Вы находитесь на странице: 1из 21

Bahasan :

1. Teori Demokrasi Klasik


2. Teori Demokrasi Prosedural ala Schumpetarian
3. Teori Demokrasi Prosedural ala Dahl
4. Teori Demokrasi Prosedural diperluas
5. Teori Demokrasi Substantif
6. Teori Demokrasi Sosial
7. Dinamika Perkembangan Teori Demokrasi

1. Teori Demokrasi Klasik

Pandangan ini dikemukakan antara lain John Locke (contrac social),


Montesquie (triaspolitica), dll.
Mendefinisikan demokrasi sebagai kehendak rakyat (the will of the people),
kebaikan bersama, atau kebajikan publik (the common good).
Demokrasi dilihat dari sumber dan tujuannya.
Paham ini lahir sebagai respon terhadap paham yang memberikan kekuasaan
mutlak pada negara, baik berbasiskan teokratis maupun duniawi seperti dalam
konsep Thomas Hobbes tentang Laviathan.
Dalam pandangan klasik ini, pemerintahan konstitusional harus mampu
membatasi dan membagi kekuasaan mayoritas dan sekaligus dapat melindungi
kebebasan individu.
Bagi Locke negara diciptakan karena suatu perjanjian (kontrak) kemasyarakatan
antar rakyat. Tujuannya melindungi hak milik, hidup dan kebebasan dari
berbagai ancaman bahaya. Individu-individu bisa saja memberikan hak-hak
alamiah kepada negara, tetapi tidak semuanya.
Pandangan demokrasi klasik ini melahirkan konsep demokrasi liberal.
Teori demokrasi klasik bersifat: normatif, rasionalistik, utopis, dan idealistik.

2. Teodem Prosedural ala Schumpetarian

Pandangan demokrasi klasik (kehendak rakyat) mendapatkan kritikan dari


Joseph Schumpeter dalam bukunya berjudul Capitalism, Socialism and
Democracy yang terbit tahun 1942.
Dalam bukunya, Schumpter menyatakan bahwa kehendak rakyat (termasuk
kontrak sosial) tidak bisa diimplementasikan begitu saja. Dalam politik, yang
menjadi motor penggerak adalah prosedur-prosedur atau metode berdemokrasi.
Karena menekankan prosedur maka konsep demokrasi Schumpeter disebut juga
demokrasi prosedural.
Konsep demokrasi schumpeter lebih bersifat empirik, deskriptip, institusional,
dan prosedural.
Dalam sistem demokrasi prosedural, demokrasi sebagai suatu system
pemerintahan harus memenuhi tiga syarat pokok:
a. kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas antara indivu dan atau
kelompok (terutama parpol) untuk memperebutkan jabatan-jabatan
pemerintahan.
b. Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga dalam
pemilihan pemimpin dan kebijakan, paling tidak melalui pemilu secara
reguler dan adil, tak satupun kelompok dikecualikan.
c. Kebebasan sipil dan politik (berbicara, pers, berserikat) yang cukup
menjamin intergritas kompetisi dan partisipasi politik.

Sistem demokrasi electoral merupakan sebuah bentuk atau metode


berdemokrasi ala Scumpterian ini.
Konsep Schumpter mendominasi teorisasi demokrasi sejak tahun 1970-an serta
mewarnai ilmuan politik seperti: Robert Di Palma, Robert A. Dhal, Przeworski,
Samuel P. Huntington, Larry Diamond, Juan Stephen Linz, dan Seymour Martin
Lipset.

3. Teori Demokrasi Prosedural ala Dahl

Bagi Robert A Dahl kehidupan berdemokrasi tidak cukup digerakan dengan


prosedur atau metode semata. Demokrasi, dalam pandangan Robert A Dahl
mesti mengandung dua dimensi terbaik dalam hal kontestasi dan partisipasi.
Tatanan politik yang terbaik bagi masyarakat bukanlah demokrasi melainkan
polyarchy.
Tipologi sistem politik, menurut Dahl, ditentukan dari bekerjanya kompetesi dan
partisipasi dalam kehidupan politik. Tipologi sistem politik ada 4 jenis: (1)
hegemoni tertutup; (2) oligarki kompetitif; (3) hegemoni inklusif; (4) polyarchy.
Menurut Dahl, sistem yang demokratis (polyarchy) memiliki 7 indikator:

a. Setiap warga negara mempunyai persamaan hak memilih dalam pemilu


(aspek partisipasi).
b. Setiap warga negara mempunyai persamaan hak dipilih dalam pemilu
(aspek kompetisi).
c. Pemilihan pejabat publik diselenggarakan melalui pemilu yang teratur, fair,
dan bebas.
d. Kontrol kebijakan dilakukan oleh pejabat public terpilih.
e. Jaminan kebebasan dasar dan politik.
f. Adanya saluran informasi alternatif yang tidak dimonopoli pemerintah atau
kelompok tertentu.
g. Adanya jaminan membentuk dan bergabung dalam suatu organisasi,
termasuk parpol dan kelompok kepentingan.

Menurut Dahl, syarat terbentuknya sistem demokratis (polyarchy) yang ideal ini
meliputi 5 hal:
a. Persamaan hak pilih
b. Partisipasi efektif
c. Pembeberan kebenaran
d. Kontrol terakhir terhadap agenda dilakukan masyarakat
e. Pencakupan masyarakat hukum adalah orang dewasa.

4. Teori Demokrasi Prosedural diperluas

Penekanan demokrasi prosedural (pelaksanaan elektoral semata) membuah


kritik dari Terry Karl tentang Kekeliruan Elektoral. Menurut Terry Karl,
demokrasi procedural mengistimewakan pelaksanaan pemilu di atas dimensi-
dimensi yang lain, dan mengabaikan kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu
multi partai dalam menyisihkan hak masyarakat tertentu untuk bersaing dalam
memperebutkan kekuasaan.
Kritik ini menimbulkan konsepsi demokrasi yang diperluas.
Larry Diamond menyebutkan 10 (sepuluh) komponen khusus demokrasi
diperluas tersebut sbb:

a. Adanya kesempatan pada kelompok minoritas untuk mengungkap


kepentingannya.
b. Setiap warga negara mempunyai kedaulatan setara dihadapan hukum.
c. Kebebasan membentuk parpol dan mengikuti pemilu.
d. Kebebasan bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dalam
perkumpulan.
e. Kebebasan bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dengan
berbagai perkumpulan dan gerakan indepdenden.
f. Tersedianya sumber informasi alternatif.
g. Setiap individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berserikat,
dan berdemonstrasi.
h. Setiap warga negara mempunyai kedaulatan setara dihadapan hukum.
i. Kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah
peradilan independen dan tidak diskriminatif.
j. Rule of law melindungi warga negara dari penahanan yang tidak sah,
pengucilan, teror, penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasnya
dalam kehidupan pribadi baik oleh warga negara maupun kekuatan
negara.

Menurut Habermas (filosop Jerman) bahwa demokrasi sebaiknya tidak dilihat


dari sisi prosedural semata, melainkan harus dilihat dari sisi substansi berupa
jiwa, kultur, atau ideology demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal
parpol, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan
masyarakat. Demokrasi akan terwujud apabila rakyat bersepakat mengenai
makna demokrasi, paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan
demokrasi bagi kehidupan bersama.
5. Teori Demokrasi Substantif

Menurut Habermas masyarakat demokratis adalah masyarakat yang memiliki


otonomi dan kedewasaan. Otonomi kolektif masyarakat berhubungan dengan
pencapaian consensus bebas dominasi dalam sebuah masyarakat komunikatif.
Habermas juga menyinggung pentingnya ruang publik (public sphere) dalam
masyarakat komunikatif dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses
politik dan menentukan jalannya kekuasaan.
Habermas juga menekankan pentingnya upaya dialog, musyawarah-mufakat
dan menyerap aspirasi masyarakat dalam berdemokrasi.
Konsep demokrasi prosedural-liberal yang hanya menekankan dimensi politik
(demokrasi politik) mendapatkan kritik dari berbagai kalangan terutama kaum
Marxian.
Bagi Marxisme demokrasi tidak hanya menyangkut dimensi persamaan dan
kebebasan melainkan mengandung di dalamnya konsep keadilan sosial.

6. Teori Demokrasi Sosial

Dalam pandangan marxisme, demokrasi yang sesungguhnya tidak terwujud


ketika kaum marginal (buruh) hanya diberi kebebasan politik namun secara
struktural mereka tetap berada dalam struktur penindasan (eksploitasi) yang
dilakukan oleh kelas kapitalis. Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah
demokrasi semu.
Menurut pandangan marxisme bahwa demokrasi rakyat sesungguhnya (peoples
democracy) haruslah dikawal oleh negara. Negaralah yang akan melenyapkan
kelas dalam masyarakat sehingga muncullah classless society (masyarakat
tanpa kelas). Negara juga yang akan melakukan distribusi sosial. Negara
kemudian akan lenyap dengan sendirinya digantikan oleh classless society.

DINAMIKA 1970-AN

Terdapat dua kecenderungan, yaitu:

a. Dalam dimensi dikotomik negara-masyarakat, terjadi pergeseran variabel


independen dari demokrasi. Mula-mula, masyarakat menjadi variabel
independen, kemudian beralih ke negara dan kembali lagi ke masyarakat.
b. Teori politik tentang demokrasi sejak tahun 1970-an lebih memfokuskan
diri pada persoalan redemokratisasi, sehingga bidang kajian cenderung
melihat transisi demokrasi pada sistem politik yang dulu pernah
demokratis, namun saat itu berada alam kungkungan otoritarianisme.
PERGESERAN VARIABEL INDEPENDEN

Di era 1970-an, terdapat pergeseran variable independen dari masyarakat ke


negara.
Realitas tekstual menunjukkan bahwa di era 1950-an, para ilmuwan politik
tertarik untuk melihat perkembangan masyarakat di negara-negara yang baru
merdeka.
Mereka mencoba membangun premis awal yang didasarkan pada pengalaman
Eropa Barat dan Amerika Utara dimana kemajuan masyarakat akan melahirkan
demokrasi liberal.

PERGESERAN VARIABEL INDEPENDEN

Prasyarat utama bagi demokrasi liberal adalah pengembangan kekuatan


masyarakat, terutama melalui pembentukan sistem kepartaian yang mendukung
sistem parlementer.
Mekanisme perwakilan yang terinstitusionalisasi, kemudian, dipandang menjadi
ekspresi kepentingan masyarakat secara luas.

PERGESERAN VARIABEL INDEPENDEN

Di era 1970-an, fokus kajian bergeser ke ranah negara.


Dimulai dengan catatan dari Huntington dimana masyarakat, di wilayah yang
sedang berkembang, mengalami proses pelemahan.
Negara tidak lagi dinilai netral dan bebas kepentingan.
Fenomena tersebut akhirnya melahirkan sejumlah kajian demokrasi yang
berbasiskan negara sebagai varibel independen. Hal ini secara lugas ditunjukkan
dari pemikiran Skocpol, Hamza Alavi, Zieman dll.

PERGESERAN VARIABEL INDEPENDEN

Seiring dengan kemunculan transisi demokrasi di Amerika Latin dan sejumlah


negara di Asia, varibel independen dari demokrasi kembali ke masyarakat.
Kajian demokrasi dalam ranah masyarakat kemudian mengalami perluasan,
sehingga menghasilkan sebuah premis besar dimana aktor masyarakat mampu
memobilisasi dukungan tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga berbagai actor
yang bermukim di level internasional.
DIFERENSIASI TEORISASI DEMOKRASI

Jika dilakukan perbandingan, setidaknya terdapat tiga perbedaan teorisasi


sebelum dan sesudah era 1970-an, antara lain:

a. Teori demokrasi yang berkembang di era 1950-an dan 1960-an sangat


dipengaruhi oleh pengalaman empirik dari Eropa Barat dan Amerika
Utara. Karya besar yang sering dikutip adalah karya dari Lipset dan
Moore. Teori yang berkembang, pasca 1970-an cenderung melihat
sejumlah transisi demokrasi di wilayah yang lebih luas. Sebagai contoh
karya Huntington, Donell, Schmitter dan Stepan.
b. Dewasa ini, teorisasi demokrasi lebih menekankan pada variabel politik
dan mengurangi perhatian pada kondisi sosial yang mendukung proses
demokratisasi. Ini berbeda dengan teori demokrasi di era 1950-an dan
1960-an yang berbasiskan pada asumsi adanya:

- Ekonomi yang makmur dan merata.


- Struktur sosial yang modern, mengenal diversifikasi dan didominasi
kelas menengah yang indepnden.
- Budaya politik yang cukup egaliter dan toleran.

c. Adanya perbedaan perbedaan pengalaman demokratisasi antara Eropa


Barat dan Amerika Utara dengan transisi demokrasi di Amerika Latin dan
sejumlah negara di Asia.
Referensi
Mohtar Masoed. 2003. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
AAGN Ari Dwipayana dan Ratnawati. 2005. Teori-teori
Demokrasi dalam Teori Politik (Modul). PLOD UGM.
Yogyakarta.
Dahl, Robert A. 1973. Polyarchy: Participation and Opposition.
Yale University Press. Chelsea.
Eko, Sutoro. 2006. Krisis Demokrasi Elektoral, artikel dalam
Prajarta dan Nico (eds). Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu
2004. Pustaka Pelajar dan Percik. Yogyakarta-Salatiga.
Rousseau, Jean Jacques. 2007. Perjanjian Sosial (Du Contract
Social). Edisi Indonesia. Visi Media. Jakarta.
Purwo Santoso dan Miftah Adhi Ikhsanto. 2007. Bahan Bacaan
Teori Politik Demokrasi, Materi Sesi II. PLOD UGM.
Yogyakarta.
Tidak Ada Demokrasi Islam

Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa


agama islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan
kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan
asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan
syura/permusyawaratan.

Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak


berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan
yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak timur dan
barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan
beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari
demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan
antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman
yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari
banyak umat islam.

Prinsip Syura Pertama: Musyawarah hanyalah


disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan


musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya
sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung
suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Taala:

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36)

Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu


Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu
permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan
ialah membaca Al Quran, bila ia mendapatkan padanya ayat
yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia
akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak
mendapatkannya di Al Quran, akan tetapi ia mengetahui sunnah
(hadits) Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam, maka ia akan
memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak
mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada
kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: Sesungguhnya
telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian,
apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan
suatu keputusan? Kadang kala ada beberapa sahabat yang
semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari
Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar
berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara
kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita
Shallallahu alaihi wa Salam. Akan tetapi bila ia tidak
mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu alaihi
wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orangorang
yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah
dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat,
maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang
dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.
(Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar
menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah


disyariatkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada
satupun dalil tentangnya, baik dari Al Quran atau As Sunnah.
Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al
Quran atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk
bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu
hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.
Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan
bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata
menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang,
bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian,
komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai
pemimpin dll.

Prinsip Syura Kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan


jumlah yang menyuarakannya.

Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh


kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti
bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak
boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung
atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa
pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang
harus di amalkan.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia mengisahkan:


Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam meninggal dunia,
dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian
orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab
berkata kepada Abu Bakar: Bagaimana engkau memerangi
mereka, padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam telah
bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh
manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka
barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia
telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hakhaknya
(hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa),
sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah
kepada Allah. Abu Bakar-pun menjawab: Sungguh demi Allah
aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat
dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan
dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan
membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu
mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu
alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya. Maka
selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: Sungguh
demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah
Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk
memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah
pendapat yang benar. (Muttafaqun alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu


anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah
kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu yang
sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu
alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat
merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat
kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.

Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang


keputusan beliau:

Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan


yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa
Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas
mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah
menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri
NabiShallallahu alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan
pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku
akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di
sekitar kota Madinah. [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab
sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah
wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

Imam As Syafii berkata: Sesungguhnya seorang hakim


diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang
ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu
dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan
untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka
katakan. Karena sesungguhnya Allah Taala tidak pernah
mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi
Shallallahu alaihi wa Salam. [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani, 13/342]

Penjelasan Imam As Syafii ini merupakan penerapan nyata dari


firman Allah Taala:

Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka


hukumnya kepada Allah. (QS. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya


menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang
diperselisihkan diantara manusia kepada Allah Azza wa Jalla,
dan kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa Salam, yang
demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah Azza
wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.
Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara
musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi,
sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak,
walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah,
kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang
menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah
bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi,
dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura ialah para pemuka
masyarakat, ulama dan pakar di setiap bidang keilmuan.

Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang


berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang
yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan
mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami
setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya
masing-masing.

Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat,


merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap
anggota masyarakat, siapapun dia tidak ada bedanya antara
peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan
orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng
atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama
untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran
bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan
yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi
menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek
kemaksiatannya.

Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang
dimaksud oleh ulama atau tokoh masyarakat dari ucapan
demokrasi islam ialah sistem syura, bukan sitem demokrasi ala
orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
Jawaban dari sanggahan ini ialah:

Pertama: Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa


manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan
istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam yang telah
sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta
selamat dari makna yang batil.

Kedua: Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai


(tasyabbuh) dengan orang-orang kafir, dan Islam telah
mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai orangorang
kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam bersabda:

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong


dari mereka. (Abu Dawud dll)

Dalam sistem demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat
akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka mereka akan
memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka dangdut, maka ia akan
memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi pengajian, maka mereka akan
memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada
partai yang mempunyai program seperti tong sampah. Apa saja diadakan, yang penting dapat
dukungan.

Wahai kaum Muslim,


Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban
ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang disajikan di
hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Karenanya,
waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas kaum imperialis di
dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya:

Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka
lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).
Dalam sebuah kesempatan, penulis bersama seorang ulama, bersilaturrahim ke kediaman salah
seorang pimpinan Pondok Pesantren besar di Jawa Tengah yang sangat berpengaruh.

Diantara perbincangan tentang masalah dawah dan negara, ada satu hal yang cukup
mengagetkan kami, yakni pendapat beliau yang menyatakan bahwa Demokrasi tidak diakui
Islam, mengarah pada kemusyrikan bahkan masuk kategori kekufuran.

Alasannya, demokrasi berarti pemberian kewenangan untuk menetapkan hukum kepada rakyat.
Padahal dalam Islam, rakyat tidak berhak menetapkan hukum. Allah lah yang memiliki hak
prerogatif menetapkan hukum, sebagaimana firman-Nya:

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS. Al-Anam, 6:57)

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka ia termasuk
golongan kafir. (QS. Al-Maaidah,5:44)

Pendapat beliau ini ternyata juga di-amini oleh beberapa ulama berpengaruh di Jawa Tengah,
Jakarta, dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam pemilu 2009 yang lalu, suara partai-partai Islam
mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Sementara, disisi lain, berkembang opini di kalangan penganut Islam liberal bahwa Islam adalah
musuh demokrasi, tidak toleran, membelenggu dan otoriter.

Benarkah kedua pendapat yang berbeda kutub tersebut?

Masalah prinsip ini harus dijelaskan dengan tuntas dan didudukkan secara proporsional, agar
Islam tidak ditimpakan kesalahan penafsiran yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan
ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka bisa salah dan bisa benar.

Penulis memohon kepada Allah agar berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil
syariat dan hujjah balighah.

Kaidah dalam Hukum

Para ulama salaf telah menyepakati suatu kaidah: Hukum tentang sesuatu merupakan
derivasi dari konsepsinya. Barangsiapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak
mengetahui secara pasti tentangnya, maka ketetapan hukumnya dianggap cacat, sekalipun
mungkin secara kebetulan benar.

Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa hakim yang menetapkan hukum tanpa
mengetahui permasalahannya, akan masuk ke dalam neraka, seperti orang yang mengetahui
kebenaran namun menetapkan yang lain.

Dalam konteks ini, apakah demokrasi yang didengung-dengungkan negara-negara di seluruh


dunia, diperjuangkan oleh bangsa-bangsa Barat maupun Timur, setelah berperang melawan
penguasa diktator dengan tumpahan darah dan ribuan bahkan jutaan nyawa jadi korban,
dijadikan sarana ampuh bagi dawah untuk melawan hegemoni penguasa zhalim yang mengaku
muslim, termasuk kemungkaran atau bahkan kekufuran? Apakah mereka yang berpendapat
demokrasi itu kufur, mengerti akan hakikat atau substansi demokrasi?

Substansi Demokrasi

Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek
politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin
sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk
memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.

Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat
syura (permusyawaratan) dan baiat (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen
tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.

Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam
para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel,
kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi
keputusan mayoritas.

Islam juga mengandung ajaran bahwa tangan Allah bersama jamaah (rakyat banyak).
Rasulullah saw bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, Kalau kalian berdua sepakat dalam
suatu hal, aku tidak akan menentang pendapat kalian berdua. [1] Ini menunjukkan bahwa
aspirasi dari jumlah orang yang lebih banyak harus didahulukan dari aspirasi segelintir orang,
termasuk pendapat Rasulullah sendiri (dalam masalah ijtihadi duniawi).

Di dalam Islam, setiap rakyat berhak memberikan saran atau nasihat kepada penguasa,
menganjurkannya berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran; tentu dilakukan dengan tetap
memperhatikan etika dan cara mengingatkan dengan baik.

Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang
diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk
melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan
kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat
kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.

Hal penting lainnya dalam penerapan sistem demokrasi adalah Pemilihan Umum (pemilu) dan
pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak; dimana secara umum bisa dinilai tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.

Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan
manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak
dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat.
Relevansi Demokrasi dengan Islam

Ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.

1. Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.

Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak
akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:

a. Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah.
b. Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam
mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
c. Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak
merupakan kebenaran.
d. Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bidah dalam agama; generasi
Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda,
Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita,
maka hal tersebut ditolak. (HR. Muslim, Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya,
Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan
ditolak. (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasai).

Demikian pula ada hadits yang menyatakan, Perkataan yang paling benar adalah
Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, seburuk-buruk hal
adalah sesuatu yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bidah. Setiap
bidah adalah sesat, dan kesesatan itu akan mengantarkan ke neraka. (HR. Muslim,
Ahmad, An-Nasai) [2]
e. Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita
akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya?

Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga
mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan
mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang
menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran.

2. Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.

Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk
mengatasi problematika negara, pemerintahan, rakyat dan tanah air. Mereka menerima
demokrasi Barat bulat-bulat, termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial
kemasyarakatannya yang bebas tanpa batas.

Mereka meng-copy paste demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin menerapkannya persis sama
dengan praktek demokrasi di negara-negara Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah,
tidak mengenal akhlak, mengabaikan ibadah dan menyepelekan syariah. Bukan hanya itu,
demokrasi Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara.
Mereka ini korban dari ghazwul-fikri, perang budaya, yang berujung pada kekalahan dan
melahirkan mentalitas kaum terjajah yang bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku
penguasa penjajahnya.

3. Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.

Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari
demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa
pemimpinnya.

Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau
pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.

Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan
yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi
terhadap jalannya pemerintahan.

Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan
dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada
mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi
rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.

Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah
(eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah
yang berkaitan dengan syariah; maka perbedaan tersebut dibawa, untuk ditengahi, kepada
Majelis Ulama atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang
berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan Al-Quran dan As-
Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin)
diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian. (QS. An-Nisaa, 4:59).

Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan
kemasyarakatan yang masuk dalam kategori mubah, maka yang pengambilan keputusannya
diupayakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan pendapat melalui suara
terbanyak (voting); karena pendapat dua orang atau lebih dekat kepada kebenaran daripada
pendapat satu orang. Hal ini sesuai dengan logika syariat Islam, disamping logika politik yang
memang harus ada yang diunggulkan. Yang diunggulkan ketika terjadi perselisihan pendapat
adalah jumlah yang terbanyak.
Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari
orang berdua. (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim). [3]

Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, Seandainya kalian berdua
menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua. (HR. Ahmad). [4]

Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan daripada pendapat
seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi dalam masalah-masalah di luar lingkup
syariat dan apa yang telah ditetapkan Allah.

Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi harus mengikuti
pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat memilih untuk menghadapi orang-orang
musyrik di luar Madinah, walau beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat
untuk bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di jalan-jalan Madinah
yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.

Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar bin Khathab tentang
enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai Tim Formatur sekaligus
diberi amanah untuk memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara
terbanyak.

Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk kepada kandidat terpilih. Jika
dalam voting tersebut suara yang diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari
luar tim formatur, yakni Abdullah bin Umar.

Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap golongan terbesar dan perintah untuk
mengikutinya. Golongan terbesar ini maksudnya adalah golongan mayoritas diantara umat
manusia.

Menurut beberapa ulama, hadits ini berkaitan dengan pelibatan seluruh rakyat dalam penentuan
Khalifah atau masalah-masalah kenegaraan yang harus diputuskan dan membutuhkan pendapat
mayoritas.

Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tujuh puluh dua
golongan; dan sesungguhnya umat ini (Islam) lebih banyak satu golongan dibanding mereka.
Semuanya masuk neraka kecuali golongan terbesar. (HR. Ath-Thabrany dan Ahmad) [5]

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly berpendapat dalam beberapa tulisannya, bahwa pendapat
mayoritas lebih diunggulkan jika ada dua sisi pandang yang serupa.

Pendapat yang menyatakan pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat yang benar walau
hanya didukung satu suara dan menolak pendapat yang keliru walau didukung mayoritas suara,
adalah untuk hal-hal yang dikuatkan nash syariat dengan dalil dan hujjah yang kuat, jelas dan
tidak mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Inilah yang dimaksud dengan
ungkapan: Yang disebut jamaah adalah yang sejalan dengan kebenaran, sekalipun engkau
hanya sendirian.
Sedangkan untuk hal-hal ijtihadiyah yang tidak ada dasar nash-nya, atau ada nash-nya namun
mengandung lebih dari satu penafsiran, atau ada nash lain yang bertentangan dengannya atau
lebih kuat darinya; maka diperbolehkan untuk memilih salah satu yang diunggulkan agar bisa
menuntaskan silang pendapat.

Dan voting, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak merupakan cara yang tepat untuk
itu. Tidak ada satupun dalil dalam syariat yang melarang proses pengambilan keputusan dengan
cara seperti ini.

Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan berarti sistem ini tercela
dan harus ditolak. Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan
penggunaan akal fikiran?

Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung, mengambil pelajaran dan
hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah
bertentangan atau bersesuaian dengan ajaran Allah.

Dalam sistem demokrasi, menurut hemat penulis, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran
Islam, seperti: musyawarah, amar maruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme
check and balance, pengawasan (mutabaah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling
menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan
dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.

Mengenai penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan Allah dalam
memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada manusia/rakyat, tidaklah benar.
Karena pembentukan pemerintahan yang didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk
menghindari tirani kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok elit
tertentu.

Demikian pula penilaian bahwa demokrasi itu adalah sistem tercela karena merupakan produk
impor, juga tidak tepat. Tidak ada satupun ketetapan syariat yang berisi larangan mengambil
pemikiran teoritis atau konsep dari non-muslim. Sewaktu perang Al-Ahzab, Nabi saw
mengambil pemikiran bangsa Persia berupa strategi bertahan dengan menggali parit, bukan
membangun benteng seperti biasa.

Beliau juga memanfaatkan tawanan perang Badar dari orang-orang musyrik untuk mengajari
ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada kaum muslimin. Inilah yang disebut hikmah.
Hikmah adalah milik kaum muslimin yang hilang lalu ditemukan. Jadi umat Islam berhak
mendapatkan miliknya yang hilang tersebut.

Sementara, yang dilarang adalah mengimpor nilai-nilai yang membahayakan aqidah dan akhlak
dan tidak memberikan manfaat. Sementara kita mengambil demokrasi dalam metode, mekanisme
dan tata caranya saja, yang harus diakui memang lebih baik dibanding sistem lainnya; bukan
filosofinya yang mengagungkan individualisme dan kebebasan tanpa dilandasi agama.
Yang kita inginkan adalah demokrasi yang dilandasi nilai-nilai agama, mengedepankan akhlak
dan wawasan keilmuan, serta memprioritaskan nilai-nilai luhur tersebut di atas nilai-nilai
demokrasi itu sendiri.

Antara Syura dan Demokrasi

Sebagian ulama menyatakan bahwa kita tidak memerlukan sistem demokrasi karena Islam sudah
memiliki sistem syura yang lebih baik dan lebih syari.
Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem
syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki
scope sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:

Pertama, sebagian fuqaha menganggap syura bukan sesuatu yang wajib, tetapi termasuk kategori
yang sunnah. Syura hanya diposisikan sebagai sebuah ketentuan yang sebaiknya diterapkan dan
diterapkan hanya sebagai penyempurna bukan sebagai dasar atau fondasi.

Walaupun ada pula pendapat yang berlawanan dari Ibnu Athiyah, yang juga diperkuat oleh Imam
Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Ia mengatakan, Syura adalah salah satu kaidah syariat dan
bagian dari fondasi hukum Islam. Seorang pemimpin yang tidak mengajak musyawarah ulama
dan ilmuwan/pakar, maka ia wajib dimakzulkan.

Ini adalah ketentuan yang telah disepakati bersama dan tidak ada ada yang berbeda pendapat
dalam masalah ini. [6]

Kedua, Ada juga sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa syura hanya sebagai teknis atau
metode, bukan tuntutan. Walau sebagian fuqaha lainnya berpandangan bahwa syura itu
tuntutan agama yang hukumnya wajib, namun ternyata mereka tetap berkesimpulan bahwa yang
wajib dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah bermusyawarah dengan orang-orang yang
memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang luas.

Setelah mereka mengemukakan pendapat dan pandangannya, penguasa boleh tetap


menggunakan pendapatnya sendiri, dengan syarat ia bertanggung jawab sendiri secara pribadi.
Penguasa tidak diharuskan mengikuti pendapat dan pandangan para ulama dan ilmuwan tadi,
karena kewajibannya hanya bermusyawarah saja; sebagaimana dipahami dalam firman Allah
swt:

Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam satu urusan, apabila kamu telah berazam,
maka bertawakkallah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
tawakkal. (QS. Ali Imran, 3:159).

Penulis memang kurang sependapat dengan kedua pandangan yang minor tentang syura
tersebut, mengingat dalil-dalil tentang mengikatnya syura serta hasilnya bagi penguasa atau
pemimpin dalam mengambil keputusan lebih kuat dan logis.
Seperti perkataan Al-Qurthuby dalam tafsirnya, Umar bin Khathab menjadikan syura sebagai
institusi tertinggi dalam lembaga kekhilafahan.
Al-Bukhary juga menyatakan, Para pemimpin setelah Nasbi saw biasa bermusyawarah dengan
ulama-ulama terpercaya dalam berbagai masalah untuk mengambil keputusan yang tepat.

Jika sudah ada kejelasan dalam Al-Quran dan Ad-Sunnah, mereka tidak akan beralih ke rujukan
lain. Orang-orang yang mendalami Al-Quran adalah mereka yang paling sering dimintai
pendapat oleh Umar, baik tua maupun muda, dan dia selalu berpegang teguh pada Kitabulah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Al-Fath, dalam Al-Adabul Mufrad, riwayat Al-
Bukhary, dalam sebuah hadits panjang berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw
bersabda, Berikan aku masukan dalam menghadapi orang-orang itu. Kemudian Abu Bakar
dan Umar memberi masukan, lalu beliau melaksanakan apa yang disampaikan Abu Bakar dan
Umar.

Bahkan menurut Ibnu Hajar, Rasulullah pun mengajak Shahabatnya dalam menetapkan hukum.
Rasulullah saw meminta pendapat Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah: Hai orang-orang
yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian
mengeluarkan sedekah (untuk fakir miskin) sebelum pembicaraan itu. (QS. Al-Mujaadilah,
58:12). Lalu Ali memberi masukan tentang keringanan dalam mengeluarkan sedekah. Kemudian
turun ayat selanjutnya yang membenarkan dan menguatkan pendapat Ali tersebut.

Namun harus diakui, bahwa sistem syura itu sendiri masih bersifat normatif, global dan
sederhana, mengingat problematika sosial, politik dan ekonomi masyarakat di masa sistem syura
itu dimunculkan pertama kali belum sekomplek dan serumit masa sekarang.

Ketika bangsa-bangsa di seluruh dunia semakin berkembang dengan segala kompleksitas


permasalahannya, maka diperlukan ijtihad yang lebih dalam untuk merinci sistem syura tersebut
sehingga mampu menjawab tuntutan zaman. [7]

Dalam konteks inilah kita menemukan jawaban atas tuntutan zaman itu dalam sistem demokrasi,
yang notabene merupakan hasil uji coba bangsa-bangsa di seluruh dunia setelah mengalami
berbagai problematika dalam perjalanan panjang selama ratusan tahun dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan
bersesuaian. Yang membedakan adalah ruh atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Sistem syura berspiritkan rabbaniyyah, sedang sistem demokrasi berspiritkan
insaniyyah. Sistem syura bernilai religiuitas, sedang sistem demokrasi bebas nilai.

Namun, bagaimanapun juga sistem demokrasi lebih detail, rinci dan aplikatif. Dalam sistem
demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem
pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk
pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah
(lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang
meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan
mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem
fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem
pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang
Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam
menjalankan roda pemerintahan.

Kelebihan sistem demokrasi adalah dapat meminimalisir potensi diktatorisme politik, ekonomi
dan sosial. Disinilah sebenarnya peluang kita untuk mengisi nilai-nilai religiusitas dalam sistem
demokrasi, sehingga demokrasi itu menjadi islami.

Melalui mekanisme yang berlaku dalam sistem demokrasi, kita dapat melakukan audit terhadap
seluruh produk-produk demokrasi berupa Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang
(UU), kemudian memperjuangkan amandemen UUD/UU tersebut melalui parlemen, agar pasal-
pasal yang terdapat di dalamnya sesuai dengan syariat Islam.

Apabila kita mampu mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, bukan tidak mungkin
sebagian besar atau bahkan seluruh UU tersebut akan sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunah.

Kalau ini terealisasi, maka secara otomatis pemerintahan yang berkuasa mewujud menjadi
pemerintahan Islam, karena menjalankan seluruh UU yang bersumber dari Al-Quran dan Ad-
Sunnah. Pada saat itulah negara tersebut layak disebut negara Islam (Daulah Islamiyah).

Jadi sebenarnya, sistem demokrasi yang telah diberi spirit Rabbaniyyah dan diisi dengan nilai-
nilai religiusitasd, dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk Iqamatud-Daulah al-
Islamiyyah dalam dawah, apabila kita bijak menyikapinya.

Wallahu alam bish-shawwab.

Referensi:

1. HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no.17994 dari Abdurrahman bin Ghanam. Juga, HR.
Thabrani, dalam Al-Ausath, jld 7, hlm 212 dari Al-Barra bin Azib.
2. HR. Muslim dalam Bab Al-Jumah, no.867; Ahmad dalam Al-Musnad, no.14334; An-
Nasai dalam Bab Shalat Al-Idain, no.1578; Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah, no.45.
3. Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih gharib yang diriwayatkan dari
Umar bin Khathab. Adz-Dzahaby menshahihkannya menurut syarat Asy-Syaikhani
(Bukhari Muslim).
4. Hadits ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm Al-Asyari. Di dalam sanadnya
ada Syahr bin Hausyab. Menurut Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, dia dapat dipercaya
(tsiqah) namun banyak hal yang meragukan. Ahmad Syakir min-tsiqah-kannya dalan
Takhrijul-Musnad.
5. Lihat Al-Mujamul Kabir, 8/8035, dan disebutkan pula oleh Al-Haitsamy di dalam
Majmauz-Zawaid. Ath-Thabrany juga meriwayatkan dalam Al-Ausath wal Kabir,
serupa dengan hadits di atas.

Ath-Thabrany dan Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad secara mauquf pada Ibnu
Abi Aufa, dia berkata, Wahai Ibnu Jahman, hendaklah kamu bersama mayoritas umat,
jika kamu mendengar aspirasi umat kepada penguasa. Datangilah penguasa tersebut,
sampaikan aspirasi umat, mudah-mudahan dia menerimanya. Jika tidak, tinggalkan dia,
karena kamu bukan orang yang lebih tahu dari dia. (HR. Ahmad, dalam Al-Musnad,
no.1941)

Ibnu Ashim meriwayatkan di dalam Ad-Sunnah dari Ibnu Umar,Tidak mungkin bagi
Allah untuk menghimpun umat ini dalam kesesatan selamanya, dan tangan Allah di atas
jamaah. Maka hendaklah kalian mengikuti golongan terbesar. Sesungguhnya siapa yang
menyimpang, maka ia akan menimpang ke neraka. Menurut Al-Albany, isnadnya dhaif.
Al-Hakim meriwayatkan hadits yang serupa ini dari beberapa jalan.
6. Tafsir Al-Qurthubi, Darul Kutub Al-Mishriyah, jld. 4, hlm.249. Lihat juga Al-Muharrar
Al-Wajiz, Ibnu Athiyah Al-Andalusi, jld.1, hlm.534.
7. Hadits ini hasan menurut At-Tirmidzy dan shahih menurut Ibnu Hibban. Ibnu Hajar
berkata, Di dalam hadits ini terkandung musyawarah yang berkaitan dengan penetapan
hukum.

Вам также может понравиться

  • Program Semester Ganjil Ips
    Program Semester Ganjil Ips
    Документ6 страниц
    Program Semester Ganjil Ips
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kimia
    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kimia
    Документ24 страницы
    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kimia
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Program Semester Xi 1
    Program Semester Xi 1
    Документ4 страницы
    Program Semester Xi 1
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Cerpen
    Cerpen
    Документ2 страницы
    Cerpen
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Makalah Kimling
    Makalah Kimling
    Документ20 страниц
    Makalah Kimling
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Analisis Enzim
    Analisis Enzim
    Документ4 страницы
    Analisis Enzim
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • KLP.2 Makalah - Alkohol Fix
    KLP.2 Makalah - Alkohol Fix
    Документ17 страниц
    KLP.2 Makalah - Alkohol Fix
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • HUKUM HESS
    HUKUM HESS
    Документ13 страниц
    HUKUM HESS
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Proposal Dna
    Proposal Dna
    Документ9 страниц
    Proposal Dna
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Daftar Hadir PPL P Kimia
    Daftar Hadir PPL P Kimia
    Документ3 страницы
    Daftar Hadir PPL P Kimia
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Analisis Enzim
    Analisis Enzim
    Документ4 страницы
    Analisis Enzim
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Kimia Fermentasi
    Kimia Fermentasi
    Документ20 страниц
    Kimia Fermentasi
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Juknis PERAK Metallic (Watermark)
    Juknis PERAK Metallic (Watermark)
    Документ34 страницы
    Juknis PERAK Metallic (Watermark)
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Analisis Konsep
    Analisis Konsep
    Документ2 страницы
    Analisis Konsep
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Video Bahasa Arab
    Video Bahasa Arab
    Документ3 страницы
    Video Bahasa Arab
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Template Laporan Praktikum
    Template Laporan Praktikum
    Документ1 страница
    Template Laporan Praktikum
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Template Makalah
    Template Makalah
    Документ8 страниц
    Template Makalah
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Formulir Microteaching
    Formulir Microteaching
    Документ1 страница
    Formulir Microteaching
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Zakat dan Fiqih
    Zakat dan Fiqih
    Документ1 страница
    Zakat dan Fiqih
    Astri Maulida
    100% (1)
  • Golongan I-A
    Golongan I-A
    Документ9 страниц
    Golongan I-A
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Golongan 8a
    Golongan 8a
    Документ41 страница
    Golongan 8a
    Dudi Fathul Jawad
    Оценок пока нет
  • Template Analisis Jurnal Biokimia PKim 16
    Template Analisis Jurnal Biokimia PKim 16
    Документ3 страницы
    Template Analisis Jurnal Biokimia PKim 16
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Golongan I-A Makalah
    Golongan I-A Makalah
    Документ21 страница
    Golongan I-A Makalah
    Astri Maulida
    100% (1)
  • Jawaban Lks Eksperimen
    Jawaban Lks Eksperimen
    Документ2 страницы
    Jawaban Lks Eksperimen
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Daftar Sponsor Kawani Jabar 2018
    Daftar Sponsor Kawani Jabar 2018
    Документ1 страница
    Daftar Sponsor Kawani Jabar 2018
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Surat Peminjaman Proyektor
    Surat Peminjaman Proyektor
    Документ2 страницы
    Surat Peminjaman Proyektor
    Astri Maulida
    0% (1)
  • Pembahasan Unsur Gol 4a
    Pembahasan Unsur Gol 4a
    Документ10 страниц
    Pembahasan Unsur Gol 4a
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Bendahara Stand Bazar
    Bendahara Stand Bazar
    Документ2 страницы
    Bendahara Stand Bazar
    Astri Maulida
    Оценок пока нет
  • Surat Peminjaman Proyektor
    Surat Peminjaman Proyektor
    Документ2 страницы
    Surat Peminjaman Proyektor
    Astri Maulida
    0% (1)
  • Template Surat Alfurqan
    Template Surat Alfurqan
    Документ1 страница
    Template Surat Alfurqan
    Astri Maulida
    Оценок пока нет