TANJUNG BENOA SEBAGAI PERKAMPUNGAN MULTI-ETNIK DI BALI
(Sumber: kapanlagi.com)
Tanjung Benoa merupakan sebuah kelurahan di wilayah Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Bali.. Kelurahan Tanjung Benoa berbatasan dengan Selat Badung atau Pantai Tanjung Benoa di sebelah utara, Selat Nusa Penida atau Pantai Nusa Dua di sebelah timur, Desa Adat Tengkulung di sebelah selatan, dan Pantai Barat Tanjung Benoa di sebelah barat. Selain itu Kelurahan Tanjung Benoa juga terdiri dari dua Desa Adat yaitu Desa Adat Tengkulung yang terdiri dari satu banjar yaitu Banjar Tengkulung dan Desa Adat Tanjung Benoa yang terdapat lima lingkungan banjar. Kelima lingkungan banjar meliputi lingkungan Banjar Kertha Pascima, Banjar Purwa Santhi, Banjar Anyar, Banjar Tengah, dan Banjar Panca Bhinneka. Tanjung Benoa berada di pesisir pantai dan berada dekat dengan pelabuhan Benoa. Sebagian besar sisi kawasan ini berbatasan langsung dengan laut, kecuali bagian selatan yang berbatasan dengan Desa Adat Tengkulung. Tanjung Benoa merupakan tempat wisata di Bali yang terkenal akan pantainya. Tanjung Benoa memang layak dikatakan sebagai perkampungan multi-etnik di Bali karena keragaman adat istiadat, etis, dan agama yang terdapat di dalamnya. Berbagai macam etnis yang tinggal di wilayah Tanjung Benoa diantaranya Etnis Tionghoa yang hingga saaat ini telah sampai pada generasi ke-4 dan ke-5, Etnis Bugis, Etnis Jawa, Etnis Palue dari Flores, dan tidak lupa Etnis Bali yang merupakan mayoritas serta penduduk asli. Berbagai agama juga tumbuh dan berkembang di wilayah Tanjung Benoa diantaranya agama Konghuchu, Hindu, Buddha, Islam, dan Nasrani. Sehingga dapat dijumpai tempat-tempat ibadah yang jaraknya saling berdekatan satu sama lain seperti Klenteng Caow Eng Bio yang terletak di Jalan Segara Ening 14 dan Masjid Jami Mujahidin yang terletak di Jalan Segara Lor. Namun untuk gereja bagi umat Kristiani terdapat di Puja Mandala. Setiap masyarakat tiap etnis dan agama tinggal menyebar dan tedapat pula yang mengelompok, seperti masyarakat Tionghoa yang dapat ditemukan di Nusa Dua. Sebagai wilayah yang berdampingan langsung dengan laut sudah tentu masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan atau pencari ikan. Pada awalnya memang demikian, namun setelah terjadi perkembangan pada sektor pariwisata di wilayah Tanjung Benoa menjadikan masyarakatnya dengan rela meniggalkan pekerjaan lamanya dan beralih profesi menjadi pengantar tamu ke Pulau Serangan atau Pulau Penyu untuk snorkeling atau diving. Walaupun tidak semua masyarakat beralih profesi namun sudah sangat jarang dapat ditemukan nelayan di wilayah Tanjung Benoa. Beralihnya profesi para nelayan tersebut beralasan sektor pariwisata lebih dirasa menguntungkan dengan penghasilan yang dapat diperoleh pada setiap kesempatan daripada bekerja sebagai nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu dan harus bangun tengah malam setiap harinya. Tanjung Benoa yang masyarakatnya hanya berjumlah kurang lebih 20 kepala keluarga menjadikan wilahnya tidak memiliki kelompok-kelompok sosial seperti karang taruna, pkk, dan lain sebagainya. Namun di Tanjung Benoa terdapat yayasan-yayasan yang berdiri diantaranya yayasan Dharma Sinaga. Masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Bahasa Bali dalam berkomunikasi mengingat etnis Bali sebagai mayoritas di wilayah Tanjung Benoa. Selain itu Bahasa Indonesia juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam berkomunikasi dengan masyarakat luar Bali atau wisatawan yang datang. Masyarakat etnis Tionghoa ikut bergabung dengan banjar-banjar Hindu Bali karena mengingat jumlah masyarakat yang kurang lebih hanya 20 kepala keluarga. Masyarakat Tionghoa juga ikut serta dalam kegiatan di desa dan upacara yang dilaksanakan di pura. Masyarakat antar etnis dan agama juga membiasakan diri untuk saling mengundang saat ada kegiatan atau upacara keagamaan sehingga dapat tercipta keharmonisan. Masyarakat etnis Bugis juga memiliki banjar sendiri yang dinamakan Kampung Bugis karena anggotanya yang sudah lebih dari 200 orang sehingga memenuhi syarat untuk membuat kepala lingkungan sendiri. Pada awalnya etnis Bugis masih bergabung dengan banjar-banjar Bali. Namun setelah terjadi perkembangan pada masyarakat Bugis, akhirnya dibuatlah banjar sendiri yang dinamakan Kampung Bugis yang dapat ditemukan juga di Serangan dan Kepaon. Walaupun dengan beragam etnis dan agama, tidak menjadikan suatu perbedaan berarti yang dapat memicu pertikaian. Justru konflik-konflik sangat jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi sehingga dapat tercipta suasana yang aman dan damai. Sebagai perkampungan bagi masyarakat multi-etnik tidak menjadikan masyarakat di wilayah Tanjung Benoa untuk tidak bisa hidup berdampingan secara rukun dan damai. Tingkat toleransi antar masyarakat justru sangat tinggi dan erat. Hal tersebut terbukti dengan keikutsertaan masyrakat umum untuk saling membantu apabila salah satu agama memiliki upacara kegamaan, terutama umat Hindu Bali yang paling sering datang mengingat sebagai penduduk mayoritas yang jumlahnya paling banyak diantara yang lain. Masyarakat antar etnis dan agama juga membiasakan diri untuk saling mengundang saat ada kegiatan atau upacara keagamaan sehingga dapat tercipta keharmonisan. Seperti halnya masyarakat Tionghoa yang juga ikut merayakan seperti hari raya Nyepi yang dirayakan umat Hindu sebagai masyarakat mayoritas yang tinggal di wilayah Tanjung Benoa. Selain itu untuk menjaga keharmonisan umat Tionghoa juga tergabung dalam banjar-banjar Hindu Bali. Masyarakat Tionghoa juga ikut serta dalam kegiatan di desa dan upacara yang dilaksanakan di pura. Di saat-saat tertentu jika ada program dari Pemerintah Daerah Bali, masyarakat dari berbagai agama dipentaskan dengan berkeliling atau arak-arakan yang pernah terselenggara sebanyak dua kali. Selain untuk menarik wisatawan yang datang untuk berwisata di Tanjung Benoa hal tersebut bertujuan untuk menjalin kerukunan antar umat beragama yang tinggal di wilayah Tanjung Benoa. Masyarakat berbagai agama di sekitar wilayah Tanjung Benoa tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk menjalin kerukunan antar umat beragama serta mempermudah jika terjadi konflik yang terjadi antar umat-umat beragama walaupun selama ini konflik atau pertikaian antar umat beragama belum pernah terjadi. Dengan melihat gambaran wilayah Tanjung Benoa sebagai perkampungan multi-etnik di Bali dapat menjadi suatu renungan bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang ramai dan heboh dengan masalah yang dikait-kaitkan dengan permasalahan etnis dan agama yang akhir-akhir ini sering dimuat dalam pemberitaan baik di televisi, surat kabar, maupun di internet. Indonesia memang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa yang terdapat di dalamnya. Namun perbedaan tersebut seharusnya tidak menjadikan perpecahan yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa dan negara yang dengan susah payah diperjuangkan oleh para pahlawan. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut seharusnya menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang rukun dan damai dengan semangat persatuan dan kesatuan yang senantiasa ada dalam jiwa para warga negaranya. Justru keanekaragaman tersebut yang membuat Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang ada di dunia dan menjadi suatu kebanggaan bagi Indonesia tentunya. Dengan demikian, kehidupan masyarakat di wilayah Tanjung Benoa dapat dijadikan kiblat bagaimana keanekaragaman etnis, agama, dan lain sebagainya bukan menjadi suatu alasan untuk tidak bisa hidup dengan aman, tentram, dan damai dalam suatu harmoni yang indah untuk disaksikan. Semoga Indonesia bisa mengambil hal-hal positif yang diperoleh dari kehidupan masyarakat di Tanjung Benoa.