Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Menurut Dahl, syarat terbentuknya sistem demokratis (polyarchy) yang ideal ini
meliputi 5 hal:
a. Persamaan hak pilih
b. Partisipasi efektif
c. Pembeberan kebenaran
d. Kontrol terakhir terhadap agenda dilakukan masyarakat
e. Pencakupan masyarakat hukum adalah orang dewasa.
DINAMIKA 1970-AN
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36)
Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura ialah para pemuka
masyarakat, ulama dan pakar di setiap bidang keilmuan.
Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang
dimaksud oleh ulama atau tokoh masyarakat dari ucapan
demokrasi islam ialah sistem syura, bukan sitem demokrasi ala
orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
Jawaban dari sanggahan ini ialah:
Dalam sistem demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat
akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka mereka akan
memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka dangdut, maka ia akan
memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi pengajian, maka mereka akan
memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada
partai yang mempunyai program seperti tong sampah. Apa saja diadakan, yang penting dapat
dukungan.
Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka
lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).
Dalam sebuah kesempatan, penulis bersama seorang ulama, bersilaturrahim ke kediaman salah
seorang pimpinan Pondok Pesantren besar di Jawa Tengah yang sangat berpengaruh.
Diantara perbincangan tentang masalah dawah dan negara, ada satu hal yang cukup
mengagetkan kami, yakni pendapat beliau yang menyatakan bahwa Demokrasi tidak diakui
Islam, mengarah pada kemusyrikan bahkan masuk kategori kekufuran.
Alasannya, demokrasi berarti pemberian kewenangan untuk menetapkan hukum kepada rakyat.
Padahal dalam Islam, rakyat tidak berhak menetapkan hukum. Allah lah yang memiliki hak
prerogatif menetapkan hukum, sebagaimana firman-Nya:
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka ia termasuk
golongan kafir. (QS. Al-Maaidah,5:44)
Pendapat beliau ini ternyata juga di-amini oleh beberapa ulama berpengaruh di Jawa Tengah,
Jakarta, dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam pemilu 2009 yang lalu, suara partai-partai Islam
mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Sementara, disisi lain, berkembang opini di kalangan penganut Islam liberal bahwa Islam adalah
musuh demokrasi, tidak toleran, membelenggu dan otoriter.
Masalah prinsip ini harus dijelaskan dengan tuntas dan didudukkan secara proporsional, agar
Islam tidak ditimpakan kesalahan penafsiran yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan
ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka bisa salah dan bisa benar.
Penulis memohon kepada Allah agar berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil
syariat dan hujjah balighah.
Para ulama salaf telah menyepakati suatu kaidah: Hukum tentang sesuatu merupakan
derivasi dari konsepsinya. Barangsiapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak
mengetahui secara pasti tentangnya, maka ketetapan hukumnya dianggap cacat, sekalipun
mungkin secara kebetulan benar.
Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa hakim yang menetapkan hukum tanpa
mengetahui permasalahannya, akan masuk ke dalam neraka, seperti orang yang mengetahui
kebenaran namun menetapkan yang lain.
Substansi Demokrasi
Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek
politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin
sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk
memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.
Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat
syura (permusyawaratan) dan baiat (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen
tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.
Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam
para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel,
kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi
keputusan mayoritas.
Islam juga mengandung ajaran bahwa tangan Allah bersama jamaah (rakyat banyak).
Rasulullah saw bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, Kalau kalian berdua sepakat dalam
suatu hal, aku tidak akan menentang pendapat kalian berdua. [1] Ini menunjukkan bahwa
aspirasi dari jumlah orang yang lebih banyak harus didahulukan dari aspirasi segelintir orang,
termasuk pendapat Rasulullah sendiri (dalam masalah ijtihadi duniawi).
Di dalam Islam, setiap rakyat berhak memberikan saran atau nasihat kepada penguasa,
menganjurkannya berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran; tentu dilakukan dengan tetap
memperhatikan etika dan cara mengingatkan dengan baik.
Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang
diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk
melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan
kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat
kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.
Hal penting lainnya dalam penerapan sistem demokrasi adalah Pemilihan Umum (pemilu) dan
pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak; dimana secara umum bisa dinilai tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan
manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak
dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat.
Relevansi Demokrasi dengan Islam
Ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.
Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak
akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:
a. Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah.
b. Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam
mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
c. Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak
merupakan kebenaran.
d. Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bidah dalam agama; generasi
Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda,
Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita,
maka hal tersebut ditolak. (HR. Muslim, Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya,
Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan
ditolak. (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasai).
Demikian pula ada hadits yang menyatakan, Perkataan yang paling benar adalah
Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, seburuk-buruk hal
adalah sesuatu yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bidah. Setiap
bidah adalah sesat, dan kesesatan itu akan mengantarkan ke neraka. (HR. Muslim,
Ahmad, An-Nasai) [2]
e. Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita
akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya?
Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga
mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan
mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang
menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran.
Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk
mengatasi problematika negara, pemerintahan, rakyat dan tanah air. Mereka menerima
demokrasi Barat bulat-bulat, termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial
kemasyarakatannya yang bebas tanpa batas.
Mereka meng-copy paste demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin menerapkannya persis sama
dengan praktek demokrasi di negara-negara Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah,
tidak mengenal akhlak, mengabaikan ibadah dan menyepelekan syariah. Bukan hanya itu,
demokrasi Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara.
Mereka ini korban dari ghazwul-fikri, perang budaya, yang berujung pada kekalahan dan
melahirkan mentalitas kaum terjajah yang bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku
penguasa penjajahnya.
Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari
demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa
pemimpinnya.
Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau
pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan
yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi
terhadap jalannya pemerintahan.
Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan
dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada
mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi
rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.
Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah
(eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah
yang berkaitan dengan syariah; maka perbedaan tersebut dibawa, untuk ditengahi, kepada
Majelis Ulama atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang
berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan Al-Quran dan As-
Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin)
diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian. (QS. An-Nisaa, 4:59).
Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan
kemasyarakatan yang masuk dalam kategori mubah, maka yang pengambilan keputusannya
diupayakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan pendapat melalui suara
terbanyak (voting); karena pendapat dua orang atau lebih dekat kepada kebenaran daripada
pendapat satu orang. Hal ini sesuai dengan logika syariat Islam, disamping logika politik yang
memang harus ada yang diunggulkan. Yang diunggulkan ketika terjadi perselisihan pendapat
adalah jumlah yang terbanyak.
Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari
orang berdua. (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim). [3]
Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, Seandainya kalian berdua
menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua. (HR. Ahmad). [4]
Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan daripada pendapat
seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi dalam masalah-masalah di luar lingkup
syariat dan apa yang telah ditetapkan Allah.
Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi harus mengikuti
pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat memilih untuk menghadapi orang-orang
musyrik di luar Madinah, walau beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat
untuk bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di jalan-jalan Madinah
yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.
Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar bin Khathab tentang
enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai Tim Formatur sekaligus
diberi amanah untuk memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara
terbanyak.
Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk kepada kandidat terpilih. Jika
dalam voting tersebut suara yang diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari
luar tim formatur, yakni Abdullah bin Umar.
Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap golongan terbesar dan perintah untuk
mengikutinya. Golongan terbesar ini maksudnya adalah golongan mayoritas diantara umat
manusia.
Menurut beberapa ulama, hadits ini berkaitan dengan pelibatan seluruh rakyat dalam penentuan
Khalifah atau masalah-masalah kenegaraan yang harus diputuskan dan membutuhkan pendapat
mayoritas.
Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tujuh puluh dua
golongan; dan sesungguhnya umat ini (Islam) lebih banyak satu golongan dibanding mereka.
Semuanya masuk neraka kecuali golongan terbesar. (HR. Ath-Thabrany dan Ahmad) [5]
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly berpendapat dalam beberapa tulisannya, bahwa pendapat
mayoritas lebih diunggulkan jika ada dua sisi pandang yang serupa.
Pendapat yang menyatakan pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat yang benar walau
hanya didukung satu suara dan menolak pendapat yang keliru walau didukung mayoritas suara,
adalah untuk hal-hal yang dikuatkan nash syariat dengan dalil dan hujjah yang kuat, jelas dan
tidak mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Inilah yang dimaksud dengan
ungkapan: Yang disebut jamaah adalah yang sejalan dengan kebenaran, sekalipun engkau
hanya sendirian.
Sedangkan untuk hal-hal ijtihadiyah yang tidak ada dasar nash-nya, atau ada nash-nya namun
mengandung lebih dari satu penafsiran, atau ada nash lain yang bertentangan dengannya atau
lebih kuat darinya; maka diperbolehkan untuk memilih salah satu yang diunggulkan agar bisa
menuntaskan silang pendapat.
Dan voting, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak merupakan cara yang tepat untuk
itu. Tidak ada satupun dalil dalam syariat yang melarang proses pengambilan keputusan dengan
cara seperti ini.
Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan berarti sistem ini tercela
dan harus ditolak. Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan
penggunaan akal fikiran?
Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung, mengambil pelajaran dan
hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah
bertentangan atau bersesuaian dengan ajaran Allah.
Dalam sistem demokrasi, menurut hemat penulis, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran
Islam, seperti: musyawarah, amar maruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme
check and balance, pengawasan (mutabaah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling
menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan
dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.
Mengenai penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan Allah dalam
memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada manusia/rakyat, tidaklah benar.
Karena pembentukan pemerintahan yang didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk
menghindari tirani kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok elit
tertentu.
Demikian pula penilaian bahwa demokrasi itu adalah sistem tercela karena merupakan produk
impor, juga tidak tepat. Tidak ada satupun ketetapan syariat yang berisi larangan mengambil
pemikiran teoritis atau konsep dari non-muslim. Sewaktu perang Al-Ahzab, Nabi saw
mengambil pemikiran bangsa Persia berupa strategi bertahan dengan menggali parit, bukan
membangun benteng seperti biasa.
Beliau juga memanfaatkan tawanan perang Badar dari orang-orang musyrik untuk mengajari
ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada kaum muslimin. Inilah yang disebut hikmah.
Hikmah adalah milik kaum muslimin yang hilang lalu ditemukan. Jadi umat Islam berhak
mendapatkan miliknya yang hilang tersebut.
Sementara, yang dilarang adalah mengimpor nilai-nilai yang membahayakan aqidah dan akhlak
dan tidak memberikan manfaat. Sementara kita mengambil demokrasi dalam metode, mekanisme
dan tata caranya saja, yang harus diakui memang lebih baik dibanding sistem lainnya; bukan
filosofinya yang mengagungkan individualisme dan kebebasan tanpa dilandasi agama.
Yang kita inginkan adalah demokrasi yang dilandasi nilai-nilai agama, mengedepankan akhlak
dan wawasan keilmuan, serta memprioritaskan nilai-nilai luhur tersebut di atas nilai-nilai
demokrasi itu sendiri.
Sebagian ulama menyatakan bahwa kita tidak memerlukan sistem demokrasi karena Islam sudah
memiliki sistem syura yang lebih baik dan lebih syari.
Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem
syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki
scope sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:
Pertama, sebagian fuqaha menganggap syura bukan sesuatu yang wajib, tetapi termasuk kategori
yang sunnah. Syura hanya diposisikan sebagai sebuah ketentuan yang sebaiknya diterapkan dan
diterapkan hanya sebagai penyempurna bukan sebagai dasar atau fondasi.
Walaupun ada pula pendapat yang berlawanan dari Ibnu Athiyah, yang juga diperkuat oleh Imam
Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Ia mengatakan, Syura adalah salah satu kaidah syariat dan
bagian dari fondasi hukum Islam. Seorang pemimpin yang tidak mengajak musyawarah ulama
dan ilmuwan/pakar, maka ia wajib dimakzulkan.
Ini adalah ketentuan yang telah disepakati bersama dan tidak ada ada yang berbeda pendapat
dalam masalah ini. [6]
Kedua, Ada juga sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa syura hanya sebagai teknis atau
metode, bukan tuntutan. Walau sebagian fuqaha lainnya berpandangan bahwa syura itu
tuntutan agama yang hukumnya wajib, namun ternyata mereka tetap berkesimpulan bahwa yang
wajib dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah bermusyawarah dengan orang-orang yang
memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang luas.
Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam satu urusan, apabila kamu telah berazam,
maka bertawakkallah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
tawakkal. (QS. Ali Imran, 3:159).
Penulis memang kurang sependapat dengan kedua pandangan yang minor tentang syura
tersebut, mengingat dalil-dalil tentang mengikatnya syura serta hasilnya bagi penguasa atau
pemimpin dalam mengambil keputusan lebih kuat dan logis.
Seperti perkataan Al-Qurthuby dalam tafsirnya, Umar bin Khathab menjadikan syura sebagai
institusi tertinggi dalam lembaga kekhilafahan.
Al-Bukhary juga menyatakan, Para pemimpin setelah Nasbi saw biasa bermusyawarah dengan
ulama-ulama terpercaya dalam berbagai masalah untuk mengambil keputusan yang tepat.
Jika sudah ada kejelasan dalam Al-Quran dan Ad-Sunnah, mereka tidak akan beralih ke rujukan
lain. Orang-orang yang mendalami Al-Quran adalah mereka yang paling sering dimintai
pendapat oleh Umar, baik tua maupun muda, dan dia selalu berpegang teguh pada Kitabulah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Al-Fath, dalam Al-Adabul Mufrad, riwayat Al-
Bukhary, dalam sebuah hadits panjang berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw
bersabda, Berikan aku masukan dalam menghadapi orang-orang itu. Kemudian Abu Bakar
dan Umar memberi masukan, lalu beliau melaksanakan apa yang disampaikan Abu Bakar dan
Umar.
Bahkan menurut Ibnu Hajar, Rasulullah pun mengajak Shahabatnya dalam menetapkan hukum.
Rasulullah saw meminta pendapat Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah: Hai orang-orang
yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian
mengeluarkan sedekah (untuk fakir miskin) sebelum pembicaraan itu. (QS. Al-Mujaadilah,
58:12). Lalu Ali memberi masukan tentang keringanan dalam mengeluarkan sedekah. Kemudian
turun ayat selanjutnya yang membenarkan dan menguatkan pendapat Ali tersebut.
Namun harus diakui, bahwa sistem syura itu sendiri masih bersifat normatif, global dan
sederhana, mengingat problematika sosial, politik dan ekonomi masyarakat di masa sistem syura
itu dimunculkan pertama kali belum sekomplek dan serumit masa sekarang.
Dalam konteks inilah kita menemukan jawaban atas tuntutan zaman itu dalam sistem demokrasi,
yang notabene merupakan hasil uji coba bangsa-bangsa di seluruh dunia setelah mengalami
berbagai problematika dalam perjalanan panjang selama ratusan tahun dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan
bersesuaian. Yang membedakan adalah ruh atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Sistem syura berspiritkan rabbaniyyah, sedang sistem demokrasi berspiritkan
insaniyyah. Sistem syura bernilai religiuitas, sedang sistem demokrasi bebas nilai.
Namun, bagaimanapun juga sistem demokrasi lebih detail, rinci dan aplikatif. Dalam sistem
demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem
pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk
pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah
(lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang
meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan
mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem
fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem
pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang
Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Kelebihan sistem demokrasi adalah dapat meminimalisir potensi diktatorisme politik, ekonomi
dan sosial. Disinilah sebenarnya peluang kita untuk mengisi nilai-nilai religiusitas dalam sistem
demokrasi, sehingga demokrasi itu menjadi islami.
Melalui mekanisme yang berlaku dalam sistem demokrasi, kita dapat melakukan audit terhadap
seluruh produk-produk demokrasi berupa Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang
(UU), kemudian memperjuangkan amandemen UUD/UU tersebut melalui parlemen, agar pasal-
pasal yang terdapat di dalamnya sesuai dengan syariat Islam.
Apabila kita mampu mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, bukan tidak mungkin
sebagian besar atau bahkan seluruh UU tersebut akan sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunah.
Kalau ini terealisasi, maka secara otomatis pemerintahan yang berkuasa mewujud menjadi
pemerintahan Islam, karena menjalankan seluruh UU yang bersumber dari Al-Quran dan Ad-
Sunnah. Pada saat itulah negara tersebut layak disebut negara Islam (Daulah Islamiyah).
Jadi sebenarnya, sistem demokrasi yang telah diberi spirit Rabbaniyyah dan diisi dengan nilai-
nilai religiusitasd, dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk Iqamatud-Daulah al-
Islamiyyah dalam dawah, apabila kita bijak menyikapinya.
Referensi:
1. HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no.17994 dari Abdurrahman bin Ghanam. Juga, HR.
Thabrani, dalam Al-Ausath, jld 7, hlm 212 dari Al-Barra bin Azib.
2. HR. Muslim dalam Bab Al-Jumah, no.867; Ahmad dalam Al-Musnad, no.14334; An-
Nasai dalam Bab Shalat Al-Idain, no.1578; Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah, no.45.
3. Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih gharib yang diriwayatkan dari
Umar bin Khathab. Adz-Dzahaby menshahihkannya menurut syarat Asy-Syaikhani
(Bukhari Muslim).
4. Hadits ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm Al-Asyari. Di dalam sanadnya
ada Syahr bin Hausyab. Menurut Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, dia dapat dipercaya
(tsiqah) namun banyak hal yang meragukan. Ahmad Syakir min-tsiqah-kannya dalan
Takhrijul-Musnad.
5. Lihat Al-Mujamul Kabir, 8/8035, dan disebutkan pula oleh Al-Haitsamy di dalam
Majmauz-Zawaid. Ath-Thabrany juga meriwayatkan dalam Al-Ausath wal Kabir,
serupa dengan hadits di atas.
Ath-Thabrany dan Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad secara mauquf pada Ibnu
Abi Aufa, dia berkata, Wahai Ibnu Jahman, hendaklah kamu bersama mayoritas umat,
jika kamu mendengar aspirasi umat kepada penguasa. Datangilah penguasa tersebut,
sampaikan aspirasi umat, mudah-mudahan dia menerimanya. Jika tidak, tinggalkan dia,
karena kamu bukan orang yang lebih tahu dari dia. (HR. Ahmad, dalam Al-Musnad,
no.1941)
Ibnu Ashim meriwayatkan di dalam Ad-Sunnah dari Ibnu Umar,Tidak mungkin bagi
Allah untuk menghimpun umat ini dalam kesesatan selamanya, dan tangan Allah di atas
jamaah. Maka hendaklah kalian mengikuti golongan terbesar. Sesungguhnya siapa yang
menyimpang, maka ia akan menimpang ke neraka. Menurut Al-Albany, isnadnya dhaif.
Al-Hakim meriwayatkan hadits yang serupa ini dari beberapa jalan.
6. Tafsir Al-Qurthubi, Darul Kutub Al-Mishriyah, jld. 4, hlm.249. Lihat juga Al-Muharrar
Al-Wajiz, Ibnu Athiyah Al-Andalusi, jld.1, hlm.534.
7. Hadits ini hasan menurut At-Tirmidzy dan shahih menurut Ibnu Hibban. Ibnu Hajar
berkata, Di dalam hadits ini terkandung musyawarah yang berkaitan dengan penetapan
hukum.