Вы находитесь на странице: 1из 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya
dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan
berbudaya adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara,
peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas
sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara
juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu
melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami.
Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan
yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan,
pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan sistematis.
Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa
depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi
dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat dia sedang
berbicara. Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan
siswa Kelas V MI Perwanida, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas
dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam
membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih
memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada
mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini,
asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas
2004:9).
Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan
fenomena yang hampir sama. Keterampilan berbicara siswa kelas V MI Perwanida
berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak
efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif.

1
Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai
sudah terampil berbicara dalam situasi formal di depan kelas. Indikator yang
digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbicara, di antaranya
kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan
(penalaran), dan kontak mata.
Ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa
dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk Faktor
Eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga
yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di
lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di
tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana
komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, pada
umumnya belum memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa secara baik dan benar.
Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan
situasi tutur.
Dari Faktor Internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber
pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa Kelas V MI Perwanida. Pada
umumnya, guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang
konvensional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan
berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk
belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang
disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan
situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya,
keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang
rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini
artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa
untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.

2
Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia
telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang
bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using
language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa
(form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata
bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata
(Nurhadi, 2000).
Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak
mungkin keterampilan berbicara di kalangan siswa Kelas V MI Perwanida akan terus
berada pada aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan
dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi)
yang tepat, menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang
masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan
interaktif pada saat berbicara.
Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan
berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung
aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang
bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih
dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis,
interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan
terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan.
Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang selalu
dirindukan dan dinantikan oleh siswa.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal
yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa kelas V MI
Perwanida, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam
menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran
keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan.

3
Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi
pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah
pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara
dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian
bahasa secara komprehensif.
Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan
situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui
pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam
situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya.
Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan
pragmatik, yaitu :
• Penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran;
• Penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan;
• Penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan
• Penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak
komunikatif.
Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan pragmatik
dalam pembelajaran keterampilan berbicara diharapkan mampu membawa siswa ke
dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan
berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif,
emosional, dan afektif.
Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan
berbicara, para siswa Kelas V MI Perwanida akan mampu menumbuhkembangkan
potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya, sehingga kelak
mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, arif, dan
dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan
perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan
kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi
berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

4
Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis,
mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

B. Rumusan Masalah
1.Perumusan Masalah
1.1 Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan
pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa
kelas V MI Perwanida?
1.2 Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa
Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa Kelas V MI
Perwanida?
2. Tujuan Penelitian
3.1 Untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan
berbicara bagi siswa Kelas V MI Perwanida ;
3.2 Untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa Kelas V MI
Perwanida setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan
pembelajaran bahasa Indonesia.
3. Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.1 Para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran
keterampilan berbicara, khususnya bagi siswa Kelas V MI Perwanida;
4.2 Keterampilan berbicara siswa kelas V MI Perwanida kota Blitar, yang
menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;
4.3 Para guru bahasa Indonesia MI diharapkan menggunakan pendekatan
pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru

5
bahasa Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih tinggi, seperti
SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil
penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa
Indonesia.

6
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PUSTAKA

Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan


keterampilan berbicara bagi siswa Kelas V MI Perwanida digunakan teori yang
berkaitan dengan keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di
Kelas V MI Perwanida dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik
sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan
berbicara bagi siswa Kelas V MI Perwanida.
Keterampilan berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di MI saat
ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan pengajaran
bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis
besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anak-anak dapat
berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia
(Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988).
Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-
anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti
1. Menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan
2. Membuat surat lamaran pekerjaan
3. Berbicara di depan umum atau berdiskusi
4. Berpikir kritis dan kreatif dalam membaca
5. Membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat
pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya.
Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan
Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa Indonesia SD/MI secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa
memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta
didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.

7
Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya,
budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan
serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar,
baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya
kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia
merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan
penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa
dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik
untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Dengan
standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan:
1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap
hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;
2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa
peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber
belajar;
3. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya;
4. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan
program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
5. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang
tersedia; dan
6. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional.

8
Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan:
1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis;
2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara;
3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan;
4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial;
5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa;
6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya
dan intelektual manusia Indonesia.
Sedangkan, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi
komponen- kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-
aspek:
(1) mendengarkan;
(2) berbicara;
(3) membaca; dan
(4) menulis.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan
berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib
dikembangkan di MI. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang
setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.
Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan
berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SD kelas V semester I
berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata Pelajaran

9
Bahasa Indonesia SD/MI Kelas V Semester I. Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Berbicara
 Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan
menyampaikan pengumuman
 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan
pilihan kata dan kalimat efektif
 Menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan
kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana
Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada semester I, siswa kelas V MI diharapkan mampu
mengembangkan dua kompetensi dasar, yaitu:
(1) menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan
pilihan kata dan kalimat efektif; dan
(2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan
kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengembangkan kompetensi
dasar siswa kelas V semester I dalam menceritakan pengalaman yang paling
mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.
Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek
keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di MI yang diarahkan
agar siswa memiliki kemampuan untuk:
1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku
secara lisan;
2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa
negara;
3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan;
4.Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

10
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144)
dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan
pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding”. Sementara itu, Tarigan
(1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara menyatakan bahwa
berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata
untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai
suatu alat untuk mengomunikasikan gagasangagasan yang disusun serta
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan
bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata
untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan
sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otototot dan
jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga dipahami
sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis, neurologis,
semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan sebagai alat yang
sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa
berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang
dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan berbicara
bisa dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau
mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran,
gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada,
tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka,
aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan bantuan mimik dan pantomimik
pembicara.
Merujuk pada pendapat tersebut, keterampilan berbicara pada hakikatnya
merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan
kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain.

11
Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di MI
Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan
belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan
menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan
yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan
bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin,
1989:2).
Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan
berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan
pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan
yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran
language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang
kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).
Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan
pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment)
ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan
proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication)
(Salinger, 2001).
Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di
MI belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih
cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar
berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang
diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa diterapkan
secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembelajaran Bahasa
Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan siswa. Hal ini bisa
menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan siswa dalam
menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks komunikasi.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di
Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang

12
dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan
persoalan sehari-hari (Direktorat MI, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah,
sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa hanya tahu
bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-
fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.
Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan
pendekatan yang inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di MI bisa
berlangsung dalam suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan
menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat
menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan emosional, sehingga
mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar
sesuai dengan konteks dan sitiuasinya.
Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI
Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, khususnya yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SD/MI.. Dalam lampiran tersebut
secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan
penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya,
budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan
serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta
didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik
secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya
kesastraan manusia Indonesia.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu menciptakan
suasana yang kondusif; interaktif, dinamis, terbuka, inovatif, kreatif, menarik, dan
menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik termasuk salah

13
satu pendekatan komunikatif yang mulai digunakan dalam pengajaran bahasa sejak
munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme melalui metode Drill-nya.
Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan
Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communicative competence, yaitu
kompetensi berbahasa yang tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga
ketepatan dalam konteks sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik
Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:4).
Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna
dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal dan
faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bahasa
seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri
pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu
lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri
atas:
1. Kealamiahan bahasa,
1. Peranan anak-anak dalam berkomunikasi,
2. Tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk menjelaskan makna, dan
3. Ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru.
Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat anak-anak belajar,
yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa belajar
keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja. Dari berbagai
penelitian tentang pengajaran bahasa disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa
anak, khususnya keterampilan berbicara, dikembangkan melalui tiga cara, yaitu:
(1) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan memproduksi
ujaran dalam bahasa target secara lebih sering, lebih tepat, dan dalam variasi
yang luas;
(2) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara mengolah input
dari ujaran orang lain; dan
(3) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya melalui pelibatan diri dalam

14
tugas atau interaksi yang menuntut adanya kemampuan kreatif berkomunikasi
dengan orang lain (Ellis, 1986).
Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian
pengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu
amat penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input
generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab,
menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat belajar,
berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi
menggunakan bahasa.
Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam
pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara nyata.
Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang
pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktif ini dengan
perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang pengajaran
bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang menekankan pada
pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap, membaca, atau menulis yang
sebenarnya).
Pembelajaran kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian
pembelajaran bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri:
1. makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk;
2. konteks itu penting, bukan item bahasa;
3. belajar bahasa itu belajar berkomunikasi;
4. target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi
hambatan berkomunikasi;
5. kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi
kebahasaan;
6. kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan
bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown,
2001:45).
Penggunaan pendekatan paragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga

15
dilandasi oleh semangat pembelajaran kontruktivistik yang memiliki ciri-ciri:
 perilaku dibangun atas kesadaran diri
 keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman;
 hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi
intrinsik;
 seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan
bermanfaat bagi dirinya;
 pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa
diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata;
 siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam
mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung
jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata
masing-masing ke dalam proses pembelajaran;
 pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri,
dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu
pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara
manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah
stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete);
 siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi;
 hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber;
 pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik dalam
Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia
2004:21-22).
Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga
didasari oleh prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah
keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada
kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan
siswa.

16
Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa
yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata
lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat
dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia
yang sangat linguistis.
Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa
diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik
lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia,
baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran
bahasa, bukan sebagai tujuan.
Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktif sehingga
tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru
yang dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan dan tulis.
Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa
Indonesia agar dihindari.
Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam
pembelajaran keterampilan berbicara adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini
dimaksudkan agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa Indonesia
dalam konteks dan situasi yang nyata.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana
itu meliputi dua macam, yaitu:
1. berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan
2. berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.
Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan
maksud disebut koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang
berhubungan dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20).
Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa
pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis 1993:57).
Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat,

17
kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa
surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.
Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan
peristiwa itu. Menurut Hymes (196 (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor itu
berjumlah delapan, yaitu:
1. Latar atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur;
2. Participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain;
3. End atau tujuan;
4. Act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur;
5. Key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam
mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya;
6. Instrument, yaitu alat melalui telepon atau bersemuka;
7. Norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap
peserta tutur; dan ( genre, yaitu jenis kegiatan, seperti wawancara, diskusi,
kampanye, dan sebagainya.
8. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal,
yaitu penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran
atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau
kejadian.
Di dalam novel, konteks tuturan tampak pada dialog antar tokoh yang
memenuhi ciri-ciri konteks sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968). Menurut
Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan
ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi
tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur.
Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik.
Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi
tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi situasi
tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan
apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis atau fenomena semantis dapat
dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur. Komponen-komponen

18
situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan maksud suatu tuturan.
Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu
penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk
tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur
adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di dalam
peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran
sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur.Di dalam peristiwa komunikasi,
peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Yang semula berperan
sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian pula
sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia,
latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban.
Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks tuturan. Di dalam tata
bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan
dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan
dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks, sedangkan konteks latar sosial
lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik, konteks berarti semua latar belakang
pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks
berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan
oleh penutur.
Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang
ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini
menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki
tujuan. Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu
tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk mencapai
suatu tujuan.
Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk
tindakan atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur
merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang.
Yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan

19
adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat
ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.
Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak
verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan
menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan menendang
adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal,
yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena tercipta melalui tindakan
verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Komponen lain yang dapat
menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan itu
diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki maksud yang berbeda akibat
perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
penggunaan pendekatan pragmatik sebagai inovasi dalam pengajaran keterampilan
berbicara di MI dimaksudkan untuk melatih dan membiasakan siswa untuk berbicara
sesuai dengan konteks dan situasi tutur senyatanya sehingga siswa dapat memperoleh
manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari.

20
BAB III
METODOLOGI

A. Metode Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi masalah atau refleksi
awal terhadap rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas IV MI
Perwanida Kota Blitar Berdasarkan refleksi awal ditemukan penyebab rendahnya
tingkat keterampilan berbicara siswa kelas IV MI Perwanida, yaitu penggunaan
pendekatan pembelajaran yang tidak mampu membawa siswa ke dalam situasi
penggunaan bahasa secara nyata atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan.
Akibatnya, proses pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan pembelajaran yang diduga mampu membawa siswa
ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata sehingga siswa memperoleh
manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari hari.
Berdasarkan penggunaan pendekatan pragmatik yang ditawarkan sebagai solusi,
dirumuskan masalah yang akan diteliti, yaitu:
1. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan
pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa
MI; dan
2. Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa MI.
Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan
berbicara bagi siswa MI; dan
2. Untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa MI setelah pendekatan
pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia.
Berdasarkan rumusan tujuan, dilakukan kajian teori sehingga pendekatan yang
ditawarkan sebagai solusi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek keterampilan

21
berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di MI dan teori yang berkaitan
dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya
dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa MI.
Dari hasil kajian teori dirumuskan hipotesis tindakan, yaitu penggunaan
pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa MI.
Berdasarkan rumusan hipotesis tindakan, dilakukan perencanaan tindakan yang akan
dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa kelas IV MI
Perwanida. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan
rencana dengan melibatkan seorang kolaborator untuk melakukan observasi terhadap
tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis data
yang diperoleh dari hasil keterampilan berbicara siswa kelas V MI Perwanida Kota
Blitar. Data tersebut dibandingkan dengan indikator keberhasilan penggunaan
pendekatan pragmatik, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas V MI Perwanida Kota
Blitar terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan
kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Bersama
kolaborator, peneliti melakukan refleksi terhadap hasil analisis data. Jika hasil analisis
data belum menunjukkan hasil yang signifikan, dilakukan refleksi untuk memperbaiki
langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya.
Langkah selanjutnya adalah menyusun replanning (rencana tindakan) untuk
siklus II berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan bersama kolaborator. Pada siklus
II, peneliti melakukan tindakan sesuai dengan replanning yang telah disusun dengan
melibatkan kolaborator untuk mengamati efektivitas pelaksanaan tindakan.
Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data keterampilan berbicara
Siswa kelas V MI Perwanida Kota Blitar dibandingkan dengan indikator
keberhasilan untuk direfleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum signifikan,
dilakukan replanning untuk siklus III. Jika penggunaan pendekatan pragmatik sudah
menunjukkan hasil yang signifikan dengan indikator keberhasilan, tidak perlu
dilanjutkan ke siklus berikutnya. Ini artinya, penggunaan pendekatan pragmatik dapat
meningkatkan keterampilan berbicara siswa MI seperti yang telah dirumuskan dalam

22
hipotesis tindakan.

A.1. Lokasi dan Subjek Penelitian


Lokasi penelitian adalah IV MI Perwanida Kota Blitar. Subjek penelitian
adalah siswa kelas V MI Perwanida Kota Blitar yang terdiri atas 30 siswa, dengan
rincian 18 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan.

A.2 Pemecahan Masalah


Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam penelitian
ini adalah rendahnya tingkat keterampilan berbicara, khususnya keterampilan siswa
kelas V MI Perwanida Kota Blitar, dalam menceritakan pengalaman yang paling
mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif.
Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan refleksi awal, siswa kelas V MI
Perwanida Kota Blitar yang dinilai sudah mampu menceritakan pengalaman yang
paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif baru
sekitar 20% (8 siswa) dari 30 siswa. Data ini masih jauh dari standar ketuntasan
belajar minimal secara nasional, yaitu 75%.
Materi pembelajaran berseumber dari standar isi dalam lampiran Peraturan
Mendiknas No. 22/2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa Indonesia MI/SD Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Menceritakan “Pengalaman yang Paling Mengesankan” dengan Menggunakan
Pilihan Kata dan Kalimat Efektif
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara
1.Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan
menyampaikan pengumuman
2 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan
pilihan kata dan kalimat efektif.
Masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat
efektif akan dipecahkan dengan menggunakan pendekatan pragmatik melalui enam

23
langkah, antara lain sebagai berikut:
7.2.1 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin
diceritakan.
7.2.2 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang
terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang
dimiliki penutur dan mitra tutur.
7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur
berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal yang
telah dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur yang
dihasilkan oleh alat ucap, berupa kata-kata dan kalimat.
7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas
tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal berupa tindak tutur
yang dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak tangan, atau gerak anggota
badan yang lain. Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik
yang digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan
siswa kelas V MI Perwanida Kota Blitar.
Melalui alur penggunaan pendekatan pragmatik tersebut, siswa diharapkan
dapat menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pilihan
kata yang tepat dan kalimat yang efektif sesuai konteks dan situasi tutur. Artinya,
pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan dalam berbicara sangat ditentukan
oleh konteks dan situasi tutur yang telah ditentukan oleh siswa. Pendekatan ini
memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memilih dan menentukan pengalaman
yang hendak diceritakan, sedangkan guru hanya memberikan rambu-rambu sebagai
pedoman bagi siswa dalam berbicara.

A.3 Rencana Tindakan


Rencana tindakan yang akan dilakukan dalam menggunakan pendekatan
pragmatik untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V MI Perwanida Kota Blitar

24
dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata dan
kalimat yang efektif, antara lain sebagai berikut.
A.3.1 Guru menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar
keterampilan berbicara mata pelajaran Bahasa Indonesia MI/SD semester I
seperti yang tercantum dalam Standar Isi (lampiran Permendiknas No.
22/2006). Dalam silabus dicantumkan nama sekolah, identitas mata
pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, dan standar
kompetensi), kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan belajar, indikator,
penilaian (teknik, bentuk, dan contoh instrumen), alokasi waktu, dan
sumber/media belajar.
A.3.2 Guru mengembangkan silabus Menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) yang memuat komponen: nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama
mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu), tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, metode pembelajaran, langkahlangkah kegiatan pembelajaran,
sumber belajar, penilaian dan pedoman penilaian.
A.3.3 Guru melaksanakan tindakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang telah disusun. Pada tahap ini, peneliti melibatkan
kolaborator untuk mengamati pelaksanaan tindakan.
A.3.4 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam berbicara mengenai
pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat
efektif.
A.3.5 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui
efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah
melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai belum
memberikan hasil yang signifikan, kolaborator memberikan masukan dan
bersama-sama dengan peneliti melakukan langkah-langkah perbaikan untuk
dilaksanakan pada siklus berikutnya.

25
A.3.6 Peneliti melakukan replanning untuk merencanakan tindakan yang akan
dilakukan pada siklus berikutnya berdasarkan hasil refleksi bersama
kolaborator.
A.3.7 Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana
tindakan yang telah disusun.
A.3.8 Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan
pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat
efektif.
A.3.9 Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui
efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah
melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai sudah memberikan
hasil yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan, penelitian
dinyatakan selesai dan tinggal melakukan tindakan pemantapan kepada siswa
(subjek penelitian). Namun, jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil
yang signifikan, peneliti kembali melakukan refleksi bersama kolaborator
untuk merencanakan tindakan perbaikan (replanning) yang akan dilaksanakan
pada siklus berikutnya.

A.4 Tahap Pelaksanaan


Tahap-tahap yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan terinci sebagai
berikut.
A.4.1 Tahap Persiapan Tindakan
Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru
menyiapkan silabus, RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang
digunakan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tindakan.
A.4.2 Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti melaksanakan tindakan sesuai
rencana yang tersusun dalam RPP. Secara garis besar, tindakan yang
dilaksanakan pada setiap siklus sesuai dengan yang tersusun dalam RPP antara

26
lain sebagai berikut.
A.4.2.1 Tindakan Awal
A.4.2.1.1 Apersepsi: peneliti mengaitkan materi pembelajaran tentang dengan
pengalaman siswa.
A.4.2.1.2 Motivasi: peneliti memberikan motivasi kepada siswa agar gemar
menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain.
A.4.2.2 Tindakan Inti
A.4.2.2.1 Siswa menyimak contoh cerita pengalaman yang mengesankan yang
disampaikan oleh peneliti.
A.4.2.2.2 Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk
menentukan langkah-langkah menceritakan pengalaman
mengesankan berdasarkan contoh cerita yang disimak.
A.4.2.2.3 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin
diceritakan.
A.4.2.2.4 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang
yang terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.
A.4.2.2.5 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan
yang dimiliki penutur dan mitra tutur.
A.4.2.2.6 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh
penutur berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
A.4.2.2.7 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan
hal hal yang telah dicatat sebelumnya.
A.4.2.2.8 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk
memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan.
A.4.2.3Tindakan Akhir
A.4.2.3.1 Siswa bersama peneliti menyimpulkan cara menceritakan
pengalaman mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan
kalimat yang efektif.

A.4.2.3.2 Siswa bersama peneliti melakukan refleksi untuk mengetahui kesan

27
siswa ketika menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan
menggunakan pendekatan pragmatik.
A.4.3 Pelaksanaan Pengamatan
Ketika peneliti melaksanakan tindakan, anggota peneliti sebagai kolaborator
melakukan pengamatan terhadap situasi yang terjadi selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Hal-hal yang perlu diamati dan dicatat oleh
kolaborator dalam lembar observasi, di antaranya:
1. respon siswa,perubahan yang terjadi selama proses pembelajaran;
2. keterampilan guru dalam menggunakan pendekatan pragmatik, baik dalam
tindakan awal, tindakan inti, maupun tindakan akhir;
3. dan kesesuaian antara rencana dan implementasi tindakan.
A.4.4 Analisis dan Refleksi
Pada tahap ini, peneliti menganalisis data yang diperoleh berdasarkan unjuk
kerja yang dilakukan siswa ketika menceritakan pengalaman yang
mengesankan dengan pilihan kata dan kalimat yang efektif. Unsur-unsur yang
dianalisis, yaitu kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata, keefektifan
kalimat, kelogisan penalaran, dan kemampuan menjalin kontak mata.
Berdasarkan hasil analisis data akan diketahui unsur-unsur mana saja yang
masih menjadi hambatan siswa dalam menceritakan pengalamannya yang
mengesankan.
Hasil analisis data tersebut juga sangat penting dan berharga sebagai bahan
untuk melakukan refleksi bersama kolaborator. Pada saat melakukan refleksi,
kolaborator memberikan masukan kepada peneliti berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dicatat untuk melakukan langkah-langkah perbaikan pada siklus
berikutnya.
Penelitian tidak perlu dilakukan lagi pada siklus berikutnya jika hasil analisis
data menunjukkan pengingkatan yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan
penelitian yang telah ditetapkan, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa kelas IV MI
Perwanida Kota Blitar terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran berbicara,
ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak

28
mata.

A.5 Cara Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data yang valid, data dikumpulkan melalui cara/teknik
berikut ini:
A.5.1 Tes
Teknik tes digunakan untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa dalam
menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain. Aspek-
aspek yang dinilai, yaitu kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi),
struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.
A.5.2 Nontes
Teknik nontes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sebagai
berikut:
A.5.2.1 Observasi (pengamatan):
Teknik ini digunakan oleh kolaborator untuk mengobservasi pelaksanaan
tindakan yang dilakukan oleh peneliti.
A.5.2.2 Wawancara:
Teknik ini digunakan oleh peneliti dan kolaborator untuk mengetahui respon
siswa secara langsung dalam berbicara dengan menggunakan pendekatan
pragmatik. Wawancara terutama dilakukan kepada siswa yang menonjol
karena kelebihan atau kekurangannya. Pelaksanaan wawancara dilakukan di
luar kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pedoman wawancara.
A.5.2.3 Jurnal:
Teknik ini digunakan oleh peneliti setiap kali selesai mengimplementasikan
tindakan. Jurnal tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi diri bagi peneliti
untuk mengungkap aspek:
1. respon siswa terhadap penggunaan pendekatan pragmatik;
2. situasi pembelajaran; dan
3. kekurang puasan peneliti terhadap pelaksanaan tindakan yang telah
dilakukan. Selain peneliti, siswa juga membuat jurnal setiap kali

29
mengikuti kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk mengungkapkan:
• respon siswa (baik yang positif maupun negatif) terhadap penggunaan
pendekatan pragmatik;
• metode pembelajaran yang disukai siswa;
• dan kemampuan peneliti dalam menciptakan pembelajaran yang aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

A.6 Teknik Analisis Data


Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi data secara
kuantitatif berdasarkan hasil tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus. Hasil
tindakan pada setiap siklus dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui
persentase peningkatan keterampilan siswa kelas V MI Perwanida Kota Blitar dalam
menceritakan pengalaman yang mengesankan.
Pada setiap siklus dideskripsikan jumlah skor yang diperoleh semua siswa,
daya serap, dan rata-rata skor untuk aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan
kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Selain itu, juga
dideskripsikan jumlah skor, jumlah nilai, rata-rata nilai, dan tingkat daya serap, dan
ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus.

30

Вам также может понравиться

  • Ijazah TK NW Dasan Tapen Kak Dayah
    Ijazah TK NW Dasan Tapen Kak Dayah
    Документ16 страниц
    Ijazah TK NW Dasan Tapen Kak Dayah
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • KEBUDAYAAN LOMBOK
    KEBUDAYAAN LOMBOK
    Документ2 страницы
    KEBUDAYAAN LOMBOK
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Lukman Hakim
    Lukman Hakim
    Документ8 страниц
    Lukman Hakim
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • 40 166 1 PB
    40 166 1 PB
    Документ12 страниц
    40 166 1 PB
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Nurul Haerani
    Nurul Haerani
    Документ1 страница
    Nurul Haerani
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Makalah Contoh Kasus
    Makalah Contoh Kasus
    Документ9 страниц
    Makalah Contoh Kasus
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ179 страниц
    Bab Ii
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • DERIVATIF MODUL
    DERIVATIF MODUL
    Документ11 страниц
    DERIVATIF MODUL
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Pertemuan 1 - Konsep Algoritma Dan Struktur Data
    Pertemuan 1 - Konsep Algoritma Dan Struktur Data
    Документ5 страниц
    Pertemuan 1 - Konsep Algoritma Dan Struktur Data
    Ridwan Ali
    0% (1)
  • Tutorial Coreldraw 12t
    Tutorial Coreldraw 12t
    Документ3 страницы
    Tutorial Coreldraw 12t
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Lembar Komsul
    Lembar Komsul
    Документ3 страницы
    Lembar Komsul
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Himpunan Dasar
    Himpunan Dasar
    Документ23 страницы
    Himpunan Dasar
    Anggito Abimanyu
    Оценок пока нет
  • PRNTRS
    PRNTRS
    Документ24 страницы
    PRNTRS
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет
  • Dasar Google Hack Taufan
    Dasar Google Hack Taufan
    Документ5 страниц
    Dasar Google Hack Taufan
    irwand22
    Оценок пока нет
  • Unud 391 62850896 Tesis PDF
    Unud 391 62850896 Tesis PDF
    Документ100 страниц
    Unud 391 62850896 Tesis PDF
    sacchandesu
    Оценок пока нет
  • Silabus
    Silabus
    Документ15 страниц
    Silabus
    Muhammad Gunawan
    Оценок пока нет