Вы находитесь на странице: 1из 4

Model Pembelajaran

Menurut Scholl (1986) Dalam mengajar anak dengan kelainan penglihatan adabeberapa hal
yang perlu mendapat perhatian secara khusus yaitu (1) lingkungan fisik, (2) prosedur
pengajaran, dan (3) isi dan bahan pengajaran.
1. Lingkungan Fisik
Dahulu anak tunanetra kebanyakan belajar di sekolahkhusus (SLB) namun sekarang
mulai banyak tunanetra belajardi sekolah-sekolah reguler bersama-sama dengan
temannya yang awas (normal). Keadaan semacam ini penyesdiaan atau penyiapan
lingkungan fisik bagi mereka perlu mendapat perhatian di sekolah reguler.
Lingkungan fisik yang dimaksud dapat berupa kondisi pencahayaan (bagi yang low
vision), jalan dan gedung yang mudah diakses tunanetra, serta perlengkapan lain yang
mendukung keberhasilan belajar para tunanetra.
2. Prosedur Pengajaran
Metode pengajaran kepada tunanetra sebaiknya mencakup tiga prinsip yang meliputi:
pengalaman kongkret, pengalaman yang utuh, dan belajar dengan melakukan. Akibat
ketunanetraan banyak hal yang tidak dapat diterima secara kongkret seperti misalnya
benda atau obyek yang terlalu besar atau tidak dapat diraba misalnya bulan, mata hari,
gunung danlain-lain. Oleh karena itu pengajaran pada tunanetra harus berupaya
memberikan pengalaman yang kongkret sehingga dapat mengurangi terjadinya
verbalisme (pengetahuan tanpa pengalaman nyata). Karena keterbatasan jangkauan
indera perabaan sering kali menyebabkan pengenalan terhadap suatu obyek tidak utuh
(bagian-bagian). Oleh karena itu pemahaman secara utuh tentang suatu obyek menjadi
prioritas dalam pengajaran pada tunanetra. Prinsip learning by doingdalam
pengajaran dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan pengalaman langsung
tunanetra terhadap suatu obyek atau peristiwa. Hal ini sering tertjadi karena akibat
over protectionsehingga tunanetra kehilangan kesempatan untuk memperoleh
pengetahuan atau pemahaman melalui kegiatan langsung.
3. Isi dan Materi Pengajaran
Pada dasarnya isi dan materi pengajaran pada tunanetra tidak berbeda dengan materi
pada anak awas. Meskipun demikian ada beberapa materi khusus yang mereka
perlukan sesuai dengan kebutuhannya. Materi pengajaran yang khusus diperlukan
oleh tunanetra adalah membaca dan menulis braille, keterampilan orientasi dan
mobilitas, keterampilan penggunaan indera selain penglihatan, aktivitas fisik dan lain-
lain.
Sumber : Scholl, G. T. (ed). (1986). Foundations of Education for Blind and Visually
Handicapped Children and Youth: Theory and Practice. New York: American Foundation
for the Blind, Inc.

Gangguan Yang Menyertai


1. Aspek Pribadi dan Sosial
Hallahan & Kauffman (1991) mengemukakan bahwa hasil penelitian tidak
menunjukkan bahwa anak tunanetra secara umum tidak dapat menyesuaikan diri
(maladjusted) sehingga masalah kepribadian bukan merupakan sifat/pembawaan dari
ketunaetraannya.
Sikap negatif orang normal/awas, dapat terjadi karena adanya penilaian yang salah
atau persepsi negatif terhadap tunanetra.
Beberapa litaratur mengemukakan karaktertik yang mungkin terjadi pada anak
tunanetra yang tergolonh buta sebagai akibat langsung maupu tidak langsung dari
kebutaannya, ialah :
1. Curiga pada orang lain
2. Mudah tersinggung
3. Ketergantungan pada orang lain

Sumber : Hallahan & Kauffman (1991). Exeptional Children. Boston : Allyn and Bacon

2. Aspek Motorik
Dari aspek motorik/perilaku anak tunanetra menunjukkan karakeristik seperti:
a. Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
Best (dalam Nawawi dkk, 2009) yang mengemukakan bahwa anak-anak
tunanetra tidak dapat dengan mudah memantau mobilitasnya (gerakannya) dan
oleh karenanya dapat mengalami kesulitan dalam memahami apa yang terjadi bila
mereka menggerakkan atau merentangkan anggota tubuhnya, membungkukkan
atau memutar tubuhnya.
b. Perilaku stereotipe

Sumber : Nawawi, Ahmad, dkk. (2009). Pentingnya Orientasi dan Mobilitas bagi
Tunanetra. Makalah. Diunduh dari http://file.upi.edu pada tanggal 13 Mei 2015.
Hosni (1995: 29-31) menyampaikan bahwa keterbatasan anak tunanetra terdiri dari 3 hal,
yakni keterbatasan di dalam lingkup 22 keanekaragaman pengalaman, keterbatasan dalam
berinteraksi dengan lingkungan, dan keterbatasan dalam berpindah-pindah tempat
(mobilitas).

a. Keterbatasan di dalam lingkup keanekaragaman pengalaman.


Anak tunanetra biasanya memiliki keberagaman pengalaman yang lebih sedikit
dibandingkan dengan anak tunanetra. Hosni (1995: 29), menyampaikan bahwa,
Keterbatasan indra di luar indra visual mengakibatkan adanya keterbatasan
pengalaman yang sangat beranekaragam. Keterbatasan indra di luar mata dalam
menerima informasi juga berakibat pada miskinnya konsep-konsep tentang diri,
objek, dan lingkungan. Informasi visual memiliki sumbangan yang cukup besar pada
pemerolehan informasi. Menurut Salim (2014: 1), Dari lima indera yang kita punyai,
indera penglihatan mempunyai peran sebanyak 83% bagi seseorang melaksanakan
kemampuannya.... Pendapat tersebut menegaskan bahwa, walaupun anak tunanetra
memaksimalkan penggunaan indra-indra yang masih berfungsi, informasi yang
mereka peroleh hanya sekitar 17%, sehingga mereka tetap memperoleh pengalaman
yang lebih rendah dibandingkan dengan anak normal.
b. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Hosni (1995: 30), menjelaskan tentang keterbatasan anak tunanetra dalam berinteraksi
dengan lingkungannya sebagai berikut: Tunanetra sangat miskin dalam konsep,
bahkan untuk menguasai konsep tentang dirinya diperlukan suatu bimbingan.
Dengan demikian maka ia akan mengalami kesulitan untuk membawa dirinya
memasuki lingkungan. 23 Pendapat tersebut menjelaskan, bahwa anak tunanetra
mengalami hambatan dalam pemahaman konsep-konsep dasar, sedangkan untuk
berinteraksi dengan lingkungan, seseorang membutuhkan konsep-konsep dasar yang
dapat membantu mereka dalam memahami dan memberikan gambaran awal tentang
lingkungan.
c. Keterbatasan mobilitas.
Keterbatasan mobilitas atau berpindah-pindah tempat berdampak pada kemampuan
seseorang dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Hosni (1995: 30)
menyampaikan sebagai berikut. Keanekaragaman informasi dan keanekaragaman
pengalaman akan diperoleh bila seseorang dapat bepergian dengan bebas dan mandiri.
Untuk terciptanya interaksi dengan lingkungan fisik maupun sosial dibutuhkan
adanya kemampuan berpindah-pindah tempat. Semakin mampu dan terampil seorang
tunanetra melakukan mobilitas semakin berkurang hambatan dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Keterbatasan seseorang dalam melakukan mobilitas menjadi
indikasi kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Semakin
baik kemampuan seseorang tersebut dalam melakukan mobilitas, maka semakin baik
pula kemampuannya dalam melakukan interaksi dengan lingkungan termasuk
berkomunikasi dengan sesama serta melakukan sosialisasi. Anak tunanetra memiliki
hambatan dalam melakukan mobilitas, untuk meningkatkan kemampuan mereka
dalam berinteraksi, perlu adanya usaha dari lingkungan untuk memberikan layanan
serta latihan yang sistematis.

Sumber : Hosni, Irham. (1995). Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas. Jakarta: Depdikbud.

Вам также может понравиться