Вы находитесь на странице: 1из 30

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS

Suatu penelitian berkualitas memerlukan landasan dasar teoritis untuk

mendapatkan suatu pengertian serta pemahaman tentang hal yang hendak di teliti.

Sehingga seorang peneliti harus melakukan studi kepustakan dengan menggunakan

buku-buku, majalah, koran, artikel dan jurnal serta media elektronik sebagai

landasan teori yang akan digunakan untuk mendukung penelitian.

Semiawan (2012:104) mengatakan tinjauan pustaka atau literature review

adalah bahan yang tertulis berupa buku, jurnal yang membahas tentang topik yang

hendak diteliti dan dapat membantu peneliti untuk melihat ide-ide, pendapat, dan

juga kritikan tentang topik penelitian. Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep

dasar pengetahuan, konsep dasar sikap, konsep dasar pencegahan HIV/AIDS, dan

defenisi istilah.

2.1 Konsep Dasar Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang yang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2007 hal 50).

Pengetahuan adalah penginderaan manusia, atau hasil tahu seseeorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu
penginderaan samapai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh

intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2010 hal.50).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan

penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

2.1.1 Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007 hal. 50) pengetahuan seseorang terhadap objek

mempunyai intesitas atau tingkat yang berbeda. Secara garis besarnya dibagi dalam

6 tingkat pengetahuan, yaitu :

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau ransangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu

merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk

mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain,

menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap suatu objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi rill (sebenarnya). Aplikasi

dapat diartikan juga aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,

metode, prinsip, dan sebaginya dalam konteks atau situasi yang lain.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjalarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu

struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat di lihat dari penggunaan kata-kata kerja,

dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi-formulasi yang ada.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian-


penelitian itu berdasarkaan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat

kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut.

2.2 Konsep Dasar Sikap

Menurut Calhoun dan Acocella (1990) yang dikutip oleh Saam dan

Wahyuni (2013:61) yang menjelaskan bahwa sikap adalah sesuatu yang melekat

pada keyakinan-keyakinan dan perasaan-perasaan terhadap suatu objek dan

predisposisi untuk dibuat terhadap objek dengan cara-cara tertentu.

Menurut Gerungan (1996) yang dikutip oleh Sunaryo (2004:196) yang

menjelaskan bahwa sikap atau attitude diartikan dengan sikap terhadap objek

tertentu, yang merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut

disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan objek yang tadi.

2.2.1 Fungsi Sikap

Sikap mempunyai berbagai fungsi. Jika sudah terbentuk dalam diri

seseorang, maka akan mempengaruhi bagaimana seseorang itu akan berperilaku.

Fungsi sikap adalah sebagai berikut :


1) Fungsi mengorganisasi pikiran, artinya keyakinan-keyakinan dalam diri

memungkinkan kita mengorganisasikan pengalaman sosial untuk memberi

arti pada suatu kejadian.

2) Sikap memberi fungsi manfaat atau kegunaan. Sikap digunakan untuk

mengonfirmasi sikap orang lain dan memperoleh persetujuan sosial.

3) Sikap memberikan fungsi perlindungan.

2.2.2 Sumber Sikap

Sumber sikap terjadi dan terbentuk yaitu dari pengalaman pribadi, perasaan

negatif yang menyakitkan, dan pengaruh sosial. Sumber sikap dari pengalaman

pribadi baik pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang pahit atau

tidak menyenangkan. Pengalaman yang menyenangkan akan membentuk sikap

positif. Sumber sikap yang lain adalah pelampiasan perasaan yang menyakitkan.

Hal ini menjadi penyebab terjadinya prasangka sosial. Sumber lainnya adalah

pengaruh sosial. Hal ini terjadi bila sebagian besar atau hampir seluruh lingkungan

sosial atau masyarakat telah bersikap tertentu.

Komponen kognitif atau disebut juga komponen konseptual. Komponen

kognitif meliputi pandangan, pendapat, pikiran, kepercayaan, dan persepsi terhadap

objek sikap. Komponen afektif disebut juga komponen emosional merupakan

perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap. Komponen konatif atau psikomotor

atau disebut juga komponen perilaku yaitu yang berhubungan dengan

kecenderungan berbuat atau predisposisi terhadap sesuatu objek sikap.


2.2.3 Tingkatan Sikap

Sikap memiliki 4 tingkatan, dari yang terendah hingga yang tertinggi, yaitu:

1) Menerima (receiving)

Pada tingkat ini, individu ingin dan memperhatikan ransangan (stimulus)

yang diberikan.

2) Merespons (responding)

Pada tingkatan ini, sikap individu dapat memberikan jawaban apabila

ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

3) Menghargai (valving)

Pada tingkatan ini, sikap individu mengajak orang lain untuk mengerjakan

atau mendiskusikan suatu masalah.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Pada tingkatan ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap

menanggung segala resiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya.

2.2.4 Ciri-ciri Sikap

Ada beberapa ciri-ciri sikap antara lain :

1) Sikap bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk

melalui pengalaman.

2) Sikap mempunyai objek. Tidak ada sikap tanpa objek.

3) Sikap terhadap sesuatu bisa terjadi dalam waktu relatif singkat atau

berlansung lama.
4) Sikap terhadap suatu objek bukan semata-mata ditentukan oleh bagaimana

sikap itu, tetapi dipengaruhi juga oleh aspek lain seperti pengetahuan,

pendidikan, dan budaya. Contoh : sikap terhadap suatu penyakit.

Jadi, sikap adalah keyakinan dan penilaian serta kecenderungan berperilaku

terhadap sesuatu objek. Sikap tersebut terdiri dari aspek kognitif, objektif, dan

psikomotor. Sikap dapat diukur lansung tidak berstruktur dengan umum cara bebas

dan melalui skala Likert. Pransangka adalah kecenderungan penilaian negatif

terhadap seseorang atau kelompok atau objek tertentu. Prasangka terjadi karena

minimnya informasi atau dasarnya tidak kuat sehingga timbul penilaian-penilaian

negatif tentang sesuatu. Maka hindari prasangka karena akan merusak hubungan,

lawan prasangka dengan berpikiran positif terhadap sesuatu hal.

2.3 Konsep Dasar Pencegahan HIV/AIDS

Najmah (2016:149) HIV/AIDS adalah singkatn dari Human

Immunodefeciency Virus, yaitu virus yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune

Deficiency Syndrome). AIDS adalah tahap lanjut dari infeksi HIV yang

menyebabkan beberapa infeksi lainnya. Virus akan memperburuk sistem kekebalan

tubuh, dan penderita HIV/AIDS akan berakhir dengan kematian dalam waktu 5-10

tahun kemudian jika tanpa pengobatan yang cukup.

Menurut Widoyono (2011) AIDS (Acquired immune deficiency syndrome)

adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan

penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh

HIV (Human immunodeficiency virus). Penyakit ini telah menjadi masalah


internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah

pasien dan semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan

vaksin atau obat yang relatif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan di

dunia.

2.3.1 Epidemiologi HIV/AIDS

1) Agent

Virus HIV termasuk Netrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi

sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh, virus

tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus

yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/ semakin banyak virus dalam

darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga

semakin parah. Virus HIV atau Virus AIDS, sebagaimana virus lainnya

sebenarnya sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Virus akan mati bila

dipanaskan dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus

AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan

dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mennsterilkan

peralatan medis atau peralatan lain.

2) Pejamu

Host pada HIV adalah manusia. Virus berkembangbiak di tubuh manusia

dengan cepat dan hidup di aliran darah, cairan semen dan cairan vagina. Air

susu ibu yang terinfeksi HIV juga rentan mengandung virus ini. Daya tahan

tubuh ODHA (orang dengan HIV-AIDS) harus selalu dijaga dengan


makanan yang sehat dan mengkonsumsi obat Anti retroviral untuk

memperlambat perkembangan virus HIV di dalam tubuh Host. Mereka bisa

layaknya Host yang tidak mengidap HIV dengan pengobatan teratur.

Psikologis host juga harus tetap terjaga, mereka butuh diperhatikan dan

disayangi, hidup tanpa stigma dan diskriminasi masih merupakan pekerjaan

rumah besar bagi masyarakat indonesia.

3) Lingkungan

Lingkungan biologis sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat

menentukan penyebaran AIDS. Lingkungan biologis adanya riwayat ulkus

genitalis, Herpes Simpleks dan STS (Serum Test for Sypphilis) yang positif

akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-luka ini menjadi tempat

masuknya HIV. Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB. Para

WTS di Nairobi terbukti bahwa kelompok yang menggunakan obat KB

mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi.

Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama-sama atau

sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat.

Bila semua faktor ini menimbulkan permissiveness di kalangan kelompok

seksual aktif, maka mereka sudah ke dalam keadaan promiskuitas.

2.3.2 Etiologi

Pada tahun 1983, ilmuan Perancis Montagnier (Institute Pasteur, Paris)

mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus

HIV. Oleh sebab itu virus tersebut dinamakan lymphadenopathy associated virus
(LAV). Pada tahun 1984 Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan

virus human T lymphotropic virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS.

Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan beberapa tipe HIV, yaitu HIV-1 yang

sering menyerang manusia dan HIV-2 yang ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV

termasuk subfamili Lentivirinae dari famili Retroviridae. Asam nukleat dari famili

retrovirus adalah RNA yang mampu membentuk DNA dari RNA. Enzim

transkriptase reversi menggunakan RNA virus sebagai cetakan untuk membentuk

DNA. DNA ini bergabung dengan kromosom induk (sel limfosit T4 dan sel

makrofag) yang berfungsi sebagai pengganda virus HIV.

Secara sederhana sel HIV terdiri dari :

1) Inti RNA dan enzim transkriptase reversi (polimerase), protease, dan

integrase.

2) Kapsid antigen p2.

3) Sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp41).

Waktu paruh virus (virion half-life) berlansung cepat. Sebagian besar virus

akan mati, tetapi karena mulai awal infeksi, replikasi virus berjalan sangat cepat

dan terus-menerus. Dalam sehari sekitar 10 miliar virus dapat diproduksi. Replikasi

inilah yang menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh. Tingginya jumlah

virus dalam darah ditunjukkan dengan angka viral load, sedangkan tingkat

kerusakan sistem kekebalan tubuh ditunjukkan dengan angka CD4.

Menurut Virginia () menjelaskan bahwa HIV yang di sebut virus limfotrofik

sel T manusia tipe III (HTVL-III) atau virus linfadenopart (LAV), adalah suatu

retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam


ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke

dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1

menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia. Genom HIV mengode sembilan

protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur

genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang

membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx

meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari

protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang

pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan Afrika Barat (warga

Senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang

patogenik dibandingkan dengan HIV-1.

2.3.3 Patofisiologi dan Pathway HIV/AIDS

HIV menempel pada Limfosit sel induk melalui gp120, sehingga terjadi fusi

membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam sitoplasma

sel induk. Di dalam sel induk, HIV akan membentuk DNA HIV dari RNA HIV

melalui enzim polimerase. Enzim integrasi kemudian akan membantu DNA HIV

untuk berintegrasi dengan DNA sel induk.

DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai DNA sel induk akan

membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan mRNA dalam sitoplasma

akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel itu selanjutnya

mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya.
Mekanisme penekanan pada sistem imun (imunospresi) ini akan menyebabkan

pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T.

2.3.4 Transmisi HIV

HIV bukan fenomena yang terjadi secara alamiah, virus ini harus

ditransmisikan dari manapun agar seseorang dapat terinfeksi. Transmisi HIV dapat

terjadi baik melalui kontak seksual, via darah atau produk darah, atau dari ibu ke

bayinya.

1) Kontak seksual

Sebagian besar infeksi HIV terjadi melalui hubungan intim tanpa pelindung.

HIV terdapat pada semen, pre-cum, cairan vagina, dan darah haid. Selama

berhubungan intin tanpa pelindung dengan pasangan yang terinfeksi, HIV

dapat berpindah dari satu orang ke orang lain melalui kontak dengan

membran mukosa. Seperti melalui hubungan seksual anal dan vaginal tanpa

pelindung, HIV dapat ditransmisikan juga melalui seks oral tanpa pelindung

meskipun beberapa bukti menyatakan bahwa metode ini berisiko lebih kecil

untuk mengalami infeksi. Beberapa faktor tertentu akan membuat transmisi

HIV lebih memungkinkan, contohnya, jika seseorang individu sudah

mengalami SAI, seperti Klamidia, ia lebih rentan terhadap infeksi.

2) Kontak Darah dengan Darah

HIV terdapat di dalam darah, setiap kontak dengan darah yag terinfeksi HIV

berpotensi menyebabkan infeksi. Metode infeksi yang paling umum adalah

melalui berbagai peralatan injeksi di antara pengguna obat terlarang yang


diinjeksikan. Saat ini, infeksi HIV jarang terjadi melalui transfusi darah

karena semua darah yang didonasikan untuk transfusi di Inggris sudah

diperiksa untuk HIV dan pemeriksaan tersebut sudah dilakukan sejak tahun

1985. Kini, sama dengan semua produk darah, seperti Faktor VIII yang

digunakan sebagai terapi hemofilia, telah diproses menggunkan temperatur

tinggi guna menghancurkan kemngkinan adanya virus. Infeksi HIV melalui

luka akibat jarum infeksi jarang terjadi dan hanya terjadi sekitar kurang dari

1% individu.

3) Transmisi Ibu ke Anak

Hiv dapat ditularkan dari ibu ke bayinya, baik sebelum atau selama

kelahiran atau ketika menyusui. Semua ibu hamil ditawarkan dan diaajurkan

untuk melakukan pemeriksaan HIV karena jika HIV dikonfirmasi selama

kehamilan, medilasi dapat diberikan ke ibu untuk mengurangi risiko infeksi

HIV ditransmisikan ke janin.

Risiko transmisi bergantung juga pada jenis pajanan dan daya infeksi pasien

yang menjadi sumbernya.

2.3.5 Pemeriksaan dan Skrining HIV

Satu-satunya cara untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan

pemeriksaan HIV. Penegakan diagnosis infeksi HIV paling sering dilakukan

melalui pemeriksaan darah vena, tetapi pemeriksaan HIV dapat dilakukan melalui

pemeriksaan saliva dan bercak darak baik di tatanan asuhan primer (seperti klinik

spesialis kesehatan seksual) atau asuhan sekunder melalui layanan GUM. Untuk
praktik terbaik, direkomendasikan bahwa semua pemeriksaan HIV dilakukan

menggunakan darahb karena bukti menunjukkan bahwa periode jeda (window

period) untuk pemeriksaan HIV pada pemeriksaan sampel cairan oral dapat

berlansung dalam waktu yang sedikit lebih lama. Semua hasil pemeriksaan HIV

positif perlu dikonfirmasi lagi dengan sampel kedua yang diambil pada waktu yang

berbeda sebelum diagnosis definitif dapat diberikan.

Pemeriksaan darah untuk HIV dilakukan melihat antibodi terhadap virus

dibanding untuk menemukan virus itu sendiri. Antibodi adalah protein yang

diproduksi oleh sistem imun untuk melawan bakteri, virus, atau antigen lain yang

spesifik. Setelah tubuh melakukan kontak dengan HIV maka sistem imun akan

mulai meningkatkan antibodi untuk melawan infeksi. Pada sebagian besar individu,

antibodi dapat memerlukan waktu hingga 3 bulan untuk diproduksi setelah

mengalami infeksi HIV. Sehingga direkomendasikan untuk melakukan

pemeriksaan HIV dalam waktu 3 bulan setelah melakukan setiap aktivitas yang

berisiko terinfeksi HIV untuk menyingkirkan dugaan infeksi. Periode waktu

tersebut dikenal sebagai periode jeda.

Pemeriksaan HIV seharusnya hanya dilakukan setelah informed consent

spesifik secara individual dan verbal yang kemudian didokumentasikan.

Persetujuan ini sering kali diperoleh selama diskusi pra-pemeriksaan yang dapat

dilakukan oleh setiap profesional asuhan kesehatan yang telah mendapatkan

pelatihan secara tepat. Untuk skrining HIV, informed consent secara verbal dapat

diperoleh setelah individu membaca leaflet informasi, tetapi harus dilakukan


pemeriksaan yang menegaskan bahwa individu telah memahami informasi tertulis

tersebut dan bahwa persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan HIV telah diperoleh.

Menurut Widoyono (2011:111) metode yang digunakan untuk menegakkan

diagnosis HIV meliputi :

1) ELISA (enzyme-Linked Immunosorbent Assay)

Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini

memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.

2) Western blot

Spesifisitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup

sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

3) PCR (Polymerase Chain Reaction)

Tes ini digunakan untuk :

a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang

dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang

menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit

tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui

plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah

ada infeksi pada bayi tersebut.

b. Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok

berisiko tinggi.

c. Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.

d. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas

rendah untuk HIV-2.


Antibodi Hiv dengan pemeriksaan ELISA perlu dikonfirmasi dengan

Western blot. Tes HIV Elisa (+) sebanyak tida kali dengan reagen yang berlainan

merk menunjukkan pasien positif mengidap HIV.

Pemeriksaan laboratorium ada tida jenis, yaitu :

a. Pencegahan donor darah, dilakukan satu kali oleh PMI. Bila positif

disebut reaktif.

b. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko,

dilaksanakan dua kali pengujian dengan reagen yang berbeda.

c. Diagnosis, untuk menegakkan diagnosis dilakukan tida kali pengujian

seperti yang sudah diterangkan di atas.

2.3.6 Gambaran Klinis Infeksi HIV

1) Dugaan infeksi primer dengan penyakit serokonversif (proses, setelah

pajanan terhadap agens penyebab penyakit, perubahan darah dari

penanda serum yang negatif menjadi positif untuk penyakit yang

spesifik).

2) Setiap manifestasi yang tidak lazim dari penyakit yang disebabkan oleh

bakteri, fungal, atau virus: infeksi tuberkulosis; dugaan Pneumocystic

jiroveci pneumonia (PCP), atau dugaan oksoplasmosis serebral.

3) Ulserasi genital persisten.

4) Tumor yang tidak lazim, contohnya, limfoma serebral, limfoma non-

Hodgkin, atau sarkoma Kaposi.

5) Trombositopenia atau limfoma yang tidak dapat dijelaskan.


6) Masalah kulit yang tidak biasa, seperti dermatitis seboreik berat,

psoriasis atau moluskum kontagiosum, herpes zoster kambuhan atau

herpes zoster pada individu berusia muda.

7) Limfadenopati umum (generalised lymphadenophathy, PGL) persisten

atau limfoedema yang tidak dapat dijelaskan.

8) Masalah neurologis mencakup neuropati perifer atau tanda fokal yang

disebabkan oleh lesi intraserebral yang memenuhi ruang.

9) Penurunan berat badan atau diare yang tidak dapat dijelaskan, keringat

berlebihan di malam hari atau pireksia yang tidak diketahui

penyebabnya.

2.3.7 Tahapan Infeksi HIV

Progresi penyakit HIV dibagi menjadi empat tahap utama :

1) Primer

Individu yang terinfeksi HIV sering kali tidak menyadari bahwa mereka

telah terinfeksi karena mereka tidak menemukan atau mengalami gejala

yang dapat diidentifikasi. Beberapa orang akan mengalami kondisi sakit

dalam periode pendek segera setelah mereka terinfeksi, kondisi ini

disebut penyakit serokonversi karena terjadi sesaat sebelum antibodi

untuk HIV diproduksi di dalam tubuh, ketika kadar HIV mencapai

angka tertinggi di dalam darah yang bersirkulasi.

Gejala untuk penyakit serokonversi bersifat samar dan sering kali

dideskripsikan sebagai gejala seperti flu. Umumnya, gejala mulai


terjadi pada 2-6 minggu pasca-infeksi HIV dan akan terjadi sekitar 10-

14 hari.

Gejala yang dapat mencakup :

1. Demam dan rasa nyeri pada ekstremitas.

2. Ruam berbercak merah pada tubuh bagian atas.

3. Sakit tenggorokan (faringitis).

4. Ulserasi pada mulut atau genital.

5. Diare.

6. Sakit kepala berat.

7. Tidak dapat melihat cahaya.

Diperkirakan hingga 80% orang yang terinfeksi HIV akan

mengalami beberapa gejala ini, namun gejala ini amat samar dan

berkaitan dengan penyakit minor lainnya, gejala ini tidak dikaitkan

dengan infeksi HIV.

Gejala yang lebih jarang mencakup :

1. Meningitis

2. Paralisis

3. Infeksi oportunistik.

Jika gejala yang jarang terjadi ini dialami atau jika gejala terjadi

lebih dari yang diperkirakan, prognosisnya buruk. Tanpa medikasi

antiretroviral, diagnosis AIDS cenderung dapat ditegakkan dalam 5

tahun.
2) Asimtomatik

Tahap infeksi asimtomatik disebut seperti itu karena orang yang

terinfeksi HIV sering kali menunjukkan tanda infeksi yang tidak terlihat

dan tidak adanya progresi penyakit pada tahap ini. Tahap infeksi HIV

ini dapat berlansung selama beberapa tahun.

Jika terdapat gejala-gejala tersebut, mayoritas dari individu akan

mengalami pembengkakan kelenjar getah bening, yang disebut PGL.

PGL adalah tanda dari tubuh yang mencoba melawan infeksi HIV

daripada tanda kerusaka pada sistem imun.

Walaupun individu dengan HIV tidak akan memiliki tanda-tanda infeksi

yang kasat mata, terkadang terdapat kerusakan pada sistem imun,

mereka yang hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan darah spesifik.

Pemeriksaan darah ini termasuk hitung sel CD4 dan pemeriksaan beban

virus.

3) Simtomatik

Penelitian telah menunjukkan bahwa jika dibiarkan tanpa terapi, HIV

akan terus-menerus menyerang sistem imun sel inang dan menyebabkan

lebih banyak gangguan. Kecepatan terjadinya gangguan amat

bergantung pada respons spesifik individu terhadap virus. Semakin

parah imunosupresi maka individu semakin rentan mengalami infeksi

dan tumor yang mengindikasikan infeksi HIV simtomatik.


1. Aksi spesifik HIV

Sebagian besar gejala yang terlihat pada individu yang terinfeksi

HIV disebabkan oleh penurunan fungsi imun dibanding aksi virus

itu sendiri. Satu-satunya pengecualian dari kondisi tersebut adalah

sindrom wasting HIV dan demensia HIV, yang disebabkan oleh aksi

lansung HIV.

2. Infeksi oportunistik

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang masih dapat dikendalikan

oleh sistem imun yang sehat, tetapi setelah sistem imun mengalami

gangguan akibat HIV, infeksi mengambil kesempatan untuk

menimbulkan masalah dan menyebabkan kondisi sakit. Infeksi

oportunistik yang paling sering terjadi di Inggris adalah

Pneumocyctis jiroveci (carinii) pneumonia.

4) Tumor

Dengan cara yang serupa, sistem imun yang sehat mampu menahan

tumor dan beberapa kanker, tetapi jika imun berhenti berfungsi, kanker

dan tumor akan berkembang secara efektf.

5) AIDS

AIDS adalah diagnosis yang ditegakkan hanya jika kriteria medis

tertentu telah ditemukan. Sebagai contoh, individu yang didiagnosis

AIDS akan ditemukan mengalami kondisi oportunistik, seperti PCP atau

Sarkoma Kaposi, dan mengalami imunosupresi yang nyata.


Menurut Widoyono (2011:112) WHO kini merekomendasikan pemeriksaan

dengan rapid test (dipstick) sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Departemen

kesehatan pada tahun 2007 menyatakan stadium klinis HIV bagi orang dewasa

terbagi dalam 4 kategori dan skala fungsional, yaitu :

1) Stadium klinis I

a. Asimtomatik

b. Limfadenitis generalisata

Skala fungsional 1: asimtomatik, aktivitas normal.

2) Stadium klinis II

a. berat badan berkurang <10%

b. Manifestasi mukokutaneus ringan

c. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir

d. Infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang

Skala fungsional 2: simtomatik, aktivitas normal.

3) Stadium klinis III

a. Berat badan berkurang <10%

b. Diare kronis tanpa penyebab yang jelas >1 bulan

c. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas >1 bulan

d. Kandidiasis oral (thrush)

e. Oral hairy leucoplakia (OHL)

f. TB paru

g. Infeksi bakterial berat

Skala fungsional 3: <50% dalam 1 bulan terakhir terbaring.


4) Stadium klinis IV (kriteria WHO: Klinis AIDS)

a. HIV wasting syndrome

b. Pneumonia pneumocystic carinii

c. Toxoplasmosis otak

d. Diare karena kriptosporidiosis >1 bulan

e. Kriptokokosis ekstraparu

f. Penyakit sitomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau

kelenjar getah bening

g. Infeksi virus herpes simplex di mukokutaneus >1 bulan

h. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)

i. Mikosis endemik yang menyebar

j. Kandidiasis esofagus, trakea, bronki

k. Mikobakteriosis atipik

l. Septikemia salmonela non-tifoid

m. Tuberkulosis ekstraparu

n. Limfoma

o. Sarkoma Kaposi

p. Ensefalopati HIV

Skala fungsional 4: >50% dalam 1 bulan terakhir terbaring.

2.3.8 Pencegahan HIV/AIDS

Upaya pencegahan HIV/AIDS dapat berjalan efektif apabila adanya

komitmen masyarakat dan pemerintah untuk mencegah atau mengurangi perilaku


risiko tinggi terhadap penularan HIV. Berikut ini merupakan upaya-upaya yang

dapat dilakukan dalam mencegah penularan HIV/AIDS :

1) Penyuluhan Kesehatan

Melakukan penyuluhan kesehatan di sekolah dan masyarakat mengenai

perilaku risiko tinggi yang dapat menularkan HIV.

2) Tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, atau

hanya berhubungan seks dengan satu orang saja yang diketahui tidak

terinfeksi HIV.

3) Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual

Penggunaan kondom yang benar saat melakukan hubungan seks baik secara

vaginal, anal, dan oral dapat melindungi terhadap penyebaran infeksi

menular seksual (IMS). Fakta menunjukkan bahwa penggunaan kondom

lateks pada laki-laki memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap

HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya sebanyak 5%.

4) Menyediakan Fasilitas Konseling dan Tes HIV Sukarela (Voluntary

Counselling and Testing/VCT).

Konseling dan Tes HIV secara sukarela ini sangat disarankan untuk semua

orang yang terkena salah satu faktor risiko sehingga mereka mengetahui

status infeksi seta dapat melakukan pencegahan dan pengobatan dini.

5) Melakukan sunat bagi laki-laki

Sunat pada laki-laki yang dilakukan oleh profesional kesehatan terlatih dan

sesuai dengan aturan medis dapat mengurangi risiko infeksi HIV melalui

hubungan heteroseksual sekitar 60%.


6) Menggunakan Antiretroviral (ART)

Sebuah percobaan yang dilakukan pada tahun 2011 telah

mengkonfirmasikan bahwa orang HIV-positif yang telah mematuhi

pengobatan Antiretroviral (ART), dapat mengurangi risiko penularan HIV

kepada pasangan seksual HIV-negatif sebesar 96%.

7) Pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) bagi pengguna narkoba

suntikan

Pengguna narkoba suntikan dapat melakukan pencegahan tentang infeksi

HIV dengan menggunakan alat suntik steril untuk setiap injeksi atau tidak

berbagi jarum suntik kepada pengguna lain.

8) Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (Prevention of Mother to Child

HIV Transmission/PMTCT).

Penularan HIV dari ibu ke anak selama kehamilan, persalinan, atau

menyusui jika tidak diberikan intervensi maka tingkat penularan HIV dari

ibu ke anak dapat mencapai 15-45%. WHO merekomendasikan,

pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat dilakukan dengan cara,

pemberiaan ARV untuk ibu dan bayi selama kehamilan, persalinan dan

pasca persalinan, dan memberikan pengobatan untuk wanita hamil dengan

HIV-positif.

9) Melakukan Tindakan Kewaspadaan Universal bagi Petugas Kesehatan

Bagi petugas kesehatan, harus berhati-hati dalam menangani pasien,

memakai dan membuang jarum suntik agar tidak tertusuk, menggunakan

APD (sarung tangan lateks, pelindung mata dan pelindung lainnya) untuk
menghindari kontak dengan darah atau cairan yang kemungkinan terinfeksi

HIV. Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh harus segera dicuci

dengan air dan sabun. Tindakan kehati-hatian ini harus dilakukan pada

semua pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan

universal).

Menurut Widoyono (2011:113) pencegahan penyakit HIV/AIDS antara

lain:

1) Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS atau tersangka

penderita AIDS

2) Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau

dengan orang yang mempunyai banyak pasangan.

3) Menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika obat suntik.

4) Melarang orang-orang yang termasuk ke dala kelompok berisiko tinggi

untuk melakukan donor darah.

5) Memberikan transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar

memerlukan.

6) Memastikan sterilitas alat suntik.

2.3.9 Pengobatan

Infeksi HIV dapat diatasi dengan kombinasi Antiretroviral (ART) yang

terdiri dari 3 atau lebih obat ARV. Namun, ART ini bukan merupakan obat

yang dapat menyembuhkan infeksi HIV, tetapi hanya mengontrol replikasi


virus pada tubuh penderita serta memperkuat sistem kekebalan tubuh

sehingga infeksi HIV tidak menjadi lebih parah.

Menurut Widyono (2011:115) menjelaskan bahwa pedoman nasional terapi

antiretroviral Departemen Kesehatan tahun 2007, pengobatan dengan terapi anti-

retroviral therapy (ART) dapat dimulai pada penderita dengan syarat :

1) Dengan/ada fasilitas pemeriksaan CD4

a. Stadium IV, tanpa melihat jumlah CD4

b. Stadium III, dengan jumlah CD4 <350/mm3

c. Stadium I atau II, dengan jumlah CD4 <200/mm3

2) Tanpa pemeriksaan CD4

a. Stadium IV, tanpa melihat jumlah limfosit total.

b. Stadium III, tanpa melihat jumlah limfosit total.

3) Stadium II, dengan jumlah limfosit total <1200/mm3.

Pengobatan ODHA dewasa dengan antiretroviral terbagi dalam dua kelompok,

yaitu :

1) Regimen ARV Lini Pertama

a. Golongan Nucleoside RTI (NRTI)

1. Abacavir (ABC) 400 mg sekali sehari

2. Didanosine (ddl) 250 mg sekali sehari (BB<60 kg)

3. Lamivudine (3TC) 300 mg sekali sehari

4. Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam

5. Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam


b. Necleotide RTI

1. Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari (obat baru)

c. Non-nucleoside RTI (NNRTI)

1. Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari

2. Nevirapine (NPV) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, selanjutnya

setiap 12 jam

d. Protease Inhibitor (PI)

1. Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100 mg setiap 12 jam

2. Lopinavir/ritonafir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam

3. Saquinafir/ritonavir (SQV/r) 1000 mg/100 mg setiap 12 jam

4. Ritonavir (RTV, r) 100 mg

Pilihan pengobatan adalah kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI :

a. AZT + 3TC + NVP

b. AZT + 3TC + EVP

c. D4T + 3TC + NVP

d. D4T + 3TC + EFV

2) Regimen ARV Lini Kedua

Ini merupakan alternatif pengobatan apabila lini pertama gagal :

a. AZT atau d4T diganti dengan TDF atau ABC

b. 3TC diganti dengan ddl

c. NVP atau EFV diganti dengan LPV/r atau SQV/r

Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena :


a. Obat ini bisa memperlambat progresivitas penyakit dan dapat

memperpanjang daya tahan tubuh.

b. Obat ini aman, mudah, dan tidak mahal. Angka transmisi dapat

diturunkan sampai mendekati nol melalui identifikasi dini ibu hamil

dengan HIV positif dan pengelolaan klinis yang agresif.

c. Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahaan dengan imunisasi belum

memuaskan. Penelitian tersebut dilakukan di Uganda dengan

menggunakan vaksin HIV yang disebut ALVAC-HIV dan vektor

canarypox recombinant untuk mewakili selubung dan gen inti HIV-1

sebagai upaya untuk meransang sel pertahanan tubuh.

d. Beberapa ahli mengusulkan penelitian tentang bagaimana agar CD4

tiruan diserang oleh virus, sehingga CD4 alami tetap normal. Bagian

yang diserang virus HIV adalah sel darah putih terutama sel limfosit

pada bagian CD4. CD4 adalah bagian dari limfosit yang menunjukkan

seberapa besar fungsi pertahanan tubuh manusia. Jumlah CD4 yang

rendah menunjukkan pertahanan tubuh yang lemah dan mudah terkena

infeksi virus, bakteri, dan jamur.

Terdapat alasan ilmiah mengapa vaksinasi HIV perlu dikembangkan, antara

lain :

a. Studi pada pritama non-manusia tentang vaksin menunjukkan adanya

perlindungan terhadap infeksi.

b. Vaksin terhadap retrovirus lainnya berhasil dikembangkan.

c. Hampir semua manusia membentuk respons imun terhadap HIV.


Prognosis

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal, sekitar 75% pasien yang

didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5%

kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

2.4 Kerangka Pemikiran penelitian

Sugiyono (2013:60) mengatakan bahwa kerangka pemikiran yang baik akan

menjelaskan secara teoritis pertautan antar variabel yang akan diteliti dan kerangka

berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan

dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.

Notoatmodjo (2012:100) mengatakan bahwa dalam suatu penelitian adalah

menyusun kerangka konsep. Kerangka konsep adalah merupakan formulasi atau

simplifikasi dari kerangka teori atau teori-teori yang mendukung penelitian

tersebut. Kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel serta hubungan variabel

yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kerangka konsep akan mengarahkan

kita untuk menganalisis hasil penelitian.

Kerangka penelitian yang menjadi penuntun penelitian ini adalah hubungan

antara tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap kepedulian pencegahan

HIV/AIDS di Universitas Advent Indonesia. Keseluruhan pokok pikiran dalam

penelitian ini dijelaskan dalam kerangka pikir pada gambar 2.1.


Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Tingkat Sikap
pengetahuan

Kepedulian
Pencegahan

2.4 Hipotesis dalam Penelitian

Notoatmodjo (2012:105) mengatakan bahwa hipotesis di dalam suatu

penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil sementara,

yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui

pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis ini dapat benar atau salah, dapat

diterima atau ditolak. Bila diterima atau terbukti maka hipotesis tersebut menjadi

tesis. Sehingga hipotesis sangat penting bagi suatu penelitian karena dengan

hipotesis ini maka penelitian diarahkan. Hipotesis dapat membimbing

(mengarahkan) dalam pengumpulan data. Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho: tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan sikap

mahasiswa terhadap kepedulian pencegahan HIV/AIDS di Universitas

Advent Indonesia.

Ha: ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan sikap

mahasiswa terhadap kepedulian pencegahan HIV/AIDS di Universitas

Advent Indonesia.

Вам также может понравиться