Вы находитесь на странице: 1из 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi masih tetap merupakan masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk
didalamnya penyakit infeksi jamur. Infeksi jamur sebagai salah satu penyakit yang tersebar luas
di dunia, menyerang semua golongan umur dan semua ras. Dua puluh sampai dua puluh lima
persen penduduk di dunia menderita penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur dengan angka
kejadian yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Havlickova et al., 2008).
Jamur adalah nama regnum dari sekelompok besar makhluk hidup eukariotik heterotrof
yang mencerna makanannya di luar tubuh lalu menyerap molekul nutrisi ke dalam sel-selnya.
Jamur memiliki bermacam-macam bentuk. Umumnya jamur berukuran mikroskopis, oleh karena
itu studi tentang jamur ini baru dimulai setelah penemuan mikroskop oleh Van Leeuwnhoek pada
abab ke 17 (Faroidah, 2016).
Banyak jamur yang menimbulkan penyakit pada makhluk hidup lainnya, seperti gatal-
gatal pada kulit, kerusakan dermis pada manusia serta penyakit yang dapat menimbulkan kematian
pada hewan maupun tanaman. Selain itu jamur juga menyebabkan pembusukan bahan pangan
dengan cara merusak jaringan dan akhirnya merusak makanan tersebut. Selain menghancurkan
jaringan tanaman secara langsung, beberapa patogen tanaman merusak tanaman dengan
menghasilkan racun kuat. Jamur juga bertanggung jawab untuk pembusukan makanan dan
membusuk tanaman disimpan. Walaupun terdapat jamur yang menguntungkan.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang jamur-jamur yang menyebabkan
penyakit baik pada manusia, hewan, tumbuhan, dan kerusakan bahan pangan. Disekitar kita sering
ditemukan penyakit yang disebabkan oleh jamur, termasuk tanah, tanaman, pohon, dan bahkan
pada kulit kita dan bagian lain dari tubuh. Gejala infeksi jamur tergantung pada jenis dan lokasi di
dalam tubuh. Infeksi jamur mungkin ringan, dalam bentuk ruam atau masalah pernapasan ringan.
Namun, beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur bisa berat dan dapat menyebabkan
komplikasi serius dan kematian. Berdasarkan hal tersebut penulis akan memaparkan lebih lanjut
mengenai Jamur Penyebab Mikosis

1
2

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa definisi dari mikosis?
2. Apa saja jenis-jenis dari mikosis?
3. Bagaimana gejala klinis dari masing-masing mikosis?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya infeksi mikosis pada hewan dan manusia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menjelaskan definisi dari mikosis
2. Menjelaskan jenis-jenis dari masing-masing mikosis
3. Menjelaskan gejala klinis dari masing-masing mikosis
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya infeksi mikosis pada hewan dan manusia

D. Batasan Masalah
Terdapat berbagai macam jenis mikosis. Gejala klinis dari tiap-tiap mikosis
berbeda-beda. Dari berbagai jenis mikosis terdapat mekanisme-mekanisme, penulis akan
memaparkan secara lebih rinci mengenai jamur penyebab mikosis dan gejala-gejalanya,
serta mekanisme terjadinya infeksi.
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mikosis
Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis dikelompokkan atas
dasar tempat terjadinya infeksinya pada tubuh manusia, yaitu mikosis superfisial (dermatofitosis
dan non-dermatofitosis), mikosis kutan, mikosis subkutan, dan mikosis sistemik (profunda).
Infeksi oleh jamur dapat terjadi secara kompleks dalam skala ringan atau berat. Pada kasus-kasus
tertentu juga dijumpai adanya mekanisme infeksi sekunder akibat mikosis. Reaksi imun sangat
berperan penting sebagai pertahanan dari mikosis, namun demikian pengobatan-pengobatan pada
spesifikasi tertentu sangat menunjang proses penyembuhan.
B. Jenis-Jenis, Gejala, dan Mekanisme Infeksi Mikosis
Mikosis dikelompokkan atas dasar tempat infeksinya pada tubuh manusia, yaitu mikosis
superfisial (dermatofitosis dan non-dermatofitosis), mikosis kutan, mikosis subkutan, dan mikosis
sistemik (profunda). Menurut Oeiria tahun 2015, mikosis dibedakan menjadi mikosis superfisial
dan mikosis profunda.
1. Mikosis Superfisial
Mikosis ini terjadi pada bagian epidermis kulit, ada yang menyerang bagian luar
saja dan ada yang menyerang sampai bagian lebih dalam, maka mikosis superfisial dapat
dibagi lagi menjadi 2, yakni sebagai berikut:
a. Dermatofitosis
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang
disebabkan oleh jamur dermatofita yang digolongkan dalam tiga genus:
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Bernardo et al., 2005).
Tricophyton sp. merupakan jamur berfilamen keratinofilik yang memiliki
kemampuan untuk menyerang jaringan keratin. Jamur ini memiliki beberapa enzim
seperti proteinase, elastase, keratinase yang merupakan faktor virulensi utama dari
Tricophyton sp. Jamur ini dapat menyebabkan infeksi pada pasien
imunocompromised. Tricophyton rumbrum adalah agen penyakit dermatofitosis
paling umum di seluruh dunia (Emeka, 2011). Golongan jamur ini dapat mencerna
4

keratin kulit oleh karenanya memiliki daya tarik terhadap keratin (keratinofilik)
sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum
korneum sampai dengan stratum basalis (Boel, 2003).

Gambar 1 Lapisan kulit stratum korneum hingga stratum basal mampu


diinfeksi oleh jamur yang menyebabkan dermatofitosis. (Sumber: Hadijah,
2011)

Dermatofitosis bermacam-macam, menurut Boel tahun 2003, dermatofitosis ada 9


macam yaitu diantaranya:
1) Tinea kapitis
Kelainan kulit pada daerah kepala rambut yang disebabkan jamur
golongan dermatofita. Disebabkan oleh species dermatofita trichophyton
dan microsporum. Gejala berupa bercak pada kepala, bersisik, dan gatal
sering disertai rambut rontok (Sondakh, et. al. 2016). Daerah yang diserang
biasanya pada daerah kulit kepala dan rambut (Oeiria, 2011). Pada infeksi
yang berat dapat menyebabkan edematous dan bernanah seperti pada
gambar 2. Penderita tinea kapitis akan ditemukan spora di dalam rambut
atau di dalam rambutnya (Boel, 2003). Terdapat 4 macam bentuk penyakit
5

ini berdasarkan gejala klinis diantaranya kerion, favosa, black dot, dan gray
patch (lihat gambar 3) (Oeiria, 2011).

A B

Gambar 2 (A) Kulit kepala yang bernanah akibat menderita tinea kapitis. (B)
Jamur Trichophyton sp. yang merupakan salah satu penyebab Tinea kapitis.
(Sumber: Hongbin, 2015)

Kerion merupakan bentuk dari gejala klinis yang paling serius,


karena disertani dengan peradangan yang hebat yang bersifat local,
sehingga pada kulit kepala tampak bisul kecil-kecil yang berkelompok dan
terkarang ditutupi oleh sisik-sisik tebal (lihat gambar 1b). rambut di daerah
ini putus-putus dan mudah dicabut. Apabila kerion ini pecah akan
meninggalkan suatu daerah yang gundul permanen oleh karena terjadi
sikatrik. Bentuk ini disebabkan karena Mikosporon kanis, M. gipseum, T.
tonsurans, dan T. violaseum (Boel, 2003).
Gray patch dimulai dengan papel merah kecil yang melebar ke
sekitarnya dan membentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik. Warna
rambut menjadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi, serta mudah patah serta
terlepas dari akarnya (lihat gambar 1a). Jenis ini biasanya disebabkan oleh
spesies Mikrosporon dan Trikofiton (Boel, 2003).
Black dot disebabkan oleh T. tonsurans, T. violaseum, dan
Mentagrofites. Infeksi jamur terjadi di dalam rambut atau luar rambut, yang
menyebabkan rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala. Ujung
rambut tampak titik-titik hitam di atas permukiaan kulit yang berwarna
kelabu gelap sehingga dinamakan black dot.
6

Favosa dimulai dengan bitnik-bintik kecil di bawah kulit yang


berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta (lihat gambar
1c), yang berbentuk cawan serta memberi bau busuk seperti bau tikus.
Rambut di atas skutula tidak mengkilap lagi dan putus-putus. Disebabkan
oleh Prsiorisis vulgaris dan Dermatitis seboroika (Boel, 2003).

a b

c
Gambar 3 bentuk gejala klinis infeksi T. kapitis, a) gray patch,
b) kerion, c) favosa. (Sumber: Oeiria, 2011)

2) Tinea korporis
Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang kurang mengerti
kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak berkeringat
serta kelembaban kulit yang lebih tinggi. Predileksi biasanya terdapat
dimuka, anggota gerak atas, dada, punggung dan anggota gerak bawah
(lihat gambar 2). Bentuk yang klasik dimulai dengan lesi-lesi yang bulat
atau lonjong dengan tepi yang aktif. Dengan perkembangan ke arah luar
7

maka bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya dapat memberi gambaran


yang polisiklis, arsiner, atau sinsiner. Pada bagian tepi tampak aktif dengan
tanda-tanda eritema, adanya papel-papel dan vesikel, sedangkan pada
bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Bila tinea korporis ini menahun
tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya meningggalkan
daerah-daerah yang hiperpigmentasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat
terjadi bersama-sama dengan Tinea kruris. Penyebab utamanya adalah: T.
violaseum, T. rubrum, T. metagrofites. Mikrosporongipseum, M. kanis, M.
audolini (Boel, 2003).

Gambar 4 Predileksi pada dada atas, terlihat bercak-bercak kemerahan. (Sumber: Oeiria, 2011)

3) Tinea kruris
Penampakan lesi ditemukan pada daerah lipat paha (lihat gambar 5),
genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal, juga mengenai paha bagian
atas sebelah dalam (Lihat gambar 6). Kelainan ini dapat bersifat akut atau
kronis, bahkan dapat berlangsung seumur hidup. Penyebabnya adalah E.
floccosum, kadang-kadang disebabkan oleh T. rubrum dan Tricophyton
mentografites (lihat gambar 7) (Sondakh, et. al. 2016).
8

Gambar 5 Lesi pada bagian lipatan paha (Sumber : Oeiria, 2011)

Gambar 6 Kulit penderita Tinea kruris pada bagian paha atas sebelah dalam yang meluas
hingga area perut tampak membentuk lesi kemerahan. (Sumber : Hongbin, 2015)

Gambar 7 Tricophyton mentografites dengan pewarnaan cotton blue perbesaran 400x yang
merupakan penyebab penyakit Tinea kruris (sumber : www.hit-micrscopewb.hc.msu.edu)
9

4) Tinea manus atau pedis


Tinea pedis merupakan infeksi jamur pada kaki. Sering dijumpai
pada orang yang dalam kesehariannya banyak bersepatu tertutup disertai
perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau
sering basah. Tinea pedis biasanya menyerang sela-sela kaki dan telapak
kaki seperti paa gambar 8a (Sondakh, et. al. 2016). Tinea manus merupakan
infeksi jamur pada telapak tangan, punggung tangan, dan sela-sela jari (lihat
gambar 8b) (Oeiria, 2011). Penyebab paling sering ditemukan yaitu
Trichophyton rubrum (lihat gambar 9) (Sondakh, et. al. 2016).

a
10

b
Gambar 8 Gejala klinis dari Tinea pedis (a) terlihat bercak seperti kulit yang mongering dan Tinea manus (b)
pada punggung tangan, telapak tangan, dan sela-sela jari. (Sumber: Oeiria, 2011)

Gambar 9 Jamur Trichophyton sp yang sering kali menyerang kulit sela-sela kaki sehingga
memunculkan penyakit Tinea pedis. (sumber: www.keywordsuggest.org)

5) Tinea unguium (onikomikosis)


Kelainan pada kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita.
Penyebab tersering tinea unguium yaitu T. mentagrophytes dan T. rubrum
(Sondakh, et. al. 2016). Tanda-tandanya yaitu berupa onikolisis, subungual
hyperkeratosis, dan kerusakan nailplate. Gejala klinisnya dapat berupa
11

distal subungual onychomycosis, proximal subungual onychomycosis, dan


white superficial onychomycosis seperti pada gambar 10 (Oeiria, 2011).

a b c

d e
Gambar 10 Gejala klinis T. unguium, a) distal subungual onychomycosis awal, b) distal
subungual onychomycosis akhir, c) proximal subungual onychomycosis, d) white superfisial
onychomycosis, dan e) onikomikosis yang sudah kronis. (Sumber: Oeiria, 2011)

6) Tinea barbae

Hanya terjadi pada pria. Umumnya menimbulkan lesi yang khas


unilateral dan lebih sering melibatkan area janggut daripada kulit atau bibir
bagian atas (Sondakh, et. al. 2016). Penyakit tinea barbae merupakan kasus
infeksi jamur yang menyerang daerah yang berjanggut dan kulit leher,
rambut dan folikel rambut (lihat gambar 11). Penyebabnya adalah
Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton violaceum, Microsporum
cranis. Penderita tinea barbae ini biasanya mengeluh rasa gatal di daerah
jenggot, jambang dan kumis, disertai rambut-rambut di daerah itu menjadi
putus. (Cristina, 2008)
12

Gambar 11 Daerah berjanggut dan kulit leher yang diinfeksi oleh jamur sehingga muncul
penyakit tinea barbae (sumber : Cristina, 2008)

7) Tinia imbrikata
Infeksi dermatofitosis dengan gambaran khas berupa kulit bersisik
dengan sisik yang melingkar-lingkar dan terasa gatal. Tinea imbrikata
disebabkan oleh T. concentricum (Sondakh, et. al. 2016). Penyakit tinea
imbricate yang disebabkan oleh Trikofiton konsentrikum. Infeksi dimulai
dengan kolonisasi hifa dan cabang-cabangnya di dalam jaringan keratin
kulit yang mati. Hifa ini mengaktifkan enzim keratolitik yang berdifusi ke
dalam jaringan epidermis menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhan
jamur dengan polaradial di dalam stratum korneum menyebabkan
timbulnya lesi pada kulit. (Ahsani, 2014) Gambaran klinik berupa makula
yang eritematous dengan skuama yang melingkar seperti pada gambar 12
Apabila permukaan kulit yang terinfeksi diraba terasa jelas skuamanya
menghadap ke dalam. Penyakit ini sering menyerang seluruh permukaan
tubuh. Para penderita penyakit tinea imbricate ini sering kali disarankan
untuk selalu menjaga kebersihan, memakai ukuran sepatu yang pas,
memakai kaos kaki katun serta mencuci pakaian dengan menggunakan air
panas. (Boel, 2003)
13

Gambar 12 Tinea imbricate pada kulit yang memunculkan lesi dengan bentuk skuama yang
melingkar. (Sumber: Flann, 2014)

8) Tinea favosa
Tinea favosa (berwujud seperti sarang lebah) yaitu dermatofitosis
yang disertai pembentukan krusta berwarna kuning (lihat gambar 13) di
antara folikel rambut (skutula). Penyebabnya adalah Trycophyton
schoenleinii, T. violaceum, dan M. gypseum. Penyakit infeksi ini bersifat
kronis karena berhubungan dengan hygiene dan malnutrisi (Oeiria, 2011).
Rambut pada daerah yang terinfeksi Tinea favosa. Nampak kusam, dan
apabila luka tersebt telah sembuh akan menimbulkan bekas kasar pada kulit
(Soekanto, 2006).
14

Gambar 13 Penyakit Tinea favosa yang menyerang kulit akan membentuk kerak berwarna
kekuningan. (sumber: www.dermaamin.com)

Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan


pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon
pejamu (Kurniati, 2008).
a) Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6
jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi
keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas
proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan
aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel
dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari
kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah
oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit
melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.
b) Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim
musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 46 jam untuk
germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.
15

Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk


tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:
Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang
tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat
pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.
Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase,
mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga
memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore
(suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.
c) Respons imun pejamu
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan
respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada
kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian
kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.

Penyebaran penyakit terjadi lewat kontak langsung antara hewan


(zoophilic), antara manusia (anthropophilic) atau dari hewan ke manusia
(zoonotic), jarang terjadi menular dari manusia ke hewan. Kejadian infeksi dari
hewan ke manusia biasanya menyerang pemelihara ternak dengan cara kontak
16

langsung atau tidak langsung melalui alat-alat yang digunakan (Gholib, et. al.
2010).

b. Non dermatofitosis
Infeksi non dermatofitosis terjadi pada lapisan kulit yang paling luar pada
epidermis. Hal ini disebabkan jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat yang
dapat mencerna keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling
luar (Boel, 2003). Menurut Boel tahun 2003, yang termsuk dalam golongan ini
adalah:
1) Tinea versicolor (Pityriasis versicolor)
Infeksi ini merupakan mikosis superfisial dengan gejala berupa
bercak putih kekuning-kuningan disertai rasa gatal, biasanya pada kulit
dada, bahu punggung, axilla, leher dan perut bagian atas (lihat gambar 14A).
Penyebabnya adalah Malassezia furfur (lihat gambar 14B).
Pertumbuhannya pada kulit (stratum korneum) berupa kelompok sel-sel
bulat, bertunas, berdinding tebal dan memiliki hifa yang berbatang pendek
dan bengkok, biasanya tidak menyebabkan tanda-tanda patologik selain
sisik halus sampai kasar. Terdapat dua bentuk yang sering dijumpai yakni
bentuk makuler berupa bercak-bercak yang agak lebar, dengan squama
halus diatasnya dan tepi tidak meninggi. Serta bentuk folikuler yaitu seperti
tetesan air, sering timbul disekitar rambut. (Boel, 2003). Mallasezia furfur,
merupakan organisme saprofit pada kulit normal. Organisme ini merupakan
"lipid dependent yeast". Timbulnya penyakit ini juga dipengaruhi oleh
faktor hormonal, ras, matahari, peradangan kulit dan efek primer
pytorosporum terhadap melanosit (Siregar, 1982). Timbul bercak putih atau
kecoklatan yang kadang-kadang gatal bila, berkeringat. Bisa pula tanpa
keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita mengeluh karena malu oleh
adanya bercak tersebut. Pada orang kulit berwarna, lesi yang terjadi tampak
sebagai bercak dengan warna pucat, tetapi pada orang yang berkulit pucat
maka lesi bisa berwarna kecoklatan ataupun kemerahan. Di atas lesi
terdapat sisik halus. (Boel, 2003)
2) Piedra (Piedra putih dan Piedra hitam)
17

Piedra hitam (infeksi pada rambut berupa benjolan yang melekat


erat pada rambut, berwarna hitam) disebabkan oleh jamur Piedra hortal
(lihat gambar 15). Penyakit ini umumnya terdapat di negara tropis dan
subtropis. Seringkali menginfeksi rambut kepala, kumis. Atau jambang, dan
dagu. Askospora dari Piedra hortal berbentuk seperti pisang. Askospora
tersebut dibentuk dalam suatu kantung yang disebut askus. Askus-askus
bersama dengan anyaman hifa yang padat membentuk benjolan hitam yang
keras dibagian luar rambut. Dari rambut yang ada benjolan, tampak hifa
endotrik (dalam rambut) sampai ektotrik (diluar rambut) yang besarnya 4-8
um berwarna hitam dan ditemukan spora yang besarnya 1-2 um. (Veasay,
2017).

A B

Gambar 14 Penyakit Tinea versikolor (A) Tinea versikolor yang menyerang kulit punggung (B)
Mallasezia furfur penyebab tinea versikolor. (Sumber: www.medical-labs.net)

Pada rambut kepala, janggut, kumis akan tampak benjolan atau


penebalan yang keras warna hitam. Penebalan ini sukar dilepaskan dari
corong rambut tersebut. Umumnya rambut lebih suram, bila disisir sering
memberikan bunyi seperti logam. Biasanya penyakit ini mengenai rambut
dengan kontak langsung atau tidak langsung. (Boel, 2003)
18

Gambar 15 Nodule hitam pada rambut yang disebabkan oleh infeksi jamur Piedra hortal. (sumber:
Veasay, 2017)

Piedra beigeli merupakan penyebab piedra putih seperti pada


gambar 16, yang seringkali menyerang pada rambut. Jamur ini dapat
ditemukan ditanah, udara, dan permukaan tubuh. Jamur Piedra beigeli
mempunyai hifa yang tidak berwarna termasuk moniliaceae. Secara
mikroskopis jamur ini menghasilkan arthrokonidia dan blastoconidia.
Biasanya penyakit ini dapat timbul karena adanya kontak langsung dari
orang yang sudah terkena infeksi. Adanya benjolan warna tengguli pada
rambut, kumis, jenggot, kepala, umumnya tidak memberikan gejala-gejala
keluhan pada penderita. (Veasay, 2017)

Gambar 16 Gambaran mikroskopis tentang Piedra putih. (A1) gambaran mikroskopis


dengan perbesaran 40x nodule Piedra putih pada rambut. (A2) gambaran
mikroskopis dengan perbesaran 100x nodule Piedra putih pada rambut. Hasil
19

perkembangbiakan pada medium jamur penyebab Piedra putih. (C) Gambaran


mikroskopis Piedra bigeli perbesaran 400x. (sumber: Veasay, 2017)

3) Tinea nigra
Infeksi yang terjadi pada kulit telapak kaki dan tangan dengan
memberikan warna hitam sampai coklat pada kulit yang terserang. Macula
yang terjadi tidak menonjol pada permukaan kulit, tidak terasa sakit dan
tidak ada tanda-tanda peradangan. Kadang-kadang macula ini dapat meluas
sampai ke punggung, kaki dan punggung tangan, bahkan dapat menyebar
sampai ke leher, dada, dan muka. Penyebabnya adalah Kladosporium
wemeki dan jamur ini banyak menyerang anak-anak ndengan hygiene
kurang baik dan orang-orang yang banyak berkeringat. (Boel, 2013)
4) Otomikosis
Infeksi ini terjadi pada liang telinga bagian luar. Jamur dapat masuk
ke dalam liang telinga melalui alat-alat yang dipakai untuk mengorek-
ngorek telinga yang terkontaminasi atau melalui udara atau air. Penderita
akan mengeluh merasa gatal atau sakit di dalam liang telinga. Pada liang
telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan kelaninan
ini ke bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun
telinga sebelah dalam. Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi
skuama halus. Apabila meluas sampai ke dalam, sampai ke membrane
timfani, maka daerah ini menjadi merah, berskuama, mengeluarkan cairan
srousanguinos. Penderita akan mengalami gangguan pendengaran. Apabila
ada infeksi sekunder dapat terjadi otitis ekstema. Penyebabnya yaitu jamur
Aspergillus sp, Mukor dan Penisilium. (Boel, 2003)
2. Mikosis Kutan (Kandidiasis)
Kandidiasis merupakan infeksi oportunistik yang terjadi pada kulit, mukosa, dan
organ dalam manusia disebabkan oleh Candida albicans yang merupakan spesies
cendawan patogen dari golongan ascomycota (Kokare, 2007). Candida albicans
sebenarnya merupakan mikrobiota normal pada manusia, biasanya dijumpai pada kulit,
selaput lendir saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan genitalia wanita. Namun
demikian, pada kondisi tertentu, jamur ini dapat berubah menjadi patogen dan
20

menyebabkan infeksi oral, genital, bahkan infeksi sistemik yang dapat mengancam jiwa
(Jawetz dkk., 2001).
Candida secara morfologi mempunyai beberapa bentuk elemen jamur yaitu sel ragi
(blastospora atau yeast), hifa dan bentuk intermedia atau pseudohifa (Lihat gambar 17)
(Ahmed, S.A.M., 2003). Sel ragi berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dengan
ukuran 2-5 x 3-6 hingga 2-5,5 x 5-28. Candida memperbanyak diri dengan
membentuk tunas yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Pertumbuhan
optimum terjadi pada pH antara 2,5-7,5 dan temperatur berkisar 20oC-38oC. Candida
merupakan jamur yang pertumbuhannya cepat yaitu sekitar 4872 jam. Kemampuan
Candida tumbuh pada suhu 37oC merupakan karakteristik penting untuk identifikasi.
Spesies yang patogen akan tumbuh secara mudah pada suhu 25oC 37oC, sedangkan
spesies yang cenderung saprofit kemampuan tumbuhnya menurun pada temperatur yang
semakin tinggi (Tjampakasari, R.C., 2006).

Gambar 17 Ilustrasi morfologi Candida. (a) bentuk khamir, (b) bentuk pseudohifa, (c) bentuk hifa
(sumber: Ahmed, S.A.M., 2003)

Candida dapat tumbuh pada suhu 37oC dalam kondisi aerob dan anaerob. Candida
tumbuh baik pada media padat, tetapi kecepatan pertumbuhannya lebih tinggi pada media
cair. Pertumbuhan juga lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan dengan pH normal
atau alkali (Tjampakasari, R.C., 2006).
21

Morfologi koloni Candida pada medium padat agar sabouraud dekstrosa atau
glucose-yeast extract- peptone water umumnya berbentuk bulat dengan ukuran (3,5-6) x
(6-10) m dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin, kadang sedikit berlipat
terutama pada koloni yang telah tua. Besar kecilnya koloni dipengaruhi oleh umur biakan.
Warna koloni Candida putih kekuningan (cream lembut) dan berbau khas (Tjampakasari,
R.C., 2006).
Identifikasi spesies dapat dilakukan secara makroskopik dan mikroskopik, secara
makroskopik dapat dilakukan pada media chromogenik (CHROM agar). Pada medium ini
Candida spesies akan membentuk warna koloni yang berbeda. C. albicans membentuk
koloni berwarna hijau, C. tropicalis berwarna ungu muda dengan puncak ungu tua, C.
parapsilopsis berwarna putih, C. krusei berwarna merah muda dengan koloni kasar dan
puncak merah muda sampai putih pucat dan C. glabrata berwarna putih dengan puncak
merah muda pucat (Tjampakasari, R.C., 2006).
Gejala yang timbul adalah adanya bercak putih pada lidah dan sekitar mulut dan
sering menimbulkan nyeri. Bercak putih ini sekilas tampak seperti kerak susu. Bila dipaksa
dikerok, tidak mustahil justru lidah dan mulut dapat berdarah. Infeksi mulut oleh spesies
candida biasanya memunculkan kumpulan lapisan kental berwarna putih atau krem pada
membran mukosa (dinding mulut dalam). Pada mukosa mulut yang terinfeksi mungkin
muncul radang berwarna merah, nyeri, dan terasa seperti terbakar (Dorland, 2000).
Kandidiasis dapat menyebabkan rasa sakit saat makan dan minum (kebanyakan
disebabkan karena nyeri) dan membuat penderita tidak memiliki selera makan sehingga
berat akan cenderung menurun. Candida pada mulut juga dapat bermigrasi ke organ lain
bila ada faktor yang memperberat (misalnya pemakaian antibiotik jangka panjang)
(Dorland, 2000).
Secara umum gejala kandidiasis yaitu:
1) Lesi putih atau krem di lidah (lihat gambar 18), pipi bagian dalam, langit-langit mulut,
gusi, dan amandel (tonsil). Pada kasus yang berat, lesi dapat menyebar ke bawah ke
kerongkongan dan esofagus (Candida esophagitis). Jika hal ini terjadi, penderita
mungkin akan mengalami kesulitan menelan atau merasa seolah-olah makanan terjebak
di tenggorokan.
22

Gambar 18 Lesi pada lidah terlihat putih kekuningan (sumber: Hati, 2012)

2) Nyeri
3) Pecah-pecah dan kemerahan pada sudut mulut (terutama pada pemakai gigi tiruan)
4) Sensasi seperti terdapat kapas dan rasa panas pada mulut (Dorland, 2000)
Tahapan kolonisasi Candida dalam rongga mulut:
1) Tahap Akuisisi
Tahap akuisisi adalah masuknya sel jamur ke dalam rongga mulut. Umumnya
terjadi melalui minuman dan makanan yang terkontaminasi oleh Candida. Dalam
rongga mulut dengan kolonisasi, Candida dapat ditemukan dalam saliva dengan
konsentrasi 300 500 sel/ml. Candida dalam saliva menjadikan saliva dapat berperan
sebagai media transmisi (Lihat gambar 19).
23

Gambar 19 Hubungan antara faktor yang mempengaruhi kolonisasi Candida dalam rongga mulut; (a)
akuisisi, (b) pertumbuhan, (c) penghilangan, (d) kerusakan jaringan (Cannon, R.D.l, & Chaffin, W.L. 1999).

2) Tahap Stabilitas Pertumbuhan


Tahap stabilitas pertumbuhan adalah keadaan ketika Candida yang telah masuk
melalui akuisisi dapat menetap, berkembang dan membentuk populasi dalam rongga
mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel rongga
mulut hospes. Pergerakan saliva yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan sel
Candida tertelan bersama saliva dan keluar dari dalam rongga mulut. Jika penghilangan
lebih besar dari akuisisi maka tidak terjadi kolonisasi. Jika penghilangan sama banyak
dengan akuisisi maka agar terjadi kolonisasi diperlukan faktor predisposisi. Jika
penghilangan lebih kecil dari pada akuisisi maka Candida akan melekat dan bereplikasi.
Hal itu yang merupakan bagian penting kolonisasi yang merupakan awal terjadinya
infeksi (Cannon, R.D.l, & Chaffin, W.L. 1999).
3) Tahap Perlekatan (adesi) dan Penetrasi
Adesi adalah interaksi antara sel Candida dengan sel pejamu yang merupakan
syarat terjadinya kolonisasi. Interaksi antara Candida dengan hospes dapat terjadi dengan
sel epitel, sel endotel dan sel fagosit (Cannon et al., 1995). Kemampuan melekat pada sel
inang merupakan tahap penting dalam kolonisasi dan penetrasi (invasi) ke dalam sel
inang. Bagian pertama Candida yang berinteraksi dengan sel inang adalah dinding sel
(Kusumaningtyas E., 2007).
Dinding sel Candida tersusun atas enam lapisan. Lapisan paling luar adalah fibrillar
layer, kemudian mannoprotein, -glucan, -glucan-chitin, mannoprotein dan membran
24

plasma (lihat gambar 20). Dinding sel terdiri atas karbohidrat 80-90%, protein 625% dan
lipid 1-7%. Karbohidrat termasuk polimer bercabang glukosa (-glucans), polimer tidak
bercabang N-acetyl-Dglucosamine (khitin) dan polimer mannoprotein (mannan).
Struktur dinding sel bertanggung jawab untuk melindungi sel ragi dari lingkungan yang
tidak menguntungkan dan rigiditas yang memberikan bentuk khas yang merupakan
karakteristik jamur (Kusumaningtyas E., 2007).

Gambar 20 Lapisan dinding sel Candida (Hendriques, M.C.R., 2007).

Perlekatan Candida pada sel hospes merupakan salah satu faktor virulen yang
penting. Interaksi dapat terjadi secara spesifik maupun non-spesifik (Kusumaningtyas E.,
2007). Interaksi spesifik berhubungan dengan adesi pada permukaan epitel yang
kemudian menyebabkan invasi Candida ke berbagai jenis permukaan jaringan. Interaksi
nonspesifik meliputi hidrofobik dan kekuatan elektrostatik (Kusumaningtyas E., 2007).
Sel Candida dapat bersifat hidrofilik atau hidrofobik, tergantung pada komposisi struktur
protein pada dinding sel. Ketika sel Candida bersifat hidrofobik maka Candida akan
bersifat virulen dengan mengikat secara difus di permukaan sel hospes (Hannula J., 2000)
Menurut Hostetter (1994) ada tiga macam interaksi yang mungkin terjadi antara
sel Candida dan sel epitel inang yaitu (i) interaksi protein-protein terjadi ketika protein
permukaan Candida mengenali ligand protein atau peptida pada sel epitelium atau
endotelium (ii) interaksi lectin-like adalah interaksi ketika protein pada permukaan
Candida mengenali karbohidrat pada sel epitelium atau endotelium dan (iii) interaksi
yang belum diketahui adalah ketika komponen Candida menyerang ligand permukaan
25

epitelium atau endotelium tetapi komponen dan mekanismenya belum diketahui dengan
pasti. Selain melekat pada permukaan epitelium, Candida melakukan penetrasi ke dalam
terutama pada cell junction dengan cara pembentukan hifa infektif. Mekanisme invasi ke
dalam mukosa dan sel epitelium serta reaksi adhesi tertentu mempengaruhi kolonisasi
dan patogenitas (Hostetter, M.K., 1994).
3. Mikosis Subkutan
Infeksi ini terjadi pada bagian kulit yang lebih dalam yaitu seperti pada jaringan
subkutan.
a. Kromoblastomikosis
Kromoblastomikosis merupakan infeksi jamur kronis pada kulit dan
jaringan subkutan yang disebabkan oleh jamur berpigmen atau dematiceous fungi
yang menembus kulit. Pada proses inflamasinya di dalam kulit, jamur tersebut
membentuk sel tunggal berdinding tebal atau sel kluster (badan sklerotik atau
muriform) yang menyerupai gambaran berbentuk hyperplasia
pseudoepiteliomatosa. (Hay, 2012). Infeksi kromoblastomikosis dapat
disebabkan oleh beberapa jenis jamur berpigmen antara lain Phialophora
verrucosa, Fonsecaea pedrosoi, (lihat gambar 22 dan 23), Fonsecaea
compactum, Fonsecaea monophora, Wangiella dermatitidis, Cladophialophora
carrionii, Rhinocladiella aquaspersa, dan spesies exophiala. Menurut Sober
(2008) jamur jenis tersebut banyak tersebar di tanah dan juga kayu-kayu lapuk
sehingga penderita kromoblastomikosis kebanyakan berasal dari kalangan petani
dan pekerja lapangan.
Jamur penyebab kromoblastosis masuk ke dalam tubuh melalui luka yang
terbentuk di kulit kemudian menginfeksi jaringan kulit pada lapisan kutis dan
subkutis. Selanjutnya akan muncul papul kemerahan yang melebar secara
perlahan dalam hitungan bulan sampai tahunan dan kemudian menjadi bentuk
nodular atau plak. Papul yang muncul akan terasa gatal dan nyeri. Apabila
menggaruk papul tersebut maka persebaran papul yang muncul akan semakin
meluas. Papul yang meluas memberikan bentukan lesi pada kulit. Lesi menyebar
pada bagian lateral ke daerah kulit yang sehat dan biasanya akan tampak
26

gambaran seperti kembang kol (cauliflower like) seperti gambar 1 yang menyebar
secara perlahan pada bagian kulit sekitarnya. (Lasus, 2015)

Gambar 21 Kulit penderita kromoblastomikosis yang memiliki gambaran permukaan kulit


seperti bunga kol (cauliflower like) (Sumber: Haryo, 2015)

A B
Gambar 22 Jamur Phialophora verrucosa salah satu penyebab kromoblastomikosis. (A) Jamur
Phialophora verrucosa yang dikembangbiakkan dalam medium. (b) Jamur Phialophora verrucosa
dengan pewarnaan lactophenol cotton blue dengan mikroskop cahaya perbesaran 400X (Sumber:
Haryo, 2015)

Gambar 23 Jamur Fonsecaea pedrosoi salah satu penyebab kromoblastomikosis. (A) Jamur
Fonsecaea pedrosoi yang dikembangbiakkan dalam medium Sabouraud dextrose agar. (B dan C)
27

Jamur Fonsecaea pedrosoi tampak hifa bersepta positif, spora coklat tua, serta konidia dan hifa
berwarna coklat dengan perbesaran 400x (Sumber: Lasus, 2015)

b. Sporotrikosis

Sporotrikosis adalah infeksi jamur kronis pada kutis atau subkutis dengan
ciri khas lesi berupa nodus yang supuratif sepanjang aliran getah bening.
Sporotrikosis disebabkan oleh jamur Sporothrix schenckii. Sporothrix schenckii
dapat dijumpai di seluruh tanah di dunia, namun Sporotrikosis endemic di
Meksiko, Amerika tengah, Amerika selatan, juga di daerah lain seperti Afrika
selatan. (Hay, 2012). Sporotrikosis berkembang lambat, dengan gejala pertama
muncul dalam 1- 12 pekan (rata-rata 3 pekan) setelah pemaparan pertama oleh
jamur. Jamur Sporothrix schenckii menginfeksi melalui luka yang ada pada kulit.
Mula-mula timbul papula atau nodula subkutan, disusul pembengkakan dari lesi
yang terbentuk pada kulit yang mengikuti bentuk aliran getah bening. Papula
atau nodula tersebut kemudian pecah membentuk ulkus granulomatosa disertai
peradangan pembuluh limfe yang menyebar mengikuti aliran pembuluh limfe.
Sporotrikosis terutama mempengaruhi kulit dan daerah dekat pembuluh limfatik.
(Burns, 2009)
Sporotrikosis subkutan merupakan bentuk sporotrikosis yang paling sering
dijumpai. Jenis sporotrikosis ini memiliki 2 bentuk utama infeksi yaitu infeksi
limfatik dan fixed infection. Bentuk limfatik lebih sering dan umumnya terjadi
pada area kulit yang sering terlihat seperti tangan dan kaki (Lihat gambar 24).
Infeksi ditandai dengan adanya nodul di kulit yang selanjutnya pecah menjadi
ulkus kecil. Aliran limfe menjadi membengkak dan meradang, dan terbentuk
rantai ke nodul sekunder sepanjang aliran limfe. Aliran ini juga dapat pecah.
(Moore, 2004)
Bentuk fixed cutaneous sporotrichosis yang terjadi pada 15% kasus, infeksi
menetap terlokalisir pada satu tempat, seperti wajah, dan granuloma yang
terbentuk dapat mengalami peradangan. Nodul dapat terbentuk sekitar tepi dari
28

lesi primer. Variasi lain dari sporotrikosis subkutan dapat menyerupai misetoma,
luvus vulgaris dan ulserasi venosa kronik. Pada kondisi tertentu penyebaran
infeksi lebih dalam dapat mengenai selubung tendon. Pasien dengan AIDS dapat
mengalami lesi kulit tanpa pembesaran limfe yang jelas dan dapat ditemukan
infeksi yang lebih parah seperti artritis. (Sober, 2008)

Gambar 24 Sporotrikosis yang menyerang tangan, peradangan yang muncul mengikuti


bentuk limfa dalam tubuh. (Tarigan, 2014)

c. Misetoma (Madura Foot)


Misetoma merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur yang
memunculkan suatu lesi lokal disertai pembengkakan dan granula yang
merupakan koloni-koloni padat dari jamur penyebab serta keluarnya cairan
melalui sinus-sinus. Penyakit ini biasanya menimbulkan kelainan berupa
pembengkakan yang permukaannya rata di sekeliling sinus-sinus tersebut.
(Kiran, 2014). Misetoma dapat menyebar ke daerah kulit sekitarnya secara
merambat dan dapat pula menyerang jaringan yang lebih dalam seperti tulang.
Pada tempat infeksi terjadi kerusakan jaringan di bawah kulit, yaitu jaringan
lemak, otot, sampai tulang. Kerusakan yang terjadi memunculkan abses pada
area tubuh yang terinfeksi yang Nampak seperti pada gambar 25A. Bila sudah
terbentuk abses, sewaktu-waktu kumpulan nanah ini bisa pecah dan membentuk
fistula. Fistula ini dapat mengeluarkan butir-butir berwarna putih, kuning
kemerahan, atau hitam yang bercampur nanah. Warna bulir yang dikeluarkan
tergantung pada jamur penyebabnya dimana butiran tersebut merupakan koloni
jamur. Penyakit ini disebabkan oleh Pseudallescheria boydii dan Madurella
mycetomatis (Lihat gambar 25B). Jamur ini berbentuk benang, hidup di tanah
29

dan pada tumbuh-tumbuhan. Infeksi dari jamur penyebab misetoma ini biasanya
masuk ke tubuh melalui luka, tertanam ke dalam jaringan subkutan kemudian

A B

Gambar 25 Misetoma yang menyerang bagian kaki kanan. (A) Misetoma menginfeksi dan merusak
jaringan sehingga membentuk abses pada kulit. (B) Jamur Madurella mycetomatis yang merupakan salah
satu penyebab misetoma dengan perbesaran 400X (Sumber: Kiran, 2009)

berkembangbiak dengan nutrisi-nutrisi yang ada didalam tubuh yang terinfeksi.


(Nugrahaeni, 2012)

d. Basidiobolomikosis
Penyakit basidiobolomikosis merupaka suatu infeksi yang disebabkan oleh
genus basidiobolus dari spesies Basidiobolus ranarum. Basidiobolus ranarum
dapat ditemukan sebagai organisme komensal dalam intestine reptil dan
tumbuhan yang membusuk. Basidiobolomikosis sering menyerang alat
pergerakan dan sumbu tubuh namun paling sering diserang adalah bagian pantat
dan paha. Infeksi Basidiobolus ranarum kedalam tubuh diduga melalui gigitan
serangga atau nyamuk. Saat serangga menggigit korban, jamur Basidiobolus
ranarum ikut masuk ke dalam tubuh dan berkembangbiak di dalam tubuh.
Akibat dari infeksi Basidiobolus ranarum adalah munculnya nodus subkutan
yang membesar dan tidak nyeri namun saat di raba terasa keras seperti kayu atau
papan. Terkadang muncul rasa gatal diarea tubuh yang terinfeksi oleh
Basidiobolus ranarum (Sjamsoe, 2005)
30

e. Fikomikosis
Fikomikosis atau lebih sering dikenal sebagai fikomikosis subkutis adalah
infeksi jamur Mucor sp (Gambar 26B) yang memberikan gejala adanya
pembengkakan dibawah kulit yang teraba keras kenyal dan memunculkan batas
tegas dibawah kulit (Gambar 26A). Berbeda dengan basidiobolomikosis,
fikomikosis akan terasa sakit apabila disentuh. Permukaan kulit yang terinfeksi
oleh jamur penyebab fikomikosis sering memerah karena benjolan yang ada
dibawah kulit mengalai peradangan, kadang-kadang terjadi fistulasi hingga
mengeluarkan cairan serosanguineus. Bagian tubuh yang sering diserang adalah
kaki, tangan, leher, serta dada. Tidak jarang fikomikosis juga meluas ke area
mata. Selain itu apabila penderita mengidap penyakit diabetes mellitus,
fikomikosis dapat meluas ke tempat lain seperti otak, paru, serta saluran
pencernaan. (Siregar, 2005)

A B

Gambar 26. (A)Fikomikosis yang menyerang tungkai kaki menampakkan


benjolan dengan batas tegas pada kulit. (B) Jamur Mucor sp. penyebab
fikomikosis yang menghasilkan banyak spora (400x) (Sumber: Siregar, 2005)

f. Lobomikosis
Lobomikosis merupakan infeksi kulit dan jaringan subkutan kronis yang
disebabkan oleh jamur Lacazia loboi. Jamur Lacazia loboi ini dapat menginfeksi
jaringan tubuh melalui luka yang muncul pada kulit. Gejala klinis lobomikosis
31

dapat berupa plak, papul, nodus, yang soliter dan berkembang. Nodus
menyerupai keloid adalah bentuk yang paling sering ditemukan (Lihat gambar
27A). Penyakit lobomikosis hanya bisa dipastikan melalui pengamatan
histopatologis dimana jamur Lacazia loboi hidup di dalam jaringan dengan
gambaran reaksi granulomatosa disertai banyak sel menyerupai ragi berdinding
tebal (Lihat gambar 27B). Bentuk koloni Lacazia loboi dapat berbentuk soliter
atau dalam untaian. (Khairani, 2015)

Gambar 27 (A)Lobomikosis yang menyerang daun telinga pada penderita menyerupai


bentuk keloid. (B) Jamur Lacazia loboi penyebab lobomikosis yang memiliki bentuk
koloni soliter dengan sel yang menyerupai ragi berdinding tebal (1000x) (Sumber:
Khairani, 2015)

4. Mikosis Sistemik (Profunda)


Infeksi jamur yg mengenai organ internal dan jaringan sebelah dalam.
Seringkali tempat infeksi awal yaitu paru-paru, kemudian menyebar melalui
darah. Setiap jamur cenderung menyerang organ tertentu. Kasusnya bervariasi
dari ringan hingga berat, infeksi dapat terjadi melalui inhalasi, pada kasus
ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya. Jika terjadi penyebaran maka
dapat mengakibatkan timbulnya luka pada kulit di permukaan terbuka
(leher,muka, lengan dan kaki). Infeksi jamur (mikosis) ada yang bersifat
superfisial maupun sistemik. Mikosis sistemik dibagi menjadi dua yaitu mikosis
sistemik primer dan oportunistik.
32

Ada beragam spesies jamur yang bisa menyebabkan mikosis tetapi


hampir 70 % jamur invasif sebagai agen penyebab mikosis oportunistik
adalah spesies Candida dan Aspergillus. Spesies Candida yang paling
banyak menyebabkan kandidiasis invasif pada manusia yaitu Candida
albicans (C. albicans). Infeksi sistemik Candida (kandidiasis sistemik)
ternyata berhubungandengan peningkatan angka kematian sebesar 38%,
pemanjangan waktu dan biaya ada pun beberapa jamur yang menyebabkan
mikosis sistemik di antaranya adalah (Jawetz,1996).
5. Histoplasmosis
Jamur penyebab histoplasmosis yaitu Histoplasma capsulatum yg
hidup pd tanah dengan kandungan nitrogen tinggi (tanah yg terkontaminasi
dengan kotoran unggas atau ternak). Histoplasmosis adalah infeksi jamur
intraselular dari sistem retikuloendotelial yang disebabkan oleh menghirup
konidia dari jamur Histoplasma capsulatum. Histoplasmosis tersebar
diseluruh dunia, meskipun demikian, the Mississippi-Ohio River Valey di
Amerika Serikat dikenal sebagai daerah endemis. Afrika, Australia dan
sebagian dari Asia Timur, khususnya India dan Malaysia juga daerah
endemis. Isolasi dari lingkungan dari jamur telah dilakukan dari tanah yang
diperkaya dengan kotoran ayam, "starling" dan kelelawar. Telah diketahui
dua macam H. capsulatum, bergantung pada klinis dari penyakitnya: var.
Capsulatum lazim pada Histoplasmosis, dan var. Duboisii adalah jenis
Afrika. Dua jenis ini identik dalam bentuk jamur saprofitnya tetapi berbeda
dalam morfologi jaringan parasitiknya. (Indah,2001)
Gejala klinis dari penyakit ini kurang lebih 95% kasus histoplasmosis
tidak jelas, subklinis atau jinak. Lima persen kasus menjadi penyakit paru
progresif kronis, penyakit kutaneus dan sistemik yang kronis atau sebuah
penyakit sistemik akut yang tiba-tiba menjadi berat dan mematikan. Semua
tahap dari penyakit ini dapat menyerupai tuberkulosis.
33

Gambar 28 Histoplasmosis dari gusi bawah menunjukkan ulkus disekitar dasar dari gigi
geligi. (Sumber: Sutanto, 2009)

Gejala yang timbul berupa sindroma flu yg dapat sembuh dengan


sendirinya. Pada kasus penderita dengan defisiensi imun, Hipoplasmosis
dapat berakibat pd terjadinya pembengkakan limpa dan hati, demam tinggi,
anemia. Selain itu, juga dapat terjadi tukak-tukak pd hidung, mulut lidah,
dan usus halus (lihat gambar 28). Secara umum pengobatan utk menangani
penyakit ini dengan mengkonsumsi obat amphotericin B. Penyebab infeksi
ini adalah jamur Histoplasma capsulatum.
6. Coccidioidomycosis
Merupakan mikosis yang mengenai paru-paru yang disebabkan oleh
Coccidioidesimmitis. Jamur dimorfik yang terjadi di alam bebas. Penyakit ini
dikenal dalam dua bentuk Coccidioidoides imitis primer biasanya mengenai
paru dengan gejala menyerupai infeksi paru oleh organisme lain.
Coccidioidoides imitisprogresif adalah penyakit yang bila tidak di obati,
berlangsung fatal (Inge Sutanto,2009). Coccidioidoidesimitis menimbulkan
infeksi pada binatang pengerat, ternak (sapi, beri-beri) dan anjing yang
menimbulkan infeksi kepada manusia bersama udara pernafasan yang
mengandung sporanya. Penyakit ini sering mewabah dimusim panas dimana
banyak debu berterbangan yang mengandung spora jamurnya.
Penyebabnya ialah Coccidioidoides imitis, jamur dimorfik yang
terdapat dialam bebas. Gejalnya mirip dengan pneumonia yang lain, berupa
batuk dengan atau tanpa sputum yang biasanya disertai dengan pleuritis.
Bahan pemeriksaan laboratorium diambil dari sputum atau cairan pleura
untuk dilihat dengan mikroskop dan pembenihan (Inge Sutanto,2009).
34

Pengobatan infeksi ini dengan cara sebagai berikut:


1) Coccidioidoides imitis primer kebanyakan dapat sembuh sendiri
2) Coccidioidoides imitis progresif pengobatan diberikan dengan amfoterisin-B
secara intravena, pemberian itrakonazol dan derivate azol lain
C.imitis adalah jamur dimorfik. Di tanah dan didalam biakan pada suhu kamar
C.imitis membentuk koloni filamen. Hifa jamur ini membentuk artospora dan
mengalami frekmentai. Artospora ringan, mudah dibawa angin dan terhirup
kedalam paru. Pada suhu 370C, C.imitis membentuk koloni yang terdiri atas sferul
yang berisi endospora (Inge Sutanto, 2009). Infeksi dari jamur ini didapat melalui
inhalasi artrospora yang terdapat di udara. Infeksi pernafasan yang nantinya timbul
dapat bersifat asimptomatis dan mungkin hanya terbukti dengan pembentukan
antibody presipitasi dan tes kulit positif dalam 2-3 minggu. Disamping itu penyakit
yang menyerupai influenza, yang disertai demam, lesu, batuk, dan rasa sakit di
seluruh tubuh juga dapat terjadi. Kurang dari 1% orang yang terinfeksi C. imitis,
penyakitnya berkembang menjadi bentuk yang menyebar dan sangat fatal. Hal ini
dapat sangat menyolok terlihat pada wanita yang sedang hamil. Ini disebabkan
karena kadar estradiol dan progesterone yang meningkat pada wanita hamil dapat
menambah pertumbuhan C. immitis. Sebagian besar orang dapat dianggap kebal
terhadap reinfeksi, setelah testes kulitnya menjadi positif. Akan tetapi, bila
individu seperti ini kekebalannya ditekan dengan obat atau penyakit,
penyebarannya dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primernya.
Koksidioidomikosis yang menyebar dapat disamakan juga dengan tuberkolosis,
dengan lesi pada banyak organ tubuh, tulang dan susunan saraf pusat. Gejala yang
ditimbulkan koksidioidomikosis antara lain:
a) Koksidioidomikosis primer akut
Koksidioidomikosis primer akut merupakan infeksi paru paru yang ringan, yang
biasanya tanpa gejala. Kalaupun ada baru timbul 1 3 minggu setelah terinfeksi.
Gejala gejalanya antara lain batuk berdahak, yang mungkin bisa sampai batuk
darah, nyeri dada, demam dan menggigil. Kompleks dari gejala gejala ini
dinamakan Valley fever atau Desert rheumatism, rematik padang pasir, yaitu
35

adanya konjungtivitis (peradangan pada selaput mata) dan arthritis (peradangan


sendi) disertai eritema nodosum (peradangan kulit).
b) Koksidioidomikosis Progresif
Pada koksidioidomikosis ini sifat dari infeksinya adalah menyebar dan berakibat
fatal. Bentuk ini biasanya merupakan pertanda bahwa seseorang yang telah
terinfeksi telah mengalami gangguan system kekebalan. Gejalagejalanya biasanya
berupa demam ringan, nafsu makan hilang, berat badan turun, dan badan terasa
lemah. Pada kasus ini, infeksi juga menyebar ke tulang, sendi, hati, limpa, ginjal
dan otak.
7. Blastomycosis
Infeksi ini merupakan mikosis yang menyerang kulit, paru-paru, viscera,
tulang dan sistem saraf. Penyebabnya adalah Blastomyces dermatitidis dan
Blastomyces brasieliensis. Blastomycosis kulit gejalanya brupa papula atau pustula
yang berkembang menjadi ulcus kronis dengan jaringan granulasi pada alasnya.
Kulit yang sering terkena adalah wajah, leher, lengan dan kaki. Bila menyerang
organ dalam, gejalanya mirip tuberculosis (Iindah entjang,2000). Penyakit ini
terdapat di amerika utara, kanada dan afrika. Di Indonesia belum di temukan (Inge

Gambar 29 Blastomyces dermatitidis yang bersifat dimorfik (a)


kondisi pertumbuhan pada 25 C , (b) 37 C (Sumber: Inge
Sutanto, 2009)

Blastomyces dermatitidis dikatakan bersifat dimorfik karena fungi ini


memiliki dua bentuk yaitu bentuk hifa dan ragi yang berkembang pada kondisi
pertumbuhan yang berbeda dalam artian pada temperatur yang berbeda yakni pada
suhu 25C dan 37C (lihat gambar 29).
36

Infeksi primer yang mungkin menjadi subclinical terjadi di paru-paru yang


mana konidia fungi masuk melalui sistem pernapasan. Perubahan bentuk dari mold
form menjadi yeast form terjadi setelah berada di jalur pernapasan. Blastomikosis
banyak menginfeksi lelaki berumur 30-50 thn dan menyerang tidak berdasarkan
sex, umur, rasa atau pekerjaan. Penyakit tidak umum pada anak-anak tetapi
sekarang ditemukan meningkat pada immunocompromised hosts, khususnya pada
pasien AIDS. Pada immunocompromised hosts ada resisten alami terhadap infeksi
fungi ini karena makrofage alveolar menghambat transformasi konidia menjadi
yeast. Hal ini didukung oleh penelitian penyakit blastomikosis dimana infeksi
asimptomatik terjadi sekitar 50%.
Blastomikosis paru-paru dimulai dengan timbulnya demam, menggigil dan
berkeringat banyak. Kemudian bisa disertai batuk berdahak maupun kering, nyeri
dada dan kesulitan bernafas. Ketika terjadi penyebarluasan, lesi kulit pada
permukaan yang terbuka adalah yang paling sering. Mereka lambat laun bias
menjadi granuloma verrukosa berulkus dengan tepi yang meluas dan dengan pusat
jaringan parut. Kemudian akan timbul kutil yang dikelilingi abses (penimbunan
nanah) dan mempunyai ujung runcing yang basah. Pada tulang bisa timbul
pembengkakan disertai nyeri. Sedangkan pada laki-laki terjadi pembengkakan
epididimis disertai nyeri atau prostatitis (Indah,2001).
37

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mikosis merupakan infeksi yang terjadi pada jaringan tubuh dan disebabkan oleh
jamur.
2. Mikosis dibagi menjadi 4 berdasarkan letak terjadinya infeksi yaitu (i) Mikosis
superfisial, (ii) Mikosis kutan, (iii) Mikosis subkutan, dan (iv) Mikosis sistemik.
3. Gejala klinis dari masing-masing mikosis berbeda-beda, mulai dari tampak mata
saja, timbul jika diraba, menimbulkan rasa sakit, sampai mengeluarkan bau yang
khas dari infeksi tersebut.
4. Mekanisme penginfeksian dari masing-masing mikosis berbeda-beda, dari jamur
yang berbeda-beda tersebut menginfeksi mulai dari jaringan paling luar epidermis
sampai jaringan dermis dan subkutan.
B. Saran
1. Untuk mempelajari mtaeri pada topik kali ini, diperlukan pemahaman yang
cukup dalam mempelajarinya
2. Untuk memahami materi pada topik ini, diperlukan pembuatan peta konsep agar
dapat dihubungkan antara satu dengan yang lainnya
38

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S.A.M. 2003. Oral immune defense against chronic hyperplastic Candidosis (dissertasi).
Department of Medicine, Institute of Clinical Medicine University of Helsinki, Helsinki,
Finland.
Bernardo, A., M.M. Lana, H.M.M. and Guerra. 2005. Dermatophytes isolated from pet, dogs
and cats, in Lisbon, Portugal.
Burns, MJ. Kapadia NN, Silman EF. 2009. Sporotrichosis. USA: WestJEM.
Boel, Trelia. 2003. Mikosis Superfisial, (Online), (library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia1.pdf),
diakses 20 September 2017.
Cannon RD, Holmes AR, Mason AB, Monk BC. 1995. Oral Candida: clearance, colonization, or
candidiasis?. J Dent Res; 74 (5): 1152-55
Dorland, W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC.
Emeka, I.N. 2011. Dermatophytoses in domesticated animalsrev. Inst. Med. Trop Sao Paulo
53(2):9599
Faroidah, Della Azizatul., Yunita Nur Agustiningsih. 2016. Jamur Penyebab Mikosis, (Online),
(https://es.scribd.com/document/328289101/JAMUR-PENYEBAB-MIKOSIS), diakses
16 September 2017.
Gholib, Djaenudin; Rachmawati, S. 2010. Kapang Dermatofit Trichophyton Verrucosum
Penyebab Penyakit Ringworm Pada Sapi. WARTAZOA Vol 20. No 1, Bogor, Hal 44
Hannula J. 2000. Clonal types of oral yeasts in relation to age, health and geography (dissertasi).
Finland: Institute of Dentistry, Department of Periodontology, University of Helsinki.
Haryo, Kusuma Bagus, M. Yulianto Listiawan. 2015. Keberhasilan Pengobatan Ketokonazol Pada
Satu Kasus Kromoblastomikosis Kronis. MDVI. Vol. 41 No. 3 119-123
Hati, Melati Permata. 2012. Kandidiasis (Mikosis Kutan), (Online),
(http://letsdothisinmyworld.blogspot.co.id/2012/05/kandidiasis-mikosis-kutan_08.html),
diakses 30 September 2017.
Havlickova, B. et al. 2008. Epidemiological Trends in Skin Mycoses Worldwide. Journal
compilation. Mycoses, 51. (Online), ( https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18783559),
diakses 16 September 2017.
Hay RJ. 2012. Deep fungal infections, Dermatology in General Medicine (8th ed). New York:
McGraw Hill.
Hendriques, M.C.R. 2007. Candida dubliniensis versus C. albicans adhesion and biofilm
formation. Department of biological engineering (dissertation. University of Minho
Departement of Biological engirecrly
Hostetter, M.K. 1994. Adhesins and ligands involved in the interaction of Candida spp with
epithelial and endothelial surfaces. Clin Microbiol Rev;7(1): 2940.
Jawetz, et al. 2001. Mikrobiologi Kedokteran, Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi,
FKU Unair. Jakarta, Indonesia: Salemba Medika.
Khairani, Fatima Aulia, Risa Miliawati, Lies Marlysa Ramali. 2015. Rythema Elevatumdiutinum
yang Menyerupai Lobomikosis pada Seorang Pasien dengan Infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). MDVI. Vol 42. No Suplemen hlm. 48s-53s
Kiran, Alam, Veena Maheswari, Shruti Bhargava. 2009. Histological Diagnosis of Madura Foot
(Mycetoma): A Must for Definitive Treatment. Journal of Global Infectious Deases.
Volume 1, No. 1 hlm 64-67.
Kurniati, C. Rosita. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin. Vol 20. No 3, Surabaya, Hal 247-248
39

Kusumaningtyas E. 2007. Mekanisme infeksi Candida albicans. Lokakarya nasional penyakit


zoonosis :304-16
Lasus, Mariani V, Rita S. Tanamal, Grace M. Kapantow. 2015. Kasus Kromoblastomikosis pada
Seorang Perempuan. Jurnal Biomedik. Volume 7 Nomor 1 halamn 67-69.
Moore MK, Hay RJ. 2004. Rooks Textbook of Dermatology Volume 2. 7th ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing.
Nugrahaeni, Diah, Evy Ervianty. 2012. Mycetoma. Journal of Medical Dermato Veneorology.
Vol. 24 No.2 hl. 108-115
Oeiria, David Sudarto. 2011. Mikosis, (Online),
(https://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2015/03/12-mikosis-mikosis-superfisialis.pdf),
diakses 20 September 2017.
R. Kokare. 2007. Pharmaceutical Microbiology Principles and Applications. Nirali Prakashan.
ISBN 978-81-85790-61-9. Page.10.6-10.7.
Scully C, El-kabir M, Samaranayake, L.P. 1994. Candida and oral candidosis. Crit Rev Ord Biol
Med; 5 (2):125-57
Siregar, R. S. 2005. Penyakit Jamur Kulit. Jakarta: EGC
Sjamsoe, Emmy S. Daili, Sri Linuwih Menaldi, I Made Wisnu. 2005. Penyakit Kulit yang Umum
di Indonesia. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia
Sondakh, C. E. E. J.; Pandaleke, T. A.; Mawu, F.O. 2016. Profil dermatofitosis di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari Desember 2013.
Jurnal e-Clinic (eCl) Vol 4. No 1, Manado.
Sober JO. 2008. Fungal diseases (2nd ed). Spanyol: Mosby.
Tarigan, Hendra Sibero. 2014. Management of Sporotrikosis. JUKE. Volume 4 Nomor 7.
Tjampakasari, R.C. 2006. Karakteristik Candida albicans. Cermin Dunia Kedokteran; 151: 336

Вам также может понравиться