Вы находитесь на странице: 1из 15

AKUNTANSI MANAJEMEN LINGKUNGAN

Oleh:
Nurfadliyah
Nindia Nur Arifiana Putri

JOINT PROGRAM AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSIAS BRAWIJAYA
2017
PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya mempedulikan sumber daya di bumi


untuk kepentingan generasi mendatang, melahirkan kepedulian akan pentingnya menjaga
kelestarian dan ketersediaan sumber daya. Kepedulian pada lingkungan yang meliputi
kualitas udara, air dan bahan beracun yang dapat merusak alam juga berpengaruh terhadap
bisnis perusahaan yang dituntut agar perusahaan berbisnis dengan ramah lingkungan.

Hal ini menyebabkan perusahaan harus berusaha memenuhi tuntutan ini dengan
melakukan bisnis yang ramah lingkungan. Perusahaan harus menyiapkan anggaran yang
terkait dengan aktivitas untuk memastikan bahwa mereka tidak menghasilkan/ harus
mengolah limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Hal ini pada akhirnya akan menjadi
biaya bagi perusahaan. Perusahaan harus memikirkan bagaimana agar dapat
meminimalkan atau bahkan menghilangkan biaya yang terkait dampak lingkungan.

Salah satu pendekatan manajemen terkait biaya lingkungan adalah environment cost
of quality. Makalah ini akan membahas mengenai biaya lingkungan, bagaimana
meminimalkan biaya lingkungan dan bahkan menggunakan biaya lingkungan yang
dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan tambahan dari peningkatan-peningkatan yang
dilakukan. Selain itu makalah ini akan membahas mengenai triple bottom line yang
merupakan pendekatan yang memperhatikan tidak hanya profit, tetapi juga aspek sosial
dan lingkungan.
ENVIRONMENTAL COST OF QUALITY

Kepedulian akan pentingnya perusahaan memperhatikan dampak lingkungan


dalam aktivitas industri, mendorong munculnya banyak peraturan yang mewajibkan
perusahaan untuk melakukan pengelolaan atas dampak yang dihasilkan dari kegiatan
produksi. Hal ini mendorong perusahaan perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
terkait lingkungan. Untuk meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan terkait lingkungan,
maka perusahaan harus menerapkan suatu sistem produksi yang ramah lingkungan. Oleh
karena itu muncul suatu konsep yang dinamakan ecoefficiency.

Ekoefisiensi merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk menyatukan antara


tujuan bisnis perusahaan dengan menyelesaikan berbagai permasalahan terkait lingkungan
sebagai akibat dari kegiatan produksi. Secara esensi, ekoefisiensi menjaga agar organisasi
dapat memproduksi makin banyak barang dan jasa yang mana secara simultan mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan, konsumsi sumber daya, dan biaya. Ekoefisiensi
paling tidak mengandung tiga hal penting. Pertama, peningkatan kinerja ekologi dan
ekonomi dapat dan sudah seharusnya saling melengkapi. Kedua, peningkatan kinerja
lingkungan seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai amal dan untuk nama baik,
tetapi juga sebagai suatu persaingan (competitiveness). Ketiga, ekoefisiensi adalah suatu
pelengkap dan pendukung pengembangan yang berkesinambungan (sustainable
development). Pengembangan yang berkesinambungan didefinisikan sebagai
pengembangan yang memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi kemampuan
generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Ekoefisiensi mengimplikasikan peningkatan efisiensi yang berasal dari peningkatan


kinerja lingkungan. Ada sejumlah sumber dari insentif dan penyebab peningkatan
efisiensi, diantaranya:

1. Pelanggan menginginkan produk yang lebih bersih, yaitu produk yang diproduksi
tanpa merusak lingkungan serta penggunaan dan pembuangannya ramah lingkungan.
2. Para pegawai lebih suka bekerja di perusahaan yang bertanggungjawab terhadap
lingkungan dan akan menghasilkan produktivitas yang lebih besar.
3. Perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan cenderung memperoleh
keuntungan eksternal, seperti biaya modal yang lebih rendah dan tingkat asuransi yang
lebih rendah.
4. Kinerja lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan keuntungan sosial yang
signifikan, seperti keuntungan bagi kesehatan manusia.
5. Fokus pada peningkatan kinerja lingkungan membangkitkan keinginan para manajer
untuk melakukan inovasi dan mencari peluang baru.
6. Pengurangan biaya lingkungan dapat mempertahankan atau menciptakan keunggulan
bersaing.
Pengurangan biaya dan insentif kompetitif merupakan hal yang penting. Biaya
lingkungan dapat merupakan persentase yang signifikan dari biaya operasional total.
Pengetahuan mengenai biaya lingkungan dan penyebab-penyebabnya dapat mengarah
pada desain ulang proses yang dapat mengurangi bahan baku yang digunakan. Jadi, biaya
lingkungan saat ini dan di masa depan dikurangi sehingga perusahaan menjadi lebih
kompetitif.

Model Biaya Kualitas Lingkungan

Sebelum informasi biaya lingkungan dapat diberikan kepada manajemen, biaya


lingkungan harus didefinisikan. Berbagai kemungkinan bisa saja ada terkait definisi biaya
lingkungan, namun pendekatan menarik yaitu mengadopsi definisi yang konsisten yang
dikenal dengan total environmental quality model (TEQM). Dalam model ini, keadaan
yang ideal adalah tidak ada kerusakan lingkungan. Kerusakan didefenisikan sebagai
degradasi langsung dari lingkungan, seperti emisi residu benda padat, cair, atau gas ke
dalam lingkungan (misalnya: pencemaran air dan polusi udara), atau degradasi tidak
langsung seperti penggunaan bahan baku dan energi yang tidak perlu.

Dengan demikian, biaya lingkungan dapat disebut juga sebagai biaya kualitas
lingkungan. Dalam arti yang sama dengan biaya kualitas, biaya lingkungan adalah biaya
yang dikeluarkan karena kualitas lingkungan yang buruk ada atau mungkin ada. Dengan
demikian, biaya lingkungan berkaitan dengan penciptaan, deteksi, perbaikan, dan
pencegahan degradasi lingkungan. Dengan definisi ini, biaya lingkungan dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:

1. Biaya Pencegahan Lingkungan (environmental prevention costs),


Biaya yang terkait ini adalah biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk
mencegah diproduksinya limbah dan/atau sampah yang dapat merusak lingkungan.
Contoh: Evaluasi dan pemilihan pemasok, evaluasi dan pemilihan alat untuk
mengendalikan polusi, desain proses dan produk untuk mengurangi dan menghapus
limbah, melatih pegawai, mempelajari dampak lingkungan, audit risiko lingkungan,
daur ulang produk, pemerolehan sertifikasi ISO 14001.

2. Biaya Deteksi Lingkungan (environmental detection costs)


Biaya yang terkait deteksi adalah biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan dalam
menentukan bahwa produk, proses, dan aktivitas lain di perusahaan telah memenuhi
standar lingkungan yang berlaku atau tidak. Contoh: Audit aktivitas lingkungan,
pemeriksaan produk dan proses, pengembangan ukuran kinerja lingkungan,
pelaksanaan pengujian pencemaran, verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok, serta
pengukuran tingkat pencemaran.

3. Biaya Kegagalan Internal Lingkungan (environmental internal failure costs)


Merupakan biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena diproduksinya limbah
dan sampah, tetapi tidak dibuang ke lingkungan luar. Contoh: Pengoperasian peralatan
untuk mengurangi atau menghilangkan polusi, pengolahan dan pembuangan limbah
beracun, pemeliharaan peralatan polusi, lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah,
serta daur ulang sisa bahan.

4. Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan (environmental external failure)


Adalah biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan serta melepas limbah atau sampah
ke dalam lingkungan. Biaya ini terbagi menjadi dua, yaitu: biaya kegagalan eksternal
yang direalisasi (realized external failure costs) dan biaya kegagalan eksternal yang
tidak direalisasikan (unrealized external failure costs). Biaya kegagalan eksternal yang
direalisasi adalah biaya yang dialami dan dibayar oleh perusahaan. Biaya kegagalan
eksternal yang tidak direalisasikan adalah biaya sosial disebabkan oleh perusahaan,
tetapi dialami dan dibayar oleh pihak-pihak di luar perusahaan. Biaya sosial ini dapat
diklasifikasikan sebagai biaya yang dihasilkan dari degradatio lingkungan dan yang
berhubungan dengan dampak negatif terhadap properti atau kesejahteraan individu.
Dalam kedua kasus, biaya ditanggung oleh orang lain dan bukan oleh perusahaan
meskipun penyebab adalah perusahaan.

Contoh biaya kegagalan eksternal yang direalisasi adalah: pembersihan danau yang
tercemar, pembersihan minyak yang tumpah, pembersihan tanah yang tercemar,
penggunaan bahan baku dan energi secara tidak efisien, penyelesaian klaim
kecelakaan pribadi dari praktik kerja yang tidak ramah lingkungan, dll. Contoh biaya
sosial adalah: mencakup perawatan medis karena udara yang terpolusi (kesejahteraan
individu), hilangnya kegunaan danau sebagai tempat rekreasi karena pencemaran
(degradasi), hilangnya lapangan pekerjaan karena pencemaran (kesejahteraan
individual), dan rusaknya ekosistem karena pembuangan sampah padat (degradasi).

Gambar 1.

Klasifikasi Biaya Lingkungan Berdasarkan Aktivitas

* (S) menunjukkan biaya sosial

Gambar dikutip dari Hansen, Mowen, & Guan (2009)


Pelaporan Biaya Lingkungan

Pelaporan biaya lingkungan adalah penting jika organisasi serius meningkatkan


kinerja lingkungan dan pengendalian biaya lingkungan. Langkah pertama yang baik adalah
laporan yang merinci biaya lingkungan berdasarkan kategori. Pelaporan biaya lingkungan
berdasarkan kategori mengungkapkan dua hasil penting, yaitu: (1) dampak dari biaya
lingkungan terhadap profitabilitas perusahaan dan (2) jumlah relatif yang dikeluarkan
dalam setiap kategori. Gambar 2 di bawah, dikutip dari Hansen et al.(2009) memberikan
contoh laporan biaya lingkungan sederhana.

Gambar 2.

Contoh Pelaporan Biaya Lingkungan

(Hansen et al., 2009)

Dari laporan ini, terlihat upaya untuk menyoroti pentingnya biaya lingkungan
dengan mengekspresikan mereka sebagai persentase dari total biaya operasional. Dalam
laporan ini, biaya lingkungan merupakan 30 persen dari total biaya operasional,
merupakan jumlah yang signifikan. Dari sudut pandang praktis, biaya lingkungan akan
menjadi perhatian manajerial hanya jika mewakili jumlah yang signifikan. Ketika menjadi
biaya yang sangat signifikan, maka manajer cenderung berusaha melakukan upaya
pengurangan terhadap biaya yang terkait lingkungan.
Investasi lebih dalam kegiatan pencegahan dan deteksi dapat menghasilkan
penurunan yang signifikan pada biaya kegagalan lingkungan. Bahkan investasi pada
peralatan yang mendukung pengurangan konsumsi energi, air, dan bahan kimia dapat
menghasilkan penghematan. Biaya lingkungan tampaknya berperilaku dalam banyak cara
yang sama seperti biaya kualitas. biaya lingkungan terendah yang dicapai pada titik
kerusakan sama seperti zero-defect dalam model biaya kualitas. Dengan demikian, solusi
ekoefisien lebih berfokus pada pencegahan dengan pandangan bahwa pencegahan lebih
murah daripada mengobati. Analogi ini sama dengan total quality model, kerusakan nol
adalah titik biaya terendah untuk biaya lingkungan.

Laporan Keuangan Lingkungan

Ekoefisiensi memungkinkan modifikasi pada pelaporan biaya lingkungan. Secara


khusus, selain pelaporan biaya lingkungan, mengapa tidak melaporkan manfaat
lingkungan? Dalam suatu periode tertentu, ada tiga jenis manfaat, yaitu: pendapatan
tambahan, tabungan saat ini, dan biaya yang dihindari (penghematan yang sedang
berlangsung). Pendapatan tambahan adalah pendapatan yang mengalir ke dalam organisasi
karena tindakan lingkungan seperti daur ulang kertas, menemukan aplikasi baru untuk
limbah tidak berbahaya (misalnya, menggunakan scrap kayu untuk membuat potongan-
potongan kayu dan papan catur), dan peningkatan penjualan karena pencitraan atas ramah
lingkungan ditingkatkan. Menghindari biaya mengacu pada penghematan atas biaya yang
telah dibayarkan pada tahun sebelumnya. Tabungan saat ini mengacu pada pengurangan
biaya lingkungan yang dicapai pada tahun berjalan. Dengan membandingkan manfaat
yang dihasilkan dengan biaya lingkungan yang terjadi dalam suatu periode tertentu, jenis
laporan keuangan lingkungan dibuat. Manajer dapat menggunakan pernyataan ini untuk
menilai kemajuan (manfaat yang dihasilkan) dan potensi untuk kemajuan (biaya
lingkungan). Laporan keuangan lingkungan juga dapat menjadi bagian dari laporan
kemajuan lingkungan yang diberikan kepada pemegang saham pada laporan tahunan.
Gambar 3.

Contoh Laporan Keuangan Lingkungan

STRATEGI BERDASARKAN AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN


LINGKUNGAN

Secara keseluruhan peningkatan kinerja lingkungan menyarankan untuk selalu


meningkatkan kerangka kerja terkait pengendalian lingkungan. Terdapat lima tujuan utama
yang dapat diindentifikasi terkait kinerja lingkungan dari perspektif lingkungan, yaitu:
meminimalkan penggunaan bahan mentah atau baru, meminimalkan penggunaan barang
berbahaya, meminimalkan penggunaan energi untuk produksi dan penggunaan produk,
meminimalkan pelepasan residu baik padat, cair atau gas, dan terakhir memaksimalkan
peluang daur ulang.

Dalam melakukan hal ini peran penting dari aktivitas manajemen tidak bisa
dihindarkan. Aktivitas manajemen yang dilakukan mulai dari mengidentifikasi aktivitas
lingkungan, menilai biaya yang diperlukan berdasarkan aktivitas lingkungan. Prosedur
pengendalian kemudian dapat dilakukan setelah mengetahui biaya lingkungan dan produk
serta proses apa yang menghasilkan biaya lingkungan.
Pada tahapan ini kemudian, manajemen perlu mengklasifikasikan aktivitas.
Aktivitas diklasifikasikan sebagai aktivitas lingkungan bernilai tambah dan yang tidak
bernilai tambah. Dengan mengetahui aktivitas-aktivitas tersebut maka kemudian dapat
ditentukan langkah selanjutnya. Perusahaan kemudian dapat meredesain produk dan
prosesnya untuk meminimalkan dan mengeliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah.

Desain yang dirancang adalah desain yang ramah lingkungan. Hal ini meliputi
produk, proses, material, energi, dan daur ulang. Jadi desain ini mencakup seluruh siklus
hidup produk dan pengaruhnya bagi lingkungan diperhitungkan. Hal yang tidak bisa
dilupakan juga adalah terkait pengukuran keuangan. Manajemen berperan untuk
memastikan bahwa peningkatan perhatian pada aspek lingkungan seharusnya memberikan
konsekuensi bagi perusahaan berupa keuntungan secara ekonomi. Perusahaan harus
menghitung total biaya lingkungan yang dikeluarkan selama beberapa periode apakah
terdapat penurunan biaya terkait dampak lingkungan.

Menurut Boer, Curtin, & Hoyt (1998), terdapat tiga strategi untuk mengelola biaya
lingkungan, yaitu:

1. End of pipe strategy


Dalam pendekatan ini, perusahaan menghasilkan limbah atau polutan, dan kemudian
membersihkannya sebelum dibuang ke lingkungan. Scrubber cerobong asap,
pengolahan air limbah, dan filter karbon udara adalah contoh-contoh strategi akhir
pipa. Pendekatan ini kurang menguntungkan, karena menambah biaya dalam laporan
keuangan tanpa ada dampak pemulihan atas biaya yang dikeluarkan

2. Process improvement strategy


Dengan pendekatan ini, perusahaan mencari jalan untuk mendaur ulang limbah secara
internal untuk mengurangi sisa produksi, atau mengadopsi proses produksi yang tidak
menghasilkan sisa. Cara ini dapat meningkatkan meningkatkan profit dan juga
mengurangi polusi seperti pada end of pipe strategy.

3. Prevention strategy
Merupakan strategi utama untuk memaksimalkan nilai dari kegiatan yang
berhubungan dengan pencemaran dimana melibatkan penghindaran yang menyeluruh
terhadap polusi dengan cara tidak memproduksi sama sekali polutan. Dalam strategi
ini, perusahaan sangat menghindari semua masalah dengan otoritas yang berwenang,
dan bahkan dalam banyak kasus perusahaan yang melakukan strategi ini dapat
meningkatkan profit secara signifikan.

TRIPLE BOTTOM LINE

Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya konsep
CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR ini. Salah
satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi pandangan
bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka
perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar keuntungan (profit),
perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan
(planet).

Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan
usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah
mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk
tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang
dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas
dan melakukan efisiensi biaya. Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan
memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang
tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat
tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya
serendah mungkin.

People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi


perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu
berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Dan perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada
masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat
menyentuh kebutuhan masyarakat
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam
kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara
yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan.
Namun sebagian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal
ini disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya.

Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan
memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di samping
ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya

Pengungkapan Triple Bottom Line

Dalam era globalisasi peursahaan tidak hanya mementingkan aspek ekonomi saja,
tetapi harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, setiap perusahaan
berusaha untuk memenuhi kegiatan yang berkaitan dengan memperhatikan kepentingan
sosial dan lingkungan. Seperti penelitian Sandra (2011) menyatakan bahwa perusahaan
yang berkelanjutan bukan hanya mengejar keuntungan financial, bukan hanya peningkatan
nilai pemegang saham. Namun yang paling baik adalah dicapai melalui kerangka kerja
yang luas di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan nilai-nilai etika serta tujuan bersama
yang melibatkan interaksi antara perusahaan dan berbagai pemangku kepentingan.

Selanjutnya, konsep ini dikembangkan seperti penelitian Zu (2009) dalam Sandra


(2011) mengungkapkan tentang teori triple bottom line dengan tiga aspek utama yaitu,
ekonomis, sosial dan lingkungan. Triple bottom line menangkap spektrum yang lebih luas
dari nilai-nilai dan kriteria untuk mengukur kesuksesan organisasi yaitu ekonomi,
lingkungan dan sosial. Hal ini berarti memperluas kerangka kerja pelaporan sederhana
untuk memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan disamping kinerja keuangan. Ini
juga menangkap esensi pembangunan berkelanjutan (sustainability development) dengan
mengukur dampak ketiga aspek tersebut dari kegiatan operasi perusahaan.
Konsep disampaikan oleh Solihin (2008) menyatakan bahwa pengenalan konsep
sustainability development memberi dampak besar kepada perkembangan konsep triple
bottom line selanjutnya. Sebagai contoh the organization for economic cooperation and
development (OECD merumuskankontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta
adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian kepada
para pemegang saham, upah bagi karyawan dan pembuatan produk serta jasa bagi para
pelanggan melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai
hal yang dianggap penting serta nilai-nilai masyarakat.

Triple Bottom Line: Lebih dari Sekadar Profit

Pada tahun 2010an, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan
menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas.
Alasan mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan
kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan
salah satu penyebab utama perubahan iklim global yang lebih dikenal dengan global
warming.

Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga
didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009,
Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka
menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di
Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka
beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan
tersebut benar.Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia gempar dengan kasus
bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati karena bunuh diri dalam
waktu lima bulan.

Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa


perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington tahun
1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P
People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur nilai
kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring
perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak
digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan
tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu
bentuk implementasi TBL.

Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan


kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan
yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham). Tidak
dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu program
yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa perusahaan
menerapkan program ini karena terpaksa untuk mengantisipasi penolakan dari
masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan, hambatan
lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan profesi akuntansi
tentang penyajian pelaporan non finansial.

Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya
yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and
Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah
melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari
strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab
sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski
dilanda krisis, kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus
program tanggung jawab dipotong lebih dulu.
DAFTAR REFERENSI

Boer, G., Curtin, M., & Hoyt, L. (1998). Environmental cost management. Management
Accounting, 80(3), 2838.

Hansen, D. R., Mowen, M. M., & Guan, L. (2009). Cost Management: Accounting &
Control (6th ed.). Mason: Southwestern Cengage Learning.

Nugroho, Adhi Karya. 2013. Skripsi: Pengaruh Karakteristik Perusahaan, Struktur


Kepemilikan, Dan Good Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Triple
Bottom Line Di Indonesia. Undip. Semarang

http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/

Вам также может понравиться