Вы находитесь на странице: 1из 40

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konstruksi Hukum Hak Pemberhentian/Pergantian Antarwaktu oleh


Partai Politik dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 2 tahun
2011 tentang Partai Politik

Recall telah hadir dan dikenal secara formal di Indonesia sejak


Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU No. 10
Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang
Pemilihan Umum. UU ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke
pentas politik menggantikan Orde Lama (Nimatul Huda, 2011: 462).

Pencantuman hak recall dalam UU No. 10 Tahun 1966 dalam


rangka pembersihan anggota parlemen (DPR-GR) yang masih loyal
pada Orde Lama pimpinan Soekarno. Itulah mengapa hak recall ini
diatur dalam suatu UU bukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR-
GR, didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Terib
hanya mengikat secara intern sedangkan UU akan megikat juga
ekstern Parpol atau Organisasi Politik yang mempunyai kursi di
DPR-GR (Nimatul Huda, 2011: 462).
Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15
UU No. 10 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa anggota MPRS/DPR-GR
dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut:

a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan


partai yang bersangkutan;
b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi
dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya
yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya;

36
37

c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi


dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan
organisasi atau instansi yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 telah mengalami


perubahan tiga kali dan yang terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1985. Di
dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1985 ditentukan, Hak
mengganti wakil organisasi peserta pemilu atau golongan karya ABRI ada
pada organisasi peserta pemilu yang bersangkutan atau pada Panglima
Angkatan Bersenjata, dan pelaksanaannya terlebih dahulu harus
dimusyawarahkan dengan Pimpinan DPR.

Selanjutnya dalam ayat (6) dinyatakan bahwa tata cara penggantian


keanggotaan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi,


mekanisme recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif
digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan lawan politik di
tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (Nimatul Huda, 2011:
462). Di dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan, Anggota MPR berhenti antar
waktu sebagai angggota karena:

a. Meninggal dunia;
b. Permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR;
c. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. Berhenti sebagai Anggota DPR;
e. Tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud
Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;
38

f. Dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil-wakil rakyat


dengan keputusan MPR;
g. Terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang
dimaksud Pasal 41 ayat (1).

Akan tetapi pengaturan recall kembali muncul dalam UU No. 22


Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di
dalam Pasal 85 ayat (1) ditegaskan Anggota DPR berhenti antar waktu
karena:
a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri
secara tertulis; dan
c. Diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu yang


diatur dalam ayat (2) karena:
a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai Anggota DPR;
b. Tidak lagi memeneuhi syarat-syarat calon Anggota DPR
sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilu;
c. Melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak
melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan
hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR;
d. Melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak
pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun
penjara.
39

Hak recall kembali diatur dalam ketentuan Pasal 213 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang menyatakan bahwa:
(1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri; atau
c. Diberhentikan.

Selanjutnya hal-hal yang menyebabkan anggota DPR diberhentikan


diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 213 ayat (2) yang menyatakan
Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai Anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana dengan diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya
sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU
ini;
h. diberhentikan sebagai anggota parpol sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; atau
40

i. menjadi anggota parpol lain.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,


DPD, dan DPRD yang menggantikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak banyak diubah
mengenai ketentuan hak recall di dalamnya. Dalam Pasal 239 ayat (1)
dinyatakan bahwa:

(1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:


a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri; atau
c. Diberhentikan.

Sedangkan, hal-hal yang menyebabkan anggota DPR diberhentikan


diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 239 ayat (2) yang menyatakan
Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, apabila:

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau


berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan;
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD;
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini;
41

g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
h. menjadi anggota partai politik lain.

Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014


tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, hak recall oleh partai politik juga
kembali diatur dalam Undang-Undang tentang Partai Politik tepatnya pada
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa:

(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai


Politik apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah
anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari
keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari
keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Adapun mengenai mekanisme pelaksanaan permberhentian


antarwaktu diatur dalam Pasal 214 Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi:
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e,
huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada
pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
42

(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR
menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden
untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling alama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,


DPR, DPD, dan DPRD, mekanisme pelaksanaan permberhentian
antarwaktu diatur dalam Pasal 240 yang berbunyi sama dengan pasal 214
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009, yakni:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal


239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf
d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik
kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR
menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden
untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling alama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Selanjutnya di dalam Pasal 215 Undang-Undang Nomor 27 Tahun


2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditegaskan:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal


213 ayat (2) huruf a, b, c, d, f dan huruf g dilakukan setelah adanya
hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan
Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari Pimpinan DPR,
masyarakat dan/atau pemilih.
43

(2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian


anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
Badan Kehormatan kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR
yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan
badan kehoramtan DPR kepada pimpinan partai politik yang
bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan
keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan
DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dari pimpinan DPR.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan
Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
keputusan badan kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai
politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.

Sedangkan dalam Pasal 240 Undang-Undang Nomor 17 Tahun


2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menegaskan:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal


239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf
d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik
kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib
44

menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden


untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPRdari pimpinan DPR.

Mekanisme pemberhentian antar waktu (recall) Anggota DPR


yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 dapat dilakukan melalui dua
pintu, yakni diusulkan oleh pimpinan partai politiknya (Pasal 214) atau
oleh Badan Kehormatan DPR (Pasal 215). Sedangkan dalam UU No. 17
Tahun 2014, diusulkan oleh pimpinan partai politiknya diatur dalam Pasal
240 dan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam Pasal 147.
Dalam UU No 17 Tahun 2014 juga memberikan tambahan dalam Pasal
241, yakni:

(1) Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai


politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d
dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan,
pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal pemberhentian didasarkan atas aduan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2), Mahkamah Kehormatan
Dewan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk
mendapatkan persetujuan.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Dari sejarah dan perkembangan mengenai pengaturan hak recall


terhadap anggota DPR di Indonesia menunjukkan adanya dinamika dalam
menempatkan hak recall kepada partai politik. Memang awal mulanya
bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik di parlemen, hak recall
45

memang pada saat ini dalam pengaturan diharapkan sebagai upaya kontrol
dari partai politik kepada anggotanya yang menjabat sebagai anggota
DPR. Namun dalam pelaksanaannya hak recall masih menjadi pro dan
kontra.

B. Kesesuaian Pelanggaran AD/ART sebagai Dasar dilaksanakannya


Pemberhentian Antar Waktu oleh Partai Politik dengan Prinsip
Kedaulatan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009


dijelaskan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya
menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.

Setelah dilakukan penelitian terhadap hak recall oleh partai politik


dari berbagai macam sumber maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Daftar anggota DPR yang pernah direcall ataupun yang pernah


diusulkan untuk dilakukan recall oleh partai politik yang
bersangkutan dari mulai tahun 1977 s.d. 2016 sebagai berikut:
Tabel 1
Daftar Anggota DPR yang dilakukan recall atau diusulkan recall
Tahun 1977 s.d. 2016

Nama
Periode
No Anggota Partai Politik Keterangan
Jabatan
DPR
1 Syarifudin Partai 1982-1987 Usulan recalling untuk
Harahap Persatuan mereka yang diusulkan
Pembangunan sejak Desember 1984
(PPP) hingga Maret 1985
46

2 Tamim Partai 1982-1987 ditanggapi dingin oleh


Achda Persatuan Pimpinan DPR waktu
Pembangunan itu, Amir Machmud dan
(PPP) ternyata usul recall itu
3 Murtadho Partai 1982-1987 tidak diteruskan oleh
Makmur Persatuan Pimpinan DPR kepada
Pembangunan Presiden.
(PPP)
4 Rusli Halil Partai 1982-1987
Persatuan
Pembangunan
(PPP)
5 Chalid Partai 1982-1987
Mawardi Persatuan
Pembangunan
(PPP)
6 MA. Ganni Partai 1982-1987
Persatuan
Pembangunan
(PPP)
7 Darussamin Partai 1982-1987
AS Persatuan
Pembangunan
(PPP)
8 Ruhani Partai 1982-1987
Abdul Hakim Persatuan
Pembangunan
(PPP)
9 Sri Bintang Partai 1992-1998 Usulan FPP disetujui
Pamungkas Persatuan oleh Ketua DPR
Pembangunan Wahono dan diajukan
(PPP) kepada Presiden
pemecatannya.
10 Usep Partai 1977-1982 Dipandang melakukan
Ranawidjaja Demokrasi dosa politik (melanggar
Indonesia tata tertib partai)
(PDI)
11 Abdul Partai 1977-1982
Madjid Demokrasi
Indonesia
(PDI)
12 Ny. D. Partai 1977-1982
Walandouw Demokrasi
Indonesia
(PDI)
47

13 Soelomo Partai 1977-1982


Demokrasi
Indonesia
(PDI)
14 Santoso Partai 1977-1982
Donoseputro Demokrasi
Indonesia
(PDI)
15 TAM. Partai 1977-1982
Simatupang Demokrasi
Indonesia
(PDI)
16 Abdullah Partai 1977-1982
Eteng Demokrasi
Indonesia
(PDI)
17 Marsoesi Partai 1982-1987 Dipandang melakukan
Demokrasi dosa politik (melanggar
Indonesia tata tertib partai)
(PDI)
18 Dudi Partai 1982-1987
Singadila Demokrasi
Indonesia
(PDI)
19 Nurhasan Partai 1982-1987
Demokrasi
Indonesia
(PDI)
20 Polensuka Partai 1982-1987
Demokrasi
Indonesia
(PDI)
21 Kemas Partai 1982-1987
Fachrudin Demokrasi
Indonesia
(PDI)
22 Edi Junaedi Partai 1982-1987
Demokrasi
Indonesia
(PDI)
23 Suparman Partai 1982-1987
Demokrasi
Indonesia
(PDI)
48

24 Jaffar Partai 1982-1987


Demokrasi
Indonesia
(PDI)
25 Thalib Ali Partai 1982-1987
Demokrasi
Indonesia
(PDI)
26 Rahmat Golkar 1972-1998 Dianggap terlibat kasus
Tolleng Malari (Malapetaka
Lima Belas Januari) 15
Januari 1974
27 Bambang Golkar 1992-1998 Dipandang melakukan
Warih dosa politik (melanggar
tata tertib partai)
28 Brigjen. ABRI Direcall karena
Rukmini mengkritisi pembelian
29 Brigjen ABRI kapal perang bekas
Samsudin milik pemerintah
30 Brigjen. J. ABRI Jerman
Sembiring
31 Azzidin Partai Direcall lewat
Demokrat pemecatan Badan
(PD) Kehormatan. Kasus
katering haji
32 Marissa Partai Maju sebagai calon
haque Demokrasi Wakil Gubernur dalam
Indonesia Pilkada Propinsi Banten
Perjuangan
(PDIP)
33 Djoko Edi Partai Amanat Ikut studi banding RUU
Sutjipto Nasional Perjudian ke Mesir
Abdurrahman (PAN)
34 Zaenal Partai Bintang 2004-2009 Poligami. Masih
Ma'arif Reformasi menjadi
(PBR) perdebatan.
49

35 Lily Chadijah Partai 2009-2014 Sikapnya yang memilih


Wahid Kebangkitan berbeda dengan
Bangsa (PKB) kebijakan fraksinya
(PKB) yang mendukung
pemerintah, yakni
menerima hasil kerja
Pansus terakit kasus
Bank Century untuk
diteruskan kepada
lembaga penegak
hukum. Lily merupakan
satu-satunya anggota
DPR fraksi PKB yang
pada saat itu memiliki
opsi C yang menyatakan
ada permsalahan hukum
dalam bail-out Century.

36 Effendy Partai 2009-2014 Effendi Choirie dari


Choiri Kebangkitan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) Bangsa (PKB) yang
direcall karena terkait
dengan sikapnya yang
mendukung hak angket
mafia pajak, padahal
fraksi PKB saat itu
justru menolak usul hak
angket tersebut.
Terakhir dalam
perkembangan recall.
37 I Gede Pasek Partai 2009-2014
Suardika Demokrat
(PD)
38 Arifinto Partai 2009-2014 Sering bolos, terlibat
Keadilan Skandal,dan mengantuk
Sejahtera saat paripurna
(PKS)
50

39 Fahri Partai 2014-2019 Dianggap melakukan


Hamzah Keadilan dosa politik,
Sejahtera bersebrangan pendapat
(PKS) dengan pimpinan partai,
dan dinilai membela
mati-matian Setya
Novanto dalam kasus
"Papa Minta Saham",
sehingga menimbulkan
kericuhan dalam tubuh
partai. Yang akhirnya di
pecat dari semua jenjang
jabatan Partai Keadilan
Sejahtera, dan masih
dalam proses hukum di
Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
40 Gamari Partai 2014-2019 Melakukan pelanggaran
Sutrisno Keadilan syariah sehingga
Sejahtera diberhentikan dari
(PKS) semua jenjang jabatan di
Partai Keadilan
Sejahtera.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
2. Dissenting Opinion Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 008/PUU-IV/2006
terkait Hak Recall oleh partai politik. Empat orang hakim konsitiusi
(Prof, Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan, Laica Marzuki, Prof.
Abdul Mukhtie Fajar) berpendapat dalam dissenting opinion-nya:
Bahwa recall menyebabkan seseorang anggota dewan tidak
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum, serta perlakuan yang adil dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya selaku anggota DPR, sebagaimana dijamin
konstitusi berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pasal 12 huruf b UU Parpol, diberhentikan dari keanggotaan
partai politik karena melanggar anggaran dasar dan rumah
tangga, yang dikukuhkan dalam Pasal 85 ayat(1) huruf c UU
Susduk, yang menyatakan anggota berhenti antarwaktu
karena diusulkan partai politik yang
bersangkutan,sesungguhnya telah membiarkan hukum yang
bersifat privat (privaatrechtelijk) mengesampingkan hukum
publik dalam masalah konstitusional hubungan antara wakil
rakyat, rakyat pemilih, dan dengan lembaga negara yang
51

memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Meskipun


tidaklah menjadi maksud untuk meniadakan peran partai
politik dalam hubungannya dengan anggota DPR dalam
menjalankan tugas konstitusional baik fungsi legislasi,
pengawasan, anggaran dan menyampaikan aspirasi rakyat
pemilihnya, akan tetapi dalam menjalankan perantersebut
tidaklah boleh dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan
yang diindentifikasi dengan menempatkan peran hukum
konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya harus
membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat
tersebut memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan
kewajibannya seadil-adilnya, dengan memegang teguh
Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan
nasional dan kepentingan bangsa serta NKRI. Peran partai
politik sebagai peserta pemilu anggota DPR dan anggota
DPRD sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD
1945, memang membenarkan dan sah secara konstitusional
jika seorang anggota partai politik tertentu yang menjadi
anggota DPR menyatakan mengundurkan diri dari
keanggotaan partai politik tertentu yang mengusungnya, untuk
juga diusulkan pemberhentiannya dari DPR. Akan tetapi jika
alasan yang diajukan partai politik untuk mengusulkan
penarikan anggotanya dari DPR berupa pelanggaran AD/ART
Partai Politik, tidak dapat dibenarkan sertamerta tanpa melalui
satu due process of law dalam mekanisme hukum yang dapat
memeriksa kelayakan alasan tersebut (Putusan Mahkamah
Kontitusi Nomor 008/PUU-IV/2006).

3. Daftar rekam jejak 5 (lima) partai politik besar di Indonesia yang


melakukan perubahan AD/ART maupun struktur kepengurusan dan
telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia
Republik Indonesia:

Tabel 2
Daftar Rekam Jejak Perubahan AD/ART dan Struktur
Kepengurusan 5 Partai Politik Besar di Indonesia

Kali diubah Terbit dalam SK


No Partai Politik
AD/ART Menkumham
1 Partai Demokrasi 3 kali berganti SK Menkumkam Nomor:
Indonesia M-01. UM.06.08 Tahun
Perjuangan 2003
(PDIP) SK Menkumkam Nomor:
M.HH-05.AH.11.01
Tahun 2015
52

SK Menkumkam Nomor:
M.HH-06.AH.11.01
Tahun 2015
2 Partai Golkar 1 kali berganti SK Menkumkam Nomor:
MH-01. AH.11.03 Tahun
2014
3 Partai Gerindra 3 kali berganti SK Menkumkam Nomor:
M.HH-01.AH.11.01
Tahun 2009
SK Menkumkam Nomor:
M.HH-13.AH.11.01
Tahun 2012
SK Menkumkam Nomor:
M.HH-13.AH.11.01
Tahun 2014
4 Partai Demokrat 4 kali berganti SK Menkumkam Nomor:
M-54. UM.06.08 Tahun
2003
SK Menkumkam Nomor:
M.HH-09a.AH.11.01
Tahun 2010
SK Menkumkam Nomor:
M.HH-06.AH.11.01
Tahun 2013
SK Menkumkam Nomor:
M.HH-12.AH.11.01
Tahun 2015
5 Partai Keadilan 3 kali berganti SK Menkumkam Nomor:
Sejahtera M-05. UM.06.08 Tahun
2007
SK Menkumkam Nomor:
M.HH-13.AH.11.01
Tahun 2011
SK Menkumkam Nomor:
M.HH-18.AH.11.01
Tahun 2015
Sumber : Dirjen. AHU Kemenkumham RI 2016

4. Prinsip-prinsip Kedaulatan Rakyat berdasarkan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Prinsip-prinsip pemerintahan demokratis harus dijalankan
oleh setiap pemerintah yang berkuasa (Stevanus Evan Setio, 2013:
103). Begitu juga halnya pemerintah Indonesia, karena UUD 1945
53

juga menganut paham atau ajaran demokrasi. Hal ini dapat dilihat
pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat
...negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat....
Selanjutnya pada sila keempat dari Pancasila yang juga terdapat
pada Pembukaan UUD 1945 berbunyi Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang memuat
ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
Demokrasi. Namun hal ini, bahwa Negara Republik Indonesia
adalah Negara Demokrasi, telah terkandung dalam ketentuan
bahwa Negara Republik Indonesia menganut faham kedaulatan
rakyat (Soehino, 2010: 95).
Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan
rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
Artinya secara konstitusional, jelas sekali disebutkan bahwa
Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (democratie).
Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungghnya adalah rakyat,
dimana dalam pelaksanaannya disalurkan dan diselenggarakan
menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum
dan konstitusi (constitutional democracy) (Stevanus Evan
Setio, 2013: 107).
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Hatta dalam
pendapatnya yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip kedaulatan
rakyat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang mesti
dijadikan pegangan menegakkan demokrasi adalah sebagai berikut:

a. Politik; kekuasaan negara ada pada rakyat dengan


melalui pemilihan umum;
b. Ekonomi; gotong royong membangun masyarakat adil
makmur di mana alat-alat produksi vital dikuasai oleh
negara;
54

c. Sosial; sama rasa sama rata, di mana tidak berlaku


penindasan dan penghisapan atas sesama manusia.
d. Kebudayaan: kebebasan menganut agama, kebebasan
menyatakan pendapat, serta kebebasan menuntut ilmu;
e. Perikemanusiaan; hubungan persaudaraan antara
bangsa-bangsa di seluruh dunia atas dasar persamaan
status, serta menentang penjajahan dalam bentuk apa
pun atas sesuatu bangsa oleh bangsa lain (Khairul
Fahmi, 2011: 140).
Dalam mewujudkan demokrasi juga dibutuhkan instrumen
yang dinamai partai politik, jika dilihat dari fungsinya partai politik
menurut Yves Meny dan Andrew Knapp (dalam Jimly
Asshiddiqie, 2005: 59), fungsi partai politik itu mencakup fungsi:
a. mobilisasi dan integrasi, b. sarana pembentukan pengaruh
terhadap perilaku memilih (voting patterns), c. sarana rekruitmen
politik, dan d. sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik berfungsi
sebagai sarana:

a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas


agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan
hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat;
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan negara;
d. Partisipasi poltik warga negara Indonesia; dan
55

e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan


politik melalui mekanisme demokrasi dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 terdapat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
sebagai berikut:

a. Prinsip Kebebasan
Prinsip Kebebasan dalam kerangka batasan-batasan
konstitusional dan hukum dapat ditemukan dalam ketentuan
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 antara lain:
1) Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang;
2) Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat;
56

3) Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain;
4) Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
diskriminatif itu.
b. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan
Prinsip persamaan juga telah diatur dalam perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 antara lain:
1) Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum;
2) Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan;
3) Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
57

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang


diskriminatif itu.
c. Prinsip Suara Mayoritas
Prinsip Suara Mayoritas dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat ditunjukkan
dalam ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut:
1) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ditetapkan dengan suara yang terbanyak
2) Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa:
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen
dari jumlah pemilihan umum dengan sedikitnya
dua puluh persen suara di setiap provinsi yang
tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum yang dipilih oleh rakyat
secara langsung dan pasangan yang memperoleh
suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan
Wakil Presiden.
3) Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa:
58

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat


kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden
harus diambil dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 34 dari jumlah anggota dan disetujui
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberi kesempatan menyampaiakan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
4) Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-
kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota
dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
d. Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertannggungjawaban telah diatur dalam perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 antara lain:
1) Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:
59

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat


diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majleis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Persiden dan/atau
wakil Presiden.

2) Pasal 22B Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Anggota
Dewan Perwakilan rakyat dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-sayat dan tata caranya diatur
dalam undang-undang.

Dari keempat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dapat
digunakan sebagai parameter untuk menilai apakah hak recall
terhadap anggota DPR oleh partai politik masih sesuai ataukah
tidak. Berikut pembahasan mengenai hak recall oleh partai politik
terhadap anggota DPR berkenaan dengan prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945:

a. Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan dalam UUD 1945 telah tercermin dalam
ketentuan Pasal 28, Pasal 28E, Pasal 28G ayat (2), dan Pasal
28I ayat (2). Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwan
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang. Jika dilihat dari tugas dan kewajiban
dari anggota DPR sebagai wakil rakyat yang duduk di
parlemen termasuk sebagaimana yang telah diatur dalam
undang-undang, maka dengan adanya hak recall oleh partai
60

politik dapat membatasi apa yang ingin diwujudkan dari


ketentuan Pasal 28 yang memberikan hak masing-masing
individu untuk mengeluarkan pikiran baik secara tertulis
maupun secara lisan. Jika dilihat dari kedudukannya, anggota
partai politik yang sudah terpilih dan kemudian dilantik
sebagai anggota DPR maka kedudukan anggota partai politik
tersebut bukan lagi sebagai petugas partai namun sudah
berubah menjadi pejabat publik. Sehingga konsekuensinya,
anggota DPR harus tunduk pada hukum publik yang mengatur
mengenai hak, dan kewajiban serta tugas dari anggota DPR,
termasuk melaksanakan kode etik dari anggota DPR itu
sendiri. Dalam kedudukannya sebagai pejabat publik dalam hal
ini sebagai wakil rakyat, tentu tugas utama dari wakil rakyat
yaitu sebagai penyambung lidah rakyat dan memperjuangkan
apa yang menjadi dari aspirasi dan hak-hak masyarakat. Jika
dilihat dari hak anggota DPR sebagaimana yang telah diatur
dalam hak anggota DPR dalam ketentuan Pasal 80 Undang-
Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang menyatakan bahwa:
Anggota DPR berhak:
a. mengajukan usul rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler;
h. keuangan dan administratif;
i. pengawasan;
j. mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan; dan
61

k. melakukan sosialiasi undang-undang

Dalam pelaksanaan penyampaian aspirasi, sebagai


anggota DPR pasti mengeluarkan pikiran maupun pendapat
baik dalam bentuk secara lisan maupun tulisan. Maka dengan
dengan adanya hak recall bisa menjadi pedang damocles bagi
anggota DPR seperti apa yang telah diungkapkan oleh Mh.
Isnaeni (1982: 57-58) Sehingga Anggota DPR dalam
menyampaikan pendapat hanya menunggu petunjuk atau
arahan dari pimpinan partai politik.

Selanjutnya pada pasal 28E ayat (2) menyatakan bahwa


Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Jika melihat dari redaksi pasal tersebut, maka telah jelas
konstitusi memberikan hak kepada individu untuk menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Dalam hal
menjalankan tugas dan kewajibannya, tentu anggota DPR juga
akan ditagih janji-janji yang telah disuarakan pada waktu masa
kampanye dahulu kepada konstituen. Janji tersebutlah yang
harus ditepati oleh anggota DPR terpilih. Namun, dalam proses
perjalanan melaksanakan tugas sebagai anggota DPR pasti
akan ada banyak tekanan dari berbagai pihak termasuk dari
partai politik yang mengusungnya. Maka dengan adanya hak
recall, bisa dimungkinkan hati nurani dari anggota DPR yang
menjabat akan dipertaruhkan. Apakah anggota DPR akan tetap
yakin pada hati nuraninya atau percaya pada beberapa
golongan atau kepentingan kapitalis. Hak recall menjadi jalan
terjal bagi anggota DPR. Kemudian jika dilihat kembali pada
ketentuan pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jelas kembali
ditegaskan oleh konstitusi, bahwa individu dalam hal ini warga
negara Indonesia diberikan hak penuh untuk menyatakan
62

pendapat. Maka apabila dikaitkan dengan adanya hak recall


maka bisa dikatakan hak recall kembali menjadi tantangan
bagi anggota DPR dalam menjalankan tugasnya.

Selanjutnya jika dinilai dari Pasal 28G ayat (2) UUD


1945 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.. Maka dapat dikatakan bahwa bilamana hak
recall ini dilaksanakan terhadap anggota DPR dengan alasan-
alasan adanya pelanggaran AD/ART atau memang hanya
karena kepentingan politis semata maka dapat dikatakan
bahwa hak recall dapat merendahkan martabat dari anggota
DPR yang direcall, hal ini disebabkan karena anggota DPR
yang memang sudah dipilih secara langsung oleh konstituen
berdasarkan suara terbanyak dan belum lagi biaya yang
dikeluarkan dalam masa kampanye maka akan terlihat
merendahkan martabat anggota DPR yang bersangkutan
apabila dilakukan recall pada masa jabatannya. Namun, recall
dapat dimaklumi apabila alasan pertimbangan recall
disebabkan oleh pelanggaran hukum maupun pelanggaran
kode etik oleh anggota DPR yang bersangkutan.

Selanjutnya jika dilihat dari ketentuan pasal 28G ayat


(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martbat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Maka hak
recall juga dapat menyebabkan adanya perlakun merendahkan
derajat martabat manusia dalam hal ini yaitu anggota DPR.
Anggota DPR yang diberhentikan tentu akan mempunyai nama
yang kurang baik di mata masyarakat.
63

b. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan


Prinsip Persamaan atau Kesetaraan telah tercermin dalam
ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) telah
menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlidnungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hal ini,
anggota DPR yang di-recall memang harus berdasarkan
alasan-alasan yang jelas atau yang sudah diatur berdasarkan
ketentuan dalam undang-undang sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 213 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa Anggota DPR diberhentikan antar waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR selama 3
(tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana dengan diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan
kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
tanpa alasan yang sah;
e. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota
DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai Pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD;
64

g. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur


dalam UU ini;
h. Diberhentikan sebagai anggota parpol sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. Menjadi anggota parpol lain.

Dan diatur kembali dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17


Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, yakni:
a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3
(tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan
DPRD;
f. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini;
g. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
h. Menjadi anggota partai politik lain.

Jika alasan recalling disebabkan oleh alasan yang


tercantum dalam huruf e, h, dan i dalam Pasal 213 ayat (2) UU
Nomor 27 Tahun 2009 atau yang tercantum dalam huruf d, g,
65

dan h dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2014,


maka akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Mengapa dapat disebut demikian? Dalam hal ini, anggota DPR
sudah memiliki kedudukan sebagai pejabat negara bukan
sebagai petugas parpol lagi, maka dengan adanya alasan
tersebut maka hak recall tidak sesuai dengan harapan yang
ingin diwujudkan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
Selanjutnya apabila dilihat dari ketentuan pasal 28H ayat
(2) yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan. Dalam hal menjalankan tugas dan kewajibannya
anggota DPR sudah selayaknya mendapatkan kemudahan-
kemudahan dalam hal ini partai politik sudah tidak lagi
memberikan tekanan kepada anggotanya yang berada di
parlemen untuk menyesuaikan atau melaksanakan apa yang
telah menjadi garis kebijakan partai.
Dari pasal-pasal yang mencerminkan prinsip kebebasan
dalam UUD 1945, maka hak recall oleh partai politik sudah
tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam UUD 1945.

c. Prinsip Suara Mayoritas


Prinsip-prinsip suara mayoritas dapat ditunjukkan dalam
ketentuan pasal 2 ayat (3), Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4), Pasal
7B ayat (3) dan ayat (7), dan Pasal 37 ayat (4) UUD 1945.
Ketentuan tersebut telah menunjukkan bahwa hasil yang ingin
diwujudkan dalam pasal tersebut yakni adanya penerapan
suara terbanyak dalam pengambilan keputusan. Putusan MPR
yang ditetapkan berdasarkan suara yang terbanyak. Kemudian,
dalam hal penentuan presiden dan/atau wakil presiden juga
66

berdasarkan suara lebih dari 50%. Dalam hal lain, mengenai


keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden juga mensyaratkan adanya suara mayoritas dalam hal
ini mensyaratkan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan harus diahadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPR yang hadir.
Maka dalam hal usulan recall oleh partai politik tidak
sesuai dengan prinsip tersebut, dikarenakan sistem pemilihan
umum yang digunakan saat ini adalah sistem pemilu
proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak.
Konstituenlah yang menentukan terpilihnya anggota DPR,
bukan lagi partai politik. Dalam hal tata cara pemberhentian
anggota parpol, sebagai contoh di Partai Demokrat, tata cara
pemberhentian anggota telah diatur dalam Pasal 5 Anggaran
Rumah Tangga yang menyatakan bahwa:
(1) Anggota dapat diberhentikan dan atau diberhentikan
sementara karena tidak melaksanakan kewajibannya
sebagai anggota atau melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan asas, tujuan, Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan partai.
(2) Keputusan pemberhentian dilakukan oleh Dewan
Pimpinan Pusat, sedangkan keputusan pemberhentian
sementara dapat dilakukan oleh setiap dewan pimpinan
partai setingkat di atas dewan pimpinan partai yang
bersangkutan.
(3) Keputusan pemberhentian sementara anggota
diputuskan melalui rapat pleno dewan pimpinan partai.
(4) Keputusan pemberhentian diatur pada ayat (2) dan ayat
(3) pasal ini, diputuskan setelah diberikan peringatan
67

tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam


rentang waktu minimal 21 (dua puluh satu) hari.
(5) Anggota yang diberhentikan atau diberhentikan
sementara, dapat mengajukan pembelaan dirinya di
forum partai setingkat lebih tinggi sampai dengan
tingkat kongres.

Mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik diatur


di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik sebagai berikut:

(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal


Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan
ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang
dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh
Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.
(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan
paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebuatan lain
bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal
perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

Rumusan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2


Tahun 2011 tentang Partai Politik diperjelas dengan Penjelasan
Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik sebagai berikut:
68

Yang dimaksud dengan perselisihan Partai Politik


meliputi antara lain:

(1) Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan;


(2) Pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik;
(3) Pemecatan tanpa alasan yang jelas;
(4) Penyalahgunaan kewenangan;
(5) Pertanggungjawaban keuangan; dan/atau
(6) Keberatan terhadap keputusan Partai Politik.

Selanjutnya pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun


2011 tentang Partai Politik menentukan:

(1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat
pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 91
diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60
(enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di
kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah
Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori
kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

Jika dilihat dari ketentuan dalam pasal tersebut, belum ada


substansi yang mengatur tentang keterlibatan konstituen dalam
hal usul pemberhentian anggota DPR. Kemudian dalam hal
penentuan recall dalam hal ini berdasarkan alasan usulan dari
partai politik juga belum adanya putusan pengadilan yang
menjadi kepastian hukum dari pengajuan hak recall oleh partai
politik. Jika dikorelasikan dengan ketentuan pasal 7B ayat (3),
69

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden mensyaratkan


adanya putusan dari Mahkamah Kontitusi terlebih dahulu.
Namun, dalam recall anggota DPR belum adanya putusan
pengadilan sebagai pertimbangan partai politik untuk usulan
yang akan diajukan kepada pimpinan DPR.

Dalam penentuan anggota DPR yang diberhentikan karena


usulan dari partai politik maupun hasil keputusan dari Dewan
Kehormatan DPR, dalam pengaturannya sampai saat ini tidak
ada ketentuan yang mensyaratkan adanya persetujuan oleh
mayoritas anggota DPR yang lain dalam sidang paripurna.
Padahal jika dilihat dari ketentuan mengenai pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7) UUD 1945. Hal ini
menjadi kesenjangan antara mekanisme pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden dengan pemberhentian
anggota DPR. Sehingga dari korelasi ketentuan tersebut dalam
lingkup prinsip suara mayoritas, hak recall tidak sesuai dengan
prinsip suara mayoritas.

Dalam hal melibatkan konstituen mengenai usulan hak


recall oleh partai politik juga belum diakomodir dalam UU No.
27 Tahun 2009, UU No. 17 Tahun 2014 maupun undang-
undang tentang partai politik. Padahal sistem pemilu yang
digunakan dalam memilih anggota legislatif dalam hal ini
anggota DPR salah satunya, yaitu menggunakan sistem
proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Sehingga
konstituen juga berhak mendapatkan kesempatan untuk
mengusulkan adanya recall terhadap anggota DPR yang
menurutnya bermasalah berdasarkan alasan yang telah diatur
dalam ketentuan yang ada dalam undang-undang mengenai
pemberhentian anggota DPR.
70

d. Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban dapat ditunjukkan dalam
ketentuan Pasal 7A dan 22B UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945
menyatakan bahwa:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.

Kemudian ketentuan pasal 22B UUD 1945 menyatakan


bahwa, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-sayat dan tata
caranya diatur dalam undang-undang. Dalam rangka
mempertanggungjawabkan atas kedudukannya sebagai pejabat
negara. Alasan atas pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden memang sudah jelas karena pelanggaran hukum.
Namun, alasan pemberhentian anggota DPR tidak hanya
karena pelanggaran hukum namun juga alasan kinerja yang
tidak sesuai dengan arah kebijakan partai atau kinerja buruk
dapat diusulkan recall oleh partai politik. Hal ini dapat
dikatakan bahwa mekanisme hak recall tidak sesuai dengan
prinsip pertanggungjawaban. Padahal tugas sebagai pejabat
publik dalam hal ini sebagai anggota DPR yaitu
bertanggungjawab atas tugas dan kewajibannya kepada rakyat.
Maka bukan pertanggungjawaban kepada partai politik lagi,
tetapi pertanggungjawaban kepada rakyat. Padahal berdasarkan
dengan teori kedaulatan rakyat bahwa kedaulatan rakyat dalam
suatu sistem demokrasi tercermin juga dari ungkapan bahwa
demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh
71

rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the


people, for the people) (Stevanus Evan Setio, 2013: 16). Maka
anggota DPR yang terpilih saat ini merupakan hasil dari
legitimasi rakyat melalui pemilihan umum, maka
pertanggungjawabannya pun secara otomatis kepada
masyarakat yang telah memberikan legitimasi.
Hak recall oleh partai politik merupakan sarana yang
disediakan oleh undang-undang untuk mengganti antar waktu
anggota partai politik yang duduk sebagai anggota parlemen.
Padahal sudah menjadi tugas dari parlemen untuk
menyuarakan aspirasi rakyat sebagaimana asal mula kata
parlemen, yakni le parle yang apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris berarti to speak, atau bersuara (Nike K
Rumokoy, 2012: 5).
Dilihat dari segi dampaknya, hak recall oleh partai politik
memberikan dampak negatif bagi kehidupan politik Negara ini.
Nilai-nilai negatif yang dapat timbul antara lain:
Pertama,dapat mengekang dan mengikat nalar dari anggota
DPR yang kritis dan ingin menyuarakan suara
konstituennya. Kedua, membentuk mentalitas anggota DPR
untuk takut kepada organisasi induknya (Partai Politik),
yang dapat menyebabkan anggota DPR lebih
mengutamakan dan mementingkan kepentingan parpolnya,
bukan lagi menyuarakan aspirasi konstituennya (Nike K.
Rumokoy, 2012: 5).

Berdasarkan beberapa alasan lain, jelas maka recall partai

politik akan menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan

partai politik. Padahal kedaulatan rakyat dalam suatu sistem

demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat oleh

rakyat dan untuk rakyat. Selain bertentangan dengan prinsip-


72

prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945, hak

recall terhadap anggota DPR oleh partai politik tidak sesuai

dengan salah satu prinsip kedaulatan rakyat yang telah

dikemukakan oleh Hatta yaitu prinsip keempat yaitu

kebudayaan, di mana terkandung nilai-nilai kebebasan

menganut agama, kebebasan menyatakan pendapat, serta

kebebasan menuntut ilmu. Dalam hal ini mengenai kebebasan

menyatakan pendapat. Hak recall dapat dikatakan menjadi

penghalang bagi anggota DPR untuk dapat memperjuangkan

apa saja yang menjadi kepentingan rakyat di parlemen. Hak

recall menjadi momok bagi menakutkan bagi anggota DPR.

Oleh karena itu, setiap warga negara setiap warga negara

haruslah diberikan kebebasan politik karena kebebasan

merupakan ketenangan jiwa yang timbul dari prinsip bahwa

masing-masing orang dijamin keamanannya. Dengan

kebebasan, manusia dapat menyelamatkan diri dari segala

macam bentuk tekanan, paksaaan, otoriterian, kediktatoran,

penjajahan, dan semacamnya (Nike K. Rumokoy, 2012: 5)

Franz Magnis Suseno mengatakan kebebasan adalah mahkota

martabat kita sebagai manusia.

Sehingga anggota DPR yang telah diberi mandat oleh

rakyat melalui pemilihan umum seharusnya mempunyai ruang

kebebasan untuk membawa amanah yang telah diembannya


73

dalam rangka memperjuangkan kepentingan dari

konstituennya. Memang anggota DPR dapat terpilih menjadi

anggota parlemen menggunakan kendaraan politik yaitu partai

politik. Jadi tanggung jawab kepada rakyat menjadi lebih

penting dibandingkan dengan tanggung jawab kepada partai

politik.

Hak recall mestinya ditiadakan karena anggota tidak bisa

objektif kepada rakyat karena takut kepada fraksi (Stevanus

Evan Setio, 2013: 173). Adanya sistem recall menyebabkan

banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, bahkan takut untuk

menyuarakan aspirasi rakyat (Moch. Mahfud MD, 2010: 167).

Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Partai Politik menentukan:

Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah


anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari
keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian
dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Keterikatan seperti ini pada dasarnya menegaskan bahwa


anggota DPR adalah utusan partai politik yang memenangkan
kursi DPR dalam proses pemilu.
Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat
menyatakan pikiran atau pendapat, dan atau tindakan yang
berbeda atau menyimpang dari pendirian atau kebijakan
yang telah ditetapkan oleh partai politik, bahkan jika
pikiran, pendapat atau tindakan anggota DPR sesuai atau
mencerminkan aspirasi dan atau kepentingan masyarakat
dari daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan
(Stevanus Evan Setio, 2013: 173-174).
74

Manakala partai politik menilai anggoata DPR-nya telah


berbeda atau menyimpang dari garis kebijakan partai, partai
dapat sewaktu-waktu menggantinya dengan utusan yang lain
(Stevanus Evan Setio, 2013: 174). Penyelenggaraan kekuasaan
negara ditentukan oleh partai politik baik secara langsung
maupun tidak langsung. Moh. Hatta juga pernah mengatakan:
Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi
demokrasi Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak
membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu.
Rupanya dalam kenyataannya pimpinan partai merasa
lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian
adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada
dasarnya hak recall ini hanya ada pada negara komunis
dan fasis yang bersifat totaliter.

Ini berarti sepanjang mayoritas masih belum memutuskan,


maka pembahasan suatu masalah tetap berlangsung terus.
Akan tetapi, apabila telah disepakati dan keputusannya
diumumkan maka setiap orang diam, dan para pendukung
maupun lawan-lawan tindakan tersebut bersatu dalam
menyetujui ketepatan keputusan mayoritas tersebut (Nimatul
Huda, 2011: 462).
Jimly Asshiddiqie berpendapat mengenai hak recall yang
menyatakan bahwa:
Dalam sistem demokrasi yang sejati, sistem party recall
sudah seharusnya ditiadakan dan diganti dengan sistem
constituent recall. Seorang anggota DPR tidak boleh
diberhentikan dari kedudukannya sebagai wakil rakyat,
kecuali apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran
hukum, pelanggaran kode etika, mengundurkan diri, atau
meninggal dunia dalam masa jabatannya. Seorang anggota
DPR tidak boleh diberhentikan dari jabatannya dengan
cara ditarik atau direcall oleh pimpinan partai politiknya
karena alasan berbeda pendapat dengan pimpinan
partainya atau karena alasan-alasan lain yang bertentangan
75

dengan prinsip kedaulatan rakyat yang telah memilihnya.


Apalagi, sejak putusan MK, pengangkatan seorang
anggota DPR dilakukan dengan prinsip suara yang
terbanyak. Karena itu, aspirasi rakyat tidak boleh
diberangus hanya karena wakil rakyat itu mempunyai
pendapat berbeda dari orang per orang pimpinan partainya
(Jimly Asshiddiqie, 2012: 17).

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dikatakan bahwa hak recall


partai politik yang didasarkan pada pelanggaran AD/ART
terhadap keanggotaan DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Вам также может понравиться