Вы находитесь на странице: 1из 25

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah
dan petunjuk-Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan semaksimal
mungkin. Diharapkan dengan membahas kasus ini, diperoleh pula pemahaman yang lebih
kompleks mengenai penyakit Dyspepsia dan Hipertensi.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus kali ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan kasus
ini kedepannya nanti.

Kota Agung, Januari 2017

Penulis
BAB I

STATUS PASIEN

Nama : Tn. F

Umur : 51 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Kota Agung

Agama : Islam

No. RM : 269965

ANAMNESIS

1.1. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis, Tanggal 23 Januari 2017, Jam 14.30 WIB
Keluhan utama : Mual muntah >10x 1 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan mual muntah sebanyak lebih dari 10x 1 jam
SMRS. Konsistensi muntah cair kekuningan. Jumlah muntah kurang lebih sebanyak 1 gelas
air mineral. Keluhan disertai nyeri perut sejak pagi hari. Nyeri perut hanya dirasakan
didaerah ulu hati tidak menyeluruh dan dirasakan seperti melilit. Keluhan disertai adanya rasa
pusing berputar saat perubahan posisi dan membaik saat sedang menutup mata. Pasien
merasakan seluruh tubuh terasa dingin namun riwayat demam disangkal. Keluhan nyeri dada
disangkal pasien. BAB dan BAK juga dirasakan tidak ada keluhan.
Sebelum keluhan muncul pasien mengatakan hanya mengkonsumsi nasi dengan lauk
pauk biasa. Pasien mengatakan rutin meminum kopi di pagi hari. Keluhan seperti rasa pahit
dilidah, kembung, nyeri menelan dan berat badan menurun disangkal pasien.. Pasien tidak
memiliki riwayat darah tinggi, kencing manis, jantung dan alergi namun memiliki riwayat
penyakit vertigo. Pasien sudah mengkonsumsi obat histigo dan domperidone.

Riwayat Penyakit Dahulu


(-) Batu Empedu (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Hernia
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-) HIV (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Operasi (-) Kecelakaan
Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan yang sama seperti sekarang sekitar 1
tahun yang lalu dan sudah berobat untuk penyakit vertigo. Sekitar 1 tahun SMRS pasien
sering mengalami keluhan nyeri di ulu hati dan cepat kenyang.
Riwayat Keluarga
Adakah kerabat yang menderita:
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi
Asma
Tuberkulosis
Arthritis
Rematisme
Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung
Diabetes mellitus

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 173 cm
Berat Badan : 63 kg
IMT : 21.04 (normal)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80x/menit, regular, kuat angkat
Suhu : 36.6OC
Pernapasan : 20x/menit
Keadaan gizi : Cukup
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Cara berjalan : Normal
Mobilitas (aktif/pasif) : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai dengan usia sebenarnya

Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses pikir :Wajar

Kulit
Warna : Sawo matang
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Normal
Pertumbuhan rambut : Merata, tidak mudah rontok, tidak berketombe
Lembab/kering : Kering
Suhu raba : Normotermi
Pembuluh darah : Normal
Keringat : Umum (+)
Setempat (-)
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
Lapisan lemak : Merata
Oedem : Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba pembesaran
Supraklavikula : Tidak teraba pembesaran
Lipat paha : Tidak teraba pembesaran
Leher : Tidak teraba pembesaran
Ketiak : Tidak teraba pembesaran

Kepala
Ekspresi wajah : Sesuai emosi
Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam, distribusi merata
Pembuluh darah temporal : Teraba

Mata
Exopthalmus : Tidak ada
Enopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Normal
Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis (-)
Visus : Normal
Sklera : Ikterik (-)
Gerakan mata : Normal
Lapangan penglihatan : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Nistagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak tuli
Selaput pendengaran : Intak
Lubang : Lapang luas
Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Ada (sedikit), kering
Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada

Mulut
Bibir : Sedikit kering
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Langit-langit : Tidak hiperemis
Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Tidak tampak kelainan
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Tidak tampak kelainan
Lidah : normoglosi

Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar

Thoraks
Bentuk : Simetris
Pembuluh darah : Tidak tampak kelainan
Depan Belakang

Kiri simetris saat statis dan dinamis simetris saat statis dan dinamis
Inspeksi
Kanan simetris saat statis dan dinamis simetris saat statis dan dinamis
Kiri sela iga normal, sela iga normal,
benjolan (-), benjolan (-),
nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
Palpasi fremitus normal fremitus normal
Kanan sela iga normal, benjolan (-), sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus normal nyeri tekan (-), fremitus
normal
Kiri Sonor Sonor
Perkusi
Kanan Sonor Sonor
Kiri Vesikuler, Vesikuler,
Ronkhi-, Ronkhi -,
Wheezing - Wheezing -
Auskultasi Kanan Vesikuler, Vesikuler,
Ronkhi -, Ronkhi -,
Wheezing - Wheezing -

Jantung
Ictus cordis tidak terlihat, tidak terdapat bekas luka, warna kulit kuning
Inspeksi
langsat
Palpasi Ictus cordis teraba pada sela iga 5, garis mid-clavicularis kiri, sebesar 2,5 cm
Batas atas: sela iga 2 garis parasternalis kiri
Perkusi Batas kanan: sela iga 4 garis parasternalis kanan
Batas kiri: sela iga 5, garis mid-clavicularis kiri
Auskultasi BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah
Arteri temporalis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri karotis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri brakhialis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri radialis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri femoralis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri poplitea : Teraba pulsasi, reguler
Arteri tibialis posterior : Teraba pulsasi, reguler
Arteri dorsalis pedis : Teraba pulsasi, reguler

Perut
Inspeksi : Datar, tidak tampak pembuluh darah kolateral, tidak ada bekas luka operasi
Palpasi Dinding perut : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-)
Hati : Tidak membesar
Limpa : Tidak membesar
Ginjal : Ballotemen (-), bimanual (-)
Perkusi : Timpani-redup, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus normoperistaltik, 8x/menit

Anggota Gerak
Lengan
Kanan Kiri
Otot Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 (baik) 5 (baik)
Edema Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki


Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot massa Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 (baik) 5 (baik)
Edema Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Refleks patologis Tidak ada Tidak ada

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaaan laboratorium 23 Januari 2017
Hematologi Nilai normal Hasil
Hb 13.2 17.3 gr/dl 13.4 gr/dl
Leukosit 3800 10600/mm3 10800 mm3
Hematrokrit 40 52 % 41 %
Trombosit 150 440 ribu/mm3 201000 mm3
Ureum 10 - 50 mg/dl 25 mg/dl
Kreatinin 0.9 1.3 mg/dl 0,8 mg/dl
Glukosa Sewaktu <120 mg/dl 148 mg/dl

Diagnosa Banding dan Diagnosa Kerja


No Diagnosis Kerja Diagnosis Banding
1. Vertigo Gastritis akut
2. Dispepsia Ulkus Peptikum
3. Pre-hipertensi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan peptein (pencernaan).
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigator, dispepsia didefinisikan
sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan didaerah perut bagian atas,
sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah
makan, cepat kenyang atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Istilah dispepsia
sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan
atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium,
mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang
menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai
penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih
dikenal sebagai penyakit maag.1

Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter
umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Berdasarkan hasil penelitian di
negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan,
Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia
fungsional.
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di
Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada
gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
Di Indonesia, data prevalensi infeksi H. Pylori pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat
pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk
pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode diagnostik (pemeriksaan
serologi, kultur, dan histopatologi).
Prevalensi infeksi H. Pylori pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan
endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan
sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun
2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah
di Jakarta (8%).2
Etiologi
Etiologi sindroma dispepsia antara lain:3
1. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), antibiotik (makrolides, metronidazole), besi,
KCl, digitalis, estrogen, Etanol (alkohol), kortikosteroid, levodopa, niacin, gemfibrozil,
narkotik, quinidine, theophiline
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi : susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai dan
beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi
- Produk alam: laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein, dan lain-lain.
- Bahan kimia: monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat, dll.
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
c. Penyakit saluran empedu
d. Penyakit pankreas
e. Penyakit usus
4. Penyakit metabolik / sistemik
a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif
5. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen
Dispepsia biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan yang sifatnya hilang timbul
atau terus menerus. Dispepsia disebabkan oleh : Menelan udara (aerofagi), Regurgitasi (alir
balik, refluks) asam dari lambung, iritasi lambung (gastritis), Ulkus gastrikum atau Ulkus
duodenalis, kanker lambung, peradangan kandung empedu (kolesistitis), intoleransi laktosa
(ketidakmampuan mencerna susu dan produknya), kelainan gerakan usus, pengeluaran asam
lambung berlebih pertahanan dinding lambung yang lemah, infeksi Helicobacter pylori ( sejenis
bakteri yang hidup di dalam lambung, dalam jumlah kecil ) ketika asam lambung yang
dihasilkan keluar lebih banyak kemudian pertahanan dinding lambung menjadi lemah, bakteri ini
bisa bertambah banyak jumlahnya, apalagi disertai kebersihan makanan yang kurang, gangguan
gerakan saluran cerna dan stres psikologis.3

Faktor resiko
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia: konsumsi
kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta
berdomisili di daerah dengan prevalensi H.pylori tinggi.1

Klasifikasi
Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia
fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieklusi. Dispepsia fungsional
dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome.
Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan begah setelah makan dan
perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih
konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress
syndrome. Dispepsia organik sebagian besar diakubatkan kelainan esofagogastroduodenal yaitu
gastritis, tukak peptic,dan karsinoma SCBA ( saluran cerna bagian atas). 4
Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh H. Pylori dan obat-obatan anti-
inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh
beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi H. Pylori, asam
lambung, ambang rangsang persepsi, disfungsi autonomy, aktivitas miolektrik lambung,
hormonal, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya
hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.1
1. Sekresi asam lambung
Pada kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,
baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. diduga
adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa
tidak enak diperut.5
2. Helicobacter pylori (H. Pylori)
Prevalensi infeksi H. Pylori pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%.
Hubungan infeksi H. Pylori dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi
H. Pylori memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional.2 Penanda biologis seperti
ghrelin dan leptin , serta perubahan ekspresi muscle-specific microRNAs berhubungan
dengan proses patofisiologi dispepsia fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut
3. Gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam
menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan
perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah
satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan
perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa
penuh.1
4. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nocireceptor. Pada kasus dispepsia terjadi hipersensitivitas visceral
terhadap distensi balon digaster dan duodenum, tetapi mekanismenya masih belum
diketahui.
5. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas miolektrik lambung
Adanya disaritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrogafi berupa
tachygastria, bradygastria pada 40% kasus dispepsia fungsional, tai hal ini bersifat
inkosisten.
7. Hormonal
Peran hormone pada dispepsia fungsional masih belum jelas . Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal.
Dalam beberapa percobaan, progesterone, estradiol,dan prolactin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.5
8. Psikologis
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam
dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat
keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas
berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.1
9. Genetik
Pada beberapa penelitian ditemukan adnaya interaksi antara polimorfisme gen-gen terkait
respon imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dispepsia fungsional.

Gambaran klinis
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien, maka
banyak disarankan untuk mengklarifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa subgroup
didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dispepsia).
Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan menjadai dispepsia fungsional tipe seperti
dismotilitas (dismotility like symptom).
Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia
non-spesifik.5

Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional.
Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis
dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III
belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti
konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada
abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala
yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
Nyeri epigastrium
Rasa terbakar di epigastrium
Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan
awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma III membagi dispepsia
fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress
syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis
dalam dua pertiga pasien dispepsia.1
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang
datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
Penurunan berat badan (unintended)
Disfagia progresif
Muntah rekuren atau persisten
Perdarahan saluran cerna
Anemia
Demam
Massa daerah abdomen bagian atas
Riwayat keluarga kanker lambung
Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih dahulu
dengan endoskopi.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi yaitu, OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori,
dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Endoskopi merupakan pemeriksaan baku
emas, selain diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan
endoskopi adalah:
- CLO (rapid urea test)
- Patologi anatomi (PA)
- Kultur mikoorganisme (MO) jaringan
- PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.

1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, setidak-tidaknya perlu diperiksa
darah, urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan leukositosis
berarti ada tanda tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang
diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran
pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu
diperiksa CEA, dugaan kearah karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9. Dan lain lain
pemeriksaan laboratorium yang ada relevansi terhadap penyakit yang menimbulkan sindroma
dispepsia.6

2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi banyak menunjang diagnosis sesuatu penyakit di saluran
makan. Setidak - tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran makan
bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan
tampak peristaltik di esophagus yang menurun terutama dibagian distal, tampak
antiperistaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pylorus, sehingga sedikit
barium yang masuk ke intestine.
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya regular, semisirkuler, dengan dasar licin.
Kanker di lambung secara radiologi, akan tampak massa yang ireguler tidak
terlihat peristaltic di daerah kanker, bentukdari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu
dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat ganda seperti terpotongnya usus besar, atau
tampak dilatasi dari intestine terutama di yeyenum yang disebut Sentinel loops.

3. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan banyak membantu
menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada tidaknya kelainan di esofagus, lambung,
dan duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa , lesi tumor jinak atau
ganas. Kelainan di esofagus yang sering ditemukan dan perlu diperhatikan di antaranya ialah:
esofagitis, tukak esofagus, varises esofagus, tumor jinak atau ganas yang umumnya lokasinya
di bagian distal esofagus. Lokasi kelainan di lambung yang terbanyak ialah disekitar angulus,
antrum, dan prepilorus, diantaranya berupa gastritis, tukak lambung, tumor jinak atau ganas.
Kelaianan di duodenum yang sering ditemukan ialah tanda peradangan (duodenitis), tukak
yang lokasinya terbanyak di bulbus dan pars desenden.
Bila pada endoskopi ditemukan tukak baik di esofagus , lambung maupun di
duodenum, maka dapat dibuat diagnosis dispepsi tukak. Sedangkan bila tidak ditemukan
tukak tetapi hanya tanda peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak.6

4. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang tidak invasif, akhir-
akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnosis dari sesuatu
penyakit. Apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan
pada kondisi pasien yang beratpun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada
sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kearah kelainan di traktus biliaris , pankreas,
kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esofagus dan lambung.

5. Waktu Pengosongan Lambung


Dapat dilakukan dengan scintigrafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia
terdapat perlambatan pengosongan lambung 30-40%.6
Tatalaksana
Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4
minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya H. Pylori. Untuk daerah dan
etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan H. Pylori harus dilakukan
lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya
omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]),
prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan
dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan
obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki
mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411.
Terkait dengan prevalensi infeksi H. Pylori yang tinggi, strategi test and treat diterapkan pada
pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.1
Test and treat dilakukan pada:
Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan gaya
hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah diperiksa.
Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik dan
defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada:
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
Anak-anak dengan dispepsia fungsional
Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau
proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang
diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan
mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.1

Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat
diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Terapi medikamentosa dapat berupa:
o Obat penetralisir asam lambung: Antasida, dosis 3 x 30mg
o Obat penghambat asam: Antagonis reseptor H2 (H2RA) seperti ranitidine
2x150mg dan simetidin 2 x 400mg, atau inhibitor pompa proton (PPI) seperti
omeprazole 1 x 20mg, lansoprazole 1 x 30mg, dan pantoprazole 1x 40mg.
o Sitoprotektor ( Sukralfat 2 x 2gram, rebamipide 3x 100mg, teprenone 3x 50mg)
o Prokinetik ( metokloperamid 4 x 10mg, domperidon 4 x 10mg, cisapride 3x 5mg)
o Antidepresan ( Sertralin 1x 25mg)
o Psikoterapi4
Dispepsia dengan infeksi H. Pylori
Eradikasi H. Pylori mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap gejala
dispepsia. Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi
eradikasi H. Pylori dengan triple terapi (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7
hari lebih baik dari terapi selama 5 hari.1
Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk melakukan kultur dan tes
resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum memberikan terapi. Tes molekular juga dapat
dilakukan untuk mendeteksi H. Pylori dan resistensi klaritromisin dan/atau fluorokuinolon secara
langsung melalui biopsi lambung.
Setelah pemberian terapi eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan dengan
menggunakan UBT atau H. pylori stool antigen monoclonal test. Pemeriksaan dapat dilakukan
dalam waktu paling tidak 4 minggu setelah akhir dari terapi yang diberikan. Untuk H. PyloriSA,
ada kemungkinan hasil false positive.1

Diet
Merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai adalah cara
pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy Diet.
Sekarang lebih dikenal dengan diit lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat
Indonesia. Dasar diet ialah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung
susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak
merangsang dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil
dan berulang kali. Hindari makanan pencetus serangan seperti pedas, asam, kafein dan
alkohol.

Prognosis
Sindrom dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik. 5
BAB III
PEMBAHASAN
Dasar Diagnosa, Alasan Rencana Tatalaksana, Komplikasi & Prognosa, Edukasi
Problem : Dispepsia
- Mual muntah >10x 1 jam SMRS disertai rasa nyeri pada ulu hati
- Keluhan nyeri bagian ulu hati dan rasa cepat kenyang sejak 1 tahun SMRS.
- Riwayat mengkonsumsi kopi setiap pagi hari selama 3 tahun terakhir.
Assesment
o WD : Dispepsia
o DD :
A. Gastritis
Mendukung : nyeri panas/ terbakar di ulu hati , mual, muntah
Melemahkan : tidak adanya kelainan laboratorium, adanya riwayat keluhan rasa cepat
kenyang dan terbakar di ulu hati selama 1 tahun SMRS.
B. Ulkus Peptikum
Mendukung: Nyeri pada ulu hati yang sering berulang, muntah
Melemahkan: Tidak ada kelainan hasil laboratorium, tidak ada hematemesis melena,
belum dilakukan endoskopi
Initial Plan Diagnostik (IPDX)
- Endoskopi dan biopsy
Initial Plan Theraphy (IPTX)
- Infus Ringer laktat 28 tpm
- Diet makanan (lembek dan mudah dicerna) sedikit berulang kali
- Ondansetron inj 3x1
- Omeprazole inj 2x1
- Mertigo 3x8mg
- Initial Plan Monitoring (IPMX)
- TTV
- Keluhan pasien
Initial Plan Education (IPEX)
- Menjelaskan penyakit kepada pasien dan keluarganya.
- Atur pola makan, olahraga teratur, dan istirahat cukup.
- Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung
(coklat, keju, dan lain-lain).
- Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,
semangka, dan lain-lain) dan makanan yang terlalu pedas.
- Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
- Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat antiinflammatory,
misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen.
Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak
mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.
- Kelola stres psikologi se-efisien mungkin.
Initial Plan Prognosis (IPPX)
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP
24 Januari 2017 S : Os mengatakan masih nyeri di ulu hati namun sudah sedikit
Pukul 11.00 WIB berkurang. Os mengatakan keluhan pusing berputar sudah
berkurang dan tidak muntah lagi, namun masih merasa mual
O : KU = Tampak sakit ringan
Kesadaran = Compos mentis
TD = 130/80 mmHg; HR = 80x/menit;
RR = 20x/menit; Suhu = 36,6oC
Abdomen: I = Perut rata, lesi kulit (-)
P = Supel, Nyeri tekan epigastrium (+)
P = Timpani pada seluruh lapang perut
Organ hati, limpa tidak membesar.
A = Bising usus normal (+)
A : Dispepsia + Vertigo + Pre-hipertensi
P : Terapi : Ringer Laktat 20 tpm
Ondansetron inj. 3 x 1 amp
Omeprazole 2 x 1 amp
Mertigo 3 x8 mg
Konsul Sp.S
25 Januari 2017 S : Os mengatakan sudah tidak ada keluhan mual dan pusing sudah
Pukul 10.00 WIB berkurang
O : KU = Tampak sakit ringan
Kesadaran = Compos mentis
TD = 110/80 mmHg; HR = 84x/menit;
RR = 20x/menit; Suhu = 36,4oC
Abdomen: I = Perut rata, lesi kulit (-)
P = Supel, Nyeri tekan epigastrium (-)
P = Timpani pada seluruh lapang perut
Organ hati, limpa tidak membesar.
A = Bising usus normal (+)
A : Dispepsia + Vertigo + Prehipertensi
P : Boleh pulang
BAB IV PENUTUP

Pada anamnesis didapatkan hasil pasien laki-laki berusia 53 tahun datang dengan keluhan
utama mual muntah >10x sejak 1 jam SMRS. Keluhan disertai pusing berputar nyeri ulu hati
yang dirasakan melilit dan ada rasa terbakar. Keluhan lain yang dialami pasien yaitu rasa cepat
kenyang. Pasien memiliki kebiasaan meminum kopi setiap pagi selama 1 tahun terakhir Selama 1
tahun terakhir pasien sering mengeluh nyeri di ulu hati dan rasa cepat kenyang. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri bagian ulu hati (+) dan sisanya dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang yang dlakukan yaitu laboratorium dan EKG dimana hasilnya semua
dalam batas normal. Hasil foto rontgen thorax tampak ada kardiomegali dan tekanan darah agak
tinggi di 130/80 mengarah ke arah pre-hipertensi meski pasien tidak ada keluhan. Diketahui
bahwa pasien memiliki riwayat vertigo dan rutin mengkonsumsi obat-obat vertigo.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka dapat
dikatakan pasien menderita vertigo, dispepsia dan pre-hipertensi. Dispepsia didefinisikan sebagai
sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah
makan, cepat kenyang atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), Kelompok Studi Helivobacter pylori
Indonesia (KSH. PYLORII). Konsensus Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori. 2014.
2. Murdani A, Jeffri G. CDK : Dispepsia. Volume 39 no.9. Jakarta; 2012.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA., editor. Kapita Selekta Kedokteran:
Dispepsia, Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
4. Suzanna N. Bahan Ajar Gastroenterohepatologi: Dispepsia. Jakarta: Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.
5. Dharmika D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Dispepsia Fungsional. Jilid I. Edisi ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.
6. Pengarapen T. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Tukak Gaster .Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta
: Interna Publishing; 2009.

Вам также может понравиться