Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PREEKLAMSIA BERAT


2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai
dengan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria (Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah 140/90
mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali
selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24
jam atau sama dengan 1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam
kehamilan, yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia
dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat
(George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria 5 g/ 24
jam atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami
preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008).
Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat
dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat
dapat berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala
subjektif berupa :
Muntah-muntah
Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau
oedema, atau sakit karena perubahan pada lambung

3
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta.
Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan
perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

2.1.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat


Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, termasuk preeclampsia berat, yaitu:
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
Umur yang ekstrim.
Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
(Angsar, 2008)
Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI
kurang dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari
35 kg/m2
Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden
preeclampsia yang tinggi.
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada
kehamilan secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko
hipertensi kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko
hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007).

2.1.3 Etiologi Preeklampsia Berat


Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada
kehamilan kembar atau kehamilan mola.
Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.

4
Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi
selama kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di
dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk
terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade
peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah
kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme,
transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),
penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologiantara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Faktor hormonal
4. Faktor gizi
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).

1. Invasi trofoblas abnormal


Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling
akibat invasi endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot arteri spiralis.
Hal ini menimbulkan degenerasi lapisan otot arteri spiralis sehingga terjadi
dilatasi dan distensi (Gambar 2.1). Pada preeclampsia, terjadi invasi
trofoblas namun tidak sempurna dan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis. Dalam hal ini, hanya pembuluh darah
desidua (bukan pembuluh darah miometrium) yang dilapisi oleh
endovaskuler trofoblas. Akibatnya, lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan
keras serta tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan dilatasi. Ini
menciptkan suatu keadaan di mana arteri spiralis mengalami vasokonstriksi
relative. Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan bahwa keparahan defek
invasi trofoblas pada arteri spiralis berkaitan dengan keparahan hipertensi
(Cunningham, et al, 2007).

5
Gambar 2.1
Implantasi plasenta yang normal menunjukkan adanya proliferasi trofoblas
extravili, membentuk saluran di bawah villi yang melekat. Trofoblas
extravillous menginvasi desidua dan masuk ke dalam artei spiralis. Hal ini
menyebabkan perubahan pada endotel dan dinding otot pembuluh darah
sehingga pembuluh darah melebar (Cunningham, et al, 2007)

Gambar 2.2
Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan
preeclampsia. Tampak pada gambar bahwa pada preeclampsia terjadi
remodeling yang tidak sempurna sehingga arteri spiralis relative menjadi
lebih konstriksi.(Cunningham, et al, 2007)

6
De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil
dari sisi implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron.
Mereka menemukan bahwa perubahan preeklampsi pada tahap awal
termasuk kerusakan endotel, insudasi plasma ke dalam pembuluh darah,
proliferasi sel-sel miointima, dan nekrosis medial. Mereka menemukan
adanya lipid yang trerakumulasi di dalam sel-sel miointima kemudian di
dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid bersama sel
inflamasi lainnya di dalam pembuluh darah dinamakan atherosis. Biasanya,
pembuluh darah yang terkena atherosis akan berkembang menjadi
aneurisma dan seringkali berkaitan dengan arteriola spiralis yang gagal
untuk melakukan adaptasi. Obstruksi pada lumen arteriola spiralis oleh
atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Hal inilah yang membuat
perfusi plasenta menurun dan menyebabkan terjadinya sindrom preeklampsi
(Cunningham, et al, 2007)

Gambar 2.3
Atherosis dalam pembuluh darah ini diambil dari anyaman plasenta (sebelah
kiri, menunjukkan gambaran fotomikrograf; sebelah kanan, menunjukkan
diagram skematik dari pembuluh darah). Kerusakan endotel menyebabkan
penyempitan pada lumen pembuluh darah akibat akumulasi protein plasma
dan foamy makrofag di bawah endotel. Foamy makrofag ditunjukkan oleh
anak panah yang melengkung, sedangkan anak panah yang lurus menunjukkan
kerusakan endotel.

7
2. Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Sel Endotel
Disfungsi sel endotel yang berkaitan dengan preeclampsia disebabkan
oleh gangguan adaptasi intravaskuler ibu terhadap kehamilan sehingga memicu
proses inflamasi intravaskuler sistemik (Gambar 2.4). Dalam teori ini
dinyatakan bahwa preeclampsia timbul akibat adanya leukosit aktif dengan
jumlah yang ekstrem dalam sirkulasi ibu. Singkatnya, sitokin-sitokin seperti
Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL) dapat memicu stres oksidatif
yang berkaitan dengan preeklampsia. Stres oksidatif ini ditandai oleh spesies
oksigen reaktif dan radikal bebas yang memicu terbentuknya peroksida lipid.
Proses ini selanjutnya menghasilkan radikal beracun yang merusak sel-sel
endotel, mengacaukan produksi nitrit oksida, dan mengganggu keseimbangan
prostaglandin. Akibat lainnya adalah terbentuknya sel makrofag yang
mengandung lipid (sel foam) di dalam atherosis; aktivasi proses koagulasi
mikrovaskuler menyebabkan trombositopenia; dan peningkatan permeabilitas
kapiler menyebabkan terjadinya edema dan proteinuria (Cunningham, 2007).
Penelitian tentang efek stress oksidatif pada preeclampsia ini
menimbulkan ketertarikan untuk memberikan antioksidan sebagai
pencegahan preeclampsia. Antioksidan merupakan kelompok senyawa yang
berfungsi untuk mencegah kerusakan akibat produksi radikal bebas yang
berlebihan. Contoh antioksidan antara lain, vitamin E atau tokoferol, vitamin
C (asam askorbat), dan karoten (Angsar, 2008).

Gambar 2.4
Patofisiologi hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007)

8
3. Faktor Defisiensi Nutrisi
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,
termasuk hati halibut, dapat mengurangi resiko preeclampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah
vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba
melakukan uji klinik bahwa konsumsi minyak ikan atau bahan yang
mengandung asam lemak tak jenuh dapat digunakan untuk mencegah
preeclampsia (Angsar, 2008).
Studi lain menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet kaya buah-
buahan dan sayuran yang banyak mengandung aktioksidan berkaitan dengan
penurunan tekanan darah. Studi ini berkaitan dengan penelitian Zhang
bahwa resiko preeklampsi menjadi dua kali lipat pada wanita yang
mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg. C-Reactive Protein (CRP)
yang merupakan marker inflamasi, juga meningkat pada obesitas. Hal ini
selanjutnya juga berkaitan dengan preeclampsia karena obesitas pada orang
tidak hamil pun dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi
sistemik akibat atherosklerosis (Cunningham, et al, 2007).

4. Faktor genetik
Preeklampsia adalah gangguan multifaktorial poligenik. Dalam
review komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan
insiden risiko preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita
ibu preeklampsia; 11 sampai 37 persen untuk saudara wanita preeklampsia
dan 22-47 persen dalam studi kembar.
Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang
mencakup hampir 1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan
komponen genetik untuk hipertensi kehamilan serta preeklampsia. Mereka
juga melaporkan konkordansi 60 persen di monozigotik pasangan kembar
wanita.
Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil
interaksi dari ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol fungsi

9
metabolik enzimatik dan banyak sekali setiap seluruh sistem organ. Dengan
demikian, manifestasi klinis pada wanita diberikan dengan sindrom
preeklampsia akan menempati spektrum sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi, fenotipik akan berbeda antara genotipe
yang sama tergantung pada interaksi dengan faktor lingkungan
(Cunningham, et al, 2007).

2.1.4 Patogenesis Preeklampsia Berat


1. Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan
pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan
conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat
dalam berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan
hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel
menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen,
termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel
junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi
ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia.
Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan
sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir
gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).

2. Aktivasi sel endotel


Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang
dalam pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam
skema ini, faktor yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta
- juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi
vaskular endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan
hasil dari perubahan sel endotel yang luas.

10
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan
bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat
dalam darah perifer wanita preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan
oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi
oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan
meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan
disfungsi sel endotel akan terjadi:
Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2),
suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin
lebih tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi
sebaliknya sehingga berakibat naiknya tekanan darah.
Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).
Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan
karakteristik morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler
meningkat, dan meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk
menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari
wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk
memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan
serum wanita hamil normal (Cunningham, et al, 2007).

11
2.1.5 Diagnosis
Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala
sebagai berikut:
Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic 110
mmHg. Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di
rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, dan pandangan kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia,
dan edema).
Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)

12
Edema paru-paru dan sianosis.
Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
Sindrom HELLP.

2.1.6 Diagnosis Banding Preeklampsia Berat


Diagnosis banding preeklampsia berat , yaitu :6,16
1. Kehamilan dengan sindrom nefrotik
2. Kehamilan dengan payah jantung
3. Hipertensi Kronis
4. Penyakit Ginjal
5. Edema Kehamilan
6. Proteinuria Kehamilan,

2.1.7 Manifestasi Klinis


Gejala preeklampsia adalah :10
1. Hipertensi
2. Edema
3. Proteinuria
4. Gejala subjektif : sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan.

2.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya

13
Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang
tergantung pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi
medikamentosa
Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara
prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat
pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang
perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai
berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5,
berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan
injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila
timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial
dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada
glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c
RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang
sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat
asam.

14
Penanganan di rumah sakit
Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah
pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap
kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
Tirah baring, tidur miring kiri
Infus RL atau RD5
Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap,
yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan - SM 40 % 10 g im, terbagi pada
selama 5 menit glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksiurine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikanpreparat berikut :

15
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
Hanya diberikan bila tensi 180/110 mmHg atau MAP 126
Bisa diberikan nifedipin 10 20 mg peroral, diulang setelah 30
menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam
Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah <
160/105 mmHg atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
Memperberat penurunan perfusi plasenta
Memperberat hipovolemia
Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka

Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien


PEB dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan
yang memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim
Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu

16
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending
eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose
(loading dose tidak diberikan)
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat
deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason
24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
Menimbang berat badan tiap hari
Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari
sesudahnya
Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase,
Albumin serum dan faktor koagulasi
Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk
kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 3 hari baru
diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1
minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai
aterm
Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan
indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :

17
(i). Indikasi Ibu :
Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa
terjadi kenaikan tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa
terjadi kenaikan tekanan darah yang progresif
Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
Didapatkan gangguan fungsi hepar
Didapatkan gangguan fungsi ginjal
Terjadi solusio plasenta
Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
Usia kehamilan 37 minggu
PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam,
mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan
sebagai berikut :
(i) Pasien belum inpartu
Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik 8. Bila
skor pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan
menggunakan misoprostol 25 g intravaginal tiap 6 jam.
Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II sejak
dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi
persalinan gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan
operasi sesar.

18
Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
Kala II diperingan
Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised,
persalinan dilakukan dengan operasi sesar
Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan
operasi sesar

19
20
2.1.9 Komplikasi Preeklampsia Berat
Penyulit Ibu
a. SSP : Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal detachment
Kebutaan cortex
b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal : Gagal ginjal akut
Nekrosis Tubular Akuta
d. Hematologik:
DIC
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
Iskemia miokardium
(Angsar, 2008)

Penyulit Janin
a. Solusio plasenta
b. IUFD
c. Kematian neonatal
d. Prematuritas
e. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)

21
2.2 ANEMIA POST PARTUM
2.2.1 Definisi
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan /atau hitung eritrosit
lebih rendah dari harga normal (Arief Mansjoer, 2001).
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar Hb dalam darahnnya kurang dari
12 gr% (Winkjosastro, 2002).
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau jumlah Hb
(protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal.
Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas Hb dan
volume pada sel darah merah (Heamatokrit per 100 ml darah).
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar Hb dibawah 11 gr/dl pada trimester
1 dan 3 atau kadar <10,5 gr% pada trimester II (Sarwono Prawirohardjo, 1998).
Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar Hb
dibawah 11 gr% pada trimester 1 dan II atau kadar <10,5 gr% pada trimester II
(Saifuddin, 2002).
Anemia adalah suatu keadaan dimana seseorang ibu sehabis melahirkan
sampai dengan kira-kira 5 minggu dalam kondisi pucat,lemah dan kurang
bertenaga (Sarwono, 2000 : 188-189).

2.2.2 Fisiologi Hemoglobin


Berwarna merah, mrupakan pigmen pembawa oksigen dalam sel darah
merah. Hemoglobin merupakan protein dengan berat molekul 64.450. hemoglobin
terdiri dari 4 subunit. Tiap subunit mengandung heme yang berikatan dengan
koyugat polipeptida. Heme mengandung besi yang merupakan derivate porvirin.
Sedangkan polipeptida disebut dengan globin.
Ada dua bagian polipetida tiap molekul hemoglobin. Pada orang dewasa
normal (hemoglobin A), terdapat dua tipe polipeptida yang disebut dengan rantai
yang mengandung 141 asam amino residu. Kemudian hemoglobin A disebut
juga 22, tidak semua hemoglobin pada darah normal orang dewasa adalah
hemoglobin A. Sekitar 2.5 % hemoglobin A2 dimana rantai diganti dengan rantai
(22) rantai juga mengandung 146 asam amino residu, ttapi 10 residu tunggal
berbeda pada asam amino pada rantai .

22
Hemoglobin membawa oksigen dalam bentuk oxihemoglobin, oksigen
berikatan dengan Fe2+ didalam heme. Afinitas hemoglobin didalam O2 dipengaruhi
oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3 diphosphogliserat (2,3 DPG). 2,3 DPG dan
H+ bersaing dengan O2 untuk membentuk deoxihemoglobin, dengan menurunkan
afinitas hemoglobin terhadap O2 dengan menempati tempatnya pada keempat
rantai.
Karbonmonoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk monoxihemo-
globin (carboxihemoglobin). Afinitas hemoglobin pada O2 jauh lebih rendah
dibandingkan dengan CO, dengan dampak digantikannya O2 yang berikatan
dengan hemoglobin, sehingga terjadi penurunan kapasitas pembawa oksigen oleh
darah.
Rata-rata kandungan hemoglobin normal dalam darah adalah 16 g/dl pada
laki-laki dan 14 g/dlpada perempuan. Pada tubuh laki-laki dengan berat badan 70 kg,
terdapat sekitar 900 g hemoglobin dan 0,3 g globin dihancurkan dan disintesis
kembali setiap jam. Heme dari hemoglobin diseintesis dari glycine dan succinyl-CoA.
Ketika sel darah merah dihancurkan oleh jaringansistem makrofag. Globin
dari molekul hemoglobin dihancurkan dan heme diubah menjadi biliverdin.
Biliverdin kemudian dikonversi menjadi bilirubin dan diekskrsikan melalui
empedu. Besi yang berasal dari heme digunakan kembali untuk sintesis
hemoglobin. Besi merupakan zat esensial untuk sintesis hemoglobin, jika tubuh
kehilangan darah dan defisiensi besi tidak dikoreksi, akan terjadi anemia
defisiensi besi.

2.2.3 Etiologi
1. Adanya perdarahan sewaktu / sehabis melahirkan.
2. Adanya anemia sejak dalam kehamilan yang disebabkan oleh factor
nutrisi dan hipervolemi.
3. Adanya gangguan pembekuan darah.
4. Kurangnya intake zat besi ke dalam tubuh
5. kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan
6. adanya gagguan absorbsi di usus
7. pendarahan akut maupun kronis

23
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari anemia
postpartum yang disebabkan oleh intake zat besi yang tidak cukup serta
kehilangan darah selama kehamilan dan persalinan. Anemia postpartum
behubungan dengan lamanya perawatan dirumah sakit, depresi, kecemasan, dan
pertumbuhan janin terhambat.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kurangnya
defisiensi zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis
tidak cukup yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer,
kadar besi serum (serum iron), dan jenuh transferin menurun, kapasitas besi total
meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat
kurang atau tidak ada sama sekali (Rukiyah, 2010).
Kehilangan darah adalah penyebab lain dari anemia. Kehilangan darah
yang signifikan setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia
postpartum. Banyaknya cadangan hemoglobin dan besi selama persalinan dapat
menurunkan risiko terjadinya anemia berat dan mempercepat pemulihan.

2.2.4 Patofisiologi
Perdarahan sehingga kekurangan banyak unsur zat besi
Kebutuhan zat besi meningkat, dengan adanya perdarahan, gemeli,
multiparitas, makin tuanya kehamilan
Absorbsi tidak normal / saluran cerna terganggu, misal defisiensi
vitamin C sehingga absorbsi Fe terganggu.
Intake kurang misalnya kualitas menu jelek atau muntah terus.

2.2.5 Gejala Klinis


Anemia ringan Hb : 8 10gr%
Anemia sedang Hb : 6 8 gr%
Anemia berat Hb : Kurang dari 6 gr%
Tergantung dari derajat berat atau tidaknya anemia, hal ini dapat
berdampak negative bagi ibu selama masa nifas, kemampuan untuk menyusui,
masa perawatan di rumah sakit bertambah, dan perasaan sehat dari ibu. Masalah
yang muncul kemudian seperti pusing, lemas, tidak mampu menjaga dan merawat
bayinya selama masa nifas umumnya terjadi.

24
Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan anemia postpartum
memiliki gejala yang dapat mengganggu kesehatan ibu dan meningkatkan risiko
terjadinya anemia postpartum jika dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
Dampak buruk dari perubahan emosi dan perilaku ibu dangat mengkhawatirkan
karena interaksi ibu dan bayi akan terganggu selama periode ini dan akhirnya
akan berdampak negative terhadap perkembangan bayinya.
Kebanyakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara defisiensi besi
dengan kognitif yang difokuskan pada bayi dan anak-anak, dimana ditemukan fakta
yang kuat bahwa defisiensi besi berisiko terjadinya gangguan perkembangan kognitif
sekarang dan yang akan datang. Namun data terbaru menunjukkan defisiensi bsi juga
berdampa buruk pada otak orang dewasa. Berbeda dengan penurunan hemoglobin,
defisiensi besi berpengaruh pada kognitif melalui penurunan aktifitas enzim yang
mengandung besi diotak. Hal ini kemudian mempengaruhi fungsi neurotransmitter,
sel, dan proses oksidatif, juga metabolism hormone tyroid.
Para ibu yang masih menderita kekurangan zat besi sepuluh minggu setelah
melahirkan kurang responsive dalam mengasuh bayinya sehingga berdampak pada
keterlambatan perkembangan bayi yang dapat bersifat ireversibel. Untungnya,
anemia postpartum bersifat dapat diobati dan dapat dicegah.
Defisiensi besi dapat menurunkan fungsi limfosit, netrofil, dan fungsi
makrofag. Hal ini kemudian akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi
yang merupakan akibat fungsional defisiensi besi. Memperbaiki status besi tubuh
dengan adekuat akan memperbaiki system imun. Meskipun demikian,
keseimbangan besi tubuh penting. Meskipun besi yang dibutuhkan untuk respon
imun yang efektif, jika suplai besi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan,
invasi mikroba dapat terjadi karena mikroba dapat menggunakan besi untuk tubuh
dan menyebabkan eksaserbasi infeksi.

2.2.6 Diagnosis
Besi merupakan salah satu komponen kunci dari hemoglobin, oleh karena
itu tubuh yang kekurangan besi akan berdampak pada systemtransformasi oksigen
yang akan mengakibatkan gejala sepert nafas pendek dan lemas yang merupakan
dua gejala klasik dari anemia.

25
Normal kadar hemoglobin pada hari keempat postpartum adalah lebih dari
10 g/dl dengan kadar eritrosit paling sedikit 3,5 juta/ml. ketika kadar hemoglobin
di bawah 10g/dl dan kadar eritrosit kurang dari 3,5 juta/ml maka dapat
didiagnosis anemia, jika kadar hemoglobin diatas 8 g/dl disebut anemia ringan
dan jika berada pada level dibawahnya maka disebut anemia berat.

2.2.7 Pencegahan
Banyak jenis anemia tidak dapat dicegah. Namun, anda dapat membantu
menghindari anemia kekurangan zat besi dan anemia kekurangan vitamin dengan
makan yang sehat, variasi makanan, termasuk:
Besi. Sumber terbaik zat besi adalah daging sapi dan daging lainnya.
Makanan lain yang kaya zat besi, termasuk kacang-kacangan, lentil, sereal
kaya zat besi, sayuran berdaun hijau tua, buah kering, selai kacang.
Folat dapat ditemukan di jus jeruk dan buah-buahan, pisang, sayuran
berdaun hijau tua, kacang polong ,roti, sereal dan pasta.
Vitamin B-12. Vitamin ini banyak dalam daging dan produk susu.
Vitamin C. Makanan yang mengandung vitamin C, seperti jeruk, melon
dan beri, membantu meningkatkan penyerapan zat besi.

Makan banyak makanan yang mengandung zat besi sangat penting bagi
orang-orang yang memiliki kebutuhan besi yang tinggi, seperti anak-anak - besi yang
diperlukan selama ledakan pertumbuhan dan perempuan hamil dan menstruasi.

2.2.8 Penanganan
Pada anemia ringan, bisa diberikan sulfas ferosis 3 x 100 mg/hari
dikombinasi dengan asam folat / B12 : 15 30 mg/hari. Pemberian vitamin C
untuk membantu penyerapan. Bila anemi berat dengan Hb kurang dari 6 gr %
perlu tranfusi disamping obat-obatan diatas.
Pengobatan terhadap anemia postpartum tergantung dari derajat anemia
dan faktor risiko maternal atau faktor komorbiditas. Wanita muda yang sehat
dapat mengkompensasi kehilangan darah yang banyak lebih baik dibandingkan
wanita nifas dengan gangguan jantung meskipun dengan kehilangan darah yang
tidak terlalu banyak.

26
Sebagai tambahan, kehilangan darah perlu dilihat dalam hubungannya
dengan IMT dan estimasi total blood volume (TBV). Pertimbangan yang lain
yaitu kesalahan yang dilakukan ketika melakukan estimasi jumlah kehilangan
darah. Kehilangan darah selalu sulit untuk diprediksi, yang mana bisa dibuktikan
dengan membandingkan Hb pre-partum dan Hb postpartum.
Pengobatan terhadap anemia meliputi pemberian preparat besi secara oral,
besi parenteral, transfusi darah, dan pilihan lain yaitu rHuEPO (rekombinan
human erythropoietin).
Prinsip penatalaksanaan anemia adalah jika di dapatkan hemoglobin
kurang dari 10 pertimbangkan adanya defisiensi zat pembentuk hemoglobin,
periksa sepintas apakah ada hemoglobinopati sebelum disingkirkan. Pemberian
preparat besi oral sebagai pengobatan lini pertama untuk anemia akibat defisiensi
besi. Besi parenteral diindikasikan jika preparat besi oral tidak dapat ditolerransi,
gangguan absorbsi, dan kebutuhan besi pasien tidak dapat terpenuhi dengan
preparat besi oral.
Penggunaan terapi parenteral biasanya lebih cepat mendapatkan respon
dibandingkan dengan terapi oral. Namun, bagaimanapun hal ini bersifat lebih
invasive dan lebih mahal. Rekombinan Human Eritropoietin (rHuEPO) paling
banyak digunakan untuk anemia dengan penyakit gagal ginjal kronis. Namun
rHuEPO tetap dapat diberikan pada anemia dalam kehamilan maupun postpartum
tanpa adanya penyakit gagal ginjal kronis tanpa ada efek samping pada maternal,
fetal ataupun neonatus.
Anemia yang terjadi bukan karena defisiensi (misalnya akibat hemoglo-
binopati dan sindrom kegagalan sum-sum tulang) harus diatasi dengan transfusi
darah secara tepat dan bekerja sama dengan seorang ahli hematologi.

2.2.9 Pengaruh anemia terhadap ibu nifas


Pengaruh anemia pada ibu nifas adalah terjadinya subvolusi uteri yang dapat
menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi puerperium, pengeluaran
ASI berkurang dan mudah terjadi infeksi mamae (Prawirohardjo, 2005). Praktik ASI
tidak eksklusif diperkirakan menjadi salah satu prediktor kejadian anemia setelah
melahirkan (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2008).

27

Вам также может понравиться

  • Bab Iii
    Bab Iii
    Документ7 страниц
    Bab Iii
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Ca Mamae
    Ca Mamae
    Документ41 страница
    Ca Mamae
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Leafleat Imunisasi
    Leafleat Imunisasi
    Документ1 страница
    Leafleat Imunisasi
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus Jurnal Forensik Asfiksia
    Laporan Kasus Jurnal Forensik Asfiksia
    Документ2 страницы
    Laporan Kasus Jurnal Forensik Asfiksia
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Referat Ca Mammae
    Referat Ca Mammae
    Документ41 страница
    Referat Ca Mammae
    Papa Be
    100% (5)
  • Lapkas Persentase TB
    Lapkas Persentase TB
    Документ31 страница
    Lapkas Persentase TB
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Jurnal Tetanus
    Jurnal Tetanus
    Документ47 страниц
    Jurnal Tetanus
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Impetigo Refarat Kulkel
    Impetigo Refarat Kulkel
    Документ14 страниц
    Impetigo Refarat Kulkel
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Kanker Mamae
    Kanker Mamae
    Документ32 страницы
    Kanker Mamae
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus CA Mammae
    Laporan Kasus CA Mammae
    Документ26 страниц
    Laporan Kasus CA Mammae
    Luvi Puji
    100% (7)
  • Lapkas Persentase TB
    Lapkas Persentase TB
    Документ31 страница
    Lapkas Persentase TB
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Refarat Kulit Dan Kelamin
    Refarat Kulit Dan Kelamin
    Документ18 страниц
    Refarat Kulit Dan Kelamin
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Jurnal Tetanus
    Jurnal Tetanus
    Документ47 страниц
    Jurnal Tetanus
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Kanker Mamae
    Kanker Mamae
    Документ32 страницы
    Kanker Mamae
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Bab II - Lapkas TB
    Bab II - Lapkas TB
    Документ7 страниц
    Bab II - Lapkas TB
    evajulita
    Оценок пока нет
  • 44 87 1 SM
    44 87 1 SM
    Документ10 страниц
    44 87 1 SM
    YayangAsangga
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ2 страницы
    Bab I
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Referat Stase Mata
    Referat Stase Mata
    Документ21 страница
    Referat Stase Mata
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Impetigo Refarat Kulkel
    Impetigo Refarat Kulkel
    Документ14 страниц
    Impetigo Refarat Kulkel
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ1 страница
    Bab I
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Hernia (Sarah)
    Hernia (Sarah)
    Документ22 страницы
    Hernia (Sarah)
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Genap I - Kateter Urin
    Genap I - Kateter Urin
    Документ10 страниц
    Genap I - Kateter Urin
    Ardhi
    Оценок пока нет
  • 5 PDF
    5 PDF
    Документ8 страниц
    5 PDF
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Tetanus Neonatorum PDF
    Tetanus Neonatorum PDF
    Документ2 страницы
    Tetanus Neonatorum PDF
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Tetanus Neonatorum Cover
    Tetanus Neonatorum Cover
    Документ1 страница
    Tetanus Neonatorum Cover
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Tetanus Neonatorum PDF
    Tetanus Neonatorum PDF
    Документ2 страницы
    Tetanus Neonatorum PDF
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Refarat Tetanus Anak
    Refarat Tetanus Anak
    Документ20 страниц
    Refarat Tetanus Anak
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Jurnal Batu Empedu
    Jurnal Batu Empedu
    Документ6 страниц
    Jurnal Batu Empedu
    evajulita
    Оценок пока нет
  • Refarat Bell's Palsy 1
    Refarat Bell's Palsy 1
    Документ17 страниц
    Refarat Bell's Palsy 1
    evajulita
    Оценок пока нет