalu bagaiman dengan siswanya? Pintarkah? Atau malah sebaliknya?. Jika
berbicara tentang situasi pendidikan saat ini, banyak hal yang dapat dijadikan tolak ukur salah
satunya dengan akademis atau hasil belajar siswa. Sampai saat ini ada dua asesmen yang menilai
kemampuan matematika dan sain siswa berskala internasional, yaitu TIMSS (Trend in
International Mathematics and Science Study) dan PISA (Program for International Student
Assessment). Untuk yang berskala nasional sendiri Indonesia memiliki Ujian Nasional atau yang
sering disingkat dengan UN adalah merupakan hajatan besar Kemendikbud yang telah mengguras
tenaga dan biaya yang besar.UN yang bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi kelulusan
pada mata pelajaran secara Nasional dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
menurut Undang-Undang no. 20 tahun 2005 sering kali dijadikan tolok ukur baik atau tidaknya
pendidikan di Indonesia.

TIMSS dilaksanakan secara regular dalam empat tahun sekali sejak 1995 untuk mengetahui
pencapaian siswa kelas 4 SD dan 8 SMP dalam matematika dan sain. Fokus dari TIMSS adalah
materi yang ada pada kurikulum, misalnya untuk matematika tentang bilangan, pengukuran,
geometri, data, dan aljabar. TIMSS disponsori the International Association for Evaluation of
Educational Achievement (IEA). Sedangkan PISA dilaksanakan secara regular dalam tiga tahun
sekali sejak tahun 2000 untuk mengetahui literasi siswa usia 15 tahun dalam matematika, sain, dan
membaca. Fokus dari PISA adalah literasi yang menekankan pada keterampilan dan kompetensi
siswa yang diperoleh dari sekolah dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
berbagai situasi (EOCD, 2010). Sementara UN sendiri diselenggarakan oleh Sekolah dan BSNP,
UN dibuat dengan mengacu pada SKL yang ada. UN hanya melihat aspek penilaian pengetahuan
siswa.

Indonesia sudah beberapa kali berpartisipasi dalam dua ajang berskala internasional
tersebut namun hasilnya tidak memuaskan, terkhusus untuk PISA, di mulai dari tahun 2000 sampai
dengan tahun 2015, siswa Indonesia ikut serta dalam PISA yang diselenggarakan oleh
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Akan tetapi, peringkat siswa
Indonesia selalu berada pada peringkat sepuluh besar pada kelompok bawah. Untuk hasil terbaru
PISA 2015, siswa Indonesia berada pada peringkat 63 dari 69 peringkat dengan nilai rata-rata di
bawah nilai rata-rata OECD (OECD, 2016). Peringkat dan rata-rata skor PISA Indonesia tersebut
tidak berbeda jauh dengan hasil tes dan survey PISA sebelumnya pada tahun 2012 yang juga berada
pada kelompok penguasaan materi yang rendah. Untuk bidang matematika pada PISA 2012
Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara yang dievaluasi (OECD, 2012). Pada sisi lain,
peringkat Indonesia sebenarnya naik dari hasil tes dan survey PISA 2012. Meskipun dari hasil
evaluasi PISA 2015 peringkat Indonesia mengalami kenaikan, namun masih saja tergolong rendah
dibandingkan negara-negara OECD lainnya. Sementara untuk UN sendiri hasilnya tidak dapat
dikatakan rendah karena sebagian besar hasil UN sekolah nilainya sudah baik, namun nilai yang
didapat tidak serta merta menyatakan bahwa pendidikan Indonesia sudah bagus. Mengapa? Karena
praktik pelaksanaan UN yang masih dianggap tidak bersih. Karena jika kita mencari mengenai UN
di Google maka akan banyak artikel terkait yang muncul dan salah satunya artikel praktik penjualan
kunci UN yang selalu saja ada tiap tahunnya. Karena hal tersebut maka hasil UN dengan nilai yang
tidak bisa dikatakan rendah tidak dapat menjadi jaminan bahwa pendidikan di negara ini berhasil.

Menanggapi hasil UN, PISA, dan TIMSS yang masih rendah tersebut maka diperlukan
pembelajaran yang mendukung siswa sesuai dengan framework dari tiga asesmen tersebut, dalam
hal ini bidang matematika. Baik guru, siswa, maupun pihak terkait diharapkan untuk dapat
bekerjasama untuk dapat memberikan hasil yang terbaik dari tiga asesmen tersebut sehingga dapat
memberikan kotribusi baik dalam pendidikan Indonesia. Selama ini penelitian terkait ketiga
asesmen yaitu UN, PISA, dan TIMSS sudah banyak dilakukan mulai dari penelitian terkait
bagaiman pembelajaran yang baik yang dapat mendukung siswa untuk dapat meningkatkan
kemampuan matematika yang berhubungan dengan tiga asesmen tesebut, kemudian penelitian
tentang pengembangan soal yang dapat membantu siswa menyelesaikan soal dan permasalahan
matematika dalam UN, PISA, dan TIMSS, hingga penelitian tentang analisis kesalahan dan
kesulitan yang siswa hadapi dalam UN, PISA, dan TIMSS.

Hasil dari penelitian tersebut pun beragam misalnya Hawa dalam jurnalnya
mengunggkapkan faktor penghambat kemampuan siswa menyelesaikan soal Matematika bertipe
PISA pada siswa SMPN 1 Gemolong Sragen berikut ini: (Hawa, 2014)
1. Variasi soal yang banyak membuat siswa berpikir terlalu keras membuat siswa sulit
memahami dengan sempurna.
2. Pelaksanaan tes 4x pertemuan yang dilakukan dengan waktu yang berturut-turut serta
berdekatan membuat siswa kelelahan dan bosan.
3. Materi yang dipilih adalah materi yang sulit.

Dan dalam jurnalnya juga Hawa memberikan saran agar siswa mampu menyelesaikan soal tipe
PISA, adapun saran-saran tersebut adalah : (Hawa, 2014)

1. Soal bertipe PISA bisa diterapkan di sekolah untuk meningkatkan kemampuan matematika
siswa bukan hanya terbatas pada saat penelitian ini saja.
2. Siswa dapat mempelajari soal matematika bertipe PISA lebih mendalam agar bisa menjadi
bahan untuk mengikuti literasi PISA.

Selanjutnya Arifni dalam jurnalnya menyatakan tipe-tipe kesalahan yang dilakukan oleh siswa
adalah kesalahan memahami, kesalahan transformasi, dan kesalahan keterampilan proses. Dan
siswa hampir tidak melakukan kesalahan membaca. Arifin juga mengatakan faktor yang
menyebabkan siswa salah dalam mengerjakan soal matematika TIMSS adalah siswa kurang teliti
dalam menyelesaikan soal, siswa belum paham konsep perkalian dan pembagian pecahan dengan
baik serta kelipatan suatu bilangan, dan siswa salah dalam mengubah soal ke dalam bentuk
matematika. peneliti memberi saran kepada peneliti lain, guru, dan siswa. Guru perlu menanamkan
konsep kepada siswa terutama materi prasyarat untuk materi berikutnya. Guru juga harus melatih
keterampilan siswa dalam mengerjakan soal dengan memperbanyak latihan-latihan soal. Guru
harus menciptakan suasana menyenangkan dalam pembelajaran yang dapat memberi siswa
kesempatan untuk bertanya tentang kesulitan yang mereka hadapi dalam mengejakan soal sehingga
guru dapat mengetahui kesulitan apa saja yang dialami oleh siswa dalam mengerjakan soal
matematika. Siswa harus lebih sering melatih keterampilan proses dengan memperbanyak
mengerjakan soal-soal. (Arifani, 2016)

Sementara untuk UN sendiri, dari hasil penelitian yang dilakukan guru diharapkan untuk dapat
menerapkan model dan metode pembelajaran yang membantu siswa untuk mampu memahami
konsep dan kemampuan lainnya sehingga siswa dapat mengerjakan soal UN dengan baik dan
benar. Dan diharapkan kedepannya UN dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di
negara ini. Dan juga dengan banyaknya penelitian tentang UN, PISA, dan TIMSS diharapkan dapat
memberikan solusi untuk banyak masalah pendidikan di Indonesia.

References

Arifani, N. H. (2016). Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Matematika Timss
Menurut Teori Newman: Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Tanjungbumi
Bangkalan. SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNY 2016 , 477.
Hawa, A. M. (2014). ANALISIS KEMAMPUAN SISWA MENYELESAIKAN SOAL
MATEMATIKA BERTIPE PISA . Seminar Nasional Evaluasi Pendidikan Tahun 2014,
879-899.
OECD. (2010). PISA 2012 Mathematics Framework: Draft Subject to Possible Revision after the
Field Trial. (www.oesd.org)
OECD. (2012). PISA 2012 Results in Focus. What 15-Year-Olds Know and What They Can Do
with What They Know.
OECD. (2016). PISA 2015 Results in Focus.

Вам также может понравиться