Вы находитесь на странице: 1из 3

Literasi Politik dalam Retrospeksi Reformasi

Tergapainya demokrasi di Tanah Air yang pantas disyukuri sejauh ini tak boleh tergerus
oleh semakin rumitnya problem politik mutakhir sebab sistem politik yang menjamin
kemerdekaan warga itu diraih dengan ongkos yang teramat mahal.

Berkah politik itu ditebus dengan darah dan air mata oleh kaum martir reformasi saat
berjuang menjebol tatanan otokratis Orde Baru.

Dengan pengakuan dan kesadaran semacam itulah sejumlah aktivis demokrasi, dalam
retrospeksi 19 tahun reformasi di Tanah Air, kembali mengingatkan publik untuk terus
mendesak pemerintah menyelesaikan proses hukum pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu.

Pemerintah dalam tiga tahun pertama bertarung dengan persoalan kesejahteraan yang
fokusnya adalah meningkatkan pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas
pendidikan, dan kesehatan.

Pilihan Presiden Joko Widodo untuk tidak segera melakukan penegakan hukum
terutama dalam menuntaskan sejumlah pelanggaran hukum berat di masa lalu, antara
lain pelanggaran HAM di masa meletusnya reformasi, agaknya terhadang oleh semakin
kompleksnya persoalan yang dia hadapi dalam perkembangan politik mutakhir.

Maraknya praktik politik sektarian yang diusung sekelompok ormas yang mendapat
angin dari elite politik yang sangat kentara dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017
membuat Jokowi seolah kehabisan waktu untuk menengok dan memikirkan persoalan
pelanggaran HAM di masa lalu.

Kendala lain yang menjadikan agenda yang dituntut kalangan aktivis HAM itu juga
berupa adanya sosok-sosok yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di era
meletusnya reformasi 1998, yang justru bercokol di posisi strategis dalam
pemerintahan.

Dalam waktu hampir dua dekade reformasi tampaknya terjadi dinamika politik yang
memungkinkan pelanggar HAM di masa lalu untuk bermanuver berkiprah dalam
percaturan politik. Dengan dana yang mereka peroleh dari kelompok oligarkis saat Orde
Baru berjaya, mereka mendirikan partai politik, yang diawal-awal pendiriannya tak
popular.

Namun dalam berkembangan berikutnya, dalam perebutan kuasa, partai-partai yang


proreformasi pun membutuhkan koalisi untuk menggenapi syarat dukungan dalam
mencalonan presiden.

Dari sinilah para pelanggar HAM yang bermetamorfose menjadi politisi akhirnya
berhasil memperoleh posisi strategis dalam pemerintahan.
Yang kurang menggembirakan dalam perjalanan 19 tahun reformasi, watak
pemerintahan yang didominasi politisi sipil secara kuantitas, tampaknya belum
sepenuhnya sanggup menjadikan kaum sipil benar-benar digdaya.

Ancaman sabotase terhadap demokrasi dan gangguan pengerahan massa yang


menggertak hendak menggoyang posisi pemerintahan yang sah secara demokratis mau
tak mau membuat pemerintah sangat bergantung pada kekuatan militer.

Isu pelengseran Jokowi lewat pengerahan massa dalam jumlah besar memaksa sang
Presiden memperlihatkan kebergantungan politisnya pada kekuatan-kekuatan strategis
di tubuh Tentara Nasional Indonesia.

Fenomena ini jelas menguntungkan mereka yang pernah berkiprah dalam dunia
kemiliteran yang kini beralih pilihan profesi, yakni terjun ke dunia politik.

Dari sinilah supremasi sipil seakan tak pernah benar-benar berada pada kekuatan
maksimal dalam menjalankan roda pemerintahan. Jokowi menjadi bergantung pada
pembantu-pembantunya yang punya pengalaman dalam dunia kemiliteran di masa lalu.

Dengan demikian, demokrasi selalu harus diselamatkan lewat bantuan kekuatan militer.

Maraknya isu khilafah juga semakin membenamkan perhatian politik Jokowi ke


masalah politik kekinian dan menjadi semakin jauh dari persoalan penuntasan kasus
HAM di masa lalu.

Dalam kaitan ini, ada baiknya publik prodemokrasi berefleksi: apakah massa yang
menggoyang pemerintahan yang sah, apa pun motif politik mereka, menyadari tentang
dilema reformasi ini? Ataukah semua itu bagian dari manuver petualangan politik elite
yang punya kaitan dengan pelanggaran HAM di era reformasi? Agenda tersembunyi
Artinya, mereka boleh jadi berpolitik dengan raut muka ganda: pada tataran resmi
mereka berada di pihak pendukung pemerintah namun pada tataran tak resmi
menjalankan agenda tersembunyi dengan memelihara suasana politik kurang stabil
sehingga Jokowi bergantung pada mereka.

Suasana politik yang selalu dipanaskan oleh ancaman pelengseran pemerintahan yang
sah jelas merupakan dilema dalam perjalanan reformasi.

Mestinya energi Jokowi tak perlu dihabiskan untuk perkara yang sedikit-dikit
menyeretnya untuk merapat ke satuan-satuan strategis TNI dalam menghadang mereka
yang mencoba-coba beraksi secara inkonstitusional.

Pengerahan massa dalam jumlah besar mau-tak mau membuat Jokowi, sedikitnya secara
psikis, selalu terancam dari kursi yang diperolehnya secara demokratis.

Dalam praktik demokrasi yang ideal, perkara politik cukuplah dituntaskan di ranah
parlemen. Kenyataannya, beberapa politisi yang berseberangan dengan Jokowi malah
memberikan berbagai apologi terhadap gelombang massa yang turun ke jalan-jalan itu.
Aktivis prodemokrasi yang menginginkan penuntasan kasus HAM di masa lalu
tampaknya perlu melakukan literasi politik kepada publik tentang perlunya memberikan
ruang dan waktu bagi Jokowi untuk menfokuskan kebijakan pada sektor penegakan
hukum di sisa dua tahun pemerintahannya.

Pemberian ruang dan waktu itu antara lain dimanifestasikan dengan komitmen lawan-
lawan politik Jokowi untuk tidak lagi mengerahkan massa dan menggaungkan agenda
tersembunyi perihal pelengseran kekuasaan secara inkonstitusional.

Dari pihak pemerintah sendiri, sindrom paranoia atas ancaman pelengseran kekuasaan
secara tak demokratis tak perlu dijadikan justifikasi untuk mengelak dari imperatif
penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Sebab, politik menyelesaiaan kasus HAM di masa lalu juga menjadi bagian dari janji-
janji politik Jokowi semasa kampanye Pilpres 2014, yang perlu dilunasi sebelum masa
kepresidenannya berakhir.

Вам также может понравиться