Вы находитесь на странице: 1из 2

Khusus mengenai penegakan hukum dan penegak hukum , Amir Syamsuddin

mengingatkan.

Hasil survei MTI [sic] yang menjadikan lembaga kepolisian atau lembaga hukum sebagai
lembaga yang paling korup di Indonesia tidak perlu ditanggapi secara defensive oleh para
petinggi institusi hukum yang ada. Justru hal itu menjadi cambuk untuk memperbaiki
kinerja mereka di masa datang.

Tidak ada tanggapan terhadap BPI yang merupakan kajian dari sisi penawaran. Oleh
karena itu, pembahasan mengenai apakah indeks korupsi bermanfaat, difokuskan pada indeks
korupsi hasil kajian dari sisi permintaan.

Alasan untuk mengatakan bahwa indeks diatas bermanfaat adalah berikut ini.

1. Bermanfaat, kalau kita menyadari bahwa indeks tersebut mencerminkan persepsi atau
kesan. Namun, tidak berarti bahwa persepsi atau kesasn itu tidak penting. Investor atau
eksportir dari Negara-negara yang menentang praktik korupsi seperti terlihat dari BPI,
segan berbisnis dengan Negara yang dianggap korup menurut CPI dan CGB. Ini juga
tercermin dari skor dan peringkat dalam GCI.
2. Persepsi yang dilontarkan oleh survei pendapat umum seperti GCB mencerminkan
kenyataan. Ini terbukti dari penangkapan dan penyidikan oleh KPK dan kejaksaan, yang
diikuti dengan penyidangan di pengadilan dari tokoh-tokoh masyarakat dan
penyelengaraan negara seperti penegak hukum (jaksa, hakim, polisi), anggota lembaga
legislatif (DPR dan DPRD), pimpinan Pemda (Gubernur, Bupati, Walikota, dan lain-
lain). Menteri dan petinggi lainnya di departemen, dan seterusnya.
3. Bermanfaat secara makro, bukan mikro. Calon presiden dan calon wakil presiden
berkampanye tentang pemberantasan korupsi. Setelah mereka menjadi presiden dan wakil
presiden, indikasi makro tentang keberhasilan (atau kegagalan) mereka ditunjukkan oleh
CPI, GCB, dan indeks lainnya selama dan pada akhir pemerintahan mereka. Seperti
tersirat dalam kutipan dari Amir Syamsuddin di atas, indeks ini bermanfaat bagi
penyelenggara negara pada tingkat pengambilan keputusan. [Contoh makro lainnya ialah
keputusasn pebisnis dalam butir pertama di atas.]
Pada saat penulisan bab ini, survei terakhir yang sudah diterbitkan adalah survei data
2007. Survei integritas sektor public 2007 dilaksanakan antara agustus hingga oktober 2007.
Survei dilakukan terhadap 65 unit layanan di 30 departemen/instansi tingkat puysat yang tersebar
diwilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dengan jumlah responden 3.611 orang.
Mereka merupakan pengguna langsung jasa pelayanan public tersebut.

Tujuan survei ini adalah:

1. Menelusuri akar permasalahan korupsi di sektor pelayanan publik;


2. Mengubah perspektif layanan dari orientasi lembaga penyedia layanan publik atau
petugasnya (sisi penawaran) ke perspektif pelanggan (sisi permintaan);
3. Mendorong lembaga publik mempersiapkan upaya pencegahan korupsi yang efektif di
wilayah dan layanan yang rentan terjadi korupsi.

Hasil survei sebagai berikut.

1. Rata-rata skor integritas sektor publik dari 30 departemen atau instansi tingkat pusat yang
disurvei adalah 5,33. Skor ini diukur dengan skala dari 1 sampai 10, dimana 10 adalah
penilai terbaik. Skor ini tergolong rendah dibandingkan skor integritas sektor publik
negara-negara lain.
2. Sebelas (11) departemen atau instansi mendapat skor integritas sektor publik dibawah
rata-rata. Mereka adalah Departemen Kelautan dan Perikanan, Mahkamah Agung,
Departemen Kesehatan, PT PLN, Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Polri, PT Pelabuhan Indonesia, Departemen Perhubungan, Badan
Pertahanan Nasional, serta Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia.
3. Petugas pelayanan publik masih berperilaku koruptif. Terlihat dari 31% responden yang
merasa ada perbedaan prosedur layanan. Selain itu, 29% responden menyatakan petugas
di unit layanan terbiasa menerima tip, hadiah, atau imbalan lainnya dalam pengurusan
layanan.
4. Perilaku itu didukung oleh tidak adanya transparansi dasn informasi yang jelas berkaitan
dengan biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan layanan.
5. Masayarakat pengguna layanan sektor publik masih bersikap tolersn terhadap perilaku
koruptif. Di 10 unit layanan di berbagai departemen/instansi, mayoritas pengguna
layanannya (75% - 100%0 menganggap pemberian imbalan merupakan hal yang wajar.
Bahkan 20% pengguna layanan publik mengaku pernah menawarkan tip, hadiah, dan
imbalan lainnya kepada petugas, untuk mempercepat layanan. Besarnya biaya tambahan
bervariasi dari kurang 2,5 persen hingga lebih dari 20 persen, dalam nilai nominal, antara
Rp.100.000 hingga Rp.150 juta.

Вам также может понравиться