Вы находитесь на странице: 1из 37

WRAP UP SKENARIO 2

BLOK EMERGENSI
TRAUMA KEPALA

KELOMPOK A-10

KETUA : Farizal Arief 1102014095


SEKRETARIS : Chrysza Ayu Agustine 1102014062
Anggi Suryati 1102014025
Annisa Aryani tarigan 1102014030
Faza Aditya Kencana 1102014097
Firmansyah 1102014103
Annisa Fitri Bumantari 1102014032
Dira Adhitya Ningrum 1102014077
Irrayanti Putri 1102014134
Fildzah Fitriani 1102014100

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2017-2018

1
SKENARIO 2
TRAUMA PADA KEPALA

Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penurunan kesadaran setelah


tertabrak motor saat menyeberang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien
pingsan. Dalam perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekitar 10 menit, kemudian
mengeluh nyeri kepala, muntah dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan
telinga.

Tanda Vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 10x/menit
Circulation : tekanan darah 160/90mmHg, frekuensi nadi 40x/menit

Wajah
Terlihat adanya brill hematoma
Trauma didaerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Hidung
Inspeksi : adanya edema atau deformitas pada hidung tidak ada
Palpasi : terdapat krepitasi pada hidung
Pemeriksaan fisuk menggunakan rinoskopi anterior : terdapat clothing pendarahan aktif
tidak ada, tampak laserasi di septum dan konka inferior.

Telinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clothing (+), tidak terdapat perdarahan aktif dan
membran timpani utuh

Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5 mm/3 mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, refleks patologis Babinsky +/-.

2
KATA SULIT

1. Maloklusi : Bentuk rahang atas dan bawah yang menyimpang dari bentuk normal
2. Brill Hematom(racoon eye) : Masuknya darah dalam kedua rongga orbita melalui
fisura orbita dapat disebabkan karena adanya fraktur basis kranii yang menyebabkan
pecahnya arteri oftalmika
3. Laserasi : Luka disebabkan oleh robekan
4. Anisikor : Ketidaksamaan diameter pada kedua pupil
5. Refleks Patologis Babinsky : Dorsofleksi ibu jari kaki pada stimuli telapak kaki
sebagai tanda adanya lesi pada sistem saraf pusat
6. Cerebrospinal Rhinorrhea : Cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
7. Snoring : Bunyi napas seperti mengorok yang menandakan adanya obstruksi jalan
napas
8. GCS (Glasgow Coma Scale) : Skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran

PERTANYAAN
1. Mengapa terjadi muntah ?
2. Mengapa terjadi cerebrospinal rhinorrhea ?
3. Mengapa terdengar bunyi snoring pada pemeriksaan ?
4. Mengapa terjadi brill hematoma ?
5. Mengapa terjadi maloklusi gigi ?
6. Mengapa pada pemeriksaan didapatkan pupil anisokor ?
7. Mengapa frekuensi nadi turun, napas turun, tetapi tekanan darah meningkat ?
8. Mengapa terjadi hemiparesis dextra ?
9. Mengapa pasien pingsan lalu sadar kemudian pingsan kembali ?
10. Apa arti dari GCS E1 M1 V1 ?
11. Bagaimana tatalaksana awal yang diberikan kepada pasien ?

JAWABAN
1. Karena terdapatnya peningkatan tekanan intrakranial.
2. Karena terjadi fraktur kepala yang mengenai lamina cribrosa sehingga
mengakibatkan keluarnya cairan serebrospinal melalui rongga hidung.
3. Karena lidah jatuh kebelakang menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga
timbul snoring pada pemeriksaan.
4. Karena terjadi fraktur basis cranii sehingga arteri oftalmika pecah akhirnya
menyebabkan darah masuk ke rongga orbita melalui fisura orbita.
5. Karena trauma pada bagian rahang yang mengakibatkan pergesaran rahang.
6. Adanya penekan pada nervus kranial II (opticus) dan III (occulomotorius) sehingga
pada pemeriksaan terlihat adanya kelainan.
7. Trauma perdarahan volume darah menurun frekuensi nadi turun. Sebagai
kompensasinya tekanan darah meningkat, sentral pernapasan di Formatio Reticularis
terganggu sehingga frekuensi napas turun. Peningkatan TIK menyebabkan Trias
Cushing (bradikardi, hipertensi, dan depresi pernapasan).
8. Adanya trauma kepala pada hemisphere kiri sehingga terjadi hemiparesis
kontralateral yaitu pada hemiparesis dekstra.
9. Karena terjadi interval lucid yang merupakan salah satu gejala khas pada perdarahan
epidural.
3
10. Eye (respon membuka mata) :
(1) : tidak ada respon (menutup mata)
Verbal (respon verbal) :
(1) : tidak ada respon (tidak ada suara sama sekali)
Motor (respon motorik) :
(1) : tidak ada respon (tidak ada gerakan sama sekali)
Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :
1. GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan)
2. GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang)
3. GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)
11. Tatalaksan dengan ABC
-Airway : lidah diposisikan dengan benar dan mengeluarkan darah yang ada di
saluran pernapasan atas
-Breathing : berikan oksigen
-Circulation : berikan infus cairan

HIPOTESIS

Trauma kepala dapat menyebabkan epidural hematoma, fraktur basis cranii,


dan peningkatan tekanan intrakranial. Tatalaksana awal yang dapat dilakukan adalah
ABC yaitu membebaskan jalan napas (airway), memberikan oksigen (breathing),
dan memberikan infus cairan (circulation).

4
SASARAN BELAJAR

LI. 1 Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala


LO 1.1 Definisi
LO 1.2 Klasifikasi
LO 1.3 Manifestasi Klinis
LO 1.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding
LO 1.5 Tatalaksana
LO 1.6 Komplikasi
LO 1.7 Prognosis
LI. 2 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial
LO 2.1 Definisi
5
LO 2.2 Klasifikasi
LI. 3 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii
LO 3.1 Definisi
LO 3.2 Klasifikasi
LO 3.3 Patofisiologi
LO 3.4 Manifestasi Klinis
LO 3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
LO 3.6 Tatalaksana
LO 3.7 Komplikasi
LI. 4 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Os. Nasal
LI. 5 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Le Fort
LI. 4 Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing

LI. 1 Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala

LO 1.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rut
land-Brown, Thomas, 2006).

LO 1.2 Klasifikasi
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
6
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan
(pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.

2. Berdasarkan Beratnya Cidera


Adapun pembagian cedera kepala lainnya dengan cara skala koma Glasgow. Skala koma
Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan
kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang
dinilai adalah;
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala
Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).

7
Tabel Skala Koma Glasgow

Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;

1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 13 15


2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 12
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 8

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala
Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
GCS 13 - 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
GCS 9 - 12
Saturasi oksigen > 90 %
Tekanan darah systole > 100 mmHg
Lama kejadian < 8 jam
Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak

c. Cedera kepala berat


GCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia,
maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat
sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata
diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan
intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.

3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu
masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada
perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii
tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang
dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis
mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody
rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batles sign, lesi nervus cranialis yang paling
sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,
mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita
tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).

c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)

9
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda
tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan
yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan
pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan
sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak
terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat
diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak
yang berkepanjangan.

2) Contusio Cerebri (Memar Otak)


Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal
ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di
antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus,
gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak
encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat
encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru -
jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu
badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat
dikendalikan (decebracio rigiditas).

3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri
meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di
tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.

b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks,
dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras
dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan
cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK =
Tekanan Intra Kranial).

c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada
permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-
hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir

10
aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh
darah otak.

d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling
sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada
durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.

4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala
ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia,
hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ
tubuh yang lain.

LO 1.3 Manifestasi Klinis Trauma Kepala


. Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)


a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)


a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

11
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

LO 1.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding


ANAMNESIS
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan
kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau
sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak
(stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh
kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum
terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan
adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial.
P4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum
alkohol, pasien tidak kooperatif.
asien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat
kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)

Indikasi Rawat Inap :


1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2. Fraktur tulang tengkorak.
3. Terdapat defisit neurologik.
5. Adanya faktor sosial seperti :
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila
timbul gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam
selama periode tidur.
2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.

12
4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat
dobel, atau gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan.
Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya
penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.
Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari
penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas
utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman
(4,5).

PEMERIKSAAN FISIK
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status
fungsi vital dan status kesadaran pasien.

STATUS FUNGSI VITAL


Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu
segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi
leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).

Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes,


Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya
tingkat kesadaran.

Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga


adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai
dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

STATUS KESADARAN PASIEN


Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma
Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat
digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula,
perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat.
Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon motoric

STATUS NEUROLOGIS

13
Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk
mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal,
dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis /
paralisis, dan refleks patologis..
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat
lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus
selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit
neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di
daerah kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis
atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak
invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat
dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan:
perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang.

1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada
24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
14
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan cedera
kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD
atau epilepsy (jika pasien kejang).

LO 1.5 Tatalaksana Trauma Kepala


Pada pertolongan pertama :
Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering
trauma kepala disertai trauma leher.
Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat sat.O2 dan CO2
Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
Pasang BACK BOARD ( spinal board)
Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum
dilakukan penjahitan situsional.
Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syock. Atasi syok
dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line ), beri cairan yang
memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok)
Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula
obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3
hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa
40 % atau gliserol 10 %.

15
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari
pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 1315)

1. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang
berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-
otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak
mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak
memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian
kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.
2. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap - 2
jam.
3. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang
sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12)

1. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.


2. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi
memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3- 8)

1. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan
jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat
disingkirkan.
2. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban
agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah
jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
3. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS
dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
4. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada
penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.

16
5. Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 31, furosemide
diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti
perdarahan.
6. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika
penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka,
rhinorea, otorea.
7. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan
gastrointestinal.
8. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10. Fisioterapi dan rehabilitasi.

LO 1.6 Komplikasi Trauma Kepala

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera
kepala meliputi

a. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara
khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan
terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.
Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

b. Kejang/Seizure

Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya sekali
kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini
berkembang menjadi epilepsy

c. Infeksi

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan
ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

d. Hilangnya kemampuan kognitif.

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran.

17
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi
dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.

LO 1.7 Prognosis Trauma Kepala

Tengkorak anak masih elastis dan mempunyai kesanggupan untuk mengalami


deformasi, maka tengkorak anak dapat mengabsorpsi sebagian energi kekuatan fisik
tersebut sehingga dapat memberikan perlindungan pada otak.
Prognosis ck pada anak lebih baik dibandingkan orang dewasa. Kelainan yang sering
dijumpai adalah: epilepsi post cedera kepala. Angka kejadian epilepsi post cedera kepala
kurang dari 5%.
Subdural efusi kronik merupakan komplikasi yang sering terjadi disebabkan
pengobatan yang tidak adekuat. Apabila ditemukan adanya pembesaran lingkaran kepala
secara cepat dan pemeriksaan transiluminasi menunjukkan adanya cairan, maka
kemungkinan terdapat subdural efusi. Menurut Evans pada cedera kepala yang berat,
80% akan mengalami perbaikan, 20% menunjukkan gangguan neurologic yang berat
dan 10% mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki/meninggal.

LO.2 Memahami dan menjelaskan perdarahan intracranial


LO 2.1 Definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam
kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral
(parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat
trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.
8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum
yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH
umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai
dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya,
menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat
menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

LO 2.2 Klasifikasi
EPIDURAL HEMATOMA
Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari

18
perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau
robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang
menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh
regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana
deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari
perdarahan vena lebih jarang terjadi.

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur
tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % )
disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus
anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang
berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi
sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.

Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang
lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan
fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal
tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi
garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.

Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari
saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian
dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid. Interval lucid dapat
terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu
yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya

19
kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid
yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

2. Hemiparesis

Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran


massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

3. Anisokor pupil

Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian.

Diagnosis

Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio
temporal (70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea
media dekat dengan skema bagian dalam kranium. Insiden perdarahan epidural pada
regio temporal lebih rendah pada pasien pediatri karena arteri meningea media belum
membentuk alur dalam skema bagian dalam kranium. Perdarahan epidural muncul pada
frontal, oksipital, dan regio fossa posterior kira-kira pada frekuensi yang sama.
Perdarahan epidural muncul kurang begitu sering pada vertex atau daerah para-sagital. (1)

Berdasarkan studi anatomi terbaru oleh Fishpool dkk, laserasi arteri ini mungkin
menyebabkan campuran perdarahan arteri dan vena. (1)

Perdarahan epidural jika tidak ditangani dengan observasi atau pembedahan yang
hati-hati, akan mengakibatkan herniasi serebral dan kompresi batang otak pada akhirnya,
dengan infark serebral atau kematian sebagai konsekuensinya. Karenanya, mengenali
perdarahan epidural sangat penting. (1)

Pemeriksaan Lab

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit)


penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun
trauma. Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan

20
akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan
intra-operatif. (1)

Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang


signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka
yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian
mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan
berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit. (1)

Pencitraan


Radiografi (1)
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau
vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.

CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema
bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan
lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien
dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek
massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu
hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam
hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak
dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan
hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu
tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai
isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan
perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang
rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex
dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial
tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek
21
massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus,
rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi
hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio
serebral, dan hematom intraserebral

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang
tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa,
bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas. (1)

Terapi

Obat-obatan

Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang


kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi
struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial. (1)
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal
volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan
pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif. (1)

Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah


segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik,
mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal. (1)

Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan


penilaian klinis, publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of
Traumatic Brain Injury merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan
perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit
neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up
dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum
terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika
meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria
atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri
meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya
ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati. (1) Ketika mengobati pasien
dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang mendasarinya harus
dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas. (1)

Terapi Bedah

22
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5
mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan
status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi. (1)

Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom


temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan
perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering
berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi
yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang
supratentorial. (1)

Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang


biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan
yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan. (1)

Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini : (1)

Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi


intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas
hemodinamik yang berat.
Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,


dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan. Biasanya
pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya
pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

Komplikasi
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan
intrakranial
2. Kompresi batang otak meninggal

Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :


1. Mortalitas 20% -30%
23
2. Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
3. Sembuh tanpa defisit neurologik
4. Hidup dalam kondisi status vegetatif

SUBDURAL HEMATOMA
Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid.
Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan
subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam
sinus venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.

2. Perdarahan sub akut


Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati
hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih
belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada
araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding
yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume
dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
24
membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea.
Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens

Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi,
adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio
serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis
tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat
deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala
yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).

Komplikasi
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
Sedangaka outcome untuk subdural hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

INTRASEREBRAL HEMATOMA
Definisi

25
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca
traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau
robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-
kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter
sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral
hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak
(hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).

Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.

Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur
kalvaria.

Gejala klinis
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan
hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4
hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak diagnosanya
dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial
nyeri kepala mendadak
penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;

- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
Nyeri kepala akut.
Penurunan kesadaran.
Ataksia
Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.

Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:


Penurunan kesadaran koma.
Tetraparesa
Respirasi irreguler
26
Pupil pint point
Pireksia
Gerakan mata diskonjugat.

Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah
harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom
yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan
monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan.
Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan
neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis

Konservatif
Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
Bila perdarahan pons batang otak.

Pembedahan
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa

Komplikasi
Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa;
1. Oedem serebri, pembengkakan otak
2. Kompresi batang otak, meninggal

Sedangkan outcome intraserebral hematom dapat berupa :


1. Mortalitas 20%-30%
2. Sembuh tanpa defisit neurologis

LI.3 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii

LO 3.1 Definisi
Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat
benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita),
transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek
remote dari benturan pada kepala (tekanan gelombang yang dipropagasi dari titik
benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu
27
yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. 1, 2
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

LO 3.2 Klasifikasi

Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan
umumnya tidak diperlukan intervensi.
Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa
kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk
mengoreksi deformitas yang terjadi.
Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan
bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi
melebar.
Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar
tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid).

1. Fossa crania anterior


Menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os
frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh
pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di
medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung
lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan
ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien
dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes
ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan
perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan
salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior.

2. Fossa cranii media


Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian
lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus
temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat
canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior

28
dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars
os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os
sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan
n. abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan
tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan
oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus
sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan
keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais
VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N.
cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.

3. Fossa cranii posterior


Menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di
anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa os temporal dab di posterior
dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior
dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars
mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla
oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories
dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot
otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot
trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat
robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX,
X dan XI dapat cedera

LO 3.3 Manifestasi Klinis


Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar
pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah
dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran
dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis
intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih
dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3
minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial
palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus
cranialis V, VI, VII.

29
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III,
berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini
juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus
cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan
aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior
pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah
fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

LO 3.4 Diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan
mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan
mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya
suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

Pemeriksaan penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang untuk fraktur basis Craniii antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen
b. CT-scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)
d. Pemeriksaan arteriografi

DIAGNOSIS BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang
membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan
fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :

30
Kongenital
Ablasi tumor atau hidrosefalus
Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
Tindakan bedah

LO 3.5 Tatalaksana
Tatalaksana Primer
A Airway : Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini
tidak ada cedera. Bisa menggunakan Orogastric tube (NGT kurang aman) agar aspirasi
lambung tidak mengahalangi
B Breathing : Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation : Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin
tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS : Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure : Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari
depan dan belakang.

- Untuk terapi CSF : elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari
walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung
- Paralisis nervus fasialis : Steroid dapat membantu
- Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-
tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin
diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila
membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF
persisten setelah mengalami fraktur basis cranii.

LO 3.6 Komplikasi

a) Fistula cairan serebrospinal


Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan
otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya
trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif.
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi
kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat
diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.

b) Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari
tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-
kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba

31
Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai
dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi
kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas
berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan
punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan.
Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah
sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui
daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media
fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung
dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura
dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan
berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang
abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari
otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia
yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa
Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan
sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan
eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau
trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki
lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan
angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat
mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal
dan sfenoid.
Pendekatan bedah Sinus
endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan
yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil
(<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas
fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang
diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan
teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran
yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran
dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada
kerusakannya.
c) Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid
robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan
menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang
dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan

32
fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan
perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki
membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural
akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis
fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam
kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan
cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam
seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding
17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan
pengaliran lumbar dan bahkan operasi.
d) Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering
dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis
harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun
terapi antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes
diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa
kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat
tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun
meropenem.
e) Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya
tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek
pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek
yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa
kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek
yang ada, dan tredelenburg position.

LI.4 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Os. Nasal


Fraktur nasal merupakan kasus terbanyak pada trauma wajah. Trauma tumpul
seperti kecelakaan motor, trauma karena olahraga, latihan fisik yang berlebihan
merupakan penyebab umum terjadinya fraktur os nasal. Ross melaporkan fraktur os
nasal terjadi karena perkelahian 34%, kecelakaan 28% dan olahraga 23%. Walaupun
fraktur os nasal bukan suatu yang mengancam jiwa, manajemen yang salah akan
menimbulkan gangguan fungsi dan kosmetik. Fraktur os nasal disebut terbuka bila os
nasal terpapar karena adanya luka robek pada kulit atau lapisan hidung.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan
bengkak pada hidung, nyeri, deformitas berupa depress dari arah depan atau samping
atau seluruh piramid hidung,deviasi pada satu sisi, krepitasi, epitaksis dan hidung
tersumbat. Penatalaksanaan fraktur os nasal dapat dilakukan dengan reposisi tertutup dan
reposisi terbuka. Indikasi operasi untuk fraktur os nasal adalah karena adanya

33
kelainan fungsi dan kosmetik.

LI. 5 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Le Fort


Fraktur Maksila
Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila, yang mana
fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III.
1. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung
dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang
atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan
meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila
dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok
yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari

2. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan
fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,
fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis
merupakan sutura yang sering terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias
merupakan suatukeluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak
lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah
pada Le Fort I.

3. Fraktur Le Fort III


Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah
wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian
yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan
pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

34
LI. 6 Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing
Definisi
Adanya hipertensi dan bradikardia yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial.

Patofisiologi
Otak adalah pusat kendali tubuh. Itu juga dilindungi oleh tulang yang
membentuk kubah tengkorak. Perlindungan ini, bagaimanapun, adalah pedang bermata
dua. Meskipun tengkorak membantu melindungi otak dari cedera, juga bisa melukai otak
dengan membatasi ekspansi jaringan setelah cedera.
Semua jaringan menanggapi cedera dengan pembengkakan dan pendarahan. Sebagian
besar perdarahan ini mikroskopis dan terjadi relatif lambat. Jaringan otak tidak berbeda.
Setelah cedera, otak akan membengkak. Namun, tidak seperti jaringan tubuh lainnya,
otak terbatas dalam jumlah pembengkakan mungkin karena pembatasan fisik kubah
tengkorak. Saat otak mulai membengkak, bahkan hanya di wilayah sekitar saja, pada
akhirnya akan mulai mengisi semua ruang yang tersedia dalam kubah tengkorak. Ketika
ini terjadi, tekanan dalam tengkorak mulai meningkat (TIK normal berkisar 5-15
mmHg).
Edema otak biasanya terjadi akibat tekanan kapiler meningkat atau kerusakan
yang sebenarnya untuk dinding kapiler yang memungkinkan mereka bocor. Bersamaan
dengan membengkaknya otak, dua hal mulai terjadi.
1. Edema mulai menekan pembuluh darah yang mensuplai otak. Hasil kompresi ini
dalam aliran darah berkurang ke otak dan iskemia otak. Iskemia kemudian akan
menyebabkan arteri yang menuju ke otak membesar, menyebabkan peningkatan
tambahan dalam tekanan kapiler dan peningkatan lebih lanjut dalam tekanan
intrakranial. Tekanan kapiler meningkat memperburuk edema

2. Penurunan aliran darah otak ke otak kemudian akan menurunkan pengiriman oksigen
ke jaringan otak. Hal ini akan mengurangi kemampuan kapiler di otak untuk berfungsi

35
secara normal dan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran.
Ketika sel-sel otak kehilangan pasokan energi mereka, pompa intraseluler (pompa
natrium/kalium) mulai gagal. Hal ini memungkinkan natrium untuk memasuki sel-sel
otak, menyebabkan edema seluler dan akhirnya kematian sel.

Aliran darah ke otak secara langsung berkaitan dengan tekanan perfusi serebral (CPP),
yang dapat didefinisikan sebagai berikut:
Cerebral Perfusi Tekanan (CPP) = Tekanan Arteri Rata-rata (MAP) Tekanan
intrak

Daftar Pustaka

1. Bates, B. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
2. Boies adam. 2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6. Jakarta: EGC.
3. Boss BJ. Alterations of Neurologic Function. In : Understanding Pathophysiology 3rd
edition. Huether SE, McCance KL. editors. Mosby, Inc. St. Louis. 2004. p. 392-95
4. Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care Fifth
Edition. Fink MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. Elsevier Inc.
Philadelphia. 2005. 377-81.
5. De Jong, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
6. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 2003
7. Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 2006

36
8. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra
Utara: USU Press.
9. Masjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Nadeau K. Neurologic injury (chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004
11. Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos ,
StawickiSPA. raumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review
of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11.
12. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981.

37

Вам также может понравиться