Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1
12) Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
13) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP), meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak,
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Yang menjadi objek PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan menurut UU Pajak Penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi maupun untuk menambah kekayaan yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2
e. Bentuk Usaha Yang Dipergunakan Oleh Subjek Pajak OP LN Dan SP Badan LN
Untuk Menjalankan Usaha Atau Melakukan Kegiatan (Pekerjaan Bebas) Di
Indonesia
2) Bukan Subjek Pajak Badan, terdiri dari:
(1) Badan perwakilan negara asing
(2) Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. Bukan warga Negara Indonesia.
b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut.
c. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
(3) Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menkeu dengan syarat Indonesia
menjadi anggotanya dan tidak menjalankan usaha/kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota
(4) Unit tertentu dari badan pemerintah dengan syarat:
a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD
c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Daerah
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
3
2. DASAR HUKUM DAN VARIABEL VARIABEL DALAM PERHITUNGAN PPH
WAJIB PAJAK BADAN
2.1 Dasar Hukum PPh Wajib Pajak Badan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh tahun 2009) mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2009 dan sebagian besar aturan pelaksanaannya telah diterbitkan.
Perubahan ketentuan peraturan perpajakan ini mengakibatkan berubahnya bentuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT PPh Badan). Sebagai
tindak lanjut penyampaian SPT PPh Badan, akan dilaksanakan penelitian SPT dan atas SPT
yang memenuhi kriteria akan dilakukan pemeriksaan.
Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak
Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini
dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat
final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2)
Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum
pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut
didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-
undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan
menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.
1) Tarif Pajak PPh Badan Pasal 25/29 Untuk Tahun Pajak 2013
Tarif Pajak PPh Badan digunakan untuk menghitung PPh Badan terutang bagi Wajib
Pajak Badan yang memperoleh penghasilan dari objek pajak non final.
2) Tarif Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu
sebagai berikut:
(1) Tarif Pajak PPh Badan untuk Tahun Pajak 2013 berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 31
E Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu sebagai
berikut:
a. Tarif Pajak untuk tahun pajak 2013 adalah sebesar 25% dari Penghasilan Kena
Pajak.
b. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
4
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada
tarif tersebut yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif tersebut (25%)
yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Sehingga menurut Pasal 31E di atas, Wajib Pajak Badan Dalam Negeri (Tidak
termasuk BUT) yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi 50 miliar rupiah,
atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sebesar 4.8 miliar
rupiah, mendapat pengurangan tarif 50%, sehingga tarifnya hanya 12.5% saja.
d. Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Misalnya Penghasilan Kena
Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah
menjadi Rp120.324.000,00.
e. Tarif Pajak Pasal 17 dan 31 E dikenakan atas penghasilan kena pajak Wajib
Pajak Badan yang tidak termasuk dalam kriteria Wajib Pajak Badan yang telah
dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 berdasarkan PP 46 Tahun 2013.
(2) Tarif Pajak PPh Badan untuk Tahun Pajak 2013 berdasarkan PP Nomor 46 Tahun
2013 adalah sebagai berikut:
Atas peredaran usaha bruto bulan Juli sampai dengan Desember 2013 dari Wajib
Pajak Badan yang mempunyai peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8
miliar dalam 1 tahun pajak. berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 dikenakan PPh
Final Pasal 4 ayat 2 sebesar 1 % dari peredaran usaha bruto dan bersifat final.
5
penyelesaian; (2) saham-saham tersebut harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak
dengan ketentuan masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5%
dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan (3) Ketentuan pada
butir (1) dan (2) harus dipenuhi dalam jangka waktu paling singkat 183 hari kalender
dalam jangka waktu satu Tahun Pajak.
Fasilitas atau insentif berupa penurunan tarif ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan
Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseoraan Terbuka yang
ditetapkan tanggal 21 November 2013 dan mulai berlaku sejak Tahun Pajak
2013. Peraturan Pemerintah ini juga merupakan amanat dari Pasal 17 ayat (2b)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Fasilitas penurunan tarif ini diharapkan dapat meningkatkan peranan pasar modal
sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mampu mendorong peningkatan jumlah
perseroan terbuka serta meningkatkan kepemilikan publik pada perseoran terbuka
tersebut.
Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berbentuk Perseoran Terbuka yang ingin
memanfaatkan fasilitas ini dapat dilakukan secara self assessment pada saat
penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Wajib Pajak Badan dengan
melampirkan persyaratan yang diperlukan.
6
pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali
Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan atas harta berwujud dan amortisasi atas hak dan biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
a) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi
komersial.
b) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan
Negeri atau Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
(DJPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan.
c) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
d) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada DJP, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya administrasi kantor pusat
yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau
kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Untuk dapat dikurangkan atau dibebankan dalam penghitungan Penghasilan
Kena Pajak, biaya atau pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak Dengan demikian biaya
atau pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dikurangkan atau dibebankan.
Biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak
boleh dikurangkan atau dibebankan, apabila dividen yang diterimanya bukan
merupakan Objek Pajak. Akan tetapi dalam hal ini biaya bunga pinjaman
tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
7
(2) Biaya-biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan
Dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri
dan BUT, tidak boleh dikurangkan:
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti dividen,
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b. Biaya atau pengeluaran untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang bukan
merupakan Objek Pajak, kecuali zakat atas penghasilan yang dibayar oleh
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya atau pengeluaran pribadi Wajib Pajak yang bersangkutan atau orang
yang menjadi tanggungannya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
8
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, pembayaran kepada
kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah:
a. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten,
atau hak-hak lainnya.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
c. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
9
Berikut tarif yang berlaku untuk penyusutan:
a) Garis Lurus:
(a) kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 25%
(b) kelompok 2 untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 12,5%
(c) kelompok 3 untuk aktiva dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 6,25%
(d) kelompok 4 untuk aktiva dengan masa manfaat 20 tahun, tarifnya 5%.
b) Saldo Menurun:
(a) kelompok 1 untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 50%
(b) kelompok 2 untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 25%
(c) kelompok 3 untuk aktiva dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 12,5%
(d) kelompok 4 untuk aktiva dengan masa manfaat 20 tahun, tarifnya 10%.
Jadi tarif penyusutan SM dua kali tarif penyusutan GL. Harap diingat, untuk
keperluan pajak, penyusutan dihitung per bulan. Seandainya kita beli aktiva
tanggal 30 pun maka pada bulan tersebut sudah boleh disusutkan. Selain itu, tarif
diatas tidak berlaku untuk bangunan. Bangunan hanya boleh dihitung dengan GL
dan tarifnya 5%, kecuali jika bukan bangunan permanen maka tarifnya 10% saja.
Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar biasa, seperti kebakaran atau
banjir, maka aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya, nilai buku yang ada
langsung dibiayakan. Sebaliknya, jika dijual maka harga jual merupakan
penghasilan, jika mendapat penggantian asuransi kerugian maka penggantian
asuransi tersebut merupakan penghasilan.
3. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Wajib Pajak Badan
3.1 Perhitungan PPh Wajib Pajak Badan
Perhitungan PPh Badan dilakukan pada setiap akhir tahun pajak. Jika ada kekurangan
pembayaran pajak, maka wajib disetorkan paling lambat tanggal 25 pada bulan ketiga setelah
tahun pajak berakhir. Pelaporan PPh Badan terutang setiap tahunnya dilaporkan dengan cara
membuat SPT Tahunan PPh Badan, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat paling
lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. PPh tersebut disetor paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk
Masa) dan paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak perolehan
penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan). Pembayaran PPh tersebut dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan
penghasilan yang berakhir (untuk Masa) dan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya
setelah tahun pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan).
Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor Penerima Pembayaran dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik. Surat Pemberitahuan (SPT)
10
merupakan saran Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban
perpajakan. SPT harus diisi dengan benar, lengkap dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf latin dan angka arab, satuan mata uang rupiah dan menandatangani serat
menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak.
Untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan baik itu yang berbentuk
Perseroan, CV, maupun Yayasan terdapat 3 kriteria dalam menghitung pajak terutangnya. Sejak
Tanggal 1 Juli 2013 perhitungan Pajak Penghasilan PPh Badan bagi Wajib Pajak Badan yang
mempunyai penghasilan yang termasuk kriteria objek pajak non final berdasarkan Pasal 4 ayat 1
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dihitung dengan
memperhatikan besarnya Peredaran Usaha Bruto Tahun Pajak sebelumnya.
Apabila sudah diketahui berapa besarnya Peredaran Usaha Bruto Tahun Pajak
sebelumnya baru dilakukan perhitungan Pajak Penghasilan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Pasal 17 dan 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan atau;
2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang PPh Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
11
Contoh untuk masa Januari 2015 peredaran bruto PT. Makmur Sejahtera sebesar
Rp.3.756.850.000,-
Maka pajak terutangnya = Rp. 3.756.850.000,- X 1% = Rp. 37.568.500,-
Pajak terutang sebesar Rp. 37.568.500,- disetorkan ke Bank persepsi pajak
dengan menggunakan media Surat Setoran Pajak (SSP) dengan Kode Akun Pajak
4111128 dan Kode Jenis Setoran 420 dan disetorkan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya (Februari).
2. Wajib Pajak yang Peredaran Bruto dalam Satu Tahun Pajak Diatas Rp.
4.800.000.000,- s/d Rp. 50.000.000.000,-
Perhitungan pajak terutangnya sesuai dengan pasal 17 dan 31E Undang-
Undang No 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan.
Cara menghitungnya sebagai berikut:
4.800.000.000
Mendapat Fasilitas = Peredaran Bruto x PKP
PPh Terutang:
Mendapat Fasilitas = (50% 25%) Mendapat Fasilitas
Contoh:
Peredaran bruto PT Nusantara tahun pajak 2012 sebesar Rp.
30.000.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000,00.
Cara Menghitung PPh Terutang Badan tahun 2012 untuk PT Nusantara sebagai
berikut:
1) Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas:
= (Rp 4.800.000.000,00: Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00
= Rp. 480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas :
= Rp 3.000.000.000,00 - Rp 480.000.000,00
= Rp 2.520.000.000,00
3. PPh Badan yang Terutang tahun 2012 :
12
= (50% x 25% x Rp 480.000.000,00) + ( 25% x Rp 2.520.000.000,00)
= Rp 60.000.000,00 + Rp 630.000.000,00
= Rp 690.000.000,00
Keterangan:
PPh Terutang Mendapat Fasilitas:
50% = Fasilitas pengurangan Tarif
25% = Tarif PPh WP Badan Sesuai Pasal 17 ayat (1) hururf B
3. Wajib Pajak yang Peredaran Bruto Dalam Satu Tahun Pajak Diatas Rp.
50.000.000.000,00
Maka perhitungan pajak terutangnya sesuai dengan pasal 17 dan 31E
Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan. Cara
menghitungnya yaitu Penghasilan Kena Pajak x 25%.
Untuk wajib pajak yang sesuai dengan kriteria ini maka perhitungan
pajaknya sesuai dengan yang berlaku umum / sesuai dengan pasal 17 ayat (1)
huruf B Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan.
Untuk wajib pajak yang dalam satu tahun pajak peredaran bruto nya di atas
50.000.000.000,- contoh penghitngan pajak terutangnya bisa dilihat dibawah ini:
Contoh Soal:
Selama tahun 2015 peredaran bruto PT. Bagas Farel diketahui sebesar Rp.
67.850.000.000,- dengan laba sebelum pajak (Penghasilan Kena Pajak) sebesar
Rp.15.750.500.000,- Hitung berapa Pajak terutang PT. Bagas Farel untuk tahun
pajak 2015.
Pembahasan:
Untuk menghitung pajak terutang WP Badan yang peredaran brutonya di
atas 50.000.000.000,- sangatlah mudah, setelah diketahui laba sebelum pajak
(Penghasilan Kena Pajak) tinggal dikalikan dengan tarif pajak pasal 17 ayat (1)
huruf B yaitu sebesar 25%.
PPh Terutang = 25% X 15.750.500.000,-
= 3.937.625.000,-
Syarat dan Ketentuan Penghitungan, yaitu:
1. Tahun Pajak adalah Jangka waktu 1 ( satu ) tahun kalender kecuali bila WP
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
2. Atas penghasilan dari usaha yang diterima WP yang memiliki bruto tertentu,
dikenai PPh bersifat final. WP yang dimaksud adalah WP yang bercirikan:
a. WP orang pribadi/badan usaha tidak termasuk bentuk usaha tetap.
b. Menerima penghasilan dari usaha tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
13
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
tahun pajak.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang dimaksud huruf b ,
meliputi:
(a) Tenaga ahli yang melakukan , yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai, dan aktuaris;
(b) Pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
(c) Olahragawan;
(d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
(e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
(f) Agen iklan;
(g) Pengawas atau pengelola proyek;
(h) Perantara;
(i) Petugas penjaja barang dagangan;
(j) Agen asuransi; dan
(k) Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing)
atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
3. Tidak termasuk WP orang pribadi sebagaimana dimaksud pada nomor 2 adalah
WP pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangandan/atau jasa yang
dalam usahanya:
(a) Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik
yang menetap maupun tidak menetap;dan
(b) Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
4. Tidak termasuk WP badan sebagaimana dimaksud nomor 2 adalah:
(a) WP badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
(b) WP badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000,00.
5. Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun
dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan dengan tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha
seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tetapi tidak termasuk dari:
(a) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
(b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
(c) Usaha yang atas penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final
dengan ketentuan perpu perpajakan tersendiri.
14
(d) Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
6. Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada tahun pajak terakhir sebelum tahun
pajak bersangkutan tidak meliputi jangka waktu 12 bulan, pengenaan PPh
didasarkan pada jumlah peredaran bruto tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak
bersangkutan yang di setahunkan. Ada pula beberapa ketentuannya:
(a) Apabila WP terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum peraturan menteri ini
berlaku, pengenaan PPh didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan
saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan
menteri ini yang disetahunkan.
(b) Apabila WP baru terdaftar sejak berlakunya peraturan menteri ini,
pengenaan PPh didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
7. Besarnya tarif PPh yang bersifat final adalah 1% (satu persen). Pengenaan pajak
yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final adalah jumlah
peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
8. PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan
pajak pada jumlah peredaran bruto tiap bulan, untuk setiap kegiatan usaha.
9. - Apabila peredaran bruto WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 dalam suatu tahun pajak, WP tetap dikenakan tarif PPh yang
telah ditentukan yaitu 1% sampai akhir tahun pajak yang bersangkutan.
- Apabila peredaran bruto WP telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000,00
pada suatu tahun pajak, atas penghasilan yang diterima WP pada tahun pajak
berikutnya dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang PPh.
10. Atas penghasilan dari usaha yang diterima/diperoleh WP berdasarkan ketentuan
Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan
dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain.
11. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain dengan
memberikan surat keterangan bebas. Surat keterangan bebas diterbitkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar yaitu Direktur Jendral
Pajakberdasarkan permohonan wajib pajak.
12. WP yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian
dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final. Ketentuan
kompensasi kerugiannya adalah:
(a) Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun pajak berikutnya berturut-
berturut sampai dengan 5 (lima) tahun pajak;
(b) Tahun pajak dikenakannya PPh yang bersifat final tetap diperhitungkan
sebagai bagian dari jangka waktu 5 (lima) tahun pajak;
15
(c) Kerugian pada suatu tahun pajak dikenakannya PPh yang bersifat final,
tidak dapat dikompensasikan pada tahun pajak berikutnya.
13. WP yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh yang
bersifat final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 Undang-undang PPh. Tetapi , WP juga
menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan tarif
umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal
25 Undang-undang PPh.
14. Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 Undang-undang
PPh bagi WP yang peredaran bruto WP telah melebihi jumlah Rp
4.800.000.000,00 , pada tahun pajak pertama WP tidak dikenai PPh yang bersifat
final diatur ketentuan sebagai berikut:
(a) Bagi WP sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (7) huruf b & c
Undang-undang PPh , besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan
besarnya angsuran pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi WP tersebut;
(b) Bagi WP selain WP yang dimaksud diatas, penghitungan besarnya angsuran
pajak diberlakukan seperti WP baru dalam pasal 25 ayat (7) huruf a
Undang-Undang PPh.
(c) Untuk WP pribadi, jumlah penghasilan neto yang disetahunkan
sebagaimana dimaksud huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan
penghasilan tidak kena pajak.
(d) Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 Undang-undang
PPh dan pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh
dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final.
16
3) Form 1771 II (lampiran II), berisi perincian harga pokok penjualan, biaya
usaha lainnya dan biaya dari luar usaha,
4) Form 1771 III (lampiran III), berisi tentang kredit pajak dalam negeri (yang
dipotong atau dipungut pihak lain meliputi PPh 22, dan 23),
5) Form 1771 IV (lampiran IV), berisi tentang rincian PPh final dan
penghasilan yang tidaktermasuk objek pajak,
6) Form 1771 V (Lampiran V), berisi daftar pemegang saham/pemilik modal
dan jumlah dividen yang dibagikan dan daftar susunan pengurus dan
komisaris,
7) Form 1771 VI (lampiran VI), daftar penyertaan modal pada perusahaan
afiliasi, daftar pinjaman (utang) dari pemegang saham dan/atau perusahaan
afiliasi, dan daftar pinjaman (piutang) kepada pemegang saham dan/atau
perusahaan afiliasi.
Selain tujuh formulir di atas, juga wajib ditambahkan lampiran
tersendiri berupa:
1) Laporan keuangan (Neraca dan Laporan Laba Rugi)
2) Daftar aktiva tetap dan penyusutannya apabila mempunyai aktiva tetap
17
4) Seluruh induk dan lampiran harus tetap disampaikan, walaupun isinya nihil,
5) SPT Tahunan WP Badan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak
paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya, mulai tahun pajak 2008
paling lambat disampaikanntanggal 30 April tahun berikutnya.
Sebelum melakukan pengisian SPT Tahunan PPh Badan tersebut, untuk
memudahkan pengisian SPT, maka terlebih dahulu adalah menganalisis laporan
keuangan tersebut terutama mengidentifikasi penghasilan final, penghasilan
bukan obyek pajak, koreksi positif dan koreksi negatif.
2. Ketentuan Penyetoran dan Pelaporan PPh Wajib Pajak Badan
1) WP wajib menyetor PPh terutang yang dihitung berdasarkan tarif 1%
dikalikan dengan dasar pengenaan pajak pada jumlah peredaran bruto tiap
bulan, untuk setiap kegiatan usaha, ke kantor pos atau bank yang ditunjuk
oleh menteri keuangan dengan menggunakan SSP (Surat Setoran
Pajak) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP, yang
telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan
Negara paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir.
2) WP yang melakukan pembayaran PPh melalui kantor pos atau bank dengan
menggunakan SSP atau semacamnya wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 hari setelah Masa
Pajak Berakhir.
3) WP yang telah melakukan penyetoran PPh seperti yang dijelaskan diatas
,dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh, sesuai
dengan tanggal validasi Nomor transaksi penerimaan Negara yang
tercantum pada SSP.
4) Ketentuan tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai PPh
bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
tersendiri. Atas penghasilan yang diterima/diperoleh WP bentuk usaha
tetap, WP orang pribadi dan badan, serta penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas dan penghasilan yang diterima/diperoleh dari luar
negeri, dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-undang PPh.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. Bentuk SSP atau sarana administrasi lain yang dipersamakan SSP
yang telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan
Negara.
b. Bentuk surat pemberitahuan tahunan PPh yang bersifat final; dan
18
c. Tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yg
diberikan melalui surat keterangan bebas diatur dengan peraturan DJP
(Direktur Jenderal Pajak).
6) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat
dilakukan kompensasi dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang
bersifat final pada tahun pajak berikutnya. Kerugian yang terjadi ini wajib
melampirkan laporan laba rugibulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh tahun 2013.
19