Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
JANTUNG PARU)
Posted on January 14, 2011 by igdrembang
BHD (BANTUAN HIDUP DASAR)DAN RJP (RESUSITASI JANTUNG PARU)
Mati klinis :
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel, penderita
punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi tanpa kerusakan
otak.
Mati biologis :
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan
kematian sel otak, bersifat irreversibel. ( kecuali berada di suhu yang ekstrim dingin,
pernah dilaporkan melakukan resusitasi selama 1 jam/ lebih dan berhasil ).
2. Menggunakan alat bantu : kantung masker berkatup (BVM/ Bag Valve Mask)
Bahaya bagi penolong dalam pemberian napas dari mulut ke mulut ;
a. penyebaran penyakit
b. kontaminasi bahan kimia
c. muntahan penderita
2. Anak dan bayi hanya dikenal 1 rasio : 5:1 ( 5 kali PJL, 1 kali tiupan ) per silkus
Catatan : untuk rasio pada tindakan RJP terjadi perubahan, tetapi karena buku
acuannya
belum diterbitkan, maka dari redaksi GHIENT belum berani menampilkannya.
KESALAHAN AKIBAT
2. Penderita tidak horisontal Bila kepala lbh tinggi, darah yg ke otak berkurang
5. Lubang hidung kurang tertutup rapat dan Napas buatan tidak efektif
mulut penderita kurang terbuka
6. Tekanan terlalu dalam/ terlalu cepat Patah tulang, luka dalam paru-paru
7. Rasio PJL dan napas buatan tidak baik Oksigenasi darah kurang
Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran
seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang
berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).
Sedangkan menurut Rilantono, dkk (1999) resusitasi mengandung arti harfiah menghidupkan
kembali, yaitu dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti
jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas dua komponen utama
yakni: bantuan hidup dasar (BHD) dan bantuan hidup lanjut (BHL). Selanjutnya adalah perawatan
pasca resusitasi.
Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (Airway) tetap terbuka,
menunjang pernafasan dan sirkulasi darah. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat
keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan ventilasi dan sirkulasi.
Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-
alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (bantuan hidup lanjut).
Resusitasi dilakukan pada keadaan henti nafas, misalnya pada korban tenggelam, stroke, obstruksi
benda asing di jalan nafas, inhalasi gas, keracunan obat, tersedak, tersengat listrik, koma dan lain-
lain. Sedangkan henti jantung terjadi karena fibrilasi ventrikel, takhikardi ventrikel, asistol dan
disosiasi elektromekanikal.
Tujuan
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk
menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Tindakan resusitasi ini dimulai dengan penilaian
secara tepat keadaan dan kesadaran penderita kemudian dilanjutkan dengan pemberian bantuan
hidup dasar (basic life support) yang bertujuan untuk oksigenasi darurat. (AHA, 2003).
Tujuan tahap II (advance life support) adalah untuk memulai kembali sirkulasi yang spontan,
sedangkan tujuan tahap III (prolonged life support) adalah pengelolaan intensif pasca resusitasi. Hasil
akhir dari tindakan resusitasi akan sangat tergantung pada kecepatan dan ketepatan penolong pada
tahap I dalam memberikan bantuan hidup dasar.
Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara manual dari kekurangan
oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan darah hitam daripada tidak sama sekali.
Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi yang adekwat sangat diperlukan dengan segera karena sel-sel
otak menjadi lumpuh apabila oksigen ke otak terhenti selama 8 20 detik dan akan mati apabila
oksigen terhenti selama 3 5 menit (Tjokronegoro, 1998). Kerusakan sel-sel otak akan menimbulkan
dampak negatif berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Depresi nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi dengan
pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase jantung eksternal dan koreksi keadaan asidosis.
Hanya setelah oksigenasi dan perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas respirasi dimulai (Yu dan
Monintja, 1997).
Pendapat tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat
dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan
makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nelson (1999)
yang menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana penderita dengan henti nafas
menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata laksana karena peningkatan hasil akhir pasca
henti pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya resusitasi jantung paru.
Resusitasi akan berhasil apabila dilakukan segera setelah kejadian henti jantung atau henti nafas
pada saat kerusakan otak yang menetap (irreversible) belum terjadi. Kerusakan otak yang menetap
akan terjadi apabila kekurangan O2 dalam darah tidak segera dikoreksi atau apabila sirkulasi terhenti
lebih dari 3 5 menit (Tjokronegoro, 1998)
Posisi Bayi
Untuk dapat dilakukan resusitasi jantung paru, penderita harus dibuat dalam posisi terlentang dan
diusahakan satu level atau datar. Posisi untuk bayi baru lahir (neonatus) leher sedikit ekstensi, atau
dengan meletakkan handuk atau selimut di bawah bahu bayi sehingga bahu terangkat 2-3 cm
Posisi Penolong
Penolong sebaiknya berdiri disamping penderita dalam posisi dimana ia dapat melakukan gerakan
bantuan nafas dan bantuan sirkulasi tanpa harus merubah posisi tubuh
Teknik Resusitasi
a. Airway : membuka jalan nafas
1) Tentukan derajat kesadaran dan kesulitan nafas.
2) Buka jalan nafas dengan cara tengadahkan kepala dan topang dagu (head tilt and chin lift) bila
tidak terdapat cedera kepala atau leher dengan cara satu tangan pada dahi, tekan ke belakang. Jari
tangan lain pada rahang bawah, dorong keluar dan ke atas (gambar 2.3). Gerakan ini akan
mengangkat pangkal lidah ke atas sehingga jalan nafas terbuka. Lidah yang jatuh ke belakang sering
menjadi penyebab obstruksi jalan nafas pada penderita yang tidak sadar.
3) Gerakan mendorong rahang ke bawah ke depan (jaw thrust) juga dapat membuka jalan nafas
bila diketahui terdapat cedera leher atau kepala.
b. Breathing
1) Dekatkan pipi penolong pada hidung dan mulut penderita, lihat dada penderita.
2) Lihat, dengar dan rasakan pernafasan ( 5 10 detik).
3) Jika tidak ada nafas lakukan bantuan nafas buatan/Ventilasi Tekanan Positif (VTP) .
4) Pada Neonatus dan bayi < 1 tahun : pasang sungkup di wajah, menutupi pipi, mulut dan hidung
dan selanjutnya rapatkan.
5) Pada anak > 1 tahun pasang sungkup yang menutupi mulut, sedangkan hidung dapat dijepit
dengan jari telunjuk dan ibu jari penolong.
6) Lakukan tiupan nafas dengan mulut atau balon resusitasi. Berikan nafas buatan untuk neonatus
30-60 kali/menit, dan 20 kali untuk bayi dan anak yang kurang dari 8 tahun.
7) Evaluasi pemberian nafas buatan dengan cara mengamati gerakan turun naik dada. Bila dada
naik maka kemungkinan tekanan adekwat. Bila dada tidak naik cek kembali posisi anak, perlekatan
sungkup, tekanan yang diberikan, periksa jalan nafas apakah ada mucus atau tidak bila ada dapat
dilakukan penghisapan dengan suction.
8) Setelah dilakukan ventilasi selama satu menit, evaluasi apakah bayi atau anak dapat bernafas
secara spontan, Lakukan penilaian pulsasi tidak boleh lebih dari 10 detik. Jika pulsasi ada dan
penderita tidak bernafas, maka hanya dilakukan bantuan nafas sampai penderita bernafas spontan.
c. Circulation
1) Jika pulsasi tidak ada atau terjadi bradikardi maka harus dilakukan kompresi dada sehingga
memberikan bantuan sirkulasi disertai bantuan nafas secara ritmik dan terkoordinasi. Pada neonatus
pemberian kompresi jantung diberikan bila didapat pulsasi bayi < 60 kali/menit.
Resusitasi pada neonatus yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus
dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat membuat keputusan yang tepat pada
saat kritis. Kemampuan ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan
yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis
(Hudak dan Gallo, 1997).
Pengetahuan perawat tentang resusitasi merupakan modal yang sangat penting untuk pelaksanaan
tindakan resusitasi pada situasi kritis. Pengetahuan ini menentukan keberhasilan tindakan resusitasi.
Pengetahuan tentang resusitasi dapat didapat melalui pendidikan, pelatihan atau pengalaman selama
bekerja.
Pokja keempat adalah pokja pelayanan pasien (PP). Pokja ini akan mengatur
berbagai proses pelayanandi rumah sakit pada unit-
unit
kerja. Pilihlah dokter, perawat, dan kepala-
kepala unit kerja yang berkaitan langsung dengan pelayanan langsung pada
pasien. Orang-
orang ini haruslah berwawasan cukup luas dan disegani karena akan mengatur
berbagai implementasikebijakan inti pelayanan. Kebijakan khusus tersebut
misalnya pelayanan pasien populasi khusus (geriatri, anak-
anak,
korban kekerasan, dll), resusitasi, kemoterapi, dan lain-
lai