Вы находитесь на странице: 1из 24

Kejang Demam Kompleks

Disusun Oleh:

Dr. Shabrina Izzati

Pembimbing:

Dr. Desi Primayani, Sp.a

Pendamping:

Dr. H. Ardiansyah, M.Kes

Dr. Robin Situmorang

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

PPSDM KEMENTRIAN KESEHATAN RELPUBLIK INDONESIA

DAN KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSU NURDIN HAMZAH

KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PROVINSI JAMBI

2017
BAB 2

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. MK

Jenis kelamin : laki laki

Umur : 2 tahun

Alamat : Parit Culum, Sabak

3.2 ANAMNESIS

Anamnesis (diberikan oleh ibu kandung)

Seorang pasien laki-laki umur 2 tahun dibawa ibunya dengan :

Keluhan utama :

Kejang 1 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang :

- Kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit, kejang terjadi 2 kali, jarak kejang

pertama dan kedua 2 jam. Kejang kedua terjadi di RS. Kejang terjadi pada

seluruh tubuh, kedua mata melihat keatas saat kejang. Lama kejang pertama

< 1 menit. Kejang ke2 langsung berhenti dengan pemberian diazepam

suppositoria 5 mg. Anak sadar sebelum dan sesudah kejang.

- Demam tinggi 1hari kejang, saat kejang anak masih demam, demam tetap

tinggi walaupun sudah diberikan paracetamol sirup oleh ibu pasien.

Paracetamol diberikan 3x1sendok teh.

- Penurunan nafsu makan ada sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

- Batuk 3 hari sebelum masuk rumah sakit


- Muntah tidak ada

- BAB normal, konsistensi padat warna kuning.

- BAK normal, warna kuning jernih.

Riwayat penyakit dahulu

- Pasien tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga

- Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejang sebelumnya

Riwayat persalinan

Anak lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan. Berat badan lahir 3100 gram, panjang

lahir 48 cm, dan langsung menangis saat lahir.

Riwayat makanan dan minuman

Bayi : tidak mendapatkan ASI ekslusif, bayi mendapat ASI dari lahir hingga usia 3 bulan,

dilanjutkkan ASI, Susu formula dan MPASI. Sekarang makan makanan keluarga.

Riwayat imunisasi

Imunisasi yang diberikan hanya : Polio I dan HB-0

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

- Keadaan umum : sakit sedang

- Kesadaran : composmentis kooperatif

- Frekuensi nadi : 110 x/menit


- Nafas : 28x/menit

- Suhu : 39,7 C

- Edema : tidak ada

- Ikterus : tidak ada

- Kulit : tidak tampak pucat, teraba hangat

- Berat badan : 12 kg

- Panjang badan : 75 cm

- Status gizi

BB/U : 83,78%

TB/U : 102,7%

BB/TB : 79,5%

Kesan : gizi kurang

- Anemia : tidak ada

- Sianosis : tidak ada

- Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran KGB

- Kepala : normocephal

- Rambut : hitam, tidak mudah rontok

- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik, pupil isokor 2mm/2mm, refleks

cahaya +/+

- Telinga : tidak ada kelainan

- Hidung : tidak ada kelainan

- Tenggorok : tonsil sulit dinilai

- Leher : JVP sukar dinilai, kaku kuduk (-)


- Gigi dan mulut : tidak ada kelainan

- Thorax

Paru inspeksi : normochest, simetris kiri = kanan

palpasi : sulit dinilai

perkusi : sonor di kedua lapang paru

auskultasi : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-

Jantung inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

palpasi : iktus cordis teraba 1 jari LMCS RIC V

perkusi : batas atas RIC II, batas kanan LSD,

batas kiri 1 jari medial LMCS RIC V

auskultasi : irama reguler, gallop (-), bising (-)

- Abdomen inspeksi : distensi (-)

palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor

kulit baik

perkusi : timpani

auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : tidak ada kelainan

Genitalia : tidak ada kelainan

Eksremitas : akral hangat, CRT < 2

refleks fisiologis +/+

refleks patologis : Babinski -/-, Oppenheim

-/-, Chadoks -/-, Gordon -/-, Schaefer -/-

Tanda rangsangan meningeal : Kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski

II (-), Kernig sign (-)


3.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb : 12,5 g/dl

Ht : 37,4 %

Leukosit : 8.550/mm3

Trombosit : 193.000/mm3

Kesan : Hasil dalam batas normal

3.5 DIAGNOSA KERJA

Kejang demam kompleks

3.7 PENATALAKSANAAN

IVFD KAEN 1B 20 tetes/menit mikro

O2 nasal kanul 1 liter/menit

IVFD paracetamol 150 mg/ 15 cc

Selanjutnya Paracetamol Syr 3x120 mg (3x1cth), jika demam

Ambroxol 3x7,5 mg (3x1/2 cth)

Injeksi Diazepam 5 mg/1cc kecepatan 2 mg/menit bila kejang

3.8 FOLLOW UP

15 september 2017

S/ Kejang (-)

Demam (-)

Batuk (+)

BAB dan BAK normal

O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : composmentis kooperatif

HR : 112x/menit RR : 28x/menit

T : 37,0 C BB : 12 kg
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-

Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)

Abdomen : bising usus (+) normal

Eksremitas : akral hangat, CRT < 2

Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II

(-), Kernig sign (-)

A/ kejang demam kompleks

P/ IVFD KAEN 1B 20 tetes/menit mikro

Ambroxol 3x7,5 mg (3x1/2 cth)

Paracetamol Syr 3x120 mg (3x1cth), jika demam

Injeksi Diazepam 5 mg/1cc kecepatan 2 mg/menit bila kejang


BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6

bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,

dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses

intrakranial1. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf

seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan tersebut

mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang

mendasari mengenai sistem saraf pusat.8

2.2. Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan 5 tahun2.

Puncak umur mulainya adalah sekitar 14-6 bulan.7 Studi populasi di Eropa dan

Amerika melaporkan insiden kejang demam sebesar 2-5% dari anak10. Insiden di

bagian lain dunia bervariasi, antara 5-10 % (India), 8,8% (Jepang).

2.3. Klasifikasi 1

1. Kejang demam kompleks

Jika memenuhi satu dari kriteria

Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit.

Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang

parsial
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

2. Kejang demam sederhana

Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit , berbentuk umum tonik dan atau

klonik, kejang tidak berulang dalam 24 jam.

2.4. Etiologi7,8,11

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan

infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan

infeksi saluran kemih. Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak

kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang

disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya infeksi virus,

tonsillitis, otitis media akut, ISK, Gastrointeritis, ISPA, furunkulosis, meningitis,

post imunisasi dan lain-lain.

2.5. Faktor Risiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Faktor

yang memegang peranan penting dalam perlangsungan kejang demam adalah

faktor genetik. Pewarisannya autosomal dominan dengan minimal 3 lokus

abnormal yaitu pada kromosam 8q13-q21 (FEB1), 19p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4).

Kejang demam plus adalah kejang demam dengan riwayat epilepsi pada keluarga.

Pada bayi atau anak dengan kejang demam plus ini mempunyai resiko paling

besar untuk terjadinya kejang demam, kemudian diikuti kejang selanjutnya tanpa

demam.12
Kejadian kejang demam pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak

perempuan dengan rasio 1,5 : 1. Jumlah episode serangan pada anak dengan

riwayat epilepsi pada keluarga 6 kali lebih tinggi daripada tanpa riwayat epilepsi.

Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk terjadi kejang demam yaitu: 12

- Umur

- Keterlambatan perkembangan ( contohnya cerebral palsy, retardasi mental

- Riwayat kelainan kejang dalam keluarga

- Sering demam (disebabkan infeksi virus atau bakteri)

- Demam tinggi (diatas 102F)

- Saat kehamilan, ibu pasien merokok dan pengguna alcohol

- Meningitis (Inflamasi membrane yang mengelilingi otak dan spinal cord)

- Riwayat kepribadian (misalnya ada riwayat kejang demam).

2.6. Patofisiologi13

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan metabolisme

basal 10%15% dan kebutuhan oksigen 20%. Untuk mempertahankan

kelangsungan hidup sebuah sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang

didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting

adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan

dengan perantaraan fungsi paru dan diteruskan ke otak melalui sistem

kardiovaskular. Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi

dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari

permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.


Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah

oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit

lainnya, kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi

dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat konsentrasi K+

rendah dan konsentrasi Na+ tinggi. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di

dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial

membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini

diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada

permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dapat dirubah oleh

adanya :

- Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler

- Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya ; mekanis, kimiawi atau

aliran listrik dari sekitarnya

- Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada seorang anak 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh

tubuh, sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan

keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi

difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas

muatan listrik. Lepas muatan listrik yang besar dapat meluas ke seluruh sel

maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter, hal ini

yang menyebabkan kejang.

Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada

suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru

dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang

yang rendah.

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak

meninggalkan sequel. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)

dapat menimbulkan kerusakan neuron otak karena pada kejang lama disertai

terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi

otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat

disebabkan oleh metabolism anaerobic, hipotensi arterial disertai denyut jantung

yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan akibat aktivitas

otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor

terpenting adalah gangguan peredaran darah yang dapat mengakibatkan hipoksia

sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang

mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

2.7. Manifestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan

dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi

diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis,

furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam

pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat

berbentuk tonikklonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Postur tonik (kontraksi

dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik),

gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya

berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar

kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.9

Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak

memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak

akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang

berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala

sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (>15 menit) sangat berbahaya dan

dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.11

2.8. Diagnosis11,12,13

Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan

penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi

susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan

elektrolit dan adanya lesi structural pada sistem saraf, misalnya epilepsi.

Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

a) Anamnesis

waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang

sifat kejang (fokal atau umum)

Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)

Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis

meningoensefalitis)

Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap

atau naik turun)


Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA,

GE)

Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai

demam atau epilepsi)

Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)

Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

Trauma kepala

b) Pemeriksaan fisik

Tanda vital terutama suhu

Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang

berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya

kelainan struktur otak.

Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan

hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil

terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid

mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan

yang disebabkan oleh trauma. Ubunubun besar yang tegang dan

membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang

dapat disebabkan oleh pendarahan subaraknoid atau subdural. Pada bayi

yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan

janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan

penyuntikan obat anestesi pada ibu.


Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis

dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

Pemeriksaan tanda-tanda infeksi di luar SSP untuk menentukan penyakit

yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)

Pemeriksaan refleks patologis

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis

meningoensefalitis)

c) Pemeriksaan laboratorium

Darah tepi lengkap mencari penyebab demam

Elektrolit, glukosa darah menyingkirkan diare, muntah, hal lain yang dapat

mengganggu keseimbangan elektrolit atau gula darah.

Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal mencari gangguan metabolisme

Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS meningkat pada ensefalitis

akut/ensefalopati.

d) Pemeriksaan penunjang lain

Lumbal Pungsi Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS

dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.

Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal

dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:

bayi < 6 bulan : diharuskan

bayi antara 6-12 bulan : dianjurkan

bayi > 6 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis

Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan kejang demam

pertama kali dengan umur dibawah 6 bulan karena tidak tampaknya tanda
meningeal pada umur dibawah 6 bulan, sehingga sulit mendeteksi adanya

meningitis maupun infeksi intrakranial lain tanpa dilakukannya lumbal

pungsi. Namun, jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu lumbal

pungsi.

- EEG tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun

memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan

pada KDK. Oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang

demam yang tidak khas (misalnya pada kejang demam komplikata pada

anak usia >6 tahun atau kejang demam fokal).

- CT-scan atau MRI tidak dilakukan pada KDS yang terjadi pertama kali,

akan tetapi dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami KDK

untuk menentukan kelainan struktural berupa kompleks tunggal atau

multipel. CT scan atau MRI dilakukan atas indikasi seperti : kelainan

beurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, terdapat peningkatan intrakranial (kesadaran menurun,

muntah berulang, UUB menonjol, paresis N VI dan odem papil).


2.9. Diagnosa Banding14

Diagnosis banding kejang demam antara lain penyakit infeksi pada sistem

susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses otak.

Klinis/Lab Ensefalitis Meningitis Meningiti Meningitis Kejang

Herpes bacterial/ s TB virus demam

simpleks purulenta

Awitan Akut Akut Kronik Akut Akut

Demam <7 hari < 7hari >7hari <7hari <7hari

Tipe kejang Fokal/ Umum umum umum Umum/

umum fokal

Singkat/ singkat Singkat singkat lama >15 menit

Lama

Kesadaran Sopor-koma Apatis- Somnolen Sadar-apatis somnolen

somnolen -sopor

Pemulihan lama Cepat lama cepat cepat

kesadaran

Tanda - ++/- ++/- +/- -

rangsangan

meningeal

Tekanan Sangat meningkat Sangat Normal Normal

intrakranial meningkat meningkat

Paresis +++/- +/- +++ - -

Pungsi Jernih Keruh/ Jernih/ Jernih Jernih

lumbal Normal/ opalesen xanto normal Normal


limfo Segmenter/ Limfo/

limfo segmen

Etiologi Virus VS Bakteri M. TB virus Diluar

SSP

Penyakit

dasar

Terapi Antivirus Antibiotik Simtomatik

2.10. Tatalaksana1

Tatalaksana saat kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada

waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam

keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah

diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-

lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis

maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma

kejang pada umumnya.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah

(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75

mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12

kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat

diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila

setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih

berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila kejang telah berhenti,

pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan

profilaksis.

Pemberian obat saat demam

a) Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko

terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A).

Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa

antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah

10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-

4 kali sehari.

b) Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten : obat antikonvulsan yang diberikan

hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam

dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:

- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

- Usia <6 bulan

- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39C

- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat

dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau

rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat

badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5

mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu

diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat

menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

2.11. Prognosis1

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah

dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada

pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan

kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi

pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Kematian karena kejang tidak pernah dilaporkan. Kejang demam akan

berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam

adalah:

Riwayat kejang demam dalam keluarga

Usia kurang dari 12 bulan

Temperatur yang rendah saat kejang

Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam

adalah 80% , sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan

berulangnya kejang 1015%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada

tahun pertama.

Faktor risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari adalah :

Perkembangan saraf terganggu

Kejang demam kompleks

Riwayat epilepsi dalam keluarga

Lamanya demam

Masingmasing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi

sampai 46%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan

kejadian epilepsi menjadi 1049%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat

dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.


BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien anak laki-laki, usia 2 tahun dibawa dengan keluhan utama

kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit. kejang terjadi 2 kali, jarak kejang

pertama dan kedua 2 jam. Kejang kedua terjadi di RS. Kejang terjadi pada

seluruh tubuh, kedua mata melihat keatas saat kejang. Lama kejang pertama < 1

menit. Kejang ke 2 langsung berhenti dengan pemberian diazepam suppositoria 5

mg. Anak sadar sebelum dan sesudah kejang. Sebelum kejang, pasien mengalami

demam selama 16 jam sebelum masuk rumah sakit. Pola gambaran kejang sesuai

dengan gambaran kejang demam kompleks yaitu kejang pada anak berumur 6

bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,

dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses

intracranial dan terjadi kejang berulang dalam rentang 24 jam.1

Pasien kemungkinan mengalami infeksi yang ditunjukkan dengan adanya

keluhan batuk sejak 2 hari yang lalu dan hal ini kemungkinan merupakan salah

pencetus timbulnya demam dan bahkan bisa mencetuskan munculan demam

kembali. Hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan tidak ada kelainan selain

peningkatan suhu tubuh. Tidak ditemukan adanya ronkhi pada pasien dan

perubahan pola nafas pada pasien kecuali batuk yang mungkin menunjukkan

adanya infeksi saluran nafas pada pasien .

Pasien dirawat dengan tujuan untuk observasi apakah terdapat kejang ulangan

yang mungkin dapat merubah diagnosis serta prognostik penyakit pasien. Seperti

yang dijelaskan ibu pasien demam pasien tidak turun meski telah diberikan
paracetamol oral di rumah dengan dosis yang tepat. Pada pasien ini,diberikan

infus KAEN I B untuk memenuhi kebutuhan maintenance pasien, ambroxol

sebagai mukolitik dan paracetamol sebagai antipiretik. Pada pasien obat

antikonvulsan hanya pada saat kejang. Profilaksis intermiten diberikan pada

kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:

- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

- Usia <6 bulan

- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39C

- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat

dengan cepat.

Pasien dirawat 1 hari dan dipulangkan setelah 12 jam bebas demam.


DAFTAR PUSTAKA

1. Unit kerja koordinasi neurologi IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang


Demam. Badan penerbit IDAI. Jakarta, 2016.
2. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Febrile Seizure. Pediatr.
2011;127:389-94.
3. Schwartz. M. W. Pedoman Klinis Pediatri. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC; 2005.
4. Karimzadeh, 2008. Febrile Convulsions: The Role Played By Paracinical
Evaluation. Iran J Child Neurology. 2008.
5. Aliabad, G.M. et al. 2013, June. Clinical, epidemiological and laboratory
characteristics of patients with febrile convulsion. J Compr Ped,3(4), 134-137.
6. Chung, B. & V. Wong. 2007, February. Relationship between five common
viruses and febrile seizure in children. Arch Dis Child, 92(7), 589593.
7. Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI. Jakarta.
1999.
8. Neelson WE. Ilmu Kesehatan Anak (Neelson Textbook Of Pediatri). Edisi 15.
Jakarta: EGC. 2000
9. Arif M, dkk. Kejang Demam dalam Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI. 2000.
10. Hirz DG. Febrile Seizures. Ped in Rev 1997; 18:5-9.
11. Pusponegoro, Hardiono. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I.
IDAI. Jakarta. 2005.
12. Sunartini. Simposium Ilmiah Manajemen Baru untuk Kejang Demam dan
Epilepsi pada Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjahmada Yogyakarta. 2003.
13. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2005.
14. Lumbantobing,S.M. Kejang Demam.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

Вам также может понравиться