Вы находитесь на странице: 1из 28

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH :

MARIDI M DIRJO :
Home
Posts RSS
Comments RSS
about

Tuesday, July 21, 2009


PENATALAKSANAAN KEMOTERAPI YANG AMAN

Ns. Maridi MD, M.Kep

A. Latar belakang

Indonesia pada saat ini tengah mengalami perubahan pola penyakit, dari penyakit infeksi
menjadi penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, stroke, hipertensi, myocard infark, kanker
dan lain-lain. Data yang akurat tentang kanker di Indonesia sampai saat ini belum ada, yang jelas
menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 memperlihatkan 6% kematian di
Indonesia diakibatkan oleh kanker.

1. Karsinogenisitas
2. Teratogenisitas atau toksisitas perkembangan
3. Toksisitas reproduktif
4. Toksisitas organ dalam dosis rendah
5. Genotoksisitas
6. Mempunyai struktur atau toksisitas yang mirip dengan obat-obatan yang telah diklasifikasikan
dalam obat berbahaya dengan menggunakan criteria diatas

Berikut ini nama-nama obat kemoterapi yang sering digunakan termasuk nama kanker yang
diobatinya (Rogers, 1987; Chabner et al. 1996; Jochimsen, 1992; McFarland et al. 2001 dalam
NIOSH 2004a, 2004b):

Agent Ankylating (mengganggu mitosis dan pebelahan sel normal)


a. Chlombucil (Leukeran ) kanker payudara, paru, ovarium dan testis; Penyakit Hidgkins
b. Cyclophosphamide (Cytoxan )multiple myeloma; kanker payudara, paru dan ovarium.
c. Carmustine (BiCNU )melanoma maligna, tumor otak.

Antimetabolit (mengganggu sintesis asam folat, purin dan pyrimidine)


a. Methotrexate (Mexate )leukemia, kanker paru, dan kanker payudara
b. Fluorouracil (Adrucil )kanker kandung kemih, hati, pancreas, paru, dan payudara
c. Mercaptopurine (Purinethol )leukemia akut.

Antibiotik (menyebabkan pemecahan rantai tunggal atau rantai ganda DNA)


a. Actinomycin D (Cosmegen )Sarkoma Kaposi, rhabdomyocarcoma
b. Doxorubicin (Adriamycin) leukemia akut, kanker payudara
c. Bleomycin (Bleo )Limfoma Hodgkins/ non Hodgkins, Kanker testis

Produk Alami (obat antimitosis) (mencegah mitosis dan menyebabkan penghentian metaphase).
a. Vinblastine (Velban )Limfoma non Hodgkin, kanker payudara dan testis.
b. Vincristine (Oncovin )kanker paru sel kecil, Limfoma non Hodgkins
c. Paclitaxel (Taxol )Kanker ovarium dan kanker payudara

Agent miscellaneous
a. Hydroxyurea (Hydrea )bekerja sebagai anti metabolit dalam fase S; melanoma maligna,
kanker ovarium metastasis
b. Estrogenmengganggu reseptor hormone dan protein dalam semua fase siklus sel; kanker
prostate, kanker payudara lanjut postmenopause

Obat-obat antikanker diatas juga terkadang digunakan untuk terapi pada kasus kasus non kanker,
seperti methotrexate untuk mengobati rheumatoid arthritis (Baker et al. 1987 dalam NIOSH
2004a, 2004b), cyclopospahmide untuk multiple sclerosis (Moody et al 1987 dalam NIOSH
2004a, 2004b), dan 5-fluorouracil untuk psoriasis (Abel 2000 dalam NIOSH 2004a, 2004b).
Obat-obatan ini walaupun tidak digunakan untuk pasien kanker, dalam pemberiannya
diperlakukan seperti melakukan pemberian obat antikanker lainnya. Untuk itu para perawat harus
waspada dan teliti dalam mengidentifikasi obat-obatan yang akan diberikan pada klien.

The International Agency for Research on Cancer (IARC) telah mengevaluasi 900 obat yang
berpotensi menyebabkan kanker pada manusia (Power & Polovich, 2004). Berikut ini daftar
obat-obat kemoterapi yang sering digunakan sebagai anti kanker pada pasien (Vanchieri, 2005):

1. Kelompok I: Karsinogenik pada manusia


a. Azathioprine
b. Busulfan
c. Cholorambucil
d. Cyclophosphamide
e. Melphalan
f. MOPP
g. Semustine
h. Tamoxifen
i. Thiotepa
j. Threosulfan

2. Kelompok II: mungkin karsiongen (probable carcinogens)


a. Carmustine
b. CCNU
c. Cisplatin
d. Doxorubicin
e. Nitrogen Mustard
f. Procarbazine

3. Kelompok III: diduga karsinogen (possible carcinogens)


a. Bleomycin
b. Dacarbacin
c. Mitamycin
d. Streptozocin

Untuk lebih lengkapnya, kunjungi website IARC: http://www-cei.iarc.fr/


%20monoeval/grlist.html

C. Obat Kemoterapi dan Bahayanya

Mekanisme kerja dari obat-obat berbahaya ini termasuk obat-obat kemoterapi adalah dengan
menempel langsung pada materi genetic di dalam nucleus sel atau dapat berpengaruh dalam
sintesis protein seluler. Obat kemoterapi berupaya mempengaruhi sel melalui beberapa
mekanisme. Pada tingkat seluler mereka melakukan aksi lethal dengan proses mencegah
pertumbuhan dan perkembangan sel-sel target. Mekanisme ini meliputi merusak produksi enzim-
enzim esensial, menghalangi sysntesis RNA, DNA dan protein, serta memcegah mitosis sel.

Obat-obat kemoterapi ini tidak dapat membedakan antara sel-sel yang normal dengan sel-sel
kanker (Worthington, 2000, Sutarni, 2003a). Pertumbuhan dan reproduksi sel-sel normal juga
sering dipengaruhi selama pengobatan sel-sel kanker. Bukti lain dapat dilihat pada beberapa
penelitian pada hewan, Sejumlah penelitian mencatat terjadinya pengaruh carsionegik,
mutagenik dan teratogenik dari Obat-obat berbahaya pada hewan yang terpapar (McDiarmid,
Presson & Fujikawa, 1995).

Data pada manusia tentang pengaruh penggunaan obat-obat berbahaya termasuk obat kemoterapi
juga banyak dicatat oleh para ahli. Timbulnya keganasan skunder tercatat sebagai efek samping
dari pemberian obat kemoterapi pada penderita kanker. Leukemia adalah kasus yang paling
banyak dilaporkan, diamping keganasan lainnya seperti kanker kandung kemih dan limfoma
(McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995).

Aberasi kromomosn juga dapat terjadi akibat pemberian kemoterapi pada pasien yang menderita
kanker primer. Salah satu penelitian tentang pemberian chlorambusil menunjukan adanya
kerusakan kromosom pada pasien yang menerima obat tersebut yang sifatnya akumulatif dan
berhubungan dengan dosis dan lamanya pemberian (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995).

Sejumlah laporan kasus berhubungan dengan pengobatan dengan kemoterapi menyebabkan


kelainan pada alat reproduksi. Disfungsi testis dan ovarium sampai terjadi sterilias permanent
terjadi pada pasien laki-laki dan perempuan yang telah menerima satu atau kombinasi obat
kemoterapi (McDiarmid, Presson & Fujikawa, 1995). Beberapa obat antineoplasma juga
diketahui atau diduga dialirkan kepada anak melalui air susu ibu.

D. Obat kemoterapi dan Paparan pada Petugas Kesehatan

Persiapan, pemberian dan pembuangan obat-obat berbahaya dapat menyebabkan paparan pada
farmasis, perawat dan dokter dan tenaga kesehatan yang lain yang terlibat dalam proses diatas
tersebut. Tingkat absorsi obat tersebut ditempat kerja dan efek dini biologi terhadap petugas
kesehatan sulit dikaji dan sangat beragam untuk tiap individu (McDiarmid, Presson & Fujikawa,
1995). Namun demikian, beberapa kasus dapat menjadi bukti potensi keracunan pada obat ini
jika tidak ditangani dengan cara yang tepat. McDiarmid, Presson & Fujikawa (1995) mencatat
bahwa paparan sampingan ini mempunyai efek akumulasi yang cepat.

Sampai sekarang umumnya petugas kesehatan masih percaya bahwa tempat kerja mereka aman
saat menyiapkan dan memberikan obat-obatan kemoterapi apalagi jika telah mengikuti petunjuk
yang dipublikasikan oleh Occupational Safety and helath Administration (OSHA) pada tahun
1986. Tetapi kenyataan mengatakan lain. Seorang anggota NIOSH, bagian dari Center for
Disease Control and Prevention (CDC), Thomas H. Connor menemukan kontaminasi obat-obat
kemoterapi di enam pusat pengobatan kanker di Kanada dan Amerika Serikat. Hasilnya, tiga obat
anti kanker terdeteksi di 75% sampel ruang famasi tempat penyiapan obat kemoterapi, dan
didalam 65% tempat pemberian obat kemoterapi (Vanchieri, 2005, Polovich, 2004). Pada saat
yang sama Connor juga menemukan bahwa fasmasis dan perawat yang menangani
cyclophosphamide terpapar obat yang cukup banyak sehingga nampak pada pemeriksaan urinnya
(Vanchieri, 2005). Hasil penemuan ini sebenarnya tidak jauh berbeda seperti yang ditemukan
Flack (1979, dalam Sutarni, 2003b; Power & Polovich, 2004) yang menjelaskan bahwa urin
perawat yang mengerjakan dan memberikan sitostatika sama dengan urine klien yang
mendapatkan obat anti kanker. Penelitian lanjutan tentang hal ini menunjukan bahwa
peningkatkan keamanan penanganan obat antineoplasma menurunkan hal tersebut (Power &
Polovich, 2004).

Horrison (2001, dalam NIOSH, 2004) melaporkan bahwa enam obat yang berbeda
(cyclophospamide, methotrexate, ifosfamide, epirubicin dan cisplatin/carboplastin terdeteksi
dalam urine petugas kesehatan pada 13 dari 20 penelitian. Berkaitan dengan penelitian ini, dua
penelitian ini juga melaporkan ditemukannya obat antineoplasma di dalam urin petugas farmasi
dan para perawat (Perhran et al. 2003; Wick et al. 2003, dalam NIOSH, 2004c).

Penelitian lain juga menunjukan adanya penyimpangan atau kelainan kromoson pada perawat
yang bekerja pada waktu lama mempersiapkan obat sitostatika (Wasfik, dalam Sutarni, 2003b).
Signifikasi secara statistik tentang terjadinya efek genotoksik dan kerusakan genetic banyak
dilaporkan (NIOSH, 2004). Beberapa penelitian menunjukan peningkatan pembentukan
mikronuklei dan peningkatan kromosok kembar yang mengalami perubahan termasuk aberasi
kromosom pada farmasis dan perawat yang terpapar dengan antineoplasma (NIOSH, 2004).

Risiko lain yang harus ditanggung petugas kesehatan saat menangani obat-obat kemoterapi jika
tidak dilakukan tidak menggunakan standard precaution yang tepat adalah ruam kulit (skin rash),
infertilitas, keguguran, kecacadan lahir, kemungkinan leukemia dan kanker lain (Vancheiri,
2005). Baru sedikit informasi tentang risiko kanker berhubungan dengan paparan antineoplasma
pada petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit (Burgas et al, 1999; Mc Diarmid et al., 1992;
Oestreicher et al., 1990; ketiganya dalam NIOSH, 2005). Tetapi banyak kasus dilaporkan
berhubungan dengan kejadian kanker berhubungan dengan paparan antineoplasma pada petugas
keseahatan di rumah sakit. Satu kasus kanker kandung kemih pada seorang farmasis dilaporkan
berkaitan dengan seringnya terpapar oleh antineoplasma, sementara ia tidak pernah adanya bukti
ia terpapar oleh karsinogen lingkungan lain yang diketahui (Levin, et al., 1993, dalam NIOSH,
2004c).

Para ahli menyatakan bahwa tiga keganasan yang tersering akibat sering terpapar dengan obat-
obat kemoterapi adalah kanker kandung kencing, limfoma dan leukemia (Polovich, 2004, 2005;
Power & Polovich, 2004; Vanchieri, 2005).

Petugas kesehatan yang terpapar seharusnya dikaji oleh suatu penelitian tentang biological
marker dari paparan. Biological marker yang ditemukan tidak bersifat tunggal, yang bisa
digunakan sebagai indicator yang baik sebagai efek samping penggunaan antineoplastik pada
petugas kesehatan (Baker & Connor, 196, dalam NIOSH, 2004). Bukti biologis yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi paparan petugas kesehatan terhadap obat antineoplasma meliputi
mutagenisitas urine, kerusakan kromosom, perubahan kromatin kembar, induksi mikronuklei,
kerusakan DNA, mutasi hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase dan ekskresi thioether
(Power & Polovich, 2004).

Faktor yang mempengaruhi paparan obat atineoplastik dan atau obat-obat berbahaya lainnya ke
petugas kesehatan adalah sebagai berikut (NIOSH, 2004).
1. Lingkungan disekitar obat sedang ditangani (persiapan, pemberian dan pembuangan).
2. Jumlah obat yang disiapkan
3. Frekuensi dan durasi obat diberikan
4. Potensi untuk diabsorbsi
5. Penggunaan kabinet biologi berventilasi
6. Alat pelindung diri
7. Praktik kerja (cara para praktisi bekerja).

Pengalaman menunjukan efek samping yang dialami oleh petugas keseahatan dari obat-obatan
berbahaya semakin meningkat seiring dengan jumlah dan frekuensi paparan dan praktik/
kebiasaan kerja yang tidak baik.

E. Rute pemaparan Obat kemoterapi Pada Perawat

Perawat dan petugas kesehatan lain yang menangi obat-obat kemoterapi berpeonesi untuk
terpapar obat ini melalui rute berikut ini (Polovich, 2004, 2005, Vanchieri, 2005):
1. Inhalasi -- dari udara pernafasan yang terkontaminasi seperti obat yang berubah menjadi
aerosol atau droplet.
2. Kontak kulit -- kontak langsung dengan obat atau menyentuh permukaan lingkungan atau
benda yang terkontaminasi obat kemoterapi
3. Tertelan -- berasal dari makanan atau minuman, atau kontak tangan ke mulut.
4. Kecelakaan suntik-- berasal dari tertusuknya oleh jarum suntik atau benda tanjam lain yang
terkontaminasi oleh obat kemoetarapi.

Absorbsi obat kemoterapi melalui kulit atau mukosa dan inhalasi biasanya terjadi selama
aktivitas berikut (Aschenbrenner, Cleveland & venabel, 2002):
1. Membuka vial atau ampul kemoterapi
2. Membuang udara dari dalam tabung alat suntik (syringe) yang telah terisi obat kemoterapi
3. Pembuangan peralatan infuse, botol cairan dan selang infuse yang habis digunaan untuk
memberi obat kemoterapi.
4. Membuang ekskresi tubuh pasien yang telah menerima obat kemoterapi.

Tertelannya obat kemoterapi oleh petugas kesehatan terjadi melalui kontak tangan ke mulut
melalui makanan, minuman, rokok, kosmetik dan alat-alat yang terkontaminasi obat kemoterapi.

Ziegler, Mason dan Baxter (2002) menyatakan bahwa perhatian terhadap paparan obat
kemoterapi [seharusnya] tidak hanya pada akibat ceceran obat tersebut, tetapi juga akibat kontak
dengan cairan tubuh pasien seperti muntah, keringat dan urin pasien. Karena cairan tubuh ini
juga mengandung obat kemoterapi. Untuk menghindari resiko paparan terhadap obat sitotoksi ini
langkah yang paling baik bagi para perawat adalah memakai alat pelindung diri mulai dari
persiapan, pemberian kemoterapi, menolong klien dan penangan ekskresi sampai 2 x 24 jam
setelah pemberian kemoterapi (Sutarni, 2003). Penanganan yang hati-hati juga dilakukan pada
baju, balutan, linen dan benda lain yang terkontaminasi dengan obat atau cairan tubuh klien
lainnya (NIOSH, 2004c).

Kontaminasi petugas kesehatan dengan obat sitostatika, dapat terjadi pada saat :
1. Pengambilan obat kembali melalui jarum suntik
2. Membuka Ampul
3. Pengeluaran udara dari spuit.
4. Mengganti botol infus atau selang yang sudah terisi oleh obat sitostatika.
5. Kontak melalui makanan dan minuman.
6. Makan, minum, merokok pada daerah persiapan.
7. Pada waktu membuang alat yang terkontaminasi.

Kontaminasi yang terjadi pada saat mempersiapkan/ pencampuran obat oleh tumpahan atau
terpercik pada saat :
Menarik jarum dari vial.
Memindahkan obat dengan menggunakan jarum
Membuka ampul.
Mengeluarkan udara dari spuit
Mengganti intravenous line, selang infus, dan cairan infus.

Kontaminasi saat pemberiaan obat


Mengeluarkan udara dari spuit/ I V tube.
Saat melakukan injeksi.
Lepasnya IV line dari tube.
Tertusuk jarum.

Kontaminasi saat menangani alat-alat yang dipakai:


Semua peralatan yang telah dipakai dapat terkontaminasi
Beri lebel semua sampah sitostatika.
Ekskresi klien yang mengandung kemoterapi sampai 2X24 jam
Alat alat tenun yang dipakai klien

F. Petugas Kesehatan yang Berisiko Terpapar

Petugas kesehatan dirumah sakit yang berpotensi untuk terpapar obat antineoplasma adalah
sebagai berikut (NIOSH, 2004a,b):
1. Staf rumah sakit yang bekerja ditempat cairan tersebut berada mulai dari persiapan, pemberian
dan pembuangan alat-lat yang digunakan (termasuk persiapan obat dengan menghancurkan obat
tablet).
2. Petugas farmasi yang menyiapkan cairan [obat kemoterapi]
3. Petugas rumah sakit dibagian onkologi, yang melakukan infuse dan memberikan cairan
tersebut.
4. Petugas kesehatan yang membuang feses, urin dan lain-lain dari pasien yang diobati dengan
obat tersebut.
5. Petugas kesehatan yang menangani linen yang digunakan oleh pasien yang diberikan obat
kemoterapi

G. Saat-saat Petugas Kesehatan Terpapar Antineoplasma di Rumah Sakit

Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit akan terpapar obat antineoplasma melalui
inhalasi, menelan secara tidak sadar atau melalui kontak kulit selama prosedur berikut (NIOSH,
2004a,b).
1. Menghitung tablet dari botol obat
2. Memecah atau menghancurkan tablet menjadi sedian cair.
3. Menyiapkan cairan
4. Menangani cairan
5. Memberikan obat
6. Membuang cairan
7. Membuang perangkat infuse yang telah digunakan atau peralatan yang digunakan untuk
pemberian obat tersebut.
8. Membersihan tumpahan
9. membuang feses, urin, linen tempat tidur pasien yang diobati dengan obat tersebut
10. Mencuci linen yang digunakan oleh pasien yang diobati dengan oabt tersebut.

Petugas kesehatan juga dapat terpapar saat mengepel atau terpapar oleh permukaan lingkungan
yang terkontaminasi oleh obat selama persiapan, pemberian dan pembuangan obat tersebut.

H. Gejala Terjadi Paparan Pada Petugas Kesehatan

Gejala-gejala dan pengaruh pada kesehatan berikut telah banyak dilaporkan


pada petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit yang telah terpapar oleh obat antineoplasma
(NIOSH, 2004a,b):
1. Nyeri perut
2. Batuk-batuk
3. Pusing
4. Mual-mual
5. Muntah
6. Diare
7. Ruam kulit
8. Rambut rontok
9. Efek samping pada system reproduktif seperti gangguan siklus mentruasi, keguguran dan lahir
cacad.

Jika para perawat mengalami masalah kehatan tersebut diatas setelah bekerja dengan
antineoplasma, laporkan kejadian tersebut pada atasan perawat seperti kepala ruangan atau
manajer rawat inap dan tim pengendali kecelakaan kerja Rumah sakit.
Sumber: Haughney, 2004

I. Persiapan dan Pencegahan Paparan Saat Pemberian Kemoterapi yang Aman Bagi
Perawat

Agar tercegah terjadinya paparan pada perawat dilakukan persiapan sebagai berikut (Sutarni,
2003b):

1. Persiapan Perawat
Petugas atau perawat yang diizinkan untuk memberikan obat sitostatika adalah mereka yang
sudah mendapat pendidikan tentang :
a. Cara menangani obat sitostatika.
b. Mengetahui kemungkinan resiko yang terjadi akibat oabt sitostatika.
c. Penatalaksanaan alat-alat yang terkontaminasi.
d. Pencegahan paparan terhadap perawat.

Petugas yang tidak diizinkan untuk memberikan obat sitostatika.


a. Wanita hamil dan menyusui.
b. Perawat yang tidak memakai pelindung
c. Mahasiswa perawat yang sedang praktek.
2. Tindakan pencegahan untuk pemberian obat kemoterapi yang aman

Pertanyaan selanjutnya yang sering muncul adalah bagaimana kita dapat mencegah terjadinya
paparan terhadap antineoplasma. Lindungi diri kita (petugas kesehatan) dari paparan dengan
metode dan cara kerja berikut ini (NIOSH, 2004a,b):
a. Siapkan obat ini dalam suatu tempat khusus yang ditangani oleh petugas yang mempunyai
wewenang.
b. Siapkan obat ini dalam suatu biological Safety cabinet (BSC) terutama BCS kelas II tipe B
atau kelas III (Suatu BSC yang mengalirkan udara dari dalam BSC keluar menjauhi ruangan).
c. Gunakan alat suntik (syring) dan set infuse dengan system Luer-Lok untuk persiapan dan
pemberian obat ini. Buang syring dan jarumnya pada wadah yang didesain untuk melindungi
petugas dari cidera [tertusuk].
d. Pertimbangkan untuk menggunakan alat untuk membawa obat dengan system tertutup dan
system tanpa jarum.
e. Hindari kontak kulit. Gunakan baju pelindung disposibel yang terbuat dari bahan yang
antitembuh cairan. Baju ini tertutup dibagian depannya, tangan panjang.
f. Gunakan sarung tangan berkualitas tinggi yang bebas bedak, yang menutupi lengan baju
g. Gunakan dua pasang sarung tangan (didouble).
h. Ganti sarung tangan secara periodic
i. Pakai plastic penutup wajah atau kacamata google untuk menhindari kontak dengan matam
hidung, dan mulut dari obat tersebut, dimana obat ini dapat memercik, menyemprot atau menjadi
aerosol.
j. Buka baju pelindung secara hati-hati untuk menghindari perluasan kontaminasi.
k. Lakukan pelatihan untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya keamanan dalam
menyiapkan dan memberikan obat-obatan ini.
Gambar penyiapan Obat kemoterapi dalam BSC
Gambar: Skema BSC yang standar

Lindungi diri kita (perawat dan petugas kesehatan lainnya) dengan mengikuti tip berikut ini
(NIOSH, 2004a,b):
a. Jangan makan atau minum [atau merokok] ditempat dimana obat antineoplastik disiapkan atau
diberikan
b. Biasakan atau mampu untuk mengenali sumber paparan terhadap antineoplasma.
c. Cuci tangan sebelum dan sesudahh menggunakan melepaskan alat pelindung diri seperti baju
pelindung disposibel dan sarung tangan disposibel.
d. Tangani sampah yang berhubungan dengan oabt antineoplasma secara terpisah dengan sampah
rumah sakit lain. Tangani sampah tersebut sebagai sampah-sampah berbahaya.
e. Bersihkan tumpahan obat sesegera mungkin dengan menggunakan metode kewasapadaan
yang tepat.
f. Pelajari kebjakatan tertulis rumah sakit dalam menangani obat antineoplasma.
g. Pelajari dan akses jurnal serta publikasi yang berhubungan dengan penanganan obat
kemoterapi yang aman.

Secara lebih rinci, pencegahan pemaparan abat kemoterapi pada petugas mulai perilaku petugas,
pemaparan melalui alat, saat persiapan pasien, saat menyiapkan obat, saat memberikan obat dan
saat membuang sampah adalah sebagai berikut (Sutarni, 2003b):

a. Mencegah resiko yang berasal dari petugas


1) Tidak boleh makan dan minum ditempat pencampuran obat.
2) Tidak boleh mengunyah makanan dan merokok.
3) Tidak boleh memakai kosmetik ditempat pencampuran.
4) Tidak boleh menyimpan makanan dan minuman bersama sama dengan obat kemoterapi dalam
satu kulkas.
5) Harus memakai tehnik mencuci tangan yang baik.
6) Harus menggunakan alat pelindung diri.
b. Pencegahan paparan melalui alat.
1) Harus memakai proteksi lengkap saat menangai alat alat yang habis dipakai.
2) Alat alat direndam dengan deterjen kemudian bilas dengan air.

c. Pencegahan saat persiapan


1) Pakailah pakaian pelindung dengan lengan panjang dan bermanset elastis dengan bahan yang
bersifat menahan penetrasi partikel obat
2) Gunakan topi untuk melindungi kepala.
3) Gunakan kaca mata untuk melindungi dari percikan.
4) Gunakan masker untuk mengurangi resiko terhirupnya melalui mulut dan hidung.
5) Gunakan sarung tangan untuk menghindari kontak dengan obat pada tangan.

d. Pencegahan saat persiapan obat sitostatika


1) Cuci tangan
2) Cegah kebocoran pada sarung tangan.
3) Sediakan alat-alat yang diperlukan.
4) Tutup troli dengan pengalas dan kertas/ bahan yang menyerap.
5) Jangan tumpah dan meninggalkan aerosol.
6) Wajah jangan terlalu dekat saat membuka ampul.
7) Sebelum membuka ampul pastikan tidak ada cairan di ujung ampul.
8) Gunakan kasa pada waktu membuka ampul .
9) Cegah kevakuman yang berlebihan pada amapul
10)Pastikan bahwa obat yang diambil sudah cukup agar tidak mengulang dua kali.
11) Gunakan kasa steril untuk mengeluarkan kelebihan udara dari spuit
12) Buat label dengan lengkap ( nama pasien, MR, obat, dosisi,tgl pencampuran ) tempelkan di
spuit/ plabot/ botol
13) Letakkan obat pada tempat yang aman ( bak spuit, box tertutup )

e. Pencegahan saat memberikan obat sitostatika


1) Pakailah proteksi secara lengkap.
2) Gunakan spuit / set injeksi yang telah disediakan.
3) Gunakan kateter kecil, jangan menggunakan wing needle karena kaku dan merusak vena
4) Teliti dan hati-hati saat menyuntikkan obat sitostatika dan ketika penggantian jarum
5) Alasi dibawah penyuntikan dengan pengalas untuk menghindarkan tumpahan atau lelehan
6) Hindari obat jatuh ke alat alat tenun diatas tempat tidur.
f. Pencegahan saat membuang sampah sitostatika

1) Material/ bahanbahan yang terkontaminasi harus dibungkus dengan aman, material yang
tajam dimasukkan ketempat yang tidak mudah bocor
2) Bahan dan sampah terkontaminasi dengan obat antineoplasma dimusnahkan di incenerator
dengan suhu >1000 oC

J. Pemberian Obat Kemoterapi yang Aman

Untuk memberikan obat kemoterapi parenteral yang aman, ikuti petunjuk berikut:
1. Sebelum pemberian kemoterapi, perawat mengkaji pengetahun pasien/ keluarga tentang
pengobatan, memberikan pendidikan kesehatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pasien dan dokuemntasikan dalam catatan pasien
2. Sebelum pemberian kemoterapi, perawat meninjau kembali hasil pemeriksaan laboratorium
yang telah dilakukan (darah lengkap dan kimia darah), jika nilai abnormal ditemukan, perawat
menghubungi dokter untuk penangan lebih lanjut dan dokumentasikan hal ini dengan benar.
3. Sebelum tiap dosis kemoterapi diberikan, dua perawat secara indenpenden memverifikasi
informasi berikut:
a. Verifikasi protocol dan semua perhitungan yang digunakan dosis kemoterapi (misalnya luas
permukaan tubuh, dosis/m2 luas permukaan tubuh, dosis/kg BB dsb).
b. Verifikasi label kemoterapi terutama terhadap order/ resep obat kemoterapi yang meliputi:
nama pasien, nama obat, dosis, rute, cairan pencampur (diluent), lama pemberian)
c. Verifikasi jarak waktu antara pemberian dosis kemoterapi terakhir dengan dosis berikutnya
4. Sebelum obat kemoterapi diberikan, verifikasi identititas pasien sebagai berikut:
a. Untuk pasien rawat inap, perawat mengidentifikasi nama pasien, nomor rekam medis, nama
pasien ditempat tidur dan label obat kemoterapi.
b. Untuk pasien rawat jalan, pasien menanyakan pada pasien nama lengkap pasien, tempat
tanggal lahir, nomor rekam medis
5. Perawat menggunakan alat pelindung diri secara lengkap (jubah, sarung tangan, masker dan
google).
6. Sebelum memberikan obat kemoterapi secara intravena melalui infus, perawat memberi cairan
infuse yang di programkan dokter untuk mengkaji kelancaran aliran infuse dan mengobservasi
tanda dan gejala infiltrasi (bengkak atau hematoma)
7. Setiap memulai memberikan obat kemoterapi secara infuse, dua orang perawat menverifikasi
kecepatan aliran infuse antara yang diprogramkan dokter dan yang ada pada label obat
kemoterapi.
8. Selama pemberian obat kemoterapi, perawat memberikan cairan pembilas yang diprogramkan
dokter diantara obat kemoterapi yang berbeda untuk membilas dan membersihkan selang infuse
dari obat yang diberikan sebelumnya
9. Perawat melakukan pengkajian untuk mengetahui kelancaran aliran infuse dan mengobservasi
tanda-tanda vital secara periodic minimal 2 kali selama pemberian obat.
10. Obat-obat yang vesikan yang diberikan secara intravena melalalui infuse diberikan melalui
kateter vena sentral (central venous access catheter) dan periksa kelancarannya
11. Jika diduga atau telah terjadi ekstravasasi dari obat kemoterapi yang vesikans, ikuti kebijakan
rumah sakit untuk penanganan ekstavasasi dari obat kemoterapi yang vesikans dan laporkan pada
dokter penanggungjawab.
12. Jika diduga atau telah terjadi efek samping obat, laporkan kepada dokter penangggungjawab
dan ikuti kebijakan rumah sakit tentang penanganan reaksi atau efek samping obat.

Pemberian obat kemoterapi oral


Jangan menghancurkan obat kemoterapi oral, kirim ke bagian farmasi jika membutuhkan obat
kemoterapi oral yang dihancurkan dan dihaluskan.
Pakai sarung tangan dengan benar (sarung tangan double), baju pelindung (jubah) dan penutup
wajah.
Tempatkan obat pada tempat obat disposibel dan berikan pada pasien
Ambil semua alat atau benda yang telah digunakan untuk persiapan pemberian obat oral pada
pasien termasuk sarung tangan, tempat obat, pembungkus obat untuk dibuang ditempat sampah
berlabel sampah sitotoksik.

Pemberian obat kemoterapi melalui infuse


Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup
kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan.
Gunakan lapisan plastic disposibel dibawah sambungan selang infuse
Setelah melaksanakan pemberian obat melalui infuse, semua alat pelindung diri, botol infuse
dengan selang yang tersambung dan linen yang tekontaminasi serta plastic pengalas ditempatkan
dalam dimasukan ke dalam kantong plastic tertutup/ diikat dan masukkan dalam tempat sampah
khusus untuk obat-obat berbahaya.
Jubah yang dipakai ketika memberikan obat kemoterapi harus dibuka ketika meninggalkan
kamar pasien dan mengganti segera jika terkontaminasi obat.

Pemberian obat kemoterapi melalui injeksi bolus


Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup
kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan.
Gunakan lapisan plastic disposibel dibawah tangan pasien untuk mengantisipasi ceceran obat.
Tutupi dengan kasa steril ditempat tusukan jarum untuk menghindari semprotan ke lingkungan
sekitar terutama saat penusukan dan pencabutan alat suntik
Setelah selesai pemberian, tempatkan benda-benda terkontaminasi dan alat pelindung diri yang
digunakan pada plastic yang diikat dan dibuang ditempat sampah khusus.
Jubah yang dipakai ketika memberikan obat kemoterapi harus dibuka ketika meninggalkan
kamar pasien dan mengganti segera jika terkontaminasi obat.

Pemberian obat kemoterapi melalui injeksi intramuskuler atau subkutan


Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup
kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan
Alat suntik dipasang dengan erat dan jarum dan gunakan jarum dengan ukuran yang sesuai
Jangan membuang udara yang ada di dalam tabung suntikan menggunakan jarum suntikan yang
digunakan untuk menyedot dari vial atau ampul, ganti dengan yang baru buang udara dan jangan
sampai obat keluar dari jarum.
Setelah pemberian jangan menutup kembali jarum suntik, atau membengkokan atau
menghancurkan jarum suntik.
Buang alat suntik yang masih tersambung dengan jarumnya ke dalam tempat sampah khusus
yang tahan tusukan.
Buka alat pelindung diri dan tempatkan pada kantong plastic tertutup dan buang ditempat
sampah khusus untuk obat-obat berbahaya.

Pemberian obat kemoterapi kedalam rongga tubuh (termasuk kedalam pleura atau kandung
kencing)

Pakai alat pelindung diri yang lengkap (sarung tangan, jubah, penutup wajah, google, penutup
kepala terutama jika kemungkinan terjadinya risiko percikan
Gunakan lapisan plastic disposibel dibawah pasien untuk mengantisipasi ceceran obat
Lapisi dengan kasa steril pada sambungan untuk mengurangi potensi semprotan obat ke
lingkungan sekitar terutama saat menyambung atau membuka sambungan
Klam kateter setelah pemberian obat untuk meminimalkan aliran balik obat
Setelah pemberian obat dan waktu yang dibutuhkan telah terpenuhi, buka klam untuk
mengumpulkan cairan residu ke dalam kantong drainage.
Tangani cairan tubuh yang keluar (urine atau cairan pleura) sebagai cairan tubuh yang
terkontaminasi obat kemoterapi.
Buang alat atau benda yang telah digunakan untuk pemberian obat kemoterapi
Buka semua alat pelindung diri dan tempatkan pada plastic dan diikat dan buang ditempat
sampah khusus untuk obat-obat berbahaya.

Penanganan pasien setelah pemberian kemoterapi.


Kewaspadaan perawat terhadap darah dan cairan tubuh pasien yang diberikan obat kemoterapi
dilakukan selama 48 jam.
a. Gunakan alat elindung diri lengkap ketika menangani cairan tubuh terutama urin
b. Sarankan pada pasie laki-laki untuk kencing sambil duduk.
c. Sarankan klien untuk menggunakan toilet atau bedpan/ urinal dan ekskreta ini segera dibuang.
d. Bersihkan toilet pasien dengan benar
e. Buang system drainage yang digunakan pasien secara menyeluruh termasuk system drainage
untuk cairan pleura, asites dan cairan tubuh lainnya.
f. Buang benda-benda disposibel yang terkontaminasi cairan tubuh pasien terutama dalam 48 jam
pertama setelah pemberian obat kemoterapi.
g. Tempatkan linen yang terkontaminasi pada tempat khusus dan kemudian untuk dicuci.
Lindungi kulit klien yang tidak utuh dari eksresi atau cairan tubuh pasien
a. Bersihkan kulit dengan sabun dan air.
b. Pasang barrier perineal atau daerah perirektal ketika buang aing besar atau buang air kecil.

K. Rekomendasi Untuk Penanganan Kemoterapi yang Aman

Banyak literatur yang dapat dijadikan acuan untuk penanganan obat-obat berbahaya termasuk
obat kemoterapi agar aman bagi petugas kesehatan. Karena di Indonesia belum banyak peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pemerintah mengenai hal ini, perawat dapat menelaah
literatur luar negeri yang dipublikasikan secara luas ke seluruh dunia. Literatur yang dapat
dijadikan acuan misalnya American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) yang telah
mempublikasikan rekomendasi penanganan yang aman obat-obat berbahaya pada tahun 1985,
The Occupational Safety & Health Administration (OSHA) yang telah mempublikasikan petujuk
untuk penanganan yang aman, pengontrolan pemaparan kerja terhadap obat-obat berbahaya yang
dipublikasikan tahun1986. Oncology Nursing Society (ONS) juga telah mengeluarkan petunjuk
dan rekomendasi praktis berhubungan dengan kemoterapi pada tahun 1988(Polovich, 2005).
Publikasi yang paling akhir adalah dari NIOSH tentang NIOSH Alert (NIOSH, 2004a,b) dan
Publikasi NIOSH tentang Antineoplastic agent, Occupational Hazards in Hospital (NIOSH,
2004c).

Rekomendasi penanganan yang aman terhadap obat-obat berbahaya seperti obat kemoterapi
berfokus pada metoda untuk mengurangi pemaparan obat-obat berbahaya di tempat kerja
termasuk di rumah sakit. Rekomendasi ini didasarkan pada konsep control hirarki berasal dari
hygiene industri. Penggunaan istilah hirarki adalah sengaja. Hal ini mengimplikasikan agar
metode yang digunakan untuk pengontolan bahaya di tempat kerja lebih efektif (Polovich, 2005).
Rekomendasi tersebut diurutkan dari yang paling efektif ke yang kurang efektif, seperti yang
berikut:

1. Menghilangkan bahaya (Eliminating the hazard)


Cara yang paling efektif untuk mencegah paparan obat kemoterapi ditempat kerja, tetapi saat ini
adalah sesuatu yang sangat mustahil sebelum adanya terapi pengganti yang aman untuk obat-
obat kemoterapi.
2. Kontrol engineering (control engineering)
Merupakan mesin atau peralatan yang didesain untuk mencegah paparan obat kemoterapi pada
petugas kesehatan. Kabin atau cabinet berventilasi seperti Biological safety cabinet atau isolator
merupakan contoh dari control enjinering. Alat ini didesain untuk melindungi pekerja dari
aerosol/ uap/ gas berasal dari obat kemoterapi saat melakukan persiapan pemberian obat tersebut.
Alat untuk memindahkan atau mengantar obat dengan system tertutup juga diperlukan dalam
control enjinering ini. Alat ini didesain untuk mencegah kebocoran atau perembesan obat
kemoterapi dari wadah satu ke wadah yang lainnya.
3. Kontrol administratif (administrative control)
Meliputi kebijakan, prosedur, jadwal praktik dan metode lain yang membatasi sejumlah tenaga
kesehatan untuk terpapar obat-obat berbahaya termasuk obat kemoterapi. Beberapa rumah sakit
di luar negeri membuat tempat khusus untuk persiapan dan pemberian obat kemoterapi.
Tujuannya adalah untuk meminimkan petugas kesehatan yang terpapar.
Pendidikan dan pelatihan petugas rumah sakit juga sangat penting sebagai kontrol administratif.
Berikut daftar pelatihan yang harus didapat petugas kesehatan yang akan menangani obat-obat
berbahaya termasuk obat-obat kemoetarpi:
a. Daftar obat-obat berbahaya [termasuk daftar obat kemoterapi]
b. Risiko potensial untuk terpapar
c. Rute pemaparan
d. Penyimpanan obat
e. Penggunaan dan pemeliharaan Biological Safety Cabinet
f. Penggunaan alat pelindung diri
g. Praktik kerja yang baik
h. Pemindahan atau transport obat
i. Pembuangan sampah
j. Pengelolaan tumpahan [obat]
k. Menjaga pencatatan
l. Ketrampilan melakukan uji
4. Kontrol praktik kerja (work-practice control)
Merupakan cara yang khusus menangani obat-obat berbahaya termasuk obat kemoterapi, yang
tujuannya tetap yaitu mencegah paparan pada petugas kesehatan. Contoh praktik kerja yang
aman untuk seseorang yang menyiapkan dan memberikan obat kemoterapi adalah: menggunakan
teknik tekanan negative saat mencampur tepung obat, menggunakan saluran yang terkunci pada
peralatan infuse, mengeratkan dan mengunci selang infuse sebelum memasukan obat kemoterapi
dalam system ini dan menggunakan system tanpa jarum.
5. Alat pelindung diri (personal protective equipment/ PPE)
Alat pelindung diri (APD) memberikan suatu barrier antara tenaga kesehatan dengan obat
kemoterapi selama pencampuran dan pemberian obat tersebut. APD ini semestinya telah
diujicoba untuk memastikan bahwa APD tersebut memberi perlindungan yang aman kepada
petugas kesehatan, sehingga mencegah terjadinya kontak langsung dengan obat melalui obsorbsi
atau inhalasi. Untuk obat-obat yang berbahaya, APD yang direkomendasikan adalah (NIOSH,
2004c).
a. Sarung tangan double. Telah diuji dengan obat-obat berbahaya, bebas dari bedak, terbuat dari
lateks, nitril atau neoprene.
b. Baju pelindung. Bersifat protektif terhadap bahan kimia, disposibel, sekali pakai, berlengan
panjang, berkancing dibelakang.
c. Pelindung mata. Untuk mencegah semprotan dari uap atau tepung obat. Biasanya
menggunakan google.
d. Masker hidung/ pernafasan. Untuk mencegah terhirupnya aerosol atau uap/ tepung obat
kemoterapi. Menggunakan masker yang terstandarisasi dan teregister NIOSH.
Gambar Sarung tangan yang menutupi lengan jubah pelindung
Sumber: Worksafe Victoria (2003)

L. Penanganan Paparan pada Petugas dan Tumpahan Obat Kemoterapi

Penanganan terhadap petugas kesehatan yang terpapar obat sitotoksik adalah sebagai berikut:
1. Lepas alat pelindung diri dan baju yang telah terkontaminasi dengan hati-hati untuk mencegah
perluasan paparan.
2. Cuci daerah yang terkena secepatnya dengan sabun dan air.
3. Jika terkena mata, aliri mata dengan air atau pencuci mata isotonic minimal 15 menit, segera
bawa ke unit emergensi dan laporkan dokter mata.
4. Bawa segera tenaga kesehatan yang terpapar ke unit emergensi untuk mendapat penanganan
lebih lanjut
5. Laporkan ke manajer yang bertanggungjawab
6. Laporkan kejadian ke K3 RS

Pengelolaan ceceran obat kemoterapi sebagai berikut


Hanya petugas yang terlatih yang membersihkan ceceran obat kemoterapi.
Secepatnya diberi tanda dan beri peringatan kepada staf yang lain bahwa telah terjadi ceceran
obat kemoterapi pada tempat yang diberi tanda.
Pakai alat pelindung diri lengkat dan gunakan sarung tangan double
Gunakan masker dianjurkan oleh NIOSH
Tempatkan kasa atau handuk yang menyerap diatas ceceran
Ambili pecahan kaca dengan menggunakan alat atau skop kecil dan buang pecahan kaca ke
dalam tempat sampah khusus yang tahan tusukan.
Bersihkan daerah ceceran obat tiga kali dengan menggunakan detergen yang kemudian dibilas
dengan air, dimulai dari area terkontaminasi kemudian daerah sekiranya.
Buka alat pelindung diri dan buang ditempat sampah khusus.

M. Penutup

Perlu kerjasama multidisiplin untuk memberikan obat kemoterapi yang aman terutama antara
farmasis, dokter dan perawat. Alat pelindung diri menjadi sangat penting untuk melindungi
tenaga kesehatan dalam pemberian obat kemoterapi termasuk alat biological safety cabinet yang
digunakan untuk penyiapan obat keoterapi. Perlu tempat khusus untuk penyiapan dan pemberian
obat kemoterapi pada pasien. Kebijakan san standar operating prosedur diperlukan dalam
pelaksanaan pemberian obat kemoterapi yang aman.

DAFTAR PUSTAKA

American Society Clinical Oncology, (2004). Criteria for facility and personnel for
administration of parenteral systemic antineoplastic therapy, Journal of Clinical Oncology, 22
(22): 1 - 3

Aschenbrenner, D.S., Cleveland, L.D., & Venabel, S.J. (2002). Drug therapy in nursing,
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins

Betz, C.L. & Sowden, L.A. (2000). Mosby pediatric nursing reference (4th ed), St Louis: Mosby

Brown, S. (t tahun). Safe handling of chemotherapeutic Agents, diakses 17 Desember 2005,


diperoleh dari http://www.uspharmacist.com/oldformat.%20asp?
url=newlook/file/Feat/ChemoAgents.htm&pub_id=8&article_id=918

Dougherty, L., (2000). Cental venous access devices, Journal Nursing Standard, 12 (43): 45 50

Haughney, A. (2004). Nausea and vomiting in end-stage cancer, These symptom can be treated
most efectivelly if theunderlying cause is konown, AJN, diakses tanggal 17 Desember 2005,
diperoleh dari http://%20www.nursingcenter.com/prodev/cearticles/asp?tid=577266.pdf

Health Service Executive (2003). Safe handling of cytotoxic drugs, diakses 17 Desember 2005,
diperoleh dari http://www.hse.gov.uk/pubns.misc615.pdf

McCann, J.A.S. (2003). Nursing procedures and protocols, Philadelphia: William & Wilkins

McDiarmid, M., Presson, A.C., Weaver, V., & Fujikawa, J. (1995). Controlling occupational
exposure to hazardous drugs, Am J Health-Syst Pharm, 52: 1669 1685
NIOSH (2004a). Antineoplastic agent Occupational hazards in hospital, diakses 17 Desember
2005, diperoleh dari http://www.cdc.gov/niosh/%20docs/2004-102.htm

NIOSH (2004b). Antineoplastic agent Occupational hazards in hospital, diakses 17 Desember


2005, diperoleh dari http://www.cdc.gov/niosh/docs/2004-102.pdf

NIOSH (2004c). NIOSH alert, preventing occupational exposures to antineoplastic and other
hazardous drugs in health care setting, Center for Desease Control and Prevention

Otto, S.E. (1997). Pocket guide to oncology nursing, St Louis: Mosby

Polovich, M. (2004). Developing a hazardous drugs safehandling program, Community


Oncology, 2 (5): 403 - 405
Polovich, M. (2004). Safe handling of hazardous drugs, Online Journal of Issues in Nursing, 9
(3), diakses 2 Mei 2005, diperoleh dari http://www.nursingworld.org/ojin/topic25/tpc25_5.htm

Porth, CM., (2005), Pathophysiology, Concepts of altered health states, (7th eds.), Philadelphia:
Lippincott Willian & Wilkins

Power, L., & Polovich, M. (2004). Safe handling of hazardous drugs, diakses 17 Desember 2005,
diperoleh dari http://www.oagpo.com/asset/pdf/cme-ceu/sicor_ceu.pdf

Power, L., & Polovich, M. (2005). New approaches in safe handling of hazardous drugs, diakses
17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.ons.org/publication/journals/pdfs/300541.pdf

Sutarni, N. (2003a). Asuhan keperawatan pada pasien dengan kemoterapi, Makalah disampaikan
pada Simposium Deteksi Dini Kanker dan Penatalaksanaan Dengan Metode Kemoterapi yang
Aman, yang diselenggarakan oleh Akademi Keperawatan Muhammadiyah Samarinda dengan
PPNI Komisariat RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda, tidak dipublikasikan

Sutarni, N. (2003b). Prosedur Penatalaksanaan Kemoerapi yang Aman, Makalah disampaikan


pada Simposium Deteksi Dini Kanker dan Penatalaksanaan Dengan Metode Kemoterapi yang
Aman, yang diselenggarakan oleh Akademi Keperawatan Muhammadiyah Samarinda dengan
PPNI Komisariat RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda, tidak dipublikasikan

Vanchieri, C., (2005). Health hazard to community practice nurse: The big worry, Community
Oncology, 2 (3): 277 279

Vega-Stromberg, T., (2005). Advances in colon cancer chemotherapy, Nursing implication,


Home Healthcare Nurse, Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 23 (3) 154 166, diakses
17 Desember 2005, diperoleh dari http://%20www.nursingcenter.com/prodev/cearticles/asp?
tid=577266.pdf

Wade III, J.L., Goldstein, M., Nystrom, J.S., Presan, C.A., Rausch, P.G., (1997). Criteria for
facility and personnel for administration of parenteral systemic antineoplastic therapy, Journal of
Clinical Oncology, 15 (11): 3416 3417, diakses 17 Desember 2005, diperoleh dari http://www.
%20jco.org/misc/15.11.3416.pdf

Victoria WorkCover Autority (2003). Handling cytotoxic drug in the workplace, Melbourne:
Worksafe Victoria

Worthington, K. (2000). Chemotherapy on the unit, Protecting the provider as well as patient.
American Journal of Nursing, 100 (4), diakses tanggal 17 Desember 2005, diperoleh dari
http://www.nursingworld.org/AJN/2000/APR/Health.htm

Ziegler, E., Mason, H.J., & Baxter, P.J. (2002). Occupational exposure to cytotoxic drugs in two
UK oncology ward, Occup Environ Med. 59: 608 612, diakses 19 Desember 2005, diperoleh
dari http://oem.bmjjornals.com/cgi/content/full/59/9/608
Readmore
8:41 AM | Ns. Maridi M Dirdjo, M.Kep

Permalink 1

Read more>>

Sunday, July 1, 2007


sosialisasi profesi

SOSIALISASI PROFESIONAL KEPERAWATAN

Oleh: Ns.Maridi MD, M.Kep.

Sosialisasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses dimana seseorang (a) belajar
menjadi anggota sebuah kelompok atau masyarakat dan (b) belajar aturan-aturan sosial tentang
arti hubungan ke dalam kelompok atau masyarakat dimana ia akan masuk (Kozier, Erb dan
Blais,1997).

Sosialisasi meliputi belajar tentang tingkah laku, perasaan dan melihat dunia (orang) lain dalam
suatu pandangan yang sama seperti yang dilakukan orang lain dimana orang tersebut menempati
peran yang sama dalam posisi tersebut.

Tujuan sosialisasi profesianal adalah untuk menanamkan norma, nilai, sikap dan tingkahlaku
yang dianggap sangat penting untuk kelangsungan sebuah profesi.

Suatu aspek instrinsik dari proses sosialisasi adalah sosial kontrol yaitu kapasitas dari sebuah
kelompok soaial untuk mengatur atau meregulasi dirinya sendiri melalui penyesuaian diri dan
ketaatan terhadap norma kelompok untuk mempertahankan perintah atau keinginan kelompok
social atau organisasi tersebut. Sangsi digunakan untuk memaksa menjalankan norma.
Penghargaan atau reward adalah sangsi positif bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri
terhadap norma yang belaku di kelompok sosial tersebut dan begitupun sangsi hukuman atau
punishment digunakan terhadap mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma
yang berlaku di organisasi atau kelompok sosial tersebut.

Sosialiasi profesional meliputi pemaparan terhadap berbagai agen sosialiasi. Agen sosialisasi
adalah orang yang memulai proses sosialisasi seperti anggota keluarga, guru, anak dari pemberi
pelayanan, kelompok dan media masa.

Nilai-Nilai kritis dari Keperawatan Profesional.

Di dalam program pendidikan keperawatan seorang perawat mengembangkan, mengklarifikasi


dan menginternalisasikan nilai-nilai professional. Nilai-nilai professional keperawatan yang
spesifik dinyatakan dalam kode etik keperawatan dan standar praktek keperawatan. Watson
(1981, dikutip oleh Kozier, Erb dan Blais, 1997) secara garis besar mengemukanan nilai-nilai
kritis professional keperawatan:

1. Suatu komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan kepada publik


Keperawatan adalah suatu bantuan dan pelayanan humanistic diarahkan terhadap kebutuhan
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Peran perawat dalam hal ini berfokus pada
kesehatan dan pelayanan keperawatan. Perawat bertangungjawab untuk mengkaji dan
mempromosikan status kesehatan semua manusia, perlu menilai kontribusinya terhadap
kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Sehingga care dan caring adalah pusat inti dan esensi dari
keperawatan. Perawat juga perlu menilai aspek caring dari keperawatan.

2. Mengakui martabat dan menghargai setiap orang


Karena profesi keperawatan yang berorientasi pada orang, suatu pengakuan dasar dan
penghargaan setiap orang berdasarkan nasionalitas, ras/ warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran
politik, kelas social dan status kesehatan merupakan dasar dalam keperawatan. Penerapan dalam
praktik keperawatan berarti bahwa perawat selalu melakukan tindakan dengan perhatian baik
bagi kliennnya.

3. Suatu komitment terhadap pendidikan


Hal ini berarti seorang perawat perlu melanjutkan pendidikan keperawatannya untuk
mempertahankan dan memperluas tingkat kompetensi yang dimilikinya untuk memenuhi kriteria
professional, mengantisipasi peran perawat dimasa yang akan datang dan memperluas body of
professional knowledge. Perawat secara kritis harus mempertanyakan pengetahuan dan praktik
keperawatnnya untuk mendorong dirinya berkontribusi dalam pengembangan dasar teori
keperawatan dan mengetes teori tersebut dalam praktik keperawatan.

4. Otonomi
Otonomi diartikan sebagai hak untuk menentukan diri sendiri sebagai profesi. Watson
menyatakan bahwa seorang perawat harus mempunyai kebebasan untuk menggunakan
pengetahuannya dan ketrampilannya untuk kebaikan manusia dan kewenangan dan kemampuan
untuk melihat pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang aman dan efektif.

Memulai Proses Sosialisasi Profesional Keperawatan.


Memulai sosialisasi berarti menyiapkan mahasiswa keperawatan untuk bekerja dilapangan
pekerjaan yang sebenarnya. Beberapa model telah dikembangkan untuk menjelaskan memulai
proses sosialisasi dalam peran professional. Setiap model merupakan suatu seperangkat
rangkaian atau mata rantai kejadian, dimulai pada peran orang awam dan diakhiri dengan peran
orang seorang professional

Model Simpson
Ida Harper Simpson (1967) secara garis besar membedakan menjadi 3 bagian dari fase sosialisasi
professional. Fase yang pertama, seseorang berkonsentrasi dan menjadi cakap dalam tugas yang
spesifik. Fase kedua, seseorang menjadi akrab dengan orang lain atau kelompok yang dilayani
dalam bekerja. Fase ketiga, seseorang menginternalisasi nilai kelompok professional dan
mengadopsi tingkah laku yang disyaratkan.

Model Hinshaw
AdaSue Hinshaw (1986) memberikan model umum sosialisasi professional menjadi 3 fase yang
diadaptasi dari Model Simpson. Selama fase pertama, individu merubah image peran dari dari
menyiapkan atau mengantisipasi konsep ke peran yang diharapkan dimana seseorang yang
berada dalam tatanan pelayanan sesuai standar yang ada. Hinshaw mengatakan bahwa: (a) orang
dewasa yang masuk dalam suatu profesi harus siap belajar sejumlah peran dan nilai yang
membantu mereka mengevaluasi peran barunya, (b) individu ini secara aktif terlibat dalam
proses sosialisasi, yang mengharuskan memilih peran baru yang diharapkan dan masuk dalam
proses sosialisasi.

Fase kedua mempunyai dua komponen: (a) belajar mengakrabkan diri dengan orang lain dalam
suatu system dan pada saat yang sama (b) mereka melabel situasi yang tidak sesuai antara peran
yang diantisipasinya dan yang ditunjukan oleh orang lain.Dalam proses memlulai proses
sosialisasi professional, orang lain yang disini biasa kelompok di fakultas, ditatanan pekerjaan,
mereka memilih sejawat tertentu. Hinshaw mwnwkankan pentingnya modelperan yang tepat
baik di saat program pendidikan dan ditatanan pekerjaan. Pada tahap ini, seseorang dapat
mengungkapkan bahwa tingkah laku peran yang diinginkan tidak sama dengan apa yang telah
diantisipasinya. Ini merupakan suatu tahap dimana sering menyebabkan reaksi emosial yang kuat
kepada seperangkap peran yang diharapkan yang ternyata terjadi konflik dengan apa yang
diantispasinya. Resolusi konflik yang sukses sangat tergantung pada keberadaan model peran
yang mendemontrasikan tingkah laku yang tepat dan menunjukan bagaimana standar system
konflik dan nilai dapat diintegrasikan.

Pada fase ketiga, seseorang menginternalisasikan bila dan standar dari peran yang baru. Derajat
nilai dan standar yang di internalisasikan sangat bervariasi.Kelman (1961) mendefinisikan tiga
tingkat orientasi nilai. Seseorang dapat mendemontrasikan salah satu atau keseluruhan tiga
tingkatan ini.
Pemenuhan (compliance). Seseorang menunjukan tingkah laku yang diharapkan untuk
mendapatkan reaksi yang positif dari orang lain tetapi tidak menginternalisasi nilai tersebut.
Memenuhi tingkah laku yang diharapkan dapat berkurang jika respon positif yang diberikan
tidak lama.
Identifikasi (identification). Seseorang secara selektif mengadopsi tingkah laku peran yang
spesifik yang diterima semua orang. Seseorang hanya menerima tingkahlaku yang diharapkan
dari pada menerima nilai secara keseluruhan. Tingkah laku identifikasi biasanya berubah jika
orang yang menjadi model peran juga berubah.
Internalisasi (internalization). Seseorang percaya dan menerima standardari peran barunya.
Standar tersebut menjadi salah satu bagian dari suatu system nilai seseorang.

Model Davis
Fred davis (1966) menggambarkan enam tahapan proses doktrin pada mahasiswa keperawatan.

Tahap pertama: Kemurnian awal (initial innoncence). Saat mahasiswa masuk dalam suatu
program professional, mereka mempunyai suatu image apa yang mereka inginkan dan
bagaimana mereka akan bertindak atau bertingkah laku. Mahasiswa keperawatan biasanya
masuk pada suatu program pendidikan dengan orientasi pelayanan dan berharap melihat
seseorang setelah mengalami sakit. Sementara itu, pengalaman pendidikan biasanya akan
berbeda dengan apa yang mahasiswa keperawatan harapkan. Selama fase ini, mahasiswa
mengalami kekecewaan dan frustrasi terhadap pengalaman yang dialaminya dan mungkin
mereka bertanya tentang nilai atau keyakinan dirinya.

Tahap kedua: Melabel ketidakcocokan yang ditemukan (labeled recognition of incongruity).


Pada fase ini mahasiswa memulai mengidentifikasi, mengartikulasi dan membagi masalahnya.
Mereka belajar bahwa mereka tidak sendirian dalam nilai-nilai yang tidak sesuai dengan dirinya.
Mereka akan membentuk kelompok dan membagi masalahnya dalam kelompok tersebut.

Tahap ketiga dan keempat: Penjiwaan dan stimulasi peran (Psyching out and role stimulation).
Inti dari tahap ini, kerangka dasar kognitif untuk menginternalisasi nilai-nilai professional
keperawatan memulai tertanam. Mahasiswa mulai mengidentifikasi tingkah laku dimana ia dapat
diterima dan menunjukan hal tersebut serta mencari model peran dan mempraktikan tingkah laku
tersebut. Dalamistilah yang digunakan oleh Davis adalah psyching out (penjiwaan). Hal ini akan
lebih efektif jika stimulasi peran dilakukan, dan lebih baik lagi jika seseorang tersebut
mempercayai tingkah laku tersebut dan hal ini merupakan bagian dari orang tersebut. Tetapi,
terkadang mahasiswa merasakan ia sedang memainkan suatu permainan dan merasa tidak
benar untuk dirinya sehingga mengakibatkan perasaan bersalah dan asing.

Tahap kelima: Internalisasi sementara (provision internalization). Pada tahap kelima ini,
mahasiswa bimbang antara komitmen terhadap image yang mereka buat tentang keperawatan
dan kinerja tingkah laku barunya terhadap image professional. Faktoryang akan meningkatkan
image baru mahasiswa adalah suatu peningkatan kemampuan untuk menggunakan bahasa
professional dan suatu peningkatan identifikasi dengan role model professional.

Tahap kelima: Internalisasi stabil (Stable internalization). Dalam tahap keenam, tingkah laku
mahasiswa keperawatan mencerminkan model pendidikan dan professional yang dapat diterima
oleh pofesi. Bagaimanapun, penyiapan mahasiswa pada tatanan kerja hanya merupakan proses
sosialisasi. Nilai baru dan tingkahlaku akan dibentuk lagi ditempat kerja. Banyak faktor yang
dapat menfasilitasi proses sosialisasi. Faktor tersebut adalah:
Kejelasan dan consensus dimana occupan dan aspiran (mahasiswa) menerima atau merasakan
peran dan posisinya.
Derajat kecocokan dengan seperangkat peran yang ada termasuk pada semua orang yang
terlibat seperti staf perawat, kepala ruangan, doter, klien dan keluarganya serta kerabatnya.
Pembelajaran yang dilakukan sebelum memasuki pada posisi tertentu
Kemampuan seseorang yang sedang melakukan sosialisasi untuk memanage proses sosialisasi.
Model peran yang mendemontrasikan karakteristik yang diharapkan dan dapat meningkatkan
internalisasi suatu kualitas peran yang dikaguminya.
Orientasi yang dikembangkan dengan baik atau program intensif yang mungkin melibatkan
preceptor (misalnya guru/ dosen)
Dukungan kelompok terhadap orang baru untuk berbagi masalah tentang posisi yang baru.
Readmore
11:38 PM | Ns. Maridi M Dirdjo, M.Kep
Labels: sosialisasi profesi
Permalink 0

Read more>>

Wednesday, June 27, 2007


PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

Oleh: Ns. Maridi M. Dirdjo. M.Kep. & Bidan Emy S. Maridi

Pendahuluan
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau dysfunctional uterine bleeding (DUB) merupakan
penyebab tersering perdarahan vagina abnormal pada seorang wanita usia produktif. Diagnosis
PUD ditegakkan hanya bila penyebab organik atau struktural penyebab perdarahan vagina dapat
disingkirkan (Dodds & Sinert, 2001).

Perlu dibedakan antara Perdarahan uterus disfungsional (PUD) dengan perdarahan uterus
abnormal (PUA) lainnya. PUA mempunyai penyebab yang bervariasi, beberapa diantaranya
memang tidak berbahaya. Tetapi jika PUA ini berhubungan dengan perubahan hormonal yang
secara langsung mempengaruhi siklus menstruasi, kondisi ini disebut dengan PUD (Ayer dan
Lappin & Liptok). PUD dikarakteristikan perdarahan yang lama dan banyak dengan atau tanpa
diselingi penghentian perdarahan (Vilos, Lefebvre & Graves, 2001).

Pengertian
Perdarahan uterus disfungsi (PUD) adalah suatu perdarahan pervagina yang terjadi selama siklus
menstruasi dimana terjadi perubahan hormonal dengan atau tanpa ovulasi
(http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diases 4 Mei 2005; Ayers, Lappin & Liptok).

Etiologi dan Faktor Risiko


PUD adalah diagnosa ekslusi, yang artinya baru bisa ditentukan setelah penyebab perdarah
uterus abnormal yang lain (seperti penyakit sistemik, obat-obatan, kelainan awal kehamilan,
gangguan makan, infeksi ginekologi, kelainan struktural atau tumor) telah dapat disingkirkan.
Siklus dimana tidak terjadi ovulasi berhubungan dengan berbagai manifestasi perdarahan.
Perdarahan putus estrogen (estrogen withdrawal bleeding) dan perdarahan karena penghentian
sementara estrogen (estrogen breakthrough bleeding) adalah penyebab yang sering diketemukan
di klinik. Perdarahan yang diinduksi oleh tidak terjadinya ovulasi sering terjadi selama
pengobatan konstrasepsi oral, pemberian obat progestin saja, atau terapi pengganti steroid pada
postmenopause.

Pada perndarahan karena penghentuan sementara estrogen (estrogen breakthrough bleeding),


terjadi siklus tidak ovulasi sehingga tidak terbentuk korpus luteum. Progesteron tidak diproduksi.
Endometrium secara terus menerus mengalami proliliferasi dibawah pengaruh estrogen yang
tidak ada lawannya (yaitu progesteron). Akhirnya perdarahan yang tidak teratur yang mungkin
lama dan berat. Pola ini dikenal dengan estrogen breakthrough bleeding dan terjadi dalam
keadaan estrogen yang tidak pernah turun.

Pada perdarahan akibat diputusnya terapi estrogen. Ini biasanya pada wanita ada fase akhir dari
kehidupan produktifnya. Pada wanita yang tua, lamanya rata-rata siklus menstruasi memendek
disebabkan oleh karena fase proliferasi yang memendek. Ovarium pada wanita tua ini
mensekresi lebih sedikit estradiol. Turun naiknya kadar estradiol menyebabkan proliferasi
endometrium yang tidak cukup dengan terjadinya pengeluaran dara menstruasi yang tidak
teratur. Perdarahan yang dialami oleh wanita tua ini biasanya spotting ringan dan tidak teratur.

Perdarahan yang terjadi akibat pemberian obat kontrasepsi oral, sediaan obat progestin saja, dan
terapi steroid pengganti pada wanita postmenopause berhubungan dengan perdarah uterus yang
diinduksi secara iatrogenik. Perdarahan akibat penghentian sementara progesteron terjadi dalam
keadaan dimana rasio yang tinggi progestin terhadap estrogen. Perdarahan yang intermiten
dengan durasi yang bervariasi dapat terjadi padapasien yang mendapat terapi dengan sediaan
kontasepsi orang yang hanya berisikan progrestin saja, depo-medroxyprogesteron dan depo-
levonogestrel.

PUD sering terjadi pada tahun pertama setelah menache (periode mens pertama) dan pada wanita
yang mendekati menopause (berhentinya peride menstruasi). Sekitar 20 % PUD pada masa
remaja (adolescent) dan 40 % pada wanita yang lebih dari 40 tahun, sisanya terjadi pada wanita
yang obesitas, wanita olah ragawan berat, dan wanita yang mengalami stress emosional
(http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005).

Wanita usia remaja (biasanya kurang dari 20 tahun) dan wanita yang berumur lebih dari 40 tahun
berisiko terjadi PUD karena kelompok ini terjadinya awal dan akhir dari kehidupan
reproduksinya, sehingga sering terjadi ketidakseimbangan hormonal dan sering tidak terjadi
ovulasi. Wanita yang obesitas berisiko terjadi PUD karena yang terlibat dalam ovulasi tidak
dapat menggunakan dengan mudah tumpukan lemak yang ada. Pada wanita dengan olah raga
yang berat sering terjadi PUD karena mereka tidak mempunyai cukup lemak tubuh untuk
membentuk hormon yang terlibat dalam siklus menstruasi. Stress dapat meningkatkan
ketidakseimbangan hormonal termasuk hormonal yang terlibat dalam peristiwa ovulasi.

Karena PUD merupakan diagnosis inklusi, maka penyeban PUD yang lain harus disingkirkan.
Penyebab perdarahan vagina lainya yang harus disingkirkan misalnya patologi organ multipel
yang meliputi: trombositopenia, hipothyroid, hiperthyroid, penyakit hati, hipetensi, diabetes
melitus dan kelainan kelenjar adrenal. Kehamilan juga dapat meyebabkan perdarahan vagina.
Trauma pada serviks, vulva atau vagina dapat menyebabkan perdarahan abnormal. Karsinoma
pada vagian, servik, uterus dan ovarium harus menjadi pertimbangan jika didapati perdarahan
abnormal pervagina. Perdarahan abnomal dapat terjadi juga pada kelaianan struktural seperti
kistaovarium, servisitis, endometritis, salpingitis, dan leiomyomas. Penyakit polikistik ovarium,
infeksi vagina, polip vagina, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, diskrasia darah, obesitas dan
olahraga berat serta stress dapat meningkat terjadinya perdarahan abnormal.

Fisiologi Mentruasi
Untuk mengerti lebih mendalan tentang perdarah uterus abnormal termasuk didalamnya PUD,
ada baiknya kita meninjau ulang siklus mentruasi yang normal. Kelenjar pituitari (hipofise)
mensekresi follicle stimulating hormone (FSH) yang merangsang uterus untuk mematangkan sel
telur di dalam suatu folikel dan untuk memulai produksinya estrogen. Adanya estrogen
menyebabkan lapisan uterus terjadi proliferasi.

Pada saat kadar estrogen mencapai puncaknya, kelenjar pituitari mengeluarkan Luteinizing
hormone (LH), yang merangsang folikel untuk mengeluarkan sel telur. Folikel tadi sekarang
disebut dengan korpus luteum, memulai memproduksi progesteron untuk membuat lapisan pada
uterus (endometrium) yang digunakan untuk persiapan implantasi sel telur di uterus. Empat belas
hari setelah sel telur dikeluarkan kadar progesteron menurun secara dramatis. Menstruasi terjadi
jika sel telur tidak difertilisasi.

Siklus menstruasi normal terjadi setiap 21 35 hari dengan lama menstruasi 2 7 hari. Darah
yang hilang selama siklus mentruasi normal ini sekitar 30 80 cc, dengan darah yang keluar
agak banyak selama 2 hari. Menorraghia adalah istilah pengeluaran darah/ perdarahan yang
berlebihan dalam suatu interval normal. Metrorrahgia adalah perdarahan atau mentruasi yang
tidak teratur atau terlalu sering. Menometrorraghia adalah perdarahan atau mentruasi yang
berlebihan pada interval yang tidak teratur.

Patofisiologi
Sekitar 90% dari PUD terjadi akibat anovulasi dan sekitar 10% yang terjadi bersama dengan
siklus ovulasi. Selama siklus tidak ovulasi (anovulatiry), korpus luteum gagal dibentuk, yang
menyebabkan kegagalan dalam memelihara siklus sekresi progesteron yang normal. Hal ini
mengakibatkan berlanjutnya produksi estradiol yang tanpa penghambat, sehingga terjadi
pertumbuhan yang berlebihan pada endometrium. Tanpa progesteron , endometrium
berproliferasi dan akhirnya terjadi kekurangan suplai darah, yang menyebakan nekrosis dan
akhirnya terjadi menstruasi yang banyak.

Pada PUD ovulasi, pemanjangan produksi progesteron menyebabkan peluruhan endometrium


yang tidak teratur. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan kadar estrogen yang rendah secara
konstan yang ada disekitar tempat perdarahan. Hal ini menyebabkanbagian endometrum
mengalami degenrasi dan menghasilkan spotting. Progesterol menyebabkan perubahan enzimatik
dari estradiol menjadi estron, suatu estrogen yang kurang kuat. Akhirnya hanya terjadi PUD yang
ringan.
Riwayat Kesehatan, tanda dan gejala
Riwayat kesehatan pasien harus didapatkan untuk mendapatkan data yang mendukung adanya
PUD. Pasien diduga mengalami PUD jika pasien mengalami perdarahan banyak atau sedikit
meskipun hasil pemeriksaan panggul normal. Riwayat reproduksi harus selalu digali, termasuk
hal-hal berikut: keteraturan menstruasi, periode menstruasi terakhir termasuk banyaknya dan
lamanya, riwayat kehamilan dan melahirkan, riwayat abortus sebelum atau riwayat pengakhiran
kehamilan yang terakhir, kontrasepsi yang digunakan. Pertanyaan tentang riwayat medis
meliputi: penyakit diabetes melitus, hipertensi, hipothyroidisme, hiperthyroidisme, penyakit hati
dan penggunaan obat-obatan seperti antikoagulan, aspirin, antikonvulsan, dan antibiotik.

Pasien sering mengeluh aminorea, oligomenorea, menoragia ata metroragia. Tanykan pada
pasien perbandingan jumlah pembalut atau tampan yang digunakan perhari dengan pada saat
keadaan siklus menstruasi yang normal. Seringkali, perdarahan yang banyak diikuti dengan
tanda dan gejala hipovolemia yang meliputi hipotensi, takikardia, diaporesis (keringat banyak)
dan pucat. Pasien biasanya tidak merasakan nyeri dikaitan dengan perdarahan yang terjadi dan
simptom sistemik jarang dijumpai kecuali pada perdarahan vagina karena penyebab organik.
Pemeriksaan fisik dimulai yang diarahkan pada status volume cairan tubuh pasien dan derajat
anemia pasien. Periksa adanya kepucatan terutama pada konjuntiva, tangan dan bibir. Pasien
yang mempunyai hemodinamik yang stabil dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan
speculum dan pemeriksaan bimanual dilakukan untuk menentukan penyebab perdarahan vagina
klien. Pemeriksaan harus melihat hal-hal berikut: trauma, benda asing, laserasi pada vagina atau
servik atau perdarahan dari uterus. Abnormalitas struktural pada uterus atau ovarium harus
dicatat pada pemeriksaan bimanual.

Pasien dengan patologi hematolgi biasanya mengalami perdarahan dibawah kulit. Temua fisik
biasanya meliputi petekia, purpura, dan perdarah mukosa mulut atau perdarahan gusi merupakan
tanda tambahan selain terjadinya perdarahan pervagina. Pasien dengan penyakit hati biasanya
memberikan simptom tambahan seperti spider angioma, palmar eritema, splenomegali, asites,
jaundis (kuning) dan asteriksis.

Wanita dengan penyakit ovarium polikistik biasanya bersama dengan tanda hiperandrogenisme
yang meliputi: hirsutisme, obesitas dan pembesaran ovarium yang dapat dipalpasi. Thyroid yang
hiperaktif atau hipoaktif dapat menjadi penyebab ketidakteraturan mentruasi. Pemeriksaan
diarahkan pada kelenjar thyroid. Disamping itu pada pasien hiper atau hipothiroid dapat
menunjukan tanda gejala tertentu. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk menegtahui adanya
exopthalmus, tremor, perubahan tekstur kulit (biasanya lebih kasar), termasuk adanya
peningkatan atau penurunan berat badan. Bianya ditemukan adanya Goiter pada leher pasien

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, serum HCG
(untuk menyingkirkan adanya kehamilan), tes fungsi thyroid terutama pemeriksaan hormon
regulasi: seperti prolatin, kadar androgen, FSH dan LH.

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah biopsi endometrium, Dilatasi dan curetage
(D & C), USG panggul dan hysteroskopi.
Pengobatan
Pemilihan pengobatan sangat tergantung pada penyebab, beratnya perdarahan dan status fertilitas
pasien, kebutuhan terhadap obat kontrasepsi oleh pasien dan fasiltas pengobatan atau tindakan
yang tersedia ditempat tersebut (Mayeaux, 2000).

Pada kasus perdarahan yang akut, berat dan tidak terkontrol dapat ditangani dengan estrogen
intravena. Pil kontrasepsi oral dapat diberikan pada pasien yang mengalami PUD yang sedang.
Jika pasien dalam keadaan mengkonsumsi pil kontrasepsi oral (PKO) tetapi mengalami PUD,
ganti PKO dengan yang mengandung estrigen lebih tinggi. Pengobatan lain yang dapat
digunakan adalah medroxyprogesterone (provera), obat antiinflamasi non steoid, danazol
(danocrine), dan agonis GnRH gosrelin asetat (Zoladex), Leuprolide asetat (Lupron) atau
nafarelin asetat (Syneral). Tindakan pembedahan meliputi: dilatasi dan Curetage (D & C), ablasi
endometrial, hysteroskopik transcervical resection endometrium atau hysterektomy. Pilihan yang
relatif efektif menjadi pertimbangan.

Prognosis
Regulasi hormonal biasanya berhasil menurunkan simptom. Induksi ovulasi pada wanita yang
menginkan kehamilan mempunyai kesuksesan pada 80% kasus
(http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses 4 Mei 2005)

Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat PUD ini adalah:
Infertilitas sebagai akibat dari tidak terjadinya ovulasi
Anemia berat sebagai akibat perdarahan menstruasi yang banyak dan lama
Lamanya terbentuknya lapisan uterus mungkin sebagai faktor berkembangnya menjadi kanker
endometium

SUMBER RUJUKAN

Ayers, D.M., Lappin, J.E.S, & Liptok, L.M., Abnormal vs dysfunctional uterine bleeding Whats
difference? A guide to womens health.

Dodds, N., & Sinert, R., Dysfunctional uterine bleeding, http://www.emedicine.com/


%20topic155.htm, diakses 4 Mei 2005.

Desease- Dysfunctional uterine bleeding (DUB), http://henryfordhealth.org/119081.cfm, diakses


4 Mei 2005.

Mayeaux, E.J., (2000). Dysfunctional uterine bleeding, dalam Guideline for managing
Dysfunctional uterine bleeding, Mamsi health Plans. http://www.mamsi.com/

Queenan, J.T., & Whitman-Elia, G., Last Update (20 Desember 2004) Dysfunctional uterine
bleeding, http://www.emedicine.com/med/topic2353, diakses 4 Mei 2005
Vilos, G.A., Lefebvre, G., & Grave, G.R., (august, 2001). Guidelines for the management of
abnormal uterine bleeding. SOGC Clinical Practice Guidelines No. 106. august 2001 Readmore

12:29 AM | Ns. Maridi M Dirdjo, M.Kep


Labels: PUD perdarahan uterus disfungsional
Permalink 0

Read more>>

Kritik dan Saran


SILAHKAN ISI SARAN ATAU PERTANYAAN ANDA...!

Nama

E-mail

Homepage Anda
http://

Komentar/saran

Readmore
12:09 AM | Ns. Maridi M Dirdjo, M.Kep

Permalink 0

Read more>>

Arsip Blog
2009 (1)
o July (1)
PENATALAKSANAAN KEMOTERAPI YANG AMAN Ns. Maridi M...

2007 (3)

Search this blo

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH : MARIDI M DIRJO :| by Icons Supported by Design by


Lecca|. Powered by Blogger| Subir

Вам также может понравиться

  • Askep Prematur Fix
    Askep Prematur Fix
    Документ10 страниц
    Askep Prematur Fix
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Cover Terapi Permainan Kartu
    Cover Terapi Permainan Kartu
    Документ1 страница
    Cover Terapi Permainan Kartu
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • KB
    KB
    Документ2 страницы
    KB
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Energi Terbarukan Abi
    Energi Terbarukan Abi
    Документ2 страницы
    Energi Terbarukan Abi
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Laporan Pendahuluan Stroke
    Laporan Pendahuluan Stroke
    Документ30 страниц
    Laporan Pendahuluan Stroke
    Delisa Alfriani
    Оценок пока нет
  • PKRS Kelompok B1 C Stase Anak
    PKRS Kelompok B1 C Stase Anak
    Документ4 страницы
    PKRS Kelompok B1 C Stase Anak
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Pathway SNH
    Pathway SNH
    Документ1 страница
    Pathway SNH
    Delisa Alfriani
    Оценок пока нет
  • Kontrak Belajar
    Kontrak Belajar
    Документ3 страницы
    Kontrak Belajar
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Laporan Pendahuluan CA
    Laporan Pendahuluan CA
    Документ31 страница
    Laporan Pendahuluan CA
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Sap Penyakit Jantung
    Sap Penyakit Jantung
    Документ21 страница
    Sap Penyakit Jantung
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Laporan Pendahuluan Meningitis
    Laporan Pendahuluan Meningitis
    Документ13 страниц
    Laporan Pendahuluan Meningitis
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Woc Serosis
    Woc Serosis
    Документ1 страница
    Woc Serosis
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Semkas GBS
    Semkas GBS
    Документ22 страницы
    Semkas GBS
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Cuci Tangan Fix
    Cuci Tangan Fix
    Документ2 страницы
    Cuci Tangan Fix
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • SAP Pencegahan Sinusitis
    SAP Pencegahan Sinusitis
    Документ16 страниц
    SAP Pencegahan Sinusitis
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • F 7914 Makalah Echocardiography
    F 7914 Makalah Echocardiography
    Документ20 страниц
    F 7914 Makalah Echocardiography
    Althaf Fathan
    100% (1)
  • SAP Perkemihan Fix
    SAP Perkemihan Fix
    Документ17 страниц
    SAP Perkemihan Fix
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Tak Isos
    Tak Isos
    Документ7 страниц
    Tak Isos
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Pemasangan CVP
    Pemasangan CVP
    Документ7 страниц
    Pemasangan CVP
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Makalah Indera Penciuman Dan Penecapan
    Makalah Indera Penciuman Dan Penecapan
    Документ13 страниц
    Makalah Indera Penciuman Dan Penecapan
    Sasuke Uciha
    100% (3)
  • Askep Kasus BPH
    Askep Kasus BPH
    Документ6 страниц
    Askep Kasus BPH
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • LAPORAN DIABETES
    LAPORAN DIABETES
    Документ18 страниц
    LAPORAN DIABETES
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Makalah Anatomi Telinga Dan Mata
    Makalah Anatomi Telinga Dan Mata
    Документ43 страницы
    Makalah Anatomi Telinga Dan Mata
    Djoefrei
    100% (2)
  • DMG
    DMG
    Документ1 страница
    DMG
    delisa alfriani
    100% (1)
  • Kel 1 ARDS
    Kel 1 ARDS
    Документ10 страниц
    Kel 1 ARDS
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Askep DMG Lengkap
    Askep DMG Lengkap
    Документ26 страниц
    Askep DMG Lengkap
    delisa alfriani
    100% (1)
  • Syahadatain dan Kedudukannya dalam Islam
    Syahadatain dan Kedudukannya dalam Islam
    Документ19 страниц
    Syahadatain dan Kedudukannya dalam Islam
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • Mitigasi Bencana Alam Berbasis
    Mitigasi Bencana Alam Berbasis
    Документ10 страниц
    Mitigasi Bencana Alam Berbasis
    delisa alfriani
    Оценок пока нет
  • SAP Diet Ibu Hamil Dengan Pre Eklamsi Dan Eklamsi
    SAP Diet Ibu Hamil Dengan Pre Eklamsi Dan Eklamsi
    Документ10 страниц
    SAP Diet Ibu Hamil Dengan Pre Eklamsi Dan Eklamsi
    delisa alfriani
    Оценок пока нет