Вы находитесь на странице: 1из 12

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

GAGAL GINJAL

Oleh:

Kelompok 9

Elisa 1731015320006

Khadijah 1731015320011

Muhammad Restu Aulia 1731015310013

Raudatul Jannah 1731015320025

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2017
I. DEFINISI/PATOFISIOLOGI
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium
dan kalium di dalam darah atau produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan
kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana
fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan
gagal ginjal kronis.
Gagal Ginjal Akut (Acute Renal Failure/ART)
Gagal ginjal akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak laju filtrasi glomerulus
(Glomerulus Filtrat Rate/GFT) yang bersifat sementara, ditandai dengan peningkatan kadar
kreatinin serum dan hasil metabolisme nitrogen serum lainnya, serta adanya
ketidakmampuan ginjal untuk mengatur homeostasis cairan dan elektrolit. Definisi klinik yang
paling umum digunakan adalah peningkatan mendadak (24-48 jam) konsentrasi serum
kreatinin (SCr) lebih dari 50% pada pasien yang sebelumnya fungsi ginjalnya normal atau
peningkatan 1,0 mg/dL pada pasien yang sudah mengidap penyakit ginjal (SCr >2,0 mg/dL).
Pasien dengan gagal ginjal akut sering dikategorikan sebagai anurik (pengeluaran kemih <
50 mL/hari). Gagal ginjal akut biasanya disertai dengan oliguria (pengeluaran kemih <500
mL/hari). Adapula tipe Gagal ginjal akut non-oligouria (30-60% kasus GGA) dimana
pengeluaran kemih melebihi 400 mL/hari (Dipiro, 2009).
Gagal Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease/CKD)
Penyakit gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai kelainan pada struktur ginjal atau
menurunnya fungsi ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih dan berimplikasi pada
kesehatan. Kelainan struktural meliputi albuminuria lebih dari 30 mg/hari, adanya hematuria
atau sel darah merah di endapan urin, elektrolit dan kelainan lainnya akibat kelainan tubular,
kelainan yang terdeteksi oleh histologi, atau riwayat transplantasi ginjal. Jika tidak ada
tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2. Batasan penyakit ginjal kronik adalah sebagai
berikut :
1. kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
kelainan patalogik
petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m2 selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
Tabel 1. Laju filtrasi glomerulus dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerolus (ml/menit/1,73m2 )
1. Normal/meningkat 90
2. Penurunan ringan 60-89
3. Penurunan sedang 30-59
4. Penurunan berat 15-29
5. Gagal ginjal < 15
(Dipiro, 2009).

II. PENYEBAB GAGAL GINJAL


Penyebab Gagal Ginjal Akut
Penyebab gagal ginjal akut dapat dikelompokkan berdasarkan pada lokasi saluran
kemih yang mengalami gangguan yaitu prerenal, renal, dan postrenal.
1. Prerenal (berkaitan dengan penurunan suplai darah ke ginjal)
a. Hipovolemia
- Peningkatan kehilangan cairan ekstraseluler: perdarahan
- Kehilangan cairan gastrointestinal: muntah, diare
- Kehilangan cairan ginjal
b. Dehidrasi
c. Luka bakar, sepsis atau trauma , hypoproteinemia
d. Penggunaan obat-obat diuretik yang berlebihan
e. Aliran darah yang abnormal
f. Aritmia, temponadejantung, syok kardiogenik, gagal jantung atau infark miokard
2. Renal (Kerusakan struktural pada ginjal)
a. Kerusakan vaskular : arteri ginjal/vena, thrombosis, vaskulitis.
b. Kerusakan glomerulus : nefrotoksin, glomerulopati, penyakit autoimun
c. Nekrosis tubular akut : Iskemik, Hipotensi, hemoglobin, asamurat, obat-obatan
nefrotoksik
d. Nefritis interstisial akut : nefritis, narkoba, NSAID, antibiotik, infeksi.
3. Postrenal (disebabkan oleh penyumbatan urin yang mempengaruhi aliran urin ke ginjal)
a. Obstruksi ginjal
b. Obstruksi leher kandung kemih(misalnya: hipertrofi prostat, karsinoma kandung
kemih)
c. Obstruksi ureter (batu, gumpalan darah, papilla ginjal, keganasan, kompresi
eksternal).
Penyebab Gagal Ginjal Kronis
a. Diabetes tidak terkontrol
b. Hipertensi
c. Glomerulonefritis kronik
d. Penyakit ginjal polikistik
e. Nefropatirefluks
f. Batu ginjal
g. Prostat
(Dipiro, 2009).

III. FAKTOR RESIKO


1. Susceptibility Factors, yaitu :
a. Usia lanjut
b. kurangnya massa ginjal dan berat lahir yang rendah
c. Ras/etnik
d. Riwayat keluarga
e. Penghasilan atau pendidikan rendah
f. Sistemik inflamasi
g. Dislipidemia
2. Initiation Factors, yaitu :
a. Diabetes
b. Hipertensi
c. Glomerulonefritis
3. Progession Factors, yaitu :
a. Diabetes
b. Hipertensi
c. Proteinuria
d. Hiperlipidemia
e. Obesitas
f. Merokok
(Dipiro, 2009).
IV. DIAGNOSIS
Gejala
1. Gejala Gagal Ginjal Akut
Tanda-tanda dan gejala klinis gagal ginjal akut sering tersamar dan tidak spesifik,
walaupun hasil pemeriksaaan biokimiawi serum selalu menunjukkan ketidaknormalan.
Gambaran klinis dapat meliputi perubahan volume urine (oliguria, polyuria), kelainan
neurologist (lemah, letih, gangguan mental), gangguan pada kulit (misalnya gatalgatal,
pigmentasi, pallor), tanda pada kardiopulmoner (misalnya sesak, pericarditis), dan gejala
pada saluran cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah).
2. Gejala Gagal ginjal kronis
Tandatanda dan gejala gagal ginjal kronis meliputi nokturia, edema, anemia
(ironresistant, normochromic, normocytic), gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang
(renal osteodystrophy), perubahan neurologist (misalnya lethargia, gangguan mental),
gangguan fungsi otot (misalnya kram otot, kaki pegal) dan uraemia (misalnya nafsu
makan berkurang, mual, muntah, pruritus). Istilah uraemia (urea dalam darah) yang
menggambarkan kadar urea darah yang tinggi, sering digunakan sebagai kata lain untuk
gagal ginjal akut maupun kronis.
Gambaran Klinis
1. Sindrom uremia
a. Manifestasi kardiovaskuler. Pada gagal ginjal kronik mencakup hipertensi, gagal
jantung kongesti, oedema pulmoner, dan perikarditis.
b. Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah dan butiran
uremi.
c. Gejala gastrointestinal, juga sering terjadi yang mencakup anoreksia, mual, muntah,
dan cegukan.
2. Gejala komplikasi
a. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diit berlebih.
b. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensin-
aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah,
metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
f. Asidosis metabolik, Osteodistropi ginjal Sepsis, Neuropati perifer, Hiperuremia.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Laju Filtrasi Gloumerulus
Salah satu indeks fungsi ginjal yang terpenting adalah laju filtrasi gloumerulus (GFR)
yang memberi informasi tentang jumlah jaringan ginjal yang berfungsi.
a. Pemeriksaan Kadar Ureum
Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang diproduksi
oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan ekstraseluler ke dalam
darah untuk kemudian difiltrasi oleh glomerulus. Produksi urea dan pembersihan
ginjal sangat dipengaruhi oleh faktor ekstrarenal seperti penyakit kritis, status
volume,asupan protein, dan obat-obatan. Konsentrasi BUN normal besarnya sekitar
10-20 mg/dL pada gagal ginjal bisa meningkat sampai 800mg/dl.
b. Pemeriksaan Kreatinin
1) Kreatinin serum
Kreatinin merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot
dengan kecepatan yang hampir konstan dan dieksresi dalam urine dengan
kecepatan yang sama. Penggunaan serum kreatinin untuk mengukur
kemampuan filtrasi glomerulus. Kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal.
Konsentrasi kreatinin plasma besarnya 0,7 sampai 1,5mg/100ml.
2) Klirens Kreatinin
Klirens suatu zat adalah volume plasma yang dibersihkan dari zat tersebut dalam
waktu tertentu. Klirens kreatinin dilaporkan dalam mL/menit dan dapat dikoreksi
denganluas permukaan tubuh. Klirens kreatinin merupakan pengukuran GFR
yang tidak absolut karena sebagian kecil kreatinin direabsorpsi oleh tubulus ginjal
dan sebagian kreatinin urin disekresikan oleh tubulus .
Nilai rujukan:
Laki-laki : 97 mL/menit 137 mL/menit per 1,73 m2
Perempuan : 88 mL/menit 128 mL/menit per 1,73 m2
c. Pemeriksaan Kimia Urine
Tes kimia terhadap urine telah sangat disederhanakan dengan digunakannya
carik kertas impregnasi yang dapat mendeteksi zat-zat seperti glukosa, aseton,
billirubin, protein, dan darah. Kadar ph urine juga dapat diukur dengan uji dipstik.
Yang penting pada penyakit ginjal adalah deteksi adanya protein atau darah dalam
urine, pengukuran osmolalitas atau berat jenis.
1) Proteinuria
Orang dewasa normal dan sehat mengeksresi sedikit protein dalam urine hingga
150mg/hari terutama terdiri dari albumin dan protein. Proteinurea yang lebih dari
150mg/hari dianggap patologis.
2) Hematuria
Uji dipstik untuk mengetahui adanya darah merupakan uji penapisan yang baik
untuk hematuria. Apabila hasilnya positif, harus dilakukan pemeriksaan
mikroskopik urine.
3) Berat Jenis
Berat jenis diukur dengan urinumeter dalam suatu silinder yang terisi dan
dibutuhkan urin sebanyak 25 cc. Pengukuran berat jenis biasanya dilakukan
dalam klinik untuk menentukan konsentrasi yang larut dalam urine. Nilai normal
1010-1030.
4) Osmolalitas
Temperatur dan protein tidak mempengaruhi, tetapi kadar glukosa meningkatkan
osmolalitas. Osmolalitas urin normal 50-1200mOsm/L.
2. Tes Pemakatan dan Pengenceran
Pengukuran berat jenis urine sesudah pembatasan air merupakan cara pengukuran yang
sensitif untuk mengatahui kemampuan tubulus ginjal dalam mengabsorbsi air dan
menghasilkan urine yang pekat. Fungsi ginjal dianggap normal bila berat jenis spesimen
urine pagi hari sebesar 1018- 1,025.
3. Tes Pengasaman Urine
Tes ini dirancang untuk mengunkur kapasitas maksimal ginjal dalam mengeksresi asam
dan tes ini khusus ditujukan untuk mendiagnosis penyakit asidosis tubulus ginjal.
4. Tes Konservasi Natrium
Pada penyakit ginjal kemampuan kenservasi natrium mungkin hilang dan beberapa
pasien kehilangan lebih banyak natrium dari jumlah yang dimakannya sehingga
akibatnya terjadi penurunan volume plasma, penurunan GFR, dan makin cepat timbulnya
gagal ginjal. Fungsi ginjal dianggap normal bila Urine Na 20-40 (mEq/L or mmol/L).
Metode Morfologik
Cara diagnostik pada penyakit ginjalyang terutama bersifat morfologik adalah yang
pemeriksaan mikroskopik urine, pemeriksaan radiologi ginjal, dan pemeriksaan biopsi ginjal.
1. Pemeriksaan mikroskopik urin
Pemeriksaan mikroskopik urine dilakukan pada spesimen urine yang baru saja
dikumpulkan, kemudian spesimen ini disentrifugasi, endapannya disuspensikan dalam
0,5 ml urine.urin diperiksa dengan mikroskop biasa atau fase kontras
2. Pemeriksaan Radiologi
Sejumlah tindakan radiologi dapat dipakai untuk mengevaluasi sistem urinarius.
a. Piclogram Intravena (IVP)
Prosedur yang lazim pada IVP adalah fotopolos radiografi abdomen yang kemudian
dilanjutkan dengan penyuntikan media kontras intravena. Sesudah disuntikkan, maka
setiap menit selama 5 menit pertama dilakukan pengambilan foto untuk memperoleh
gambaran korteks ginjal, tetapi kekurangannya kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, khawatir pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
b. Ultrasonografi Ginjal
Ultrasonografi ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks menipis,
adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,kalsifikasi.
c. Sistouretrogram Berkemih
Kegunaan diagnostiknya terutama untuk mencari kelainan-kelainan pada uretra dan
untuk menentukkan apakah terdapat refluks vesikouretra.
d. CT scan
CT scan menghasilkan potongan melintang anatomi yang lebih terperinci. CT scan
menggambarkan secara teliti seluruh sistem urinarius.
e. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI adalah suatu tekhnik pencitraan non invasif yang dapat memberi informasi
sama seperti CT scan ginjal, metode ini tidak membutuhkan pajanan terhadap radiasi
ion atau tidak membutuhkan pemberian media kontras.
3. Biopsi ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yg masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Biopsi ginjal harus dilakukan hanya
oleh ahli nefrologi. Tindakkan ini berbahaya, terutama pada pasien yang tidak bersedia
bekerjasama atau yang menderita gangguan proses pembekuan darah atau hanya
memiliki sebuah ginjal. Komplikasi yang paling sering ditemui adalah perdarahan
intrarenal dan perirenal.

V. PENATALAKSANAAN
a. Goal Terapi
Tujuan terapi gagal ginjal akut, yaitu :
1) Mengenali dan menangani penyebab utama ARF
2) Mencegah memburuknya kondisi ke gagal ginjal yang ireversibel
3) Memberikan pengendalian metabolik, elektrolit dan cairan yang cukup sampai pemulihan
(Dipiro, 2012).
Tujuan terapi gagal ginjal kronis, yaitu :
1) Menunda perkembangan gagal ginjal kronis
2) Meminimalkan perkembangan atau tingkat keparahan kompllikasi yang terkait termasuk
penyakit kardiovaskular
3) Intervensi non-farmakologi dan farmakologi untuk memperlambat laju perkembangan
gagal ginjal kronis
4) Menurunkan kejadian dan prevalensi End Stage Renal Disease (ESRD)
(Dipiro, 2009).
b. Terapi Non Farmakologi/Farmakologi
1) Gagal Ginjal Akut
Terapi Non Farmakologi
Menjaga euvolemia, perfusi jaringan, dan keseimbangan elektrolit.
Menghindari nefrotoksin sangat penting dalam penanganan pasien dengan gagal ginjal
akut. Paparan berulang terhadap nefrotoksin (seperti, pewarnaan kontras,
aminoglycoside, NSAID, agen vasokontriksi) bisa memperpanjang durasi gagal ginjal
akut.
(Dipiro, 2009).
Terapi Farmakologi
Mannitol (20%) umumnya dimulai dengan 12,5-25 g intravena selama 3-5 menit.
Kerugian termasuk pemberian IV, resiko untuk hiperosmolalitas, dan perlu untuk diawasi
karena mannitol bisa berkontribusi untuk gagal ginjal akut.
Loop diuretic secara efektif mengurangi kelebihan cairan namun bisa memperburuk gagal
ginjal akut. Dalam dosis equipoten, loop diuretic (furosemide, bumetanide, torsemide,
asam etakrinat) mempunyai efikasi yang serupa untuk gagal ginjal akut). Asam etakrinat
umumnya disimpan untuk pasien yang alergi terhadap komponen sulfa. Infusi
berkelanjutan loop diuretic tampaknya lebih efektif dan dihubungkan dengan efek
samping yang lebih sedikit daripada pemberian bolus dalam interval. Dosis muatan IV
(setara dengan furosemide 40-80 mg) sebaiknya diberikan sebelum memulai infusi
berkelanjutan (setara dengan furosemide 10-20 mg/jam).
Resistensi terhadap diuretik umum dijumpai pada pasien ARF (Tabel 2). Terapi
kombinasi diuretik dengan agen dari kelas farmakologi yang berbeda bisa efektif untuk
resistensi diuretik. Diuretik yang beekrja pada tubulus pengumpul distal (thiazide) atau
ductus coligentes (amiloride, triamterene, spironolakton) bisa bekerja sinergis dengan
loop diuretic dengan menghambat kompensasi peningkatan penyerapan kembali natrium
dan klorida. Metazolone umum digunakan karena, tidak seperti thiazide lainnya,
metazolone menghasilkan diuresis yang efektif pada laju filtrasi glomerulus <20
mL/menit.

Tabel 2. Penyebab Umum Resistensi Diuretik pada Pasien dnegan Gagal Ginjal Akut dan
Pendekatan yang Digunakan untuk Mengatasinya
Penyebab resistensi diuretik Pemecahan terapi yang potensial
Asupan natrium berlebih (sumber bisa dari Hilangkan natrium dari sumber makanan dan
diet, cairan IV, dan obat) medikasi
Dosis atau regimen diuretik yang tidak sesuai Naikkan dosis, berikan dengan infusi
berkelanjutan, atau terapi kombinasi
Penurunan bioavalaibilitas oral (biasanya Gunakan terapi parenteral, ganti ke torsemide
pada furosemide) atau bumetanide oral
Sindroma nefrotik Naikkan dosis, ganti diuretik, gunakan terapi
kombinasi
Penurunan aliran darah renal
Obat (NSAID, inhibitor ACE, vasodilator) Hentikan obat-obat ini jika mungkin
Hipotensi Volume dan/atau vasopresor
Deplesi intrvaskular Ekspansi volume intravaskular
Peningkatan reabsorpsi natrium
Adaptasi nefron terhadap terapi diuretik Terapi kombinasi diuretik, pembatasan diuretik
kronik Hentikan NSAID
Penggunaan NSAID Atasi CHF, naikkan dosis diuretik, ganti dengan
CHF loop diuretik yang bioavalaibilitas lebih baik
Paracentesis volume tinggi
Sirosis Diuretik dosis lebih tinggi, terapi kombinasi
Nekrosis tubular akut diuretik, dan dopamine dosis rendah
NSAID = obat antiinflamasi non steroid; ACE = angiotensin converting enzyme; CHF = gagal jantung
kongesti
(Dipiro, 2009).
Terapi Nutrisi
Terapi penggantian renal yang dipilih untuk pasien ARF akan mempengaruhi kebutuhan
elektrolit, protein, kalori dan vitamin.
Hiperkalemia adalah kelainan elektrolit paling umum dan paling serius yang terlihat pada
ARF. Umumnya kalium (<3 g/hari) dan natrium (<3 g/hari) harus dibatasi kecuali pada
pasien yang dirawat dengan terapi penggantian renal selama >1 minggu.
Hiperfosfotemia bisa ditangani dengan obat pengikat fosfat oral (seperti, aluminium
hidroksida, kalsium karbonat, kalsium asetat, atau sevelamer HCl). Agen yang
mengandung kalsium umumnya menjadi terapi pilihan pertama; agen yang mengandung
aluminium disimpan untuk kondisi serum fosfat >7 mg/dL.
Pasien dengan sepsis dan asidosis laktat bisa memerlukan asetat tambahan; pasien
yang menerima terapi loop diuretic dalam waktu lama bisa memerlukan klorida
tambahan.
(Dipiro, 2009).

2) Gagal Ginjal Kronis


Terapi Non Farmakologi
Diet rendah protein sampai 0,8 g / kg / hari jika GFR kurang dari 30 mL/menit/1,73m2.
Berhenti merokok untuk memperlambat perkembangan gagal ginjal kronis dan
mengurangi risiko gagal ginjal kronis.
Olahraga minimal 30 menit (5 kali seminggu) dan pencapaian indeks massa tubuh (BMI)
yaitu 20 sampai 25 kg/m2.
(Dipiro, 2009).
Terapi Farmakologi
a) Mikroalbuminuria
Deteksi dini mikroabuminuria pada pasien dengan diabetes bisa membantu intervensi
terapi sehingga bisa memperlambat memburuknya kondisi penyakit ginjal dan
komplikasi vaskular lainnya.
Nefropati diabetik secara klinik didiagnosa jika mikroalbuminuria yang bertahan
(urinary albumin excretion, UAE [ekskresi albumin urin] 30-300 mg/hari) terlihat pada
dua dari tiga sampel urin yang diperoleh dalam periode 3 bulan yang dipisahkan
interval paling tidak 1-2 minggu. Semua pasien dengan diabetes tipe I yang sudah
mengidap selama lebih dari 5 tahun dan semua pasien diabetes tipe II sebaiknya
memeriksa urine mereka tiap tahun untuk mikroalbuminuria.
Pasien resiko tinggi tanpa diabetes atau pasien dengan SCr >1,5 mg/dL (pria) atau
>1,2 mg/dL (wanita) sebaiknya menjalani penapisan tiap tahun untuk ClCr, SCr, protein
urin, tekanan darah, kolesterol, dan simtom.
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE)
sebaiknya dimulai pada pasien dengan tekanan darah normal atau tinggi dengan
diabetes dan mikroalbuminuria yang bertahan (30-300 mg/hari) atau albuminuria
yang jelas (>300 mg/hari); terapi inhibitor ACE sebaiknya dititrasi tiap 1-3 bulan untuk
mencapai pengurangan maksimum pada UAE.
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi inhibitor ACE sebaiknya dipertimbangkan
diberikan pada pasien tanpa diabetes dengan proteinuria >1-3 g/hari dan sebaiknya
diberikan pada pasien dengan proteinuria >3 g/hari.
Calcium channel blocker (CCB) selain hidropiridin bisa menjadi alternatif efektif baik
sebagai agen tunggal atau dalam kombinasi dengan inhibitor ACE pada pasien
dengan hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal tahap lanjut atau proteinuria.
Peranan angiotensin II receptor blocker (ARB) dalam memperlambat memburuknya
penyakit ginjal masih diselidiki. Dari bukti yang ada diperkirakan bahwa ARB
memang memperlambat memburuknya penyakit ginjal dan juga inhibitor ACE. Tetapi,
inhibitor ACE mencegah degradasi bradikinin dan pada ARB efek ini tidak terlalu
bermakna. Karenanya, informasi lebih banyak diperlukan, seperti hasil dari uji antar
obat, sebelum kedua agen ini dianggap bisa saling menggantikan. Kombinasi terapi
inhibitor ACE dan ARB bisa bermanfaat untuk menghambat agiotensin II tapi tetap
mempunyai potensi manfaat dari bradikinin.
b) Hiperglisemia
Pengendalian gula darah yang intensif pada pasien diabetes tipe I dilaporkan mengurangi
frekuensi, menurunkan keparahan, dan menunda memburuknya komplikasi diabet,
termasuk nefropati.
c) Hipertensi
Pengendalian tekanan darah yang cukup (pasien dengan diabet: <130/80 mmHg;
pasien tanpa diabetes: <130/85 mmHg; pasien dengan proteinuria >1 g/hari: <125/75
mmHg) bisa mengurangi tingkat penurunan pada laju filtrasi glomerulus dan
albuminuria pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Tidak ada golongan agen
antihipertensi yang bisa mengurangi tekanan darah lebih baik dari lainnya; tetapi,
inhibitor ACE dan kemungkinan CCB selain hidropiridin menurunkan albuminuria
lebih baik dari agen golongan lain.
Penurunan pada laju filtrasi glomerulus wajar terjadi pada pasien yang menerima
inhibitor ACE karena agen ini menurunkan tekanan intraglomerular. Peningkatan
serum kreatinin 25-30% dalam 3-7 hari setelah memulai terapi sebaiknya diantisipasi
dan menjadi indikasi efek farmakologi inhibitor ACE; peningkatan SCr >30% bisa
menjadi tanda gagal ginjal akut yang diinduksi obat dimediasi secara hemodinamik
dan memerlukan penghentian inhibitor ACE.
d) Hiperlipidemia
Prevalensi hiperlipidemia tampaknya meningkat dengan menurunnya fungsi ginjal.
Pedoman KDIGO merekomendasikan pengobatan dengan statin (misalnya
atorvastatin 20 mg, fluvastatin 80 mg, rosuvastatin 10 mg, simvastatin 20 mg) pada
orang dewasa berusia 50 tahun pada gagal ginjal kronik stadium 1 sampai 5 bukan
pada dialisis.
Pada pasien dengan ESRD, profil lipid harus ditinjau ulang setidaknya setiap tahun
dan 2 sampai 3 bulan setelah mengganti pengobatan
(Dipiro, 2009).

Algorithma pengobatan diabetik pada pasien Gagal Ginjal Kronis dapat dilihat pada alur
algorithma di bawah ini (Gambar 1).

Gambar 1. Algorithma Pengobatan Penyakit Ginjal Diabetik (Diabetik CKD)


Algorithma pengobatan hipertensi pada pasien Gagal Ginjal Kronis dapat dilihat pada alur
algorithma di bawah ini (Gambar 2).

Gambar 2. Algorithma Pengobatan Hipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik


Algorithma pengobatan nondiabetik pada pasien Gagal Ginjal Kronis dapat dilihat pada alur
algorithma di bawah ini (Gambar 3).

Gambar 3. Algorithma Pengobatan Penyakit Ginjal Nondiabetik (Nondiabetik CKDO)


DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajaran Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Dipiro, J.T. 2009. Phamacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.

Dipiro, J.T. 2012. Phamacoterapy Handbook 9th edition, Mc Graw Hill, New York.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2008. Diagnosis and Management of Chronic Kidney
Disease. Edinburgh : Elliot House, 8-10 Hillside Crescent.

Roesli Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. 2008. Diagnosis dan Pengelolaan
Gangguan Ginjal Akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin. p.79-96.

Вам также может понравиться