Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai
dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas.Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara
maju.Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia.Studi di
Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa.Hampir separuh
dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke
bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan
pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global
Initiative for Asthma (GINA).1,2

Terdapat variasi prevalens, angka perawatan dan mortalitas asma, baik


regional maupun local.Angka kejadian asma di berbagai Negara sulit dibandingkan,
tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan kriteria
diagnosis atau karena benar-benar terdapat perbedaan.Berbagai penelitian yang ada
saat ini menggunakan definisi penyakakit asma yang berbeda, sehingga untuk
membandingkan antara penelitian satu dan lainnya perlu diketahui kriteria yang
digunakan oleh peneliti. Untuk mengatasi hal tersebut, penelitian multisenter telah
dilaksanakan di beberapa Negara dengan menggunakan definisi asma yang sama dan
kuesioner standar,.Salah satu penelitian multisenter yang dilaksanakan adalah
International Study of Asthma and Allergy in Children (ISSAC). Dengan
menggunakan kuesioner standar, prevalens dan berbagai factor resiki dapat
dibandingkan.3

1
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian
pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan
prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.
Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-
6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang perlu mendapat perhatian serius.Serangan asma bervariasi mulai dari ringan
sampai berat dan mengancam kehidupan. Berbagai factor dapat menjadi pencetus
timbulnya serangan asma, antara lain adalah olahraga (exercise), allergen, infeksi,
perubahan suhu udara yang mendadak, atau pajanan terhadap iritan respiratorik
seperti asap rokok, dan lain-lain. Selain itu, berbagai factor turut mempengaruhi
tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, misalnya usia, jenis kelamin, ras,
sosio-ekonomi, dan factor lingkungan. Factor-faktor tersebut dapat mempengaruhi
prevalens asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan dan kematian
akibat penyakit asma.3,4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

GINA mendefinisikan asma yaitu sebagai gangguan inflamasi kronis saluran


nafas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T.

Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis.Ciri-ciri


klinis yang dominan adalah riwayat epi- sode sesak, terutama pada malam hari yang
sering disertai batuk.Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah
mengi.Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai
oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang
dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan
struktur saluran napas.1,2,5

Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas,
mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.1

2.2 Patofisiologi Asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat.Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE ab- normal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat

3
pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil.1,4-7

Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE or- ang
tersebut meningkat.Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
media- tor.Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen.1,4-7

Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast
terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.Pada fase lambat,
reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16--24 jam,
bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam
patogenesis asma.1,4-7

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada

keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcito- nin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah

4
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,4-7

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas


bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja,
inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2

5
2.3 Faktor Resiko1,2,8-11

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan:

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi.Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama
dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma.Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

6
2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain

a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu


Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi


Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih


Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.Di samping gejala asma
yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya.Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit
diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif


Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

7
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma.Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut.

h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma.Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma.Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti:
musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

2.4 Klasifikasi Asma3

Pembagian derajat asma menurut GINA adalah :

1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu
Serangan singkat
Gejala nocturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan
FEV1 > atau sama dengan 80% predicted atau PEF > atau sama
dengan 80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 < 20
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1x/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nocturnal > 2 kali/bulan
FEV1 > atau sama dengan 80% predicted atau PEF >atau sama dengan
nilai terbaik individu

8
Variabilitas PEF atau FEV1 20%-30%
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nocturnal >1 kali dalam seminggu
Menggunakan agonis-B2 kerja pendek setiap hari
FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 >30%
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma nocturnal sering terjadi
FEV1 <atau sama dengan 60% predicted atau PEF < atau sama dengan
60% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

Klasifikasi asma menurut Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri Internasional
III tahun 1998) :

1. Asma episodik jarang


Merupakan 75% populasi asma pada anak.Ditandai oleh adanya episode <1x
tiap 4-6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gekala diantara
episode serangan, dan fungsi paru normal di antara serangan.Terapi
profilaksis tidak dibutuhkan pada kelompok ini.

2. Asma episodik sering


Merupakan 20% populasi asma.Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih
sering dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah
dengan pemberian agonis-B2. Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi
paru diantara serangan normal atau hamper normal. Terapi profilaksis
biasanya dibutuhkan

9
3. Asma persisten
Terjadi sekitar 5% anak asma.Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi
pada aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis-B2 lebih
dari 3 kali/minggu karena anaj terbangun di malam hari atau dada terasa berat
di pagi hari.Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.

Pembagian asma menurut PNAA 2004 :

10
2.5 Derajat Asma3

11
2.6 Diagnosis Asma1,2

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis.Asma pada anak-anak umumnya
hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun
sesak.Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang.Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik,
mengi, batuk dan dada sakit/sempit.Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai
berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu
diagnosis.Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko.Pada
penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons

12
dapat membantu diagnosis.Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal
itu dapat berubah dengan waktu.Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol.Untuk dapat mendiagnosis asma,
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.

Anamnesis 1

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya
dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat
bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah,
tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray
pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau
lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau
steroid.

Pemeriksaan Fisik1

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,


menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan
fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan
bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan
bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada.Pada auskultasi
dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.

13
Pemeriksaan Penunjang1,3,6

1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan


diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma

4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan
cararadioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada der- mographism).

5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengoba- tannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian
semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan
hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial

14
dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar
riset.

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1


>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial
dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di
samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak
dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi
klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,
histamin, dan metakolin.

Alur Diagnosis asma pada anak3

15
2.7 Diagnosa Banding

1. Bronkitis kronik :Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang


mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala
utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada penderita > 35 tahun dan
perokok berat.Gejala dimulai dengan batuk pagi hari, lama-lama disertai mengi
dan menurunnya kegiatan jasmani.Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis
dan tanda-tanda kor pulmonal.

2. Emfisema paru :Sesak merupakan gejala utamanya dan jarang disertai mengi dan
batuk. Penderita biasanya kurus.Berbeda dengan asma pada emfisema tidak
pernah ada masa remisi, penderita selalu sesak pada kegiatan jasmani.Pada
pemeriksaan fisis ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas,
hipersonor, pekak hati menurun dan suara sangat lemah.Pemeriksaan foto dada
menunjukkan hiperinflasi.

3. Gagal jantung kiri akut :Dulu disebut asma kardial, dan bila timbul pada malam
hari disebut paroxysmal nocturnal dyspnoe.Penderita biasanya terbangun pada
malam hari karena sesak dan apabila pasien duduk sesaknya berkurang atau
menghilang.Selain ortopnea, pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan
edema paru.

4. Emboli paru :Yang dapat menimbulkan emboli paru adalah imobilisasi, gagal
jantung, tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, penderita batuk-batuk,
yang dapat disertai darah, nyeri pleura keringat dingin, kejang dan pingsan.Pada
pemeriksaan fisis ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan,
pleural friction, gallop, sianosis dan hipertensi.Pemeriksaan elektrokardiogram
menunjukan perubahan aksis jantung ke kanan.

16
2.8 Penatalaksanaan3
Terapi Medikamentosa

1. Bronkodilator
a. Beta Adrenergik kerja pendek (Short Acting)
Merupakan terapi fundamental dan obat pilihan pada serangan
asma.Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergic menyebabkan
perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos
jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain juga
dapat terjadi, seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan
permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator dari sel
mast. Reseptor B1 terutama terdapat di jantung sedangkan resptor B2
berada di epitel jalan nafas, otot pernafasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan pancreas. Golongan
obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan B2 agonis selektif
- epinefrin/adrenalin
pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk
mengobati serangan asma, kecuali jika tidak ada obat B2 agonis
selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau
angioedema.Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi
aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut : larutan epinefrin
1 : 1000 (1 mg/ml), dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3 ml),
dapat diberikan sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20 menit. Mula
kerja adrenalin subkutan adalah 5-15 menit, efek puncaknya 30-120
menit, durasi efeknya 2-3 jam. Inhalasi racemic ephineprine 2,25 %
aerosol dapat diberikan dengan nebulizer.
Epinefrin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor B1, B2 dan a,
sehingga akan menimbulkan efek samping berupa sakit kepala,
gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi. Pemberian
epinefrin aerosol kurang menguntungksn karena durasi efek

17
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
- B2- agonis selektif
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol.
Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, diberikan setiap
6 jam, dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6
jam, fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam. Pemberian secara oral
akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2-4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian
secara inhalasi (dengan inhaler/nebulizer) memiliki mula (onset) kerja
yang lebih cepat (1 menit), efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan
lama kerjanya 4-6 jam.
b. Methyl Xanthine (Teofilin kerja cepat)
Efek bronkodilatasi methyl xanthine setara dengan B2 agonis inhalasi,
tetapi karna efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya (safety
margin) sempit, obat ini sebaiknya diberikan hanya serangan asna berat
yang dengan pemberian kombinasi B2 agonis dan antikolinergik serta
steroid tidak/kurang memberikan respons. Konsentrasi obat di darah harus
dijaga sekitar 10-20 mcg/ml agar tetap memiliki efek terapi.
Dosis :
- usia 1-6 bulan : 0,5 mg/KgBB/jam
- usia 6-11 bulan : 1 mg/KgBB/jam
- 1-9 tahun : 1,2-1,5 mg/KgBB/jam
- >10 tahun : 0,9 mg/KgBB/jam
2. Antikolinergik
Iprapropium bromide
Pemberian kombinasi nebulisasi B2 agonis dan antikolinergik menghasilkan
efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada jika masing-masing obat
diberikan secara sendiri-sendiri.Kombinasi ini sebaiknya diberikan bila 1 kali
nebulisasi B2 agonis tidak/kurang memberikan respons.Sebaiknya pemberian

18
kombinasi ini dilakukan lebih dulu sebelum pemberian methyl xanthine.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/KgBB, nebulisasi setiap 4jam. Dapat
juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut : usia > 6
tahun 8-20 tetes, usia < 6 tahun 4-10 tetes.
3. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan asma dan
pemberiannya merupakan bagian tatalaksana serangan asma, kecuali pada
serangan ringan.Pemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma,
mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru, serta memperbaiki respons
bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh B2 agonis. Preparat oral yang dipakai
adalah prednisone, prednisolone, atau triamsinolon dengan dosis 1-2
mg/KgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5 hari. Kortikosteroid
intravena (IV) perlu diberikan pada kasus asma yang dirawat dirumah
sakit.Metil prednisolone merupakan pilihan utama karena memiliki
kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek anti inflamasi
yang lebih besar, serta efek mineralokortikoid yang minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/KgBB diberikan setiap 4-6
jam. Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/KgBB setiap 4-6 jam.
Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis - 1 mg/KgBB
dilanjutkan 1 mg/KgBB/hari diberikan setiap 6-8 jam.

Terapi Suportif

1. Oksigen
Diberikan pada serangan sedang dan berat.Pada bayi atau anak kecil, saturasi
oksigen sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry, normalnya >95%.Hal ini
dapat dicapai dengan pemberian oksigen memakai kanula hidung, masker,
atau kadang kadang head box (terutama pada bayi).Pada nebulisasi B2 agonis,
oksigen sebaiknya diberikan untuk mengatasi efek samping hipoksia.
2. Campuran Helium dan Oksigen
Inhalasi helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai

19
tambahan pada pemberian oksifen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metil prednisolone IV, secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peak flow, dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi.Tetapi,
terapi helioks pada anak dengan serangan asma berat tidak selalu
menunjukkan hasil menguntungkan.
3. Cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat.Hal ini disebabkan oleh
kurang adekuatnya asupan cairan. Peningkatan insensible water lost, takipnea,
serta akibat efek teofilin. Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati
untuk mengindari hidrasi berlebihan (overhydration), pada asma berat, terjadi
peningkatan sekresi ADH yang memudahkan terjadinya retensi cairan serta
terdapat tekanan negative yang tingi dari tekanan yang pleura pada puncak
inspirasi (peak inspiratory pleural pressure) yang memudahkan terjadinya
edema paru. Biasanya jumlah cairang yang diberikan adalag 1-1,5 kali
kebutuhan rumatan.

20
21
22
2.9 Komplikasi

1. Infeksi saluran nafas


2. Atelektasis
3. Pneumotoraks, pneumomediastinum. Emfisema kutis
4. Gagal nafas
5. Aritmia ( terutama, bila sebelumnya ada kelainan jantung )

3
2.10 Pencegahan

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau
anak yang mempunyai resiko untuk menjadi asma dikemudian hari.Yang
dimaksud dengan resiko adalah bayi/anak dengan atopi, baik pada salah satu
ataupun kedua orangtuanya.Langkah pertama adalah dengan mengenali
adanya factor resiko untuk terjadinya asma dikemudian hari, yaitu dengan
mengenali orangtua dengan atopi.Pencegahan primer saat ini masih ditujukan
pada janin atau bayi dengan resiko asma.Pencegahan primer dapat dilakukan
pada saat prenatal dan pascanatal.Pada masa prenatal, orangtua dihindari
terhadap lingkungan yang dapat bersifat factor resiko.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada
seorang anak yang sudah tersentisisasi.Secara klinis hal ini telah dibuktikan
dengan menggunakan antihistamin. Pada early treatment of the atopic child
(ETAC), pemberian cetirizine selama 18 bulan pada anak dengan dermatitis
atopi yang orangtuanya atopi, dapat mencegah terjadinya asma sebanyak 50%
bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk sari. Selain
pemberian obat-obatan tersebut, factor resiko lain seperti allergen harus
dihindari juga.

23
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang anak
yang sudah menderita asma dengan cara pengindaran terhadap pencetus,
pemberian terapi jangka panjang yaitu pemberian obat pengendali (controller)
berupa kortikosteroid, baik yang diberikan tersendiri ataupun kombinasi
dengan B2 agonis kerja panjang atau antileukotrin.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asma ialah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
penyempitan ini bersifat sementara.Gejala Klinis Keluhan utama penderita asma ialah
sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan
fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas
yang kumat-kumatan.Pada beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan,
sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama
makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat.

3.2 Saran

Penyakit asma tidak dapat disembuhkan namun dalam penggunaan obat-


obat yang ada saat ini hanya berfungsi untuk menghilangkan gejala saja.Kontrol yang
baik diperlukan oleh penderita untuk terbebas dari gejala serangan asma dan bisa
menjalani aktivitas hidup sehari-hari. Untuk mengontrol gejala asma secara baik
maka penderita harus bisa merawat penyakitnya dengan cara mengenali lebih jauh
tentang penyakit tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Global strategy for asthma management and prevention. Na- tional Institutes
ofHealth, 2007.

2. Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadel- phia:


Lipincott Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102.

3. Supriyanto, Bambang. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI

4. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,


Siregar SP, et al. Allergy and asthma,The scenario in Indonesia. In:
Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropi- cal allergy and
asthma.Mumbai: Vicas Medical Publis- hers;2006.707-36.

5. Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in im- munological


mechanisms in asthma and allergic disease. Robinson DS (ed), S.
Karger AG,Basel, Switzerland, 2000.62-71.

6. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: sys- thematic
reviewin European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume
63,646.

7. Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in allergic


diseases. In: Zweiman B, Schwartz LB.editors.USA: Marcel Dekker;
2002.p.325-54.

8. Augusto A. Asthma and obesity: Common early-life influences in the


inception of disease JACI.2008 Mei; 121.(5):1075.

9. Brisbon N, Plumb J, Brawer R, Paxman D, The asthma and obesity


epidemics: The role played by the built environment-a public health
perspective. JACI.2005;115 (5):1024-8.

10. Devereux G, Seaton A, Diet as a risk factor for atopy and


asthma.JACI.2005.115(6):1109-17.

11. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy - a global perspective in Allergy.
European Journal of Allergy and Clinical Immunol- ogy.2007;62
(3).213-5.

26

Вам также может понравиться