Вы находитесь на странице: 1из 24

JURNAL AWAL

PRAKTIKUM ANALISIS MAKANAN DAN KOSMETIKA


IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR ZAT PEWARNA
RHODAMIN B PADA SAMPEL SAUS TOMAT DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

OLEH:
KELOMPOK I

Ni Ketut Putri Ayu Purwaningsih (1408505008)


Ni Komang Sasi Ani (1408505020)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagai sumber energi, makanan menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi
manusia. Banyak makanan yang diperjualbelikan mengandung bahan tambahan
seperti bahan anti kempal, anti oksidan, pengatur keasaman, pemanis, pemutih,
pematang tepung, pengemulsi, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap
rasa dan aroma, dan lain-lain (Depkes RI, 1988). Penentuan mutu bahan makanan
pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa,
warna, tekstur, dan nilai gizinya. Dari ketiga faktor tersebut, secara visual faktor
warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan mutu dari suatu
produk makanan (Syah, 2005; Cahyadi, 2008).
Bahan tambahan atau zat aditif yang dicampurkan ke dalam makanan
semakin hari semakin meningkat penggunaannya. Keberhasilan dalam
mensintesis bahan kimia baru yang lebih praktis, lebih murah, dan lebih mudah
diperoleh menjadi salah satu faktor tingginya penggunaan bahan tambahan.
Penambahan bahan tambahan atau zat aditif ke dalam makanan merupakan hal
yang dipandang perlu untuk meningkatkan mutu suatu produk sehingga mampu
bersaing di pasaran (Syah, 2005).
Salah satu bahan tambahan yang biasa digunakan pada makanan adalah zat
pewarna. Penambahan pewarna pada makanan bertujuan untuk memperbaiki
warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau
memberi warna pada makanan yang tidak berwarna sehingga akan berpengaruh
terhadap selera dan daya tarik konsumen. Zat warna yang paling sering digunakan
salah satunya adalah rhodamin B. Rhodamin B adalah zat pewarna yang tersedia
di pasar untuk industri tekstil. Zat ini termasuk salah satu pewarna berbahaya dan
dilarang digunakan pada produk pangan (Abdurrahmansyah dkk., 2017). Namun
demikian, penyalahgunaan rhodamin B sebagai zat pewarna pada makanan masih
sering terjadi di lapangan terutama dalam makanan yang berwarna merah terang.
Saus merupakan pelengkap bahan makanan yang digemari masyarakat
karena menambah cita rasa pada makanan. Di dalam saus banyak mengandung

1
bahan tambahan makanan seperti pengawet dan pewarna. Pewarna yang
digunakan dalam saus yaitu pewarna alami atau pewarna sintetis untuk makanan
misalnya orange red dan orange yellow, pewarna sintetis ini masih diperbolehkan
penggunaannya oleh Departemen Kesehatan RI. Namun, saus dengan warnanya
yang merah seringkali disalahgunakan oleh produsen dengan menambahkan
pewarna yang tidak seharusnya ada dalam makanan seperti contohnya Rhodamin
B (Wijaya, 2011). Penggunaan Rhodamin B pada makanan dalam waktu yang
lama akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker. Namun
demikian, bila terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar, maka dalam waktu
singkat akan terjadi gejala akut keracunan Rhodamin B (Yuliarti, 2007).
Walaupun penggunaan rhodamin B telah dilarang, tetapi masih ada produsen yang
sengaja menambahkan zat rhodamin B (Djarismawati dkk., 2004). Penggunaan
rhodamin B dalam produk pangan mungkin karena harganya yang jauh lebih
murah dibandingkan dengan zat warna pangan yang diizinkan. Kemungkinan
kedua adalah kurangnya pengetahuan produsen industri rumah tangga tentang zat
pewarna apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak pada makanan.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka diperlukan adanya analisis
rhodamin B dalam sampel saus. Analisis yang dilakukan yaitu identifikasi dan
penentuan kadar yang dilakukan secara Spektrofotometri UV-Vis. Sampel yang
dipilih adalah saus yang memiliki warna merah yang menarik dengan harga yang
relatif murah, sehingga dicurigai mengandung zat warna rhodamin B.

1.2. Tujuan
1.2.1. Melakukan identifikasi dan penetapan kadar rhodamin B dalam saus tomat
dengan metode spektrofotometri UV-Vis.
1.2.2. Mengetahui tingkat validitas dari metode yang digunakan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahan Pewarna


Golongan bahan tambahan pangan (BTP) pewarna yang diizinkan untuk
digunakan dalam pangan terbagi menjadi dua golongan yaitu pewarna alami
(natural colour) dan pewarna sintetis (synthetic colour). Penggunaan pewarna
dalam pangan tidak diperbolehkan melewati batas asupan harian yang dapat
diterima atau Acceptable Daily Intake (ADI). ADI didefinisikan sebagai jumlah
maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan
yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek
merugikan terhadap kesehatan (BPOM, 2013). Penambahan bahan pewarna
pangan dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu untuk memberi kesan menarik bagi
konsumen, menyeragamkan warna makanan, menutupi perubahan warna selama
proses pengolahan, dan mengatasi perubahan warna selama penyimpanan
(BPOM, 2003).
Tabel 1. Bahan Pewarna Sintesis yang Diizinkan di Indonesia

(Cahyadi, 2008)

3
Tabel 2. Zat Pewarna Alami bagi Makanan dan Minuman yang Diizinkan di
Indonesia

(Cahyadi, 2008).

2.2. Rhodamin B
Rhodamin B (C28H31ClN2O3) memiliki bobot molekul sebesar 479,02 g/mol
(Depkes RI, 1995) dan memiliki nama lain tetraethylrhodamin, basic violet 10,
dan C.I. 45170 (Rost, 1995). Rhodamin B dalam bentuk basanya berupa serbuk
yang berwarna merah yang tidak larut di dalam air, tetapi larut dalam alkohol
yang nantinya akan menghasilkan larutan yang berwarna merah. Sedangkan
dalam bentuk garam HCl, rhodamin B berupa serbuk yang sangat halus yang
berwarna ungu kehitaman dengan fluoresensi kuning kehijauan. Dalam bentuk
garamnya, rhodamin B larut dalam air yang menghasilkan larutan pekat berwarna
merah keunguan, serta larut pula dalam alkohol yang nantinya menghasilkan
larutan berwarna merah. Titik leleh dan titik didih rhodamin B masing-masing
adalah 2700C dan 3100C (Shimizu, 2004). Panjang gelombang maksimum
rhodamin B adalah 555 nm (Rost, 1995). Berikut adalah struktur dan spektrum
rhodamin B adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur Kimia Rhodamin B (Tatebe et al., 2014)

4
Gambar 2. Spektrum Rhodamin B (Marczenko and Balcerzak, 2000)
Rhodamin B semula digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang
berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya yang
berfluoresensi dalam sinar matahari. Rhodamin B merupakan zat warna golongan
xanthenes dyes yang berasal dari metanlinilat dan dipanel alanin yang berbentuk
serbuk kristal berwarna kehijauan, berwarna merah keunguan dalam bentuk
terlarut pada konsentrasi tinggi, dan berwarna merah terang pada konsentrasi
rendah. Rhodamin B sering disalahgunakan untuk pewarna pangan (kerupuk,
makanan ringan, dan minuman yang dijual di sekolah-sekolah) serta kosmetik
dengan tujuan menarik perhatian konsumen (Budavari, 1996). Penggunaan
rhodamin B pada makanan dan kosmetik dalam waktu lama akan mengakibatkan
kanker dan gangguan fungsi hati. Namun demikian, bila terpapar rhodamin B
dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan
rhodamin B (Yulianti, 2007).

2.3 Saus
Saus adalah cairan kental (pasta) yang terbuat dari bubur buah berwarna
menarik (biasanya merah), mempunyai aroma dan rasa yang merangsang (dengan
atau tanpa rasa pedas). Saus mempunyai daya simpan panjang karena
mengandung asam, gula, garam, dan seringkali pengawet. Saus tomat dibuat dari
campuran bubur buah tomat dan bumbu-bumbu, berwarna merah muda sesuai
dengan warna tomat yang digunakan. Saus tomat yang baik berwarna merah
tomat, tidak pucat, atau bahkan cenderung berwarna orange, bila pucat dan

5
berwarna merah kekuningan berarti bukan berasal dari tomat asli melainkan sudah
ditambah dengan bahan-bahan lain serta menggunakan zat pewarna. Saus tomat
yang terbuat dari tomat asli sebenarnya sama sekali tidak memerlukan zat
pewarna (Budianto, 2008).
Pewarna yang digunakan dalam saus yaitu pewarna alami atau pewarna
sintetis untuk makanan misalnya orange red dan orange yellow, pewarna sintetis
ini masih diperbolehkan penggunaannya oleh Departemen Kesehatan RI. Pewarna
sintetis yang dilarang penggunaannya untuk makanan dan minuman juga sering
digunakan, seperti rhodamin B yang telah dilarang oleh pemerintah (Budianto,
2008).

2.4 Spektrofotometri UV-Vis


Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Radiasi
ultraviolet dan sinar tampak diabsorbsi oleh molekul organik aromatik, molekul
yang mengandung elektron phi terkonjugasi atau atom yang mengandung elekron
menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari tingkat energi elektron
dasar ke tingkat energi tereksitasi tinggi. Jangkauan panjang gelombang untuk
daerah ultraviolet adalah 190-380 nm dan daerah cahaya tampak 380-780 nm
(Satiadarma, 2004). Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif
dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.
1. Aspek Kualitatif
Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk
identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung, maka
dapat digunakan untuk maksud identifikasi atau analisis kualitatif suatu senyawa
tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang
gelombang maksimal, intensitas, efek, pH, dan pelarut yang kesemuanya itu dapat
diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasi. Dari spektra yang diperoleh
dapat dilihat, misalnya:
Serapan (absorbansi) berubah atau tidak karena perubahan pH. Jika
berubah, bagaimana perubahannya apakah dari batokromik ke

6
hipsokromik dan sebaliknya atau dari hipokromik ke hiperkromik, dan
sebagainya.
Obat-obat yang netral misalnya kafein, kloramfenikol, atau obat-obat yang
berisi auksokrom yang tidak terkonjugasi seperti amfetamin, siklizin, dan
penisiklidin.
2. Aspek Kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, cuplikan (larutan sampel) dikenakan suatu berkas
radiasi dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang
diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang
diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi
cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang
per detik. Serapan dapat terjadi jika foton atau radiasi yang mengenai cuplikan
memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan
terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami penurunan dengan
adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi penurunan karena hal
ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan.
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis terdiri dari sumber radiasi,
monokromator, kuvet, dan detektor.
a. Sumber radiasi
Lampu deuterium untuk daerah UV dari 190 sampai 350 nm dan lampu
halogen kuartz atau lampu tungsten untuk daerah visibel dari 350 sampai
900 nm (Watson, 2005).
b. Monokromator
Monokromator digunakan untuk menghamburkan cahaya ke dalam panjang
gelombang unsur-unsurnya, yang diseleksi lebih lanjut dengan celah.
Monokromator berotasi sehingga rentang panjang gelombang dilewatkan
melalui sampel ketika instrument tersebut memindai sepanjang spektrum
(Watson, 2005).
c. Sel atau Kuvet
Kebanyakan wadah sampel adalah sel untuk menaruh cairan ke dalam
berkas cahaya spektrofotometer. Sel tersebut harus meneruskan energi

7
radiasi dalam daerah spektral yang diminati, jadi sel kaca melayani daerah
tampak dan kaca silika atau kuarsa untuk daerah ultraviolet (Day dan
Underwood, 1987).
d. Detektor
Detektor merupakan bagian spektrofotometer yang penting karena berfungsi
untuk mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik.

2.5 Validasi Metode Analisis


Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter
tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa
parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).
Beberapa kriteria validasi metode adalah:
a. Keseksamaan (Presisi)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara
hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika
prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari
campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau
simpangan baku relatif (koefisien variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai
keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan
adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama
pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Ketertiruan adalah
keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda (Harmita, 2004).
Jika hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4,......xn, maka nilai simpangan bakunya
(SD) dapat dihitung sesuai dengan persamaan 2.1 berikut ini:

2
x x

SD .......................................................................(2.1)
n 1
Keterangan:
SD = simpangan baku
n = jumlah sampel
Sedangkan nilai simpangan baku relatif/koefisien variasi (KV) dapat
dihitung sesuai dengan persamaan 2.2 sebagai berikut:

8
SD
KV
100% ...............................................................................(2.2)
x
Keterangan:
KV = koefisien variasi
= rata-rata hasil analisis
Suatu data dikatakan memenuhi keseksamaan bila nilai KV < 2% (Harmita,
2004).
b. Ketepatan (Akurasi)
Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai
terukur dengan nilai yang diterimabaik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai
rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada
suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel. Untuk pengujian
senyawa obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan hasil pengukuran
dengan bahan rujukan standar. Untuk mendokumentasikan akurasi, ICH
merekomendasikan pengumpulan data dari 9 kali penetapan kadar dengan 3
konsentrasi yang berbeda (misal 3 konsentrasi dengan 3 kali replikasi). Data harus
dilaporkan sebagai persentase perolehan kembali (Gandjar dan Rohman, 2007).
c. Linearitas dan Rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon
yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah
pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat
ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan dan linieritas yang dapat diterima.
Parameter yang diamati adalah nilai r dari persamaan linier dan simpangan baku
residual (Sy). suatu data dikatakan linier apabila nilai r = 1 atau -1 (Harmita,
2004). Untuk menghitung nilai Sy digunakan persamaan 2.3.

y1 y1

Sy .............................................................................(2.3)
N 2

9
Keterangan:
y1 = AUC senyawa yang terukur alat (respon detektor)
1 = AUC hasil perhitungan berdasarkan persamaan garis lurus
(1=a+bx)
N = jumlah standar yang diukur
d. LOD dan LOQ
Batas deteksi (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat
dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan
blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi (LOQ)
merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil
analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama.
LOD dan LOQ dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
3Sy
LOD= ........................................................................................(2.4)
slope
10 Sy
LOQ= ........................................................................................(2.5)
slope
Keterangan: Sy = simpangan baku residual
(Harmita, 2004).
e. Spesifitas
Spesifitas adalah kemampuan untuk menngukur analit yang dituju secara
tepat dan spesifik dengan adanya komponen-komponen lain dalam matriks sampel
seperti ketidakmurnian, produk degradasi, dan komponen matriks (Harmita,
2004). ICH membagi spesifitas dalam 2 kategori, yakni uji identifikasi dan uji
kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi, spesifitas ditujukan dengan
kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang
mempunyai struktur molekul yang hampir sama. Untuk tujuan kemurnian dan
tujuan pengukuran kadar, spesifitas ditujukan oleh daya pisah 2 senyawa
berdekatan (sebagaimana dalam kromatografi). Penentuan spesifitas ada2 jalan.
Yang pertama adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa
yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi
senyawa yang dituju lebih besar sama dengan 2). Cara kedua dengan

10
menggunakan detektor selektif, terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi
secara bersamaan (Gandjar dan Rohman, 2007).
f. Kekasaran
Kekasaran merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh di bawah
kondisi yang bermacam-macam yang diekspresikan sebagai persen standar deviasi
relatif (%RSD). Kondisi-kondisi ini meliputi laboratorium, analisis, alat, reagen,
dan waktu percobaan. Kekasaran suatu metode tidak akan diketahui suatau
metode dikembangkan pertama kali, akan tetapi kekasaran suatu metode akan
kelihatan jika digunakan berulang kali (Gandjar dan Rohman, 2007).
g. Ketahanan
Ketahanan merupakan kapasitas metode untuk tetap tidak terpengaruh oleh
adanya variasi parameter metode yang kecil. Ketahanan dievaluasi dengan
melakukan variasi parameter-parameter metode seperti: persentase pelarut
organik, pH, kekuatan ionik, suhu, dan sebagainya (Gandjar dan Rohman, 2007).

11
BAB III
METODE

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
a. Erlenmeyer 100 mL h. Labu ukur 10 mL, 50 mL,
b. Pipet ukur 1 mL 100 mL.
c. Botol vial i. Corong pisah
d. Ball filler j. Penangas air
e. Pipet tetes k. Whatman filters No. 42
f. Gelas beaker l. Timbangan analitik
g. Batang pengaduk m. Alat Spektrofotometri UV -
Visible
3.1.2. Bahan
a. Sampel saus tomat
b. Dietil eter
c. Larutan Amonia 2% dalam etanol 70%
d. Laruitan NaOH 10%
e. Akuades
f. Larutan NaOH 0,5%
g. Larutan HCl 0,1 N

3.2 Perhitungan dan Prosedur Pembuatan Larutan


3.2.1 Pembuatan Larutan Amonia 2% dalam Etanol 70%
Prosedur: Dipipet 2 mL larutan amonia pekat kemudian dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 mL yang telah berisi 50 mL alkohol 70%. Kemudian
ditambahkan alkohol 70% hingga tanda batas 100 mL dan digojog hingga
homogen.
3.2.2 Pembuatan Larutan NaOH 10%
Prosedur: Ditimbang NaOH sebanyak 2,5 gram dengan gelas beaker,
kemudian ditambahkan akuades dan diaduk dengan batang pengaduk. Selanjutnya

12
larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan akuades
hingga tanda batas lalu digojog homogen.

3.2.3 Pembuatan Larutan NaOH 0,5%


Prosedur: Ditimbang NaOH sebanyak 50 mg dengan gelas beaker,
kemudian ditambahkan akuades dan diaduk dengan batang pengaduk. Selanjutnya
larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan akuades
hingga tanda batas 10 mL lalu digojog homogen

3.2.4 Pembuatan Larutan HCl 0,1 N


Perhitungan:
Diketahui: HCl yang tersedia kadar 37% b/b

r HCl=1,18 g mL

Ditanya : V HCl 37% b/b yang harus dipipet = ....?


Jawab :
37g 43,66g
1,18 g =
100g mL 100mL

m 1000
M=
Mr V
43,66g 1000
M=
36,5 g 100mL
mol
M HCl 37%b/b = 11,96 M = 12 M.
M1 . V1 = M2 . V2
12 M . V1 = 0,1 M . 100 mL
V1 = 0,83 mL
Prosedur: Dipipet sebanyak 0,83 mL HCl 37% b/b, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 100 mL yang sudah berisi akuades. Kemudian ditambahkan
aquades hingga tanda batas 100 mL dan labu digojog homogen.
3.2.5 Pembuatan Larutan Stok Baku Rhodamin B
a. Pembuatan Larutan Stok Baku Rhodamin B 1 mg/mL
Perhitungan:
Diketahui : Massa Rhodamin B = 10 mg

13
V larutan HCl 0,1N = 10 mL
Ditanya : Konsentrasi (C) =.?
Perhitungan :
massa Rhodamin B
C=
V larutan

10 mg
C = = 1 mg/mL
10 mL
Prosedur: Ditimbang serbuk baku rhodamin B sebanyak 10 mg. Selanjutnya
dilarutkan dengan 5 mL larutan HCl 0,1 N di dalam gelas beaker dan diaduk
hingga homogen. Kemudian larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL,
larutan HCl 0,1 N ditambahkan kembali sampai tanda batas 10 mL dan digojog
sampai larutan menjadi homogen, kemudian dimasukkan ke dalam botol vial.
Konsentrasi larutan stok baku rhodamin B yang diperoleh sebesar 1 mg/mL.
b. Pembuatan Larutan Baku Rhodamin B 100 g/mL
Perhitungan:
Diketahui : M1 = 1 mg/mL = 1000 g/mL
M2 = 100 g/mL
V2 = 10 mL
Ditanya : V1 =........?
Perhitungan :
V1 . M1 = V2. M2
V1 . 1000 g/mL = 10 mL. 100 g/mL
V1 = 1 mL
Prosedur: Dipipet 1 mL larutan rhodamin B 1 mg/mL kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan larutan HCl 0,1 N
hingga tanda batas 10 mL, kemudian digojog hingga homogen dan dimasukkan ke
dalam botol vial.

c. Pembuatan Larutan Seri Rhodamin B Konsentrasi 5 g ; 10 mg ; 15


mL mL

20 mg ; 25 mg
mL mL
Perhitungan larutan seri konsentrasi 5 g/mL
Diketahui : M1= 100 g/mL

14
M2= 5 g/mL
V2= 10 mL
Ditanya : V1= ........?
Jawab :
V1 . M1 = V2. M2
V1 . 100 g/mL 10 mL. 5 g/mL
V1 = 0,5 mL
Prosedur: Untuk membuat larutan rhodamin B dengan konsentrasi 5 g/mL,
maka dipipet 0,5 mL larutan rhodamin B 100 g/mL kemudian dimasukkan ke
dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan larutan HCl 0,1 N hingga tanda batas 10
mL, digojog hingga homogen. Dimasukkan ke dalam botol vial dan diberi label.
Perhitungan larutan seri konsentrasi 10 g/mL
Diketahui : M1= 100 g/mL
M2= 10 g/mL
V2= 10 mL
Ditanya : V1= ........?
Jawab :
V1 . M1 = V2. M2
V1 . 100 g/mL 10 mL. 10 g/mL
V1 = 1 mL
Prosedur: Untuk membuat larutan rhodamin B dengan konsentrasi 10
g/mL, maka dipipet 1 mL larutan rhodamin B 100 g/mL kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan larutan HCl 0,1 N hingga tanda batas
10 mL, digojog hingga homogen. Dimasukkan ke dalam botol vial dan diberi
label.
Perhitungan larutan seri konsentrasi 15 g/mL
Diketahui : M1= 100 g/mL
M2= 15 g/mL
V2= 10 mL
Ditanya : V1= ........?
Jawab :
V1 . M1 = V2. M2

15
V1 . 100 g/mL 10 mL. 15 g/mL
V1 = 1,5 mL
Prosedur: Untuk membuat larutan rhodamin B dengan konsentrasi 15
g/mL, maka dipipet 1,5 mL larutan rhodamin B 100 g/mL kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan larutan HCl 0,1 N
hingga tanda batas 10 mL, digojog hingga homogen. Dimasukkan ke dalam botol
vial dan diberi label.
Perhitungan larutan seri konsentrasi 20 g/mL
Diketahui : M1= 100 g/mL
M2= 20 g/mL
V2= 10 mL
Ditanya : V1= ........?
Jawab :
V1 . M1 = V2. M2
V1 . 100 g/mL 10 mL. 20 g/mL
V1 = 2 mL
Prosedur: Untuk membuat larutan rhodamin B dengan konsentrasi 20
g/mL, maka dipipet 2 mL larutan rhodamin B 100 g/mL kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan larutan HCl 0,1 N hingga tanda batas
10 mL, digojog hingga homogen. Dimasukkan ke dalam botol vial dan diberi
label.

Perhitungan larutan seri konsentrasi 25 g/mL


Diketahui : M1= 100 g/mL
M2= 25 g/mL
V2= 10 mL
Ditanya : V1= ........?
Jawab :
V1 . M1 = V2. M2
V1 . 100 g/mL 10 mL. 25 g/mL
V1 = 2,5 mL
Prosedur: Untuk membuat larutan rhodamin B dengan konsentrasi 25

16
g/mL, maka dipipet 2,5 mL larutan rhodamin B 100 g/mL kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan larutan HCl 0,1 N
hingga tanda batas 10 mL, digojog hingga homogen. Dimasukkan ke dalam botol
vial dan diberi label.

3.2.6 Preparasi Sampel


Prosedur: Sebanyak 1 gram sampel ditimbang kemudian sampel
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Ditambahkan 25 mL larutan amonia 2%
dalam etanol 70% dan didiamkan semalam. Larutan disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman No. 42. Filtrat dipindahkan ke dalam gelas
beaker kemudian diuapkan di atas penangas pada suhu 65oC hingga filtrat menjadi
pekat. Sampel yang telah menjadi pekat selama proses penguapan kemudian
dilarutkan dengan 30 mL akuades dan diaduk. Larutan dipisahkan dengan cara
dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian ditambahkan 6 mL larutan NaOH
10% dan digojog. Larutan di ekstraksi dengan 30 mL dietileter lalu dikocok dan
didiamkan sampai membentuk dua lapisan yaitu lapisan eter jernih (atas) dan
lapisan air berwarna merah (bawah). Lapisan air dibuang dengan menggunakan
corong pisah sampai mendapat ekstrak eter. Ekstrak eter dicuci dengan larutan
NaOH 0,5 % sebanyak 5 mL dengan cara dikocok dan didiamkan. Larutan akan
membentuk dua lapisan yaitu lapisan eter jernih (atas) dan lapisan air berwarna
kecoklatan (bawah). Lapisan air dibuang hingga hanya terdapat ekstrak eter,
kemudian ekstrak eter diekstraksi 10 mL larutan HCl 0,1 N. Lapisan eter dibuang
dan ditampung ekstrak asam klorida (HCl). Dipipet 3 mL ekstrak asam klorida
(HCl) dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Dilakukan adisi dengan
menambahkan 2 mL larutan baku rhodamin B dengan konsentrasi 25 g/mL ke
dalam 3 mL larutan ekstrak asam klorida (HCl). Hal tersebut diulang sebanyak 2
kali hingga diperoleh 3 larutan sampel (Yamlean, 2011).

3.2.7 Pengukuran Absorbansi dengan Spektrofotometer UV-Vis


Diukur serapan salah satu larutan standar dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis pada rentang panjang gelombang 500-600 nm. Dicatat
panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Diukur serapan dari larutan
standar lainnya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Absorbansi

17
yang didapat kemudian dicatat dan dibuat kurva kalibrasi. Diukur pula absorbansi
larutan sampel pada panjang gelombang maksimum dan dihitung kadarnya
menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan regresi: y= bx a.

3.3 Skema Kerja


3.3.1 Pembuatan Larutan Amonia 2% dalam Etanol 70%

Dipipet 2 mL larutan amonia pekat kemudian dimasukkan ke dalam labu


ukur 100 mL yang telah berisi 50 mL alkohol 70%.

Ditambahkan alkohol 70% hingga tanda batas 100 mL dan digojog hingga
homogen.

3.3.2 Pembuatan Larutan NaOH 10%

Ditimbang NaOH sebanyak 2,5 gram pada gelas beaker.

Ditambahkan akuades secukupnya, diaduk hingga NaOH larut.

Dimasukkan pada labu ukur 25 mL.

Ditambahkan akuades hingga tanda batas 25 mL.

Digojog hingga homogen.

3.3.3 Pembuatan Larutan NaOH 0,5%

Ditimbang NaOH 50 mg menggunakan gelas beaker.

Ditambahkan akuades secukupnya, diaduk hingga NaOH larut.

18
Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL.

Ditambahkan akuades hingga tanda batas 10 mL, digojog homogen.

3.3.4 Pembuatan Larutan HCl 0,1 N

Disiapkan akuades.

Dimasukkan secukupnya pada labu ukur 100 mL.

Dipipet HCl 37% b/b sebanyak 0,83 mL.

Dimasukkan pada labu ukur yang telah berisi akuades.

Ditambahkan akuades hingga tanda batas 100 mL, digojog homogen.

3.3.5 Pembuatan Larutan Baku Rhodamin B


a. Pembuatan Larutan Stok Baku Rhodamin B 1 mg/mL

Ditimbang serbuk baku rhodamin B sebanyak 10 mg.

Dilarutkan dengan 5 mL larutan HCl 0,1 N di dalam gelas beaker dan


diaduk hingga homogen.

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, larutan HCl 0,1 N ditambahkan


\kembali sampai tanda batas 10 mL dan digojog sampai larutan menjadi
homogen.

b. Pembuatan Larutan Baku Rhodamin B 100 g/mL


Dipipet 1 mL larutan rhodamin B 1 mg/mL kemudian dimasukkan ke
dalam labu ukur 10 mL.

19
Ditambahkan larutan HCl 0,1 N hingga tanda batas 10 mL, kemudian
digojog hingga homogen

a. Pembuatan Larutan Seri Rhodamin B Konsentrasi 5 g ; 10 mg ;


mL mL
15 mg ; 20 mg ; 25 mg
mL mL mL
Dipipet larutan baku rhodamin B 100 g/mL sebanyak 0,5; 1; 1,5; 2; dan
2,5 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL

Ditambahkan larutan HCl 0,1 N hingga tanda batas 10 mL, digojog hingga
homogen

Dimasukkan ke dalam botol vial dan diberi label.

3.3.6 Preparasi Sampel


1 gram sampel ditimbang kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer.

Ditambahkan 25 mL larutan amonia 2% dalam etanol 70% dan didiamkan


semalam.

Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 42.


Filtrat dipindahkan ke dalam gelas beaker kemudian diuapkan di atas
penangas pada suhu 65oC hingga filtrat menjadi pekat.

Sampel yang telah menjadi pekat selama proses penguapan kemudian


dilarutkan dengan 30 mL akuades dan diaduk.

Larutan dipisahkan dengan cara dimasukkan ke dalam corong pisah,


kemudian ditambahkan 6 mL larutan NaOH 10% dan digojog.

20
Lapisan air dibuang dengan menggunakan corong pisah sampai mendapat
ekstrak eter. Ekstrak eter dicuci dengan larutan NaOH 0,5 % sebanyak 5
mL dengan cara dikocok dan didiamkan.

Larutan di ekstraksi dengan 30 mL dietileter lalu dikocok dan didiamkan


sampai membentuk dua lapisan yaitu lapisan eter jernih (atas) dan lapisan
air berwarna merah (bawah).

Dilakukan adisi dengan menambahkan 2 mL larutan baku rhodamin B


dengan konsentrasi 25 g/mL ke dalam 3 mL larutan ekstrak asam klorida
(HCl). Hal tersebut diulang sebanyak 2 kali hingga diperoleh 3 larutan
sampel.

3.3.7 Pengukuran Absorbansi dengan Spektrofotometer UV-Vis

Diukur serapan salah satu larutan standar dengan menggunakan


Spektrofotometer UV-Vis pada rentang panjang gelombang 500-600 nm.

Dicatat panjang gelombang maksimum yang diperoleh. Diukur serapan


dari larutan standar lainnya pada panjang gelombang maksimum yang
diperoleh.

Diukur serapan dari larutan standar lainnya pada panjang gelombang


maksimum yang diperoleh.

Absorbansi yang didapat kemudian dicatat dan dibuat kurva kalibrasi.


Diukur pula absorbansi larutan sampel pada panjang gelombang
maksimum dan dihitung kadarnya menggunakan kurva kalibrasi dengan
persamaan regresi: y= bx a.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahmansyah, F. Aini, dan D. Chirslia. 2017. Analisis Zat Pewarna


Rhodamin B Pada Saus Cabai yang Beredar di Kampus Universitas Islam
Negeri Raden Fatah Palembang. Jurnal Biota. 3(1):38-42.

BPOM. 2003. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Direktorat SPKP, Deputi III.

BPOM. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan
Bahan Tambahan Pangan Pewarna. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.

Budavari, S. 1996. The Merck Index, An Encylopedia of Chemical, Drugs and


Biologicals, Eleven Edition. USA: Merck & Co Ink Rahway.

Budianto, P.E. 2008. Analisis Rhodamin B Dalam Saos Dan Cabe Giling Di
PasarKecamatan Laweyan Kotamadya Surakarta Dengan Metode
Kromatografi Lapis Tipis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Cahyadi, A. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, Edisi
Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Day, R.A dan Underwood. 1987. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

Depkes RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


722/Menkes/PerlIX11988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Djarismawati, Sugiharti, dan Riris Nainggolan. 2004. Pengetahuan dan Perilaku


Pedagang Cabe Merah Giling dalam Penggunaan Rhodamine B di Pasar
Tradisional di DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan 3(1):7-12.

Food Watch Sistem Keamanan Terpadu. 2004. Bahan Tambahan Ilegal Boraks,
Formalin dan Rhodamin B. Jakarta : Food Watch.

Gandjar, I.G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.


Majalah Ilmu Kefarmasian 1(3):117 135.

22
Marczenko, Z. and M. Balcerzak. 2000. Separation, Preconcentration and
Spectrophptometry in Inorganic Analysis. Netherlands: Elsevier. Page 68.

Rost, F.W.D. 1995. Fluorescence Microscopy. Cambidge: Cambridge University


Press: 366.

Satiadarma, K. 2004. Azas Pengembangan Prosedur Analisis, Edisi Pertama,


Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press.

Shimizu, T. 2004. Pyrotechnic Chemistry, Pyrotechnic Reference Series No.4.


USA: Journal of Pyrotechnics Inc. Chapter 2, Page 28.

Syah, D. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor:


Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Tatebe, C., X. Zhong, T Ohtsuki, H. Kubota, K. Sato, and H. Akiyama. 2014. A


Simple and Rapid Chromatographic Method to Determine Unauthorized
Basic Colorants (Rhodamine B, Auramine O, and Pararosaniline) in
Processed Foods. Food Science & Nutrition. 2(5): 547556.

Watson, D.G. 2005. Analisis Farmasi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Wijaya, D. 2011. Waspadai Zat Additif dalam Makananmu. Yogyakarta: Buku


Biru.

Yamlean, P. V. Y. 2011. Identifikasi dan Penetapan Kadar Rhodamin B Pada


Jajanan Kue Berwarna Merah Muda yang Beredar Di Kota Manado. Jurnal
Ilmiah Sains 11(2):289-295.

Yulianti, N. 2007. Awas! Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. Edisi Pertama.


Yogyakarta: CV. ANDI Offset.

23

Вам также может понравиться