Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh:
Nurfadliyah
Nindia Nur Arifiana Putri
Hal ini menyebabkan perusahaan harus berusaha memenuhi tuntutan ini dengan
melakukan bisnis yang ramah lingkungan. Perusahaan harus menyiapkan anggaran yang
terkait dengan aktivitas untuk memastikan bahwa mereka tidak menghasilkan/ harus
mengolah limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Hal ini pada akhirnya akan menjadi
biaya bagi perusahaan. Perusahaan harus memikirkan bagaimana agar dapat
meminimalkan atau bahkan menghilangkan biaya yang terkait dampak lingkungan.
Salah satu pendekatan manajemen terkait biaya lingkungan adalah environment cost
of quality. Makalah ini akan membahas mengenai biaya lingkungan, bagaimana
meminimalkan biaya lingkungan dan bahkan menggunakan biaya lingkungan yang
dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan tambahan dari peningkatan-peningkatan yang
dilakukan. Selain itu makalah ini akan membahas mengenai triple bottom line yang
merupakan pendekatan yang memperhatikan tidak hanya profit, tetapi juga aspek sosial
dan lingkungan.
ENVIRONMENTAL COST OF QUALITY
1. Pelanggan menginginkan produk yang lebih bersih, yaitu produk yang diproduksi
tanpa merusak lingkungan serta penggunaan dan pembuangannya ramah lingkungan.
2. Para pegawai lebih suka bekerja di perusahaan yang bertanggungjawab terhadap
lingkungan dan akan menghasilkan produktivitas yang lebih besar.
3. Perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan cenderung memperoleh
keuntungan eksternal, seperti biaya modal yang lebih rendah dan tingkat asuransi yang
lebih rendah.
4. Kinerja lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan keuntungan sosial yang
signifikan, seperti keuntungan bagi kesehatan manusia.
5. Fokus pada peningkatan kinerja lingkungan membangkitkan keinginan para manajer
untuk melakukan inovasi dan mencari peluang baru.
6. Pengurangan biaya lingkungan dapat mempertahankan atau menciptakan keunggulan
bersaing.
Pengurangan biaya dan insentif kompetitif merupakan hal yang penting. Biaya
lingkungan dapat merupakan persentase yang signifikan dari biaya operasional total.
Pengetahuan mengenai biaya lingkungan dan penyebab-penyebabnya dapat mengarah
pada desain ulang proses yang dapat mengurangi bahan baku yang digunakan. Jadi, biaya
lingkungan saat ini dan di masa depan dikurangi sehingga perusahaan menjadi lebih
kompetitif.
Dengan demikian, biaya lingkungan dapat disebut juga sebagai biaya kualitas
lingkungan. Dalam arti yang sama dengan biaya kualitas, biaya lingkungan adalah biaya
yang dikeluarkan karena kualitas lingkungan yang buruk ada atau mungkin ada. Dengan
demikian, biaya lingkungan berkaitan dengan penciptaan, deteksi, perbaikan, dan
pencegahan degradasi lingkungan. Dengan definisi ini, biaya lingkungan dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:
Contoh biaya kegagalan eksternal yang direalisasi adalah: pembersihan danau yang
tercemar, pembersihan minyak yang tumpah, pembersihan tanah yang tercemar,
penggunaan bahan baku dan energi secara tidak efisien, penyelesaian klaim
kecelakaan pribadi dari praktik kerja yang tidak ramah lingkungan, dll. Contoh biaya
sosial adalah: mencakup perawatan medis karena udara yang terpolusi (kesejahteraan
individu), hilangnya kegunaan danau sebagai tempat rekreasi karena pencemaran
(degradasi), hilangnya lapangan pekerjaan karena pencemaran (kesejahteraan
individual), dan rusaknya ekosistem karena pembuangan sampah padat (degradasi).
Gambar 1.
Gambar 2.
Dari laporan ini, terlihat upaya untuk menyoroti pentingnya biaya lingkungan
dengan mengekspresikan mereka sebagai persentase dari total biaya operasional. Dalam
laporan ini, biaya lingkungan merupakan 30 persen dari total biaya operasional,
merupakan jumlah yang signifikan. Dari sudut pandang praktis, biaya lingkungan akan
menjadi perhatian manajerial hanya jika mewakili jumlah yang signifikan. Ketika menjadi
biaya yang sangat signifikan, maka manajer cenderung berusaha melakukan upaya
pengurangan terhadap biaya yang terkait lingkungan.
Investasi lebih dalam kegiatan pencegahan dan deteksi dapat menghasilkan
penurunan yang signifikan pada biaya kegagalan lingkungan. Bahkan investasi pada
peralatan yang mendukung pengurangan konsumsi energi, air, dan bahan kimia dapat
menghasilkan penghematan. Biaya lingkungan tampaknya berperilaku dalam banyak cara
yang sama seperti biaya kualitas. biaya lingkungan terendah yang dicapai pada titik
kerusakan sama seperti zero-defect dalam model biaya kualitas. Dengan demikian, solusi
ekoefisien lebih berfokus pada pencegahan dengan pandangan bahwa pencegahan lebih
murah daripada mengobati. Analogi ini sama dengan total quality model, kerusakan nol
adalah titik biaya terendah untuk biaya lingkungan.
Dalam melakukan hal ini peran penting dari aktivitas manajemen tidak bisa
dihindarkan. Aktivitas manajemen yang dilakukan mulai dari mengidentifikasi aktivitas
lingkungan, menilai biaya yang diperlukan berdasarkan aktivitas lingkungan. Prosedur
pengendalian kemudian dapat dilakukan setelah mengetahui biaya lingkungan dan produk
serta proses apa yang menghasilkan biaya lingkungan.
Pada tahapan ini kemudian, manajemen perlu mengklasifikasikan aktivitas.
Aktivitas diklasifikasikan sebagai aktivitas lingkungan bernilai tambah dan yang tidak
bernilai tambah. Dengan mengetahui aktivitas-aktivitas tersebut maka kemudian dapat
ditentukan langkah selanjutnya. Perusahaan kemudian dapat meredesain produk dan
prosesnya untuk meminimalkan dan mengeliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah.
Desain yang dirancang adalah desain yang ramah lingkungan. Hal ini meliputi
produk, proses, material, energi, dan daur ulang. Jadi desain ini mencakup seluruh siklus
hidup produk dan pengaruhnya bagi lingkungan diperhitungkan. Hal yang tidak bisa
dilupakan juga adalah terkait pengukuran keuangan. Manajemen berperan untuk
memastikan bahwa peningkatan perhatian pada aspek lingkungan seharusnya memberikan
konsekuensi bagi perusahaan berupa keuntungan secara ekonomi. Perusahaan harus
menghitung total biaya lingkungan yang dikeluarkan selama beberapa periode apakah
terdapat penurunan biaya terkait dampak lingkungan.
Menurut Boer, Curtin, & Hoyt (1998), terdapat tiga strategi untuk mengelola biaya
lingkungan, yaitu:
3. Prevention strategy
Merupakan strategi utama untuk memaksimalkan nilai dari kegiatan yang
berhubungan dengan pencemaran dimana melibatkan penghindaran yang menyeluruh
terhadap polusi dengan cara tidak memproduksi sama sekali polutan. Dalam strategi
ini, perusahaan sangat menghindari semua masalah dengan otoritas yang berwenang,
dan bahkan dalam banyak kasus perusahaan yang melakukan strategi ini dapat
meningkatkan profit secara signifikan.
Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya konsep
CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR ini. Salah
satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi pandangan
bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka
perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar keuntungan (profit),
perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan
(planet).
Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan
usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah
mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk
tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang
dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas
dan melakukan efisiensi biaya. Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan
memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang
tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat
tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya
serendah mungkin.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan
memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di samping
ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya
Dalam era globalisasi peursahaan tidak hanya mementingkan aspek ekonomi saja,
tetapi harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, setiap perusahaan
berusaha untuk memenuhi kegiatan yang berkaitan dengan memperhatikan kepentingan
sosial dan lingkungan. Seperti penelitian Sandra (2011) menyatakan bahwa perusahaan
yang berkelanjutan bukan hanya mengejar keuntungan financial, bukan hanya peningkatan
nilai pemegang saham. Namun yang paling baik adalah dicapai melalui kerangka kerja
yang luas di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan nilai-nilai etika serta tujuan bersama
yang melibatkan interaksi antara perusahaan dan berbagai pemangku kepentingan.
Pada tahun 2010an, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan
menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas.
Alasan mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan
kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan
salah satu penyebab utama perubahan iklim global yang lebih dikenal dengan global
warming.
Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga
didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009,
Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka
menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di
Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka
beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan
tersebut benar.Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia gempar dengan kasus
bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati karena bunuh diri dalam
waktu lima bulan.
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya
yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and
Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah
melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari
strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab
sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski
dilanda krisis, kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus
program tanggung jawab dipotong lebih dulu.
DAFTAR REFERENSI
Boer, G., Curtin, M., & Hoyt, L. (1998). Environmental cost management. Management
Accounting, 80(3), 2838.
Hansen, D. R., Mowen, M. M., & Guan, L. (2009). Cost Management: Accounting &
Control (6th ed.). Mason: Southwestern Cengage Learning.
http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/