Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
I. SKENARIO
NYAWA TAK BERDOSA JADI KORBAN
Hari ini, para warga yang tinggal dibantaran sungai dikejutkan dengan
temuan seorang bayi yang sudah tak bernyawa tersangkut dionggokan sampah
dimuara sungai dalam posisi terlungkup. Polisi meminta kepada dokter Rumah
Sakit untuk melakukan pemeriksaan terhadap jenazah. Dari hasil pemeriksaan
luar jenazah tampak bayi masih terhubung dengan tali pusat dan plasentanya,
dengan panjang tubuh 49cm, tedapat luka-luka lecet disekujur tubuh korban,
terutama lutut, kepala dan siku, juga ditemukan busa halus pada hidung dan
mulut serta cutis anserina. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan lanjutan
mengingat polisi memintanya untuk menetapkan bahwa ini merupkan sutu
pembunuhan atau bukan.
Karena pihak kepolisian sigap menanggapi kasus ini, maka beberapa hari
kemudian sudah ada dugaan tersangka yaitu seorang permpuan berinisial
WNT berusia 20 tahun yang merupakan warga sekitar tempat kejadian.
Sebenarnya warga sudah mencurigai perempuan tersebut karena perubahan
bentuk badannya terutama perutnya yang belakangan tampak buncit tiba-tiba
kembali seperti biasa. Padahal warga mengatakan bahwa perempuan ini
tingga seorang diri, tanpa kekasih maupun suami. Ketika polisi mendatangi
rumah tersangka, mereka mendapati seorang laki-laki berinisial LK yang
sedang mengerang kesakitan dengan luka dibagian paha kanan, menurut
pengakuan laki-laki tersebut, dia ditembak oleh WNT. LK ditembak karen
tidak mau mengakui telah menghamili WNT.
pasangannya. LK saat berhubungan suami istri dengan WNT adalah atas dasar
suka sama suka tanpa paksaan. Oleh karena itu LK tidak yakin kalau WNT
hamil karena perbuatannya. LK adalah PNS yang telah mempunyai istri.
Menurut pengetahuan LK sesungguhnya pada bulan kedua kehamilannya,
WNT ingin menggugurkan kandungannya dengan meminum obat yang
menurut temannya dapat meluruhkan janin didalam kandungan. Tetapi
keguguran tidak terjadi, bahkan semakin lama janinnya bertumbuh semakin
besar. Hingga tiba saatnya, ia melahirkan sendiri tanpa bantuan siapapun
dirumahnya dan langsung membekap bayinya kemudian melemparnya
kesungai belakang rumah.
V. MIND MAPPING
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
1.2 ETIOLOGI
Asfiksia dalam konteks forensik paling sering disebabkan oleh jenis asfiksia
mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan sumbatan atau halangan pada
saluran napas, dibandingkan dengan penyebab lain seperti alamiah akibat penyakit
yang dapat menyumbat saluran nafas ataupun keracunan bahan yang
menyebabkan depresi pusat pernafasan seperti barbiturat atau narkotika.1,3
Jika tubuh kekurangan oksigen maka gejala klinik yang akan terjadi bergatung
pada tingkat kekurangan zat tersebut. Gejala klinik tersebut ialah 5:
a. Dispneu
Pada stadium ini gerakan pernapasan menjadi lebih cepat dan berat, denyut
nadi lebih cepat, tekanan darah naik serta sianosis. Gejala-gejala tersebut terjadi
akibat rangsangan pusat pernafsan di medulla oleh kurangnya oksigen pada sel-sel
darah merah disertai penumpukan kadar co2.
b. Konvulsi
Pada jenazah yang meninggal dunia akibat asfiksia akan dapat ditemukan
tanda-tanda umum sebagain berikut 5 :
1. Cyanosis
Kurangnya oksigen akan menyebabkan darah menjadi encer dan
gelap. Warna kulit dan mukosa terlihat lebih gelap, demikian juga lebam
mayat.
Perlu diketahui bahwa setiap proses kematian pada akhirnya akan
terjadi juga keadaan anoksia jaringan. Oleh sebab itu keadaan cyanosis
dalam berbagai tingkat dapat juga terjadi pada kematian yang tidak
Terdapat dua jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup (lingkar jerat
dapat diperbesar atau diperkecil). Simpul mati (lingkar jerat tidak dapat
diubah). Simpul harus diamankan dengan pengikatan dengan benang agar
tidak berubah pada waktu mengangkat jerat.
Untuk mengangkat jerat dari leher, jerat harus digunting serong
(jangan melintang) pada tempat yang berlawanan dari letak simpul,
sehingga dapat direkonstruksikan kembali di kemudian hari. Kedua ujung
jerat harus diikat sehingga bentuknya tidak berubah.
Etiologi kematian pada penjeratan:
1. Asfiksia
2. Iskemia
3. Vagal refleks
Cara kematian pada penjeratan :
1) Bunuh diri (self strangulation)
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan
sebuah tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi (simpul)
dan ujung lainnya ditarik.
2) Pembunuhan
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat ditemukan pada bayi ynag
terjerat oleh tali pusat sering terdapat pada infantiside dengan
menggunakan tali pusat. Pengikatan biasanya simpul mati dan
sering terlihat bekas luka pada leher.
3) Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat ditemukan dengan dengan bayi yang
terjerat oleh tali pakaian.
1. Asfiksia
Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat terjadi akibat
kekerasan langsung. Perdarahan pada otot sternokleido-mastoideus dapat
disebabkan oleh kontraksi yang kuat pada otot tersebut saat korban melawan.
Fraktur pada tulang lidah (os hyoid) dan kornu superior rawan gondok yang
unilateral lebih sering terjadi pada pencekikan, namun semuanya tergantung pada
besar tenaga yang dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah kadang-
kadang merupakan satu-satu bukti adanya kekerasan, bila mayat sudah lama
dikubur sebelum diperiksa.
1. Typical hanging: titik gantung terletak diatas darah oksiput dan tekanan
pada arteri karotis paling besar.
2 Tanda jejas jeratan miring, berupa Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk
lingkaran terputus (non-continuous) lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler
dan letaknya pada leher bagian atas dan letaknya pada bagian leher tidak begitu
tinggi
3 Simpul tali biasanya tunggal, Simpul tali biasanya lebih dari satu
terdapat pada sisi leher diikatkan dengan kuat dan diletakkan pada
bagian depan leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah Ekimosis pada salah satu sisi jejas
satu sisi dari jejas penjeratan. Lebam penjeratan tidak ada atau tidak jelas. Lebam
mayat tampak di atas jejas jerat dan mayat terdapat pada bagian tubuh yang
pada tungkai bawah menggantung sesuai dengan posisi mayat
setelah meninggal
5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
teraba seperti perabaan kertas begitu jelas
perkamen, yaitu tanda
parchmentisasi
6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga, Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga
dan lain-lain sangat jelas terlihat dan lain-lain tergantung dari penyebab
terutama jika kematian karena kematian
asfiksia
7 Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak
mengalami kongesti dan agak terdapat, kecuali jika penyebab kematian
menonjol, disertai dengan gambaran adalah pencekikan (strangulasi) atau
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali kematian akibat pencekikan
9 Penis. Ereksi penis disertai dengan Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada.
keluarnya cairan sperma sering Pengeluaran feses juga tidak ada
terjadi pada korban pria. Demikian
juga sering ditemukan keluarnya
feses Penis.
10 Air liur. Ditemukan menetes dari Air liur tidak ditemukan yang menetes pada
sudut mulut, dengan arah yang kasus selain kasus penggantungan.
vertikal menuju dada. Hal ini
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem
Gambaran post-mortem
Pemeriksaan luar 7
a. Tanda penjeratan pada leher. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh
dokter, dan keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi:
- Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil
dibandingkan jika menggunakan tali yang besar
- Bentuk jeratannya berjalan miring ( oblik ) pada bagian depan leher, dimulai
pada leher bagian atas diantara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring
sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda ini semakin
tidak jelas pada bagian belakang
- Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering,
keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas perkamen,
disebut tanda parchmentisasi
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
RS BHAYANGKARA
SEMARANG
2017 13
TUTORIAL KLINIK ASFIKSIA
- Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit di bagian bawah
telinga, tampak daerah segitiga pada kulit di bawah telinga
- Pinggirannya berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi di
sekitarnya
- Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau
lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher
sebanyak 2 kali
b. Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung
c. Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang
d. Tanda-tanda asfiksia. Mata menonjol keluar, perdarahan berupa
petekiatampak pada wajah dan subkonjungtiva. Lidah menjulur menunjukkan
adanya penekanan pada bagian leher
e. Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan tempat
simpul tali. Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan ante-mortem
f. Lebam mayat paling sering terlihat pada tungkai
g. Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam
h. Urin dan feses bisa keluar
Pemeriksaan dalam 7
a. Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan
perabaanseperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat
tergantung cukup lama. Pada jaringan di bawahnya mungkin tidak terdapat cedera
lainnya
b. Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus
penggantungan yang disertai dengan tindakan kekerasan
c. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding pembuluh darah
d. Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang panjang
dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra. Adanya efusi
darah di sekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungannya ante-mortem.
1.5.4 Sufokasi
d. Inhalasi gas - gas berbahaya Gas yang sering terhirup adalah karbon
dioksida, karbon monoksida dan sulfur dioksida. Hal ini bisa
disebabkan karena kecelakaan ataupun bunuh diri. Jika seluruh
ruangan penuh berisi gas yang berbahaya, akan mengakibatkan
sufokasi yang fatal.
Penyebab kematian pada sufokasi adalah asfiksia dan syok ( jarang ).
Biasanya dalam waktu 4 - 5 menit setelah mengalami sufokasi komplit. Pada
beberapa kasus terjadi kematian mendadak.
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan jejas bekas jari / kuku di sekitar
wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi. Ujung lidah juga dapat
mengalami memar atau cedera. Kadang - kadang hal ini merupakan satu - satunya
pertanda pada pemeriksaan post mortem.
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada
penderita penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk, yaitu
Dengan membenamkan wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan bantal,
pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan
menggunakan plester yangmenutupi hidung dan mulut.1
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa
hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang sakit berat,
orang dalam pengaruh obat atau minuman keras.1
Pemeriksaan Luar
Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang
digunakan dan kekuatan menekan. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan
adalah luka lecet jenis tekan atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah,
dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi,yang mungkin terjadi akibat korban
melawan. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam
bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah
juga dapat mengalami memar atau cedera. Bila pembekapan terjadi dengan benda
yang lunak, misal dengan bantal, maka
pada pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan.
Memar atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam. Pada
pembekapan dengan mempergunakan bantal, bila tekanan yang dipergunakan
cukup besar, dan orang yang dibekap kebetulan memakai gincu (lipstick), maka
pada bantal tersebut akan tercetak bentuk bibir yang bergincu tadi, yang tidak
jarang sampai merembes ke bagian yang lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri.
Pada anak-anak oleh karena tenaga untuk melakukan pembekapan tersebut tidak
terlalu besar, kelainan biasanya minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau
memar pada bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gigi dan rahang.
Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan
yang lain menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada
kasus pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet
atau memar pada otot leher bagian belakang, yang untuk membuktikannya kadang
kadang harus dilakukan sayatanuntuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuk
a seluruh kulit yang menutupi daerah tersebut. Bisa didapatkan luka memar atau
lecet pada bagian belakang tubuh korban.
a. Darah yang encer dan gelap. Darah yang tetap cair ini sering
dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan factor
faktor pembekuan yang ada diekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dal
am pembuluh darah oleh karena cepatnya proses kematian.
Gambaran Mikroskopis
Mekanisme Kematian
Cara Kematian
Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan bendaasing ke dalam
mulut sendiri disebabjan adanya refleks batuk atau muntah. Umumnya korban
adalah penderita sakit mental atau tahanan.
1.5.7 Crush asfiksia: tekanaan pada dada oleh benda berat &
desakan
Crush asphyxia disebabkan oleh karena dada dan perut mendapat tekanan
secara bersamaan oleh suatu kekuatan, seperti misalnya pohon yang tumbang atau
tebing yang runtuh. Bila terjadi desak mendesak yang meliputi orang banyak yang
sedang panik, beberapa diantaranya ada yang terjepit hingga dada tidak lagi dapat
dikembang-kempiskan.1
Pada pemeriksaan luar jenzah dapat di temukan sianosis pada bibir, ujung-
ujung jari dan kuku. Pembendungan sistemik mauoun pulomoner dan dilatasi
jantung kanan merupakan tanda klasik pada kametian akibat asfiksia.Warna lebam
mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih
luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga
darah sukar membeku dan mudah mengalir. Terdapat Busa halus pada hidung dan
mulut yang timbul akibat penigkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang
disertai sekresi selaput lender saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara
yang cepat dan dalam dalam saluran sempit akan menimbulkan busa
kapiler yang terdiri dar selapis sel akan oeccah dan timbul bintik bintik
perdarahan yang dinamakan tardieu spot.
1. Darah berwarna lebih gelap dan encer karena fibrinolosin darah yang
menignkat pasca mati.
4. petekie dapat di temukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagia
belakang jantung daerah aurikuloventrikular
5. edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubugan dengan hipoksia
BAB III
PEMBAHASAN
1. ASFIKSIA
1.1 Definisi
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering
disebut anoksia atau hipoksia (Amir, 2008).
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,
ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung
atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup
untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk
keracunan.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat
asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat
bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g
lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila
tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia
akan lebih jelas dan lengkap.
Tardieus spot
Bintik perdarahan pada jantung
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai
sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya
udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat
longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain.
Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang.
Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat
terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat
merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang
dinamakan sebagai Tardieus spot.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah
yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
II. PEMBEKAPAN
II.1 Definisi
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan
ke dalam mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan
menutup mulut dan hidung dengan menggunakan kantong plastik. Pembekapan
dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana yang terjadi secara sebagian
mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap masih mampu untuk
menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik
dari rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. Pembekapan
merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada pembekapan baik mulut
maupun lubang hidung tertutup sehingga proses pernafasan tidak dapat
berlangsung.
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah,
orang dewasa yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang
terjadi karena Pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar
terdapat di mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar
dan robekan pada bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan dengan
gigi.
dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi yang
mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup dengan
pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. In: Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 55-64.
2. Bagian Kedokteran Forensik. 2012. Asfiksia. In: Tanya Jawab Ilmu Kedokteran
Forensik. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro, 16.
3. Knight, B., 1996. Forensic Pathology. 2nd ed. New York: Oxford University
Press, Inc, 347-351.
4. Amir, A., 2008. Asfiksia Mekanik. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu
Kedokteran Forensik. Medan: Fakulatas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
129- 133.
5. Bagian Kedokteran Forensik. 1997. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. In: Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 55-64.
6. Nurhantari, Y., 2005. Tanatologi. Makalah pada Pelatihan Instruktur Blok
Medikolegal FK UII, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan
7. Soegandhi, R. , 2001. Pedoman Pemeriksaan Jenazah Forensik dan Kesimpulan
Visum et Repertum di RSUP Dr. Sardjito. Ed-2. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
FK UGM, Yogyakarta
8. Dahlan S, Ilmu Kedokteran Forensik; Asfiksia , Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang: 2000.
9. K Bernard, Saukko P. Knights Forensic Pathology 3 rd Edition; Suffocation and
asphyxia , Edward Arnold, UK : 2004.
10. Biswas G, Reciew of Forensic Medicine and Toxicology 2 nd edition; Asphyxia,
Jaypee Brothers Medical Publishers: 2012.
11. Rao NG. Textbook of Forensic Medicine & Toxicology. 2nd ed. Jaypee Brohers
Medical Publishers: India; 2010.
12. Farrugia A, Ludes B. Diagnostic of Drowning in Forensic Medicine. INTECH
Open Access Publisher: 2011.
13. Dahlan S. Ilmu kedokteran Forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro :
Semarang; 2000.
14. http://www.forensicpathologyonline.com/EBook/asphyxia/drowning
15. Bardale R. Principles of Forensic Medicine and Toxicology. Jaypee Brohers
Medical Publishers: India; 2011.
16. Saukko P, Knight B. Knights Forensic Pathology. 3rd ed. Edward Arnold Ltd:
Great Britain; 2004.
17. Munim I. Pedomain Ilmu Kedokteran Forensik. Banirupa Aksara: Jakarta; 1997.
18. Reddy KSN. The Essentials of Forensic Medicine & Toxicology. 29th ed. India:
Medical Book Coy; 2010:296-297.
19. Michel H.A. Piette , Els A. De Letter Drowning: Still a difficult autopsy
diagnosis, Forensic Science International 163 (2006) 19
20. Ghent University, Department of Forensic Medicine, Jozef Kluyskensstraat 29,
9000 Gent, Belgium
21. A.J. Peabody, Diatoms and drowning. A review, Med. Sci. Law 20 (1980) 254
261.
22. P. Fornes, G. Pepin, D. Heudes, D. Lecomte, Diagnosis of drowning by
combined computer-assisted histomorphometry of lungs with blood strontium
determination, J. Forensic Sci. 43 (1998) 772776.
23. J.A. Hadley, D.R. Fowler, Erratum to Organ weight effects of drowning and
asphyxiation on the lungs, liver, brain, heart, kidneys and spleen, Forensic Sci.
Int. 137 (2003) 239246.
24. I. Morild, Pleural effusion in drowning, Am. J. Forensic Med. Pathol. 16 (1995)
253256.
25. DiMaio DJ, DiMaio VJM (1989) Drowning. In: DiMaio DJ, DiMaio VJM, eds.
Forensic
pathology. Elsevier, Amsterdam pp. 357-365
26. Audrey Farrugia and Bertrand Ludes., 2011., Diagnostic of Drowning in Forensic
Medicine Institute of Legal Medicine, 11 rue Humann 67085,Strasbourgedex
France