Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Definisi
Blow-out fracture merupakan fraktur tulang dasar orbita yang disebabkan
peningkatan tiba-tiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima orbita.
Blow out fracture adalah yang terjadi pada daerah basis orbita (murni), yang
dapat disertai kombinasi dari fraktur lengkungan zygomatikum, fraktur Le Fort
(maxilaris), dan tulang tulang orbital lain (tidak murni).
Blow-out fracture sebagian besar terjadi pada dasar orbita dan sebagian kecil
terjadi pada dinding medial dengan atau tanpa disertai fraktur dasar orbita. Fraktur
tulang dasar orbita yang disertai pergeseran ke atas biasanya disertai juga dengan
fraktur kraniofacial luas yang melibatkan rima orbita. Tipe ini tidak sesuai dengan
teori hidraulik dan buckling sehingga tidak termasuk blow-out fracture murni
(Silva & Rose, 2011; Gennaro dkk, 2012).
B. Anatomi
Rongga orbita berbentuk seperti buah pear dengan volume + 30 ml pada orang
dewasa. Permukaan orbita memiliki tinggi + 35 mm dan lebar + 45 mm. Lebar
maksimal orbita terletak 1 cm dibelakang batas orbita anterior. Jarak antara
permukaan orbita dengan apex orbita pada orang dewasa bervariasi yaitu 40 45
mm (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012a).
Dinding orbita dibentuk oleh tujuh tulang yaitu tulang frontal, sphenoid,
maksila, lakrimal, ethmoid, palatina dan zigomatik. Bagian superior / atap orbita
dibentuk oleh tulang frontal dan tulang sphenoid ala minor. Bagian medial
dibentuk oleh tulang maksila, lakrimal, ethmoid dan tulang sphenoid ala minor.
Sebagian besar dinding medial dibentuk oleh tulang ethmoid. Struktur tipis dari
dinding medial (paper-thin structure) sesuai dengan namanya yaitu lamina
papyracea. Bagian lateral disusun oleh tulang zigomatik dan the greater wing dari
tulang sphenoid. Dinding lateral merupakan dinding yang paling tebal dan kuat.
Dinding inferior/dasar orbita disusun oleh tulang maksila, zigomatik dan palatina.
Dasar orbita merupakan atap dari sinus maksilaris (Eva & Whitcher, 2004;
American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012a).
Terdapat enam otot ekstraokular yang berfungsi menggerakkan bola mata yaitu
dua otot oblik dan empat otot rektus. Masing-masing memiliki fungsi primer dan
sekunder kecuali otot rektus lateral dan medial yang hanya memiliki fungsi primer.
Fungsi dari masing-masing otot tersebut dapat dilihat pada tabel (Moore & Agur,
2002; Ilyas, 2009).
Formanen optikum terletak pada apex rongga orbita yang dilalui oleh saraf
optik, arteri ophtalmika, vena ophtalmika dan saraf simpatis yang berasal dari pleksus
karotid. Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal
(N.V), saraf frontal (N.V), saraf troklear (N.IV), saraf okulomotor (N.III), saraf
nasosiliar (N.V), abdusen (N.VI), arteri oftalmika dan vena oftalmika. Fisura orbita
inferior terletak di dasar tengah temporal orbita, dilalui oleh saraf dan arteri infra orbita.
Fosa lakrimal terletak di sebelah temporal atas. (Ilyas, 2009).
Nervus cranialis III mempersarafi musculus levator palpebra superior,
musculus rektus superior, musculus rektus inferior, musculus rektus medialis,
musculus oblik inferior. Nervus cranialis IV mempersarafi musculus oblik superior.
Nervus cranialis VI mempersarafi musculus rektus lateralis (Ilyas, 2009).
Orbita terutama memperoleh darah arterial dari arteri ophtalmika, dibantu juga
oleh arteri infraorbitalis. Otot ekstraokuler mendapatkan perdarahan dari cabang arteri
ophthalmika. Muskulus rektus lateral dan oblik inferior juga mendapatkan perdarahan
dari cabang arteri lakrimal dan arteri infraorbital. Arteri sentralis retina menembus
nervus optikus dan melintas didalamnya untuk meninggalkannya di diskus nervus
optikus. Cabang arteri sentralis retina meluas pada permukaan dalam retina (Eva &
Whitcher, 2009)
Penyaluran darah balik dari orbita terjadi melalui vena opthalmika superior dan
inferior yang melintas melewati fissura orbitalis superior dan langsung memasuki sinus
cavernosus. Vena sentralis retina bermuara langsung dalam sinus cavernosus tetapi
kadang-kadang bersatu dengan salah satu vena ophthalmika (Moore & Agur, 2009).
Gambar 1. Tulang orbita, dilihat dari depan (American Academy of Ophthalmology, 2011-
2012)
Gambar 2. A. Dinding lateral tulang orbita. B. Dinding medial tulang orbita (American Academy of
Ophthalmology staff, 2011-2012)
Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor
bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada
palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus
keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum
bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari nervus trigeminus.
Nervus ini muncul dari foramen infra orbital dan kemudian berjalan untuk mensyarafi
nasal lateral, labial superior dan regio palpebral inferior, termasuk juga mensyarafi
labial dan gigi-gigi anterior. (Broek, 2010).
Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk menahan
tekanan dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan mengusir tekanan
infrasuperior melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak dilengkapi dengan
kemampuan menahan tekanan dari lateral dan frontal. Struktur dukungan vertikal pada
midfasial terdiri atas pilar nasomaksilaris (medial), zygomaticomaxillary (lateral) dan
pterygomaxillary (posterior). Pilar nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis
dari kaninus dan anterior maksila melalui prossesus frontalis dari maksila dan naik ke
cerukan lakrimal dan dinding medial orbita ke os frontalis. Pilar zygomticomaxillary
memanjang tulang alveolaris di atas molar I maksila melalui korpus zygoma naik ke
prossesus frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral memberikan
tahanan anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng
pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal dari
midfasial. Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior juga
palatum durum. Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital,
memandang midfasial mudah untuk kolaps dan mudah bergeser pada segmen sentral.
Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus yang dibentuk oleh rima orbita superior
dan inferior dan arkus zygomaticus (Broek, 2010).
Gambar 5. Pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau nasomaksilari (V1), pilar lateral atau
zigomatikomaksilari (V2), dan pilar posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi
menahan tekanan kepada basis kranii. Pilar horizontal meluas sepanjang rima supraorbita (H1),
rima infraorbita (H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum (H3), memberikan dukungan
struktural kepada fungsi dari mata, hidung dan mulut. Lengkung zygoma berfungsi sebagai satu-
satunya pilar sagital
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan
rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel
dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah
sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring.
Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk
di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari
sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-
medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke
meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk
melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian
depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal.
Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal
terdapat di sana (Broek, 2010).
C. Epidemiologi
Blow-out fracture sering terjadi pada orang dewasa terutama dewasa muda.
Lakilaki lebih sering terkena daripada perempuan. Blow-out fracture pada wanita
dewasa sering terjadi karena kekerasan. Blow-out fracture jarang terjadi pada
anak-anak, dimana angka kejadian fraktur daerah wajah pada anak - anak hanya
sebesar 5% dari seluruh kasus (dewasa dan anak-anak) dan 10% nya terjadi pada
umur kurang dari 5 tahun. Anak lakilaki lebih sering mengalami fraktur daerah
wajah dengan ratio 1,5 : 1 (laki-laki : wanita), hal ini disebabkan karena anak laki-
laki lebih sering terlibat kekerasan dan kecelakaan olahraga (Chaudhry, 2010;
John, 2012)
Berdasarkan statistik dari The Swedish Board of Health and Welfare, sekitar
110.000-120.000 orang di swedia dirawat di rumah sakit tiap tahunnya karena
trauma fisik, dimana 300 orang mengalami fraktur daerah wajah dan 10-15%
mengalami trauma orbita. Sebuah penelitian di Iran selama lebih dari lima tahun
menyebutkan penyebab tersering dari trauma orbita adalah kecelakaan lalu lintas
(54%), terjatuh (20,3%), kekerasan (9,7%). Penelitian di swedia juga mendukung
kecelakaan lalu lintas sebagai penyebab utama trauma orbita, sedangkan kejadian
trauma orbita pada tentara Amerika sebagian besar terjadi karena kekerasan. Di
Amerika, blow-out fracture terjadi pada 4-16% fraktur wajah. Insidennya
meningkat hingga 30-55% jika disertai dengan zygomaticomaxillary complex
fracture. Pada penelitian lain, blow-out fracture didapatkan pada 9% kasus dari
400 penderita kecelakaan lalu lintas yang mengalami fraktur pada wajah (Chaudry,
2010; Joseph & Glavas, 2011).
D. Etiologi
Blow-out fracture disebabkan oleh trauma tumpul tak langsung pada orbita
yang merupakan mekanisme proteksi untuk mengurangi tekanan intraorbita yang
meningkat secara tiba-tiba dengan dekompresi melalui bagian paling lemah dari
dinding orbita yaitu dasar orbita dan dinding medial orbita. Blow-out fracture
dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga,
terjatuh atau karena kekerasan. Trauma maksilofasial sering terjadi pada mereka
yang tidak mengenakan sabuk pengaman saat mengendarai mobil (Joseph &
Glavas, 2011).
E. Patofisiologi
Mekanisme dari blow-out fracture masih belum jelas, namun ada dua teori yang
menjelaskan mekanisme ini yaitu teori buckling dan hydraulic. Teori Buckling ini
pertama kali dinyatakan oleh LeFort dan 70 tahun kemudian ditegaskan kembali
oleh Fujino. Teori ini menyatakan suatu konduksi dimana jika suatu benturan
langsung mengenai rima orbita, maka akan ditransfer menuju tulang yang paling
lemah dan tipis, khususnya dasar orbita dan menyebabkan fraktur di daerah ini.
Waterhouse pada tahun 1999 mempelajari teori ini lebih mendalam dimana
benturan pada rima orbita menyebabkan fraktur yang besar dari dinding dasar dan
dinding medial orbita. Fraktur ini sering menyebabkan herniasi dari isi orbita
(Zubair & Touseef, 2005; Chaudhry, 2010).
Teori hydraulic dikemukakan oleh Pfeiffer pada tahun 1943. Teori ini
menyatakan pukulan yang diterima bola mata ditransmisikan menuju dinding
orbita sehingga menyebabkan fraktur. Waterhouse juga mempelajari teori ini lebih
mendalam dimana terjadi fraktur kecil pada anterior dan mid medial tulang dasar
orbita akibat benturan pada bola mata. Herniasi dari isi orbita juga sering terjadi
(Long & Tan, 2002; Zubair & Touseef, 2005; Chaudhry, 2010; Silva dkk, 2011;
Thiagarajan & Ulaganathan, 2012).
Blow-out fracture dapat terjadi murni atau berhubungan dengan trauma yang
lain. Trauma lain misalnya fraktur zigomatik kompleks, fraktur nasoethmoidal
kompleks, fraktur maksila dan panfacial. Penderita blow out fracture murni hanya
sebesar 28,6% (Zubair & Touseef, 2005).
a) Fraktur Zygomatikum
Fraktur zygomatikum merupakan fraktur ketiga terbanyak dari fraktur
tulang fasial. Dengan 85% terjadi pada laki laki. Trauma tumpul terutama
disebabkan kecelakaan saat berkendara atau karena olahraga. Fraktur ini sering
disebut fraktur trimalar, yang artinya fraktur zygomatik frontal, zygomatik
maxilaris, dan garis sutura zygomatik temporal. Dan apabila mengenai sutura
zygomatik sphenoid, hal ini disebut fraktur quadramalar. Nervus infraorbital
keluar melalui foramen infraorbital pada persambungan zygomatikum dan
maksila. Kerusakan pada nervus ini mengakibatkan hipesthesia pada dagu
hingga mengenai hidung lateral. Dari badan tulang zygomatikum keluar 2
nervus sensoris yaitu zygomatik frontal dan zygomatik temporal (Bansagi,
2008).
Keseluruhan bola mata dapat tertarik ke bawah akibat penempatan kebawah
yang salah dari ligamen suspensorium Lockwood, yang mana menempel ke
tuberkel Whitmall yang berlokasi pada bagian lateral dari prosesus orbital
zygoma (Bansagi, 2008).
Diagnosa terutama dicapai melalui anamnesa riwayat kejadian sebelumnya
dan pemeriksaan fisik mata. Biasanya pasien mengaku telah terkena pukulan
oleh siku pada mata, terkena lemparan bola pada mata, atau menubruk benda
tumpul saat kecelakaan lalu lintas (Bansagi, 2008).
Pasien merasa nyeri terlokalisir sekitar mata dan rasa baal yang ipsilateral
pada pipi. Bila terjadi herniasi lemak sekitar orbita, otot rekti inferior dan otot
oblique inferior ke sinus maksila, dapat menghasilkan keluhan diplopia, dan
walaupun tanpa herniasi yang terjadi pada organ organ tersebut, penempatan
yang salah pada bagian inferior sinus zygomatik yang mengganggu tuberkel
Whitnall serta ligamentum Lockwood, akan menyebabkan keluhan diplopia
juga. Trismus (biasanya tidak dapat membuka lebih dari 3 cm) dapat terjadi bila
terjadi spasme terhadap otot masseter dan temporalis bila terjadi kontusio pada
area itu. Epistaxis juga dapat terjadi. Pada inspeksi mata juga dapat tampak,
ekimosis periorbital berat, perdarahan subkonjungtiva akibat robekan
pembuluh darah kantus mata, hifema pada COA juga dapat terjadi dan hal ini
merupakan tanda adanya cidera yang serius terhadap bola mata sehingga
merupakan kondisi kegawat daruratan pada mata. Enophthalmus dapat terjadi
bila terjadi herniasi lemak lemak sekitar bola mata. Pada perabaan teraba
ketidaksimetrisan lengkung zygomatik dan tulang tulang sekitar malar (walau
pada cidera yang tidak serius), teraba krepitasi dan pembengkakan, fraktur yang
terjadi juga dapat teraba (Bansagi, 2008).
Pemeriksaan Radiologi
Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan keadaan
pasien stabil, pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk memberikan
tambahan informasi tentang trauma fasial. Evaluasi pada fraktur
midfasial secara umum ditambahkan dengan gambaran radiografik,
minimal foto Waters, scheidel anteroposterior, lateral dan foto
submentovertex. Foto Townes sangat bermanfaat dalam
menggambarkan lengkung zigomatikus dan rami mandibula. Lengkung
zigoma paling bagus digambarkan pada foto submentovertex. Foto
Waters memperlihatkan antrum hampir jelas. Foto lateral skull berguna
dalam menggambarkan kehadiran cairan pada sinus paranasal dan udara
intrakranial. Jika pasien tidak dapat tengkurap, dapat menggunakan
reverse Waters (frontoosipital). Kekurangannya yaitu bertambahnya
jarak antara tulang wajah ke film (Gleinser, w, 2010).
Diagnosis radiologi Fraktur Le Fort sangat penting untuk tindakan
penatalaksanaannya. Fraktur midfasial dapat dinilai melalui gambar
sinus radiografi. CT scan sangat berguna dalam melihat seberapa luas
dan tingkat keparahan fraktur midfasial. MRI hanya memiliki sedikit
peran yaitu hanya untuk melihat apakah ada trauma serebral atau
gangguan nervus optik (Gleinser, w, 2010).
21
2. Perawatan Fraktur Le Fort II
Reduksi tertutup yang dilakukan pada fraktur Le Fort II mudah dilakukan
dengan tang disimpaksi Rowe. Fiksasi intermaksilari kemudian dilakukan
untuk memperbaiki posisi anteroposterior fraktur. Hal tersebut perlu
dilakukan untuk mendapat stabilitas dan penyembuhan yang adekuat.
Imobilisasi dilakukan minimal 4 minggu.
Sebagai alternatif, dapat dilakukan reduksi terbuka. Pada fraktur Le Fort
II dilakukan insisi pada sulkus bukalis, pembukaan tambahan ke superior
sering dibutuhkan untuk akses yang cukup dari orbital rim. Hal ini dapat
dicapai dengan insisi subsiliary atau transkonjunctiva. Perawatan dimulai
dengan pemasangan IDW untuk mendapatkan oklusi. Pada umumnya
segmen maksila pyramidal yang bebas distabilisasi ke tulang zygoma yang
intak. Fiksasi dapat dilakukan dengan mini plate yang menjangkau
penyangga zygomaticomaksilaris (George, G, 2008).
Setelah dilakukan reduksi pada fraktur, terdapat variasi pilihan untuk
imobilisasi. Minimal fiksasi tiga-titik atau mungkin empat-titik diperlukan.
Hal ini dapat diperoleh dengan membuka regio sutura zigomatikomaksilaris
baik dari rima inferior maupun intraoral, atau dapat juga menggunakan
daerah sutura nasofrontal. Kombinasi yang diperlukan tergantung pada
kebutuhan untuk mengeksplor dasar orbita, atau rekonstruksi rima inferior,
atau keduanya, dan rekonstruksi regio nasofrontal karena daerah ini sering
kali terjadi keremukan (George, G, 2008).
Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi
sutura nasofrontal. Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau
insisi flap koronal, atau melalui laserasi yang sudah ada. Semua pendekatan
ini dapat memberikan akses yang baik ke daerah sutura nasofrontalis.
Penempatan plat pada daerah ini dapat memberikan kestabilan dan
keamanan dalam arah superior posterior (George, G, 2008).
22
Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma
bilateral dan fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE).
Terdapatnya jejas yang remuk dan parah bervariasi, tetapi prinsip
perawatannya identik dengan yang lain (George, G, 2008).
Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi
zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta
reduksi yang tepat dari maksila ke wajah tengah inferior. Pada gilirannya,
oklusi yang baik harus didapatkan untuk mendapatkan posisi
anteroposterior dan lateral wajah tengah (George, G, 2008).
Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang
yang bergerak untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya,
rahang atas harus dalam kondisi tidak terpendam (direposisi) dan MMF
dilakukan. Insisi jaringan lunak dapat dilakukan di lokasi yang sama seperti
untuk fraktur Le Fort II. Insisi alis lateral, lipatan glabela, atau flap kulit
kepala bicoronal dapat digunakan untuk topangan tambahan pada tulang
frontozigomatik. Flap bicoronal dapat diperpanjang untuk mencapai akses
ke lengkung zigoma. Flap bicoronal harus dirancang hati-hati untuk
menghindari cedera pada cabang saraf wajah. Ketika flap dibuat pada area
lengkung orbita, perikranium dapat diinsisi tepat di atas lengkung untuk
menjaga suplai darah dari daerah supraorbital dan supratroklearis ke flap.
Pada daerah lateral, kita melakukan diseksi superfisial dari fasia temporalis.
Dalam mencapai lengkung zigomatik, kita lakukan insisi fasia temporalis di
atasnya. Perluas bidang insisi ke dalam fasia sampai tulang zigoma yang
fraktur. Patahan tulang kemudian dapat dikurangi dengan elevator kaku.
Jika terpendam atau comminuted, fiksasi langsung mungkin diperlukan.
Jangan gunakan flap bicoronal dalam situasi dimana flap membutuhkan
suplai arteri temporal. Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan
dengan tindakan fiksasi pada fraktur maksila, kurangi dan stabilkan setiap
patahan tulang yang terlibat. Setelah ini dilakukan dan segmen fraktur
terlihat, maka fiksasi dapat dilakukan. Fiksasi Miniplate saat ini merupakan
23
tipe yang paling dapat diandalkan. Gunakan template lunak, pelat
pembentuk kontur yang akurat dan monocortical serta sekrup self-tapping.
Gunakan pelat yang menjangkau seluruh penopang utama. Pada fraktur Le
Fort III sejati, fiksasi zygomaticofrontal bilateral mungkin sudah cukup.
Namun, secara umum, tetap dibutuhkan fiksasi tambahan (misalnya,
nasomaxillary, nasofrontal, lengkung inferior orbital, lengkung zigomatic).
Gunakan sesedikit mungkin pelat untuk mencapai fiksasi; pelat berlebihan
tidak diperlukan. Interoseus wiring dan suspension wiring digunakan pada
fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya tidak sebaik miniplate fiksasi karena
vektor gaya untuk mempertahankan reduksi kurang akurat dan micromotion
meningkat (George, G, 2008).
24
Gambar 16. Fiksasi kraniomaksilar (George, G, 2008).
25
Gambar 17. Penggunaan tang disimpaksi Rowe untuk mereduksi maksila (George, G, 2008).
26
orbita, atau rekonstruksi rima inferior, atau keduanya, dan rekonstruksi regio
nasofrontal karena daerah ini sering kali terjadi keremukan (George, G, 2008).
Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi sutura
nasofrontal. Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau insisi flap
koronal, atau melalui laserasi yang sudah ada. Semua pendekatan ini dapat
memberikan akses yang baik ke daerah sutura nasofrontalis. Penempatan plat pada
daerah ini dapat memberikan kestabilan dan keamanan dalam arah superior
posterior (George, G, 2008).
3. Perawatan Fraktur Le Fort III
Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma
bilateral dan fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE). Terdapatnya
jejas yang remuk dan parah bervariasi, tetapi prinsip perawatannya identik dengan
yang lain (George, G, 2008).
Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi
zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta reduksi yang
tepat dari maksila ke wajah tengah inferior. Pada gilirannya, oklusi yang baik harus
didapatkan untuk mendapatkan posisi anteroposterior dan lateral wajah tengah (2).
Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang yang
bergerak untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya, rahang atas
harus dalam kondisi tidak terpendam (direposisi) dan MMF dilakukan.
Insisi jaringan lunak dapat dilakukan di lokasi yang sama seperti untuk
fraktur Le Fort II. Insisi alis lateral, lipatan glabela, atau flap kulit kepala bicoronal
dapat digunakan untuk topangan tambahan pada tulang frontozigomatik. Flap
bicoronal dapat diperpanjang untuk mencapai akses ke lengkung zigoma. Flap
bicoronal harus dirancang hati-hati untuk menghindari cedera pada cabang saraf
wajah. Ketika flap dibuat pada area lengkung orbita, perikranium dapat diinsisi
tepat di atas lengkung untuk menjaga suplai darah dari daerah supraorbital dan
supratroklearis ke flap. Pada daerah lateral, kita melakukan diseksi superfisial dari
fasia temporalis. Dalam mencapai lengkung zigomatik, kita lakukan insisi fasia
temporalis di atasnya. Perluas bidang insisi ke dalam fasia sampai tulang zigoma
yang fraktur. Patahan tulang kemudian dapat dikurangi dengan elevator kaku. Jika
27
terpendam atau comminuted, fiksasi langsung mungkin diperlukan. Jangan
gunakan flap bicoronal dalam situasi dimana flap membutuhkan suplai arteri
temporal.
Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat menjadi bahan pertimbangan
untuk menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan dengan tindakan fiksasi pada
fraktur maksila, kurangi dan stabilkan setiap patahan tulang yang terlibat. Setelah
ini dilakukan dan segmen fraktur terlihat, maka fiksasi dapat dilakukan. Fiksasi
Miniplate saat ini merupakan tipe yang paling dapat diandalkan. Gunakan template
lunak, pelat pembentuk kontur yang akurat dan monocortical serta sekrup self-
tapping. Gunakan pelat yang menjangkau seluruh penopang utama. Pada fraktur Le
Fort III sejati, fiksasi zygomaticofrontal bilateral mungkin sudah cukup. Namun,
secara umum, tetap dibutuhkan fiksasi tambahan (misalnya, nasomaxillary,
nasofrontal, lengkung inferior orbital, lengkung zigomatic). Gunakan sesedikit
mungkin pelat untuk mencapai fiksasi; pelat berlebihan tidak diperlukan. Interoseus
wiring dan suspension wiring digunakan pada fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya
tidak sebaik miniplate fiksasi karena vektor gaya untuk mempertahankan reduksi
kurang akurat dan micromotion meningkat.
28
Sebelum pulang, instruksikan pasien mengenai cara melepas IMF apabila
muntah. Selain itu, pasien diberi tahu untuk membatasi diet yaitu bubur atau cairan
(George, G, 2008).
29
Jenis fraktur tulang dasar orbita pada anak-anak berbeda dengan pada orang
dewasa. Fraktur tulang dasar orbita pada anak-anak terdapat ekimosis dan
eritema minimal. Fraktur tulang dasar orbita yang terjadi merupakan jenis
trapdoor dimana muskulus rektus inferior dan soft tissue perimuskular terjepit
sehingga menimbulkan keterbatasan gerak bola mata, mual dan muntah. Hal
ini disebabkan karena elastisitas yang tinggi dari tulang orbita anak-anak
sehingga prolaps dari jaringan orbita terjepit kuat dalam tulang yang
mengalami fraktur. Jaringan dan otot yang terjepit menyebabkan diplopia berat
dan oculocardiac reflex (Chaudhry, 2010; Wang, 2010; Gennaro dkk, 2012).
G. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mata
Lakukan pemeriksaan tulang tulang fasial untuk melihat deformitas
Pemeriksaan kelopak mata dan soft tissue (periorbita edema, kerusakan
saraf sensori infraorbita hingga ke bibir atas dan muka, adanya defek
kontinuitas rima orbita)
Inspeksi perforasi dari bola mata, perdarahan subkonjungtiva, hipoglobus,
enophthalmus
Lihat visus melalui Snellen Chart
Diplopia test 9 arah (atas kiri kanan, tengah kiri kanan, bawah kiri kanan),
diplopia pada pandangan ke atas (patognomonik fraktur blow out),
keterbatasan melihat ke atas, nyeri pada saat melihat ke atas.
Periksa respon pupil, ukuran dan bentuk, pemeriksaan buta warna,
pemeriksaan ligamen kantus medial (pemeriksaan jarak interkantus,
biasanya melebar = telekantus; Normal rata rata 32 mm)
Lipatan supratarsal dalam, perdarahan sekitar bola mata yang cidera
(periorbital hemorage), fisura palpebra menyempit akibat enophthalmus atau
kontraksi jaringan fibrosa, tendo kantus terputus, visus menurun, disfungsi
pupil (bila disertai penurunan visus, perlu dicurigai adanya neuropati optik
traumatik atau kompresif) (Gennaro dkk, 2012).
H. Pemeriksaan penunjang
30
Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan untuk menegakkan
diagnosa blow-out fracture adalah CT Scan kepala dengan potongan coronal
dan sagital. Hasil CT Scan dapat memperlihatkan tulang yang mengalami
fraktur, ukuran fraktur dan keterlibatan otot ekstraokular (American Academy
of Ophthalmology staff, 2011-2012b).
CT scan kepala dilakukan dengan irisan kecil (2-3 mm) dengan fokus pada
dasar orbita dan optik canal. Ukuran dan bentuk fraktur yang terlihat tidak
hanya untuk menentukan diagnosa klinis namun juga menentukan rencana
operasi. Penyebab proptosis dapat terlihat dari CT scan apakah karena
perdarahan orbita yang memerlukan penanganan segera atau karena empisema
orbita. CT scan dapat mendeteksi musculus rektus yang terjepit dengan melihat
pergeseran otot ke daerah fraktur dengan atau tanpa pergeseran tulang (Joseph
& Glavas, 2011).
Gambar 7. CT scan potongan koronal pada pasien anak-anak menunjukkan soft tissue yang terjepit
dan distorsi muskulus rektus inferior pada fraktur tipe trapdoor pada medial dasar orbita (Banzagi
& Meyer, 2008)
31
Gambar 8. CT scan pasien dewasa dengan > 50% fraktur tulang dasar orbita dan herniasi soft
tissue (Parbhu dkk, 2008)
32
Gambar 9. CT scan potongan axial menunjukkan zygomaticomaxillary complex fracture
(American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012)
J. Diagnosis
33
Diagnosis dari blow-out fracture ditegakkan berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penderita memiliki riwayat
mata terkena benturan benda yang biasanya berdiameter lebih besar daripada
lingkaran mata, misalnya bola tenis, dashboard mobil atau terkena pukulan
tinju. Penderita juga mengeluh nyeri intraokular, mati rasa pada area tertentu
di wajah, tidak mampu menggerakkan bola mata, melihat ganda bahkan
kebutaan (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012).
Pemeriksaan fisik dari penderita blow-out fracture murni didapatkan edema,
hematoma, enophtalmus, restriksi gerakan bola mata, anasthesia infraorbital,
trauma nervus cranialis. Hasil rontgen kepala memperlihatkan gambaran alis
mata hitam sedangkan pemeriksaan CT scan memperlihatkan tulang dasar
orbita atau dinding medial yang mengalami fraktur, ukuran fraktur dan
keterlibatan otot ekstraokular (Zubair & Touseef, 2005; American Academy of
Ophthalmology, 2011-2012)
.
K. Penatalaksanaan
Evaluasi ABC (airway, breathing and circulation) selalu dilakukan pada
setiap kasus trauma wajah karena trauma pada daerah wajah sangat potensial
menyebabkan gangguan ABC. Pengamanan ABC harus dilaksanakan segera
setelah pasien datang. Pemeriksaan dan penatalaksanaan trauma awal
dilaksanakan setelah ABC pasien terkendali (Gleinser, 2010).
Kasus blow-out fracture sebagian besar tidak memerlukan tindakan operasi.
Blow-out fracture orbita biasanya hanya diobservasi 5-10 hari untuk melihat
penyerapan hematom. Pemberian steroid oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari
pertama dapat mengurangi edema dan resiko diplopia yang disebabkan
kontraktur dan fibrosis musculus rektus inferior (American Academy of
Ophthalmology staff, 2011-2012).
Penderita blow-out fracture disarankan untuk tidak meniup hidung mereka
selama beberapa minggu untuk mencegah emphysema orbita. Dekongestan
hidung sering digunakan sebagai pencegahan. Antibiotika profilaksis
34
digunakan untuk mencegah selulitis orbita jika fraktur menyebabkan hubungan
langsung obita dengan rongga sinus (Joseph & Glavas, 2011).
Indikasi operasi pada blowout fracture masih kontroversial, namun
beberapa indikasi yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya
diplopia, enophtalmus, fraktur luas yang melibatkan setengah dari dasar orbita
dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak ada
perbaikan klinis dalam 1-2 minggu. Operasi dilakukan pada diplopia dengan
restriksi gerakan ke atas dan atau ke bawah 300 dari posisi primer dengan hasil
forced duction test positif dalam 7-10 hari setelah trauma. Hal ini menunjukkan
jaringan yang terjebak mempengaruhi fungsi musculus rektus inferior.
Diplopia bisa bertambah parah setelah dua minggu sehubungan dengan edema
orbita, dan perdarahan. Vertikal diplopia akan persisten jika dalam waktu dua
minggu tidak dilakukan tindakan (Joseph & Glavas, 2011; American Academy
of Ophthalmology staff, 2011-2012b).
Enophtalmus lebih dari 2 mm atau secara kosmetik mengganggu penderita
merupakan indikasi dilakukannya operasi. Enophtalmus biasanya tertutupi
oleh edema orbita pada saat awal trauma bahkan hingga beberapa minggu
setelahnya sehingga pengukuran yang teliti sangat diperlukan. Pengukuran
enopthalmus dengan eksopthalmometer harus diulang bila edema orbita sudah
berkurang yang biasanya terjadi 10 hari hingga 2 minggu setelah trauma. Jika
enopthtalmus terjadi pada fraktur dasar orbita yang besar, maka tindakan
operasi dapat mencegah terjadinya enophtalmus yang lebih besar di kemudian
hari (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012).
Fraktur luas yang melibatkan setengah dari dasar orbita, khususnya jika
melibatkan fraktur luas dinding medial karena berhubungan dengan kosmetik
dan deformitas fungsional memerlukan tindakan operasi. Fraktur yang luas ini
ditakutkan akan menyebabkan enopthalmus susulan. Hasil CT scan yang
menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak terjadi perbaikan klinis dalam
1-2 minggu juga merupakan indikasi tindakan operasi (Joseph & Glavas, 2011;
American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012).
35
Pasien pediatri umumnya diperlukan tindakan operasi karena musculus
rectus inferior terjepit sangat kuat diantara celah fraktur. Pergerakan vertikal
bola mata sangat terbatas dan hasil CT scan menunjukkan musculus rektus
inferior terletak di sinus maksilaris. Pergerakan bola mata dapat merangsang
oculocardiac reflex, nyeri, mual dan bradikardia. Tindakan operasi harus
segera dilakukan untuk melepaskan otoT yang terjebak. Hasil akhir pergerakan
bola mata semakin baik bila semakin cepat dilakukan operasi karena dapat
mengurangi fibrosis otot (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-
2012; John, 2012).
L. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat trauma awal maupun terapi pembedahan.
Komplikasi dari operasi blow-out fracture adalah penurunan tajam penglihatan
atau kebutaan, diplopia, undercorrection / overcorrection dari enophtalmus,
retraksi palpebra inferior, hipoesthesia nervus infraorbita, infeksi, ekstrusi
implan, lymphedema dan kerusakan sistem aliran air mata (Joseph & Glavas,
2011; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).
Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma awal adalah pergeseran bola
mata, selulitis orbita dan kebutaan. Pergeseran bola mata dapat terjadi karena
proptosis, pergeseran vertikal, pergeseran horizontal, herniasi traumatik
menuju sinus maksilaris dan enophtalmus. Proptosis dapat disebabkan
haematom dan pembengkakan jaringan orbita yang dapat diresorpsi spontan.
Bila terjadi hematoma subperiosteal, kemungkinan akan terjadi proptosis
persisten. Pergeseran vertikal sering terjadi pada fraktur orbital karena
hematom. Pergeseran horizontal terjadi bila terkena ligamen medial atau terjadi
pergeseran kompleks naso-ethmoidal. Pergeseran ini juga terjadi bila margin
lateral orbita bergeser ke lateral (Chaudhry, 2010).
Herniasi traumatik yang terjadi biasanya menuju sinus maksilaris.
Komplikasi ini sangat jarang, terjadi hanya jika defek pada dasar orbita sangat
besar. Enophtalmus merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada
blow-out fracture namun sering tetutupi oleh edema dan hematom.
Enophtalmus dapat terjadi karena perluasan rongga orbita, atropi lemak,
36
kontraktur sikatrik dan traksi ke belakang oleh otot yang terjepit. Pergeseran
bola mata umumnya terjadi karena perubahan volume orbita atau pendorongan
mata ke belakang. Implikasinya pada saat dilakukan eksplorasi orbita,
dilakukan perbaikan defek untuk mengembalikan volume awal dari orbita dan
melepaskan otot yang terjepit (Chaudhry, 2010).
Blow-out fracture menyebabkan hubungan langsung antara orbita dan sinus
sehingga beresiko terjadi selulitis orbita bila terdapat sinusitis. Sumbatan aliran
darah meningkatkan resiko ini. Fraktur dasar orbita menyebabkan suplai darah
ke lemak infraorbita berkurang sehingga terjadi selulitis anaerob. Selulitis
orbita merupakan kondisi yang serius karena dapat menyebabkan kebutaan,
trombosis sinus kavernosus, meningitis dan abses cerebral (Simon dkk, 2005;
Chaudhry, 2010).
Kebutaan yang terjadi karena trauma pada bola mata dan pada nervus
optikus. Trauma pada bola mata ini dilaporkan terjadi pada 30% kasus fraktur
tulang orbita. Penurunan tajam penglihatan dapat terjadi pada perdarahan
retrobulbar, adanya benda asing dan fragmen tulang yang mengenai nervus
optikus (Simon dkk, 2008).
M. Prognosis
Prognosis umumnya baik, bila dilakukan penatalaksanaan yang tepat. Visus
umumnya baik pasca pembedahan blow-out fracture, kecuali jika terdapat
komplikasi saat pembedahan, misalnya terkenanya saraf optik. Tindakan yang
dilakukan dengan hati-hati disertai pemahaman struktur anatomis yang baik
akan memberikan hasil yang baik, meskipun tidak dapat mengembalikan
struktur yang normal seperti sebelum trauma, namun tidak memperburuk
kondisi pasien, terutama fungsi penglihatan (Salam & Toukhy, 2009).
37
KESIMPULAN
38
rontgen kepala memperlihatkan gambaran alis mata hitam sedangkan
pemeriksaan CT scan memperlihatkan tulang dasar orbita atau dinding medial
yang mengalami fraktur, ukuran fraktur dan keterlibatan otot ekstraokular.
Diagnosis banding dari blow out fracture adalah Zygomaticomaxillary
complex fracture (ZMC) dan Naso-orbito-ethmoidal fracture (NOE).
Kasus blow-out fracture sebagian besar tidak memerlukan tindakan operasi.
Indikasi yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia,
enophtalmus, fraktur luas yang melibatkan setengah dari dasar orbita dan hasil
CT scan menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak ada perbaikan klinis
dalam 1-2 minggu. Komplikasi dapat terjadi akibat trauma awal maupun terapi
pembedahan. Prognosis blow out fracture umumnya baik, bila dilakukan
penatalaksanaan yang tepat.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
11. Gleinser, D.M. 2010. Pediatric Facial Fracture. The American Academy of
Opthalmology. 4:86-99.
12. Ilyas, S., 2009. Anatomi dan Fisiologi Mata. Ilmu Penyakit Mata. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Ed 3. p 1-13.
13. John, D.N. 2012. Pediatric Orbital Trauma: The Silent Trap-door. In:
Pediatric Ophthalmology 2012. Chicago. The American Academy of
Opthalmology. p.30-31.
14. Joseph, M.J. and Glaves, I.P., 2011, Orbital Fractures : a Review. Clinical
Ophthalmology, 5:95-100
15. Kahana, A., Lucarelli, M.J., Burkat, C.N. and Dortzbach, R.K. 2008. Orbital
Fractures. In: Surgical Atlas of Orbital Diseases. p. 220-243.
16. George G. Scott browns otorhinolaryngology, 7th edition. 2008
41