Вы находитесь на странице: 1из 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan


hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Secara umum,
syok dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab, yaitu syok
hipovolemik (kehilangan volume intravaskuler), kardiogenik (pompa jantung
terganggu), obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung), dan distributif
(vasomotor terganggu).1,2

Syok hipovolemik merupakan suatu kegagalan sirkulasi dan perfusi


jaringan, umumnya disebabkan oleh kehilangan volume cairan intravaskuler, yang
ditandai gejala klinis seperti takikardi dan hipotensi. Secara patofisiologis syok
merupakan gangguan hemodinamik yang menyebabkan tidak adekuatnya hantaran
oksigen dan perfusi jaringan.1

Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan
dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Tujuan
penanganan syok tahap awal adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi
jaringan dengan mengembalikan volume sirkulasi intravaskuler.2

Gangguan hemodinamik pada syok hipovolemik dapat berupa penurunan


tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan
pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Gangguan faktor-faktor
tersebut disebabkan oleh bermacam-macam proses baik primer pada sistim
kardiovaskuler, neurologis ataupun imunologis.1,2

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2. 1 Identitas Pasien

Nama : Tn. G

Umur : 32 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswastawan

Alamat : Sikapa

Agama : Islam

Tanggal MRS : 5 April 2017

No. RM : 152027

2.2 Evaluasi Pre Anestesi

2.2.1 Anamnesis

A (Allergics) : Riwayat alergi obat tidak ada, riwayat alergi makanan tidak
ada, riwayat alergi latex tidak ada, riwayat alergi plester tidak
ada.

M (Medications) : Riwayat mengkonsumsi antibiotik selama dua bulan karena


riwayat infeksi saluran kemih yang didapatkan dari
puskesmas, penggunaan obat herbal dan tidak ada, obat lama
yang dikonsumsi tidak ada.

P (Past Illness) : Riwayat infeksi saluran kemih sejak kurang lebih dua bulan
yang lalu, riwayat DM tidak ada, riwayat hipertensi tidak ada,
riwayat asma tidak ada.

2
L (Last Meal) : Puasa mulai pukul 04.00 WITA

E (Event) : Awalnya pasien mengeluh BAK sedikit-sedikit dan terasa


nyeri. Kemudian nyeri dirasakan pada pinggang belakang
sebelah kanan, dan dari puskesmas Siwa, dirujuk ke RS. Ibnu
Sina ke Spesialis Urologi, setelah pemeriksaan menyeluruh
didapatkan diagnosis Nefrolithiasis Dextra. Pasien telah
melakukan ureterorenoskopi pada bulan lalu dengan anestesi
SAB (Subarachnoid Block) tanpa penyulit dan komplikasi.
Satu bulan setelah operasi pasien masih mengeluh nyeri
pinggang dan setelah CT-scan didapatkan gambaran
hidronefrosis dextra.

2.2.2 Pemeriksaan Fisik

2.2.2.1 B1 (Breathing)

Inspeksi : Napas spontan, pernapasan thorakoabdominal, pengembangan


dada simetris kiri dan kanan, pernapasan cuping hidung tidak
ada, retraksi sela iga tidak ada

Palpasi : Fokal fremitus normal kiri dan kanan

Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru-paru kiri dan kanan, batas


paru-hati ICS V linea midclavicular dextra

Auskultasi : Bunyi pernapasan bronkovesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-


/-)

2.2.2.2 B2 (Blood)

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, bekas operasi (-)

Palpasi : Nadi 86x/menit, iktus kordis teraba pada ICS V

Perkusi : Batas atas : ICS II linea sternal sinistra

Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra

3
Batas kiri : ICS V, 3 cm medial linea midclavicula sinistra

Auskultasi : TD: 120/80 mmHg, S1 S2 murni regular, S3 tidak ada, S4


tidak ada, murmur tidak ada

2.2.2.3 B3 (Brain)

Inspeksi : GCS 15 (E4M6V5), konjungtiva anemis (-/-), RCL (+/+),


RCTL (+/+), pupil bulat, isokor diameter 2,5 mm, refleks
kornea (+/+), sianosis (-), suhu 36,5oC, VAS diam 0/10, VAS
gerak 2/10.

2.2.2.4 B4 (Bladder)

Urin spontan sulit dinilai, tidak terpasang kateter.

2.2.2.5 B5 (Bowel)

Inspeksi : Perut cembung, jaringan parut (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi : Dinding perut supel (+), ikut gerak napas, nyeri tekan (-),
massa tumor (-)

Perkusi : Timpani, nyeri ketuk CVA (+/-)

2.2.2.6 B6 (Bone)

Inspeksi : Mobilitas (+), deformitas (-), fraktur (-), edema (-)

Palpasi : Pitting edema (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)

4
2.2.3 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (31/03/2017)

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan


WBC 6.6 4.0-12.0 103/l
PLT 465 150-400 103/ l
HCT 36.9 35-55 %
HB 11.4 12.0-17.0 g/dl
CT 11 6 - 14 menit
BT 2 1-6 menit
SGOT 30 5-38 u/L
SGPT 28 5-41 u/L
Ureum 28 15-40 mg/dl
Kreatinin 1.0 0.5-1.2 mg/dl
GDS 117 70-140 mg/dl

Hasil Pemeriksaan Foto Thorax PA (10/02/2017)

Corakan bronchovasculer paru kasar, tak ada proses spesifik aktif maupun
nodul metastase
Cor : bentuk dan ukuran dalam batas normal, aorta normal
Sinus costophrenicus dan diafragma normal
Tulang-tulang intak

Kesan: Aspek bronchitis

Hasil Pemeriksaan EKG (31/03/2017)

Irama sinus, dengan heart rate 89 kali/menit

Hasil Pemeriksaan CT-Scan Abdomen Urografi (09/02/2017)

Ginjal kanan: ukuran membesar, outline licin, cortex menipis. tampak


beberapa batu, ukuran terbesar 24,1 x 11 mm. System calyces dilatasi,
cupping convex. SOL (-).
Ureter kanan: tidak dilatasi, outline licin, tak tampak batu

5
Ginjal kiri: ukuran normal, outline licin, cortex tidak menipis. Tidak tampak
batu, system calyces tidak dilatasi, SOL (-).
Ureter kiri: tidak dilatasi, outline licin
VU: dinding normal, tak tampak batu
Hepar, GB, lien, pancreas, colon dan usu halus normal.
Tak tampak cairan bebas di peritoneum.

Kesan: Nefrolithiasis dextra dan hidronefrosis dextra, grade 4

2.2.4 Klasifikasi Status Fisik

ASA PS II

2.2.5 Diagnosa Kerja

Hidronefrosis dextra + Nefrolithiasis dextra + DJ stent insitu dextra

2.2.6 Rencana Tindakan Bedah

Nefrektomi dextra

2.2.7 Rencana Anestesi

Combined Epidural-General Anesthesia (CEGA)

2.2.8 Persiapan

Pasien dipuasakan 8 jam sebelum dilakukan tindakan (04.00 WITA)

Premedikasi:

Alprazolam 0,5 mg/oral (0-0-1)


Ranitidin 150 mg/oral (0-0-1)

Pada pukul 06.00 infus RL 24 tpm

Ranitidin 50 mg/iv

6
Ondansetron 4 mg/iv
Ketorolac 30 mg/iv
Dexamethasone 10 mg/iv

EBV : 70 cc x 46 kg = 3220 cc

MABL : 653 cc

2.3 Laporan Anestesi

Intraoperatif

7
Pada pasien ini dilakukan prosedur anestesi kombinasi epidural dan anestesi
umum dengan intubasi ETT (Endotracheal Tube) ukuran 7.0 ID, dengan langkah-
langkah sebagai berikut:

1) Pasien masuk posisi supine, terpasang kateter IV 18G di tangan kanan,


terpasang monitor standar (Blood pressure, heart rate, EKG, SpO2)
2) Dilakukan prosedur insersi kateter epidural
Posisi lateral dekubitus, mengidentifikasi interspace vertebrae
Th10-Th11
Desinfeksi dan asepsis dengan menggunakan alkohol 70% dan
betadin
Skin wheal, lidokain 2% 40 mg, insersi jarum Tuohi 18G dengan
teknik paramedian approach, LOR (+), LCS mengalir (+), darah (-)
Insersi kateter epidural 6 cm di kulit 4 cm di ruang epidural,
kemudian fiksasi
Injeksi test dose lidokain 2% 40 mg + epinefrin 1 : 200.000
melalui kateter epidural, tidak didapatkan tanda-tanda injeksi
intravaskular.
3) Dilakukan prosedur Anestesi GETA (General Endo Tracheal Anesthesia)
Premedikasi: Midazolam 5 mg
Preoksigenasi: O2 8 lpm via facemask
Induksi: Propofol 100 mg, ventilasi (+)
Intubasi: Atracurium 25 mg, lidokain 1% 80 mg
Identifikasi plica vocalis (+), sprey dengan xylocain 10%, insersi
ETT ID 7.0 mm, kembangkan cuff, bunyi pernapasan (+) kanan-
kiri sama, fiksasi ETT pada kedalaman 20 cm di sudut kanan
mulut.
Maintanance : O2 60% 2 lpm, isofluran 0,5 - 1,5 volume%
4) Anestesi selesai, napas terkontrol, pasien tersedasi dengan menggunakan
midazolam dan fentanyl.
5) Pasien pindah ke ruang ICU (Intensive Care Unit) dan pasang ventilator.

8
Operasi berlangsung selama dua jam sepuluh menit dengan total perdarahan
sebanyak 2250 cc, total cairan yang masuk sebanyak 3600 cc (Kristaloid RL 2000
cc + Koloid Gelofusin 1000 cc + Packed Red Cells 600 cc). Produksi urin dalam
dua jam sepuluh menit sebanyak 50 cc.

Hemodinamik selama operasi cenderung hipotensi dan takikardia akibat


perdarahan akut yang berlangsung masif dari daerah operasi. Pada awal operasi,
tekanan darah pasien berkisar antara 100/70 mmHg hingga 120/80 mmHg dengan
nadi 70 88 x/menit. Saat 30 menit operasi berlangsung, pasien mengalami
perdarahan sebanyak 750 cc sehingga tekanan darah pasien turun menjadi kisaran
60/30 mmHg hingga 80/40 mmHg dengan nadi meningkat 90 110 x/menit. Pasien
diberikan injeksi vasopressor (efedrin) 5 mg/iv sebanyak empat kali untuk
mencapai MAP (Mean Arterial Pressure) > 65 mmHg. Dan pasien dipasangkan dua
IV line untuk diberikan cairan koloid gelofusin sebanyak 1000 cc.

Pada saat satu jam operasi berlangsung, perdarahan yang terjadi sebanyak
1500 cc, tekanan darah pasien menurun menjadi 55/30 mmHg hingga 60/40 mmHg
dengan nadi 105 110x/menit. Pasien diberikan norepinefrin 0,1 mcg/kgBB/menit
dan diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) sebanyak 600 cc. Setelah itu,
tekanan darah pasien naik menjadi 70/40 mmHg hingga 110/80 mmHg dengan nadi
90 100 x/menit. Pasien juga diberikan asam traneksamat sebanyak 500 mg/iv.

Setelah operasi selesai, didapatkan hemodinamik dengan tekanan darah


110/80 mmHg dengan support norepinefrin 0,1 mcg/kgBB/menit. Nadi sebanyak
90x/menit. Pasien kesan anemis, perfusi yang didapatkan dingin, pucat dan basah.
Pasien dipindahkan ke ruang ICU dalam keadaan tersedasi.

Post operatif

Pada hari ke-0 di ruang ICU, dilakukan pemeriksaan B1 (breathing) dan


didapatkan O2 via ETT on ventilator, TV (Tidal Volume) sebanyak 320 cc, RR
(Respiratory Rate) 14 x/menit, PEEP (Possitive End Expiratory Pressure): 5
cmH2O, FiO2: 80%, didapatkan TV: 450 cc, RR: 16x/menit, rhonki (-/-), wheezing
(-/-), SpO2: 100%. Untuk pemeriksaan B2 (blood), tekanan darah 110/60 mmHg on

9
norepinefrin 0,1 mcg/kgBB/menit, heart rate 124 x/im reguler, kuat angkat. Pada
pemeriksaan B3 (brain), GCS tersedasi, pupil bulat isokor diameter 2,5 mm/2,5
mm, refleks Cahaya (+/+), refleks kornea (+/+), suhu 36,6 oC. Pada pemeriksaan
B4 (bladder), urin per kateter 50 cc/jam. Pada pemeriksaan B5 (bowel) didapatkan
supel, ikut gerak napas, peristaltik kesan normal. Tampak luka operasi tertutup
verban di pinggang kanan. Pada pemeriksaan B6 (bone), edema (-/-), fraktur (-/-),
deformitas (-/-).

Planning hari ke-0 yaitu, O2 via ETT on ventilator, TV (Tidal Volume): 320
cc, RR (Respiratory Rate): 14 x/menit, PEEP (Possitive End Expiratory Pressure):
5 cmH2O, Ps: 8, FiO2: 80%. Pasien diberikan infus RL: D5 = 2:5 = 1500/24 jam
dan dipuasakan. Midazolam 2,5 mg untuk sedasi pasien. Obat-obat yang diberikan
kepada pasien saat di ICU adalah omeprazole 40 mg/24 jam/iv, ceftriaxone 1 gr/12
jam/iv, metronidazole 500 mg/8 jam/iv, asam traneksamat 500 mg/8 jam/iv,
norepinefrin 0,1 mcg,/kgBB/menit, transfusi FFP (Fresh Forzen Plasma) 2 bag
serta Ca gluconas 10% 1 ampul dalam NaCl 0,9% 100 cc drips selama 5 menit.
Analgetik post operatif selama perawatan ICU hingga lanjut di ruangan diberikan
injeksi kateter epidural dengan agen bupivacain 0,125% dan fentanyl 2 mcg/cc
dengan kecepatan 4 cc/jam. Analgetik intravena yang diberikan yaitu paracetamol
1 gr/8 jam/iv.

Pada hari ke-1 di ruang ICU, dilakukan pemeriksaan B1 (breathing) dan


didapatkan O2 via ETT on ventilator mode CPAP, TV (Tidal Volume) sebanyak 420
cc, RR (Respiratory Rate) 16 x/menit, PEEP (Possitive End Expiratory Pressure):
5 cmH2O, FiO2: 30%, rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2: 100%. Untuk pemeriksaan
B2 (blood), tekanan darah 100/59 mmHg on norepinefrin 0,1 mg/kgBB/menit,
heart rate 95 x/menit, reguler, kuat angkat. Pada pemeriksaan B3 (brain), GCS10x
(E4M6Vx), pupil bulat isokor diameter 2,5 mm/2,5 mm, refleks cahaya (+/+),
refleks kornea (+/+), suhu 36,6 oC. Pada pemeriksaan B4 (bladder), urin per kateter
50 cc/jam. Pada pemeriksaan B5 (bowel) didapatkan supel, ikut gerak napas,
peristaltik kesan normal. Tampak luka operasi tertutup verban di pinggang kanan.
Pada pemeriksaan B6 (bone), edema (-/-), fraktur (-/-), deformitas (-/-). Pada

10
pemeriksaan hemoglobin post operasi didapatkan 10,4 g/dl. Sehingga dapat
dilakukan ekstubasi, kemudian pasien diberikan O2 via NRM 8 lpm, terapi lain
lanjut.

Pada hari ke-2 di ruang ICU, dilakukan pemeriksaan B1 (breathing) dan


didapatkan O2 via room air, RR: 16 x/menit, rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2:
100%. Untuk pemeriksaan B2 (blood), tekanan darah 110/70 mmHg on
norepinefrin 0,05 mg/kgBB/menit, heart rate 85x/m reguler, kuat angkat. Pada
pemeriksaan B3 (brain), GCS15 (E4M6V5), pupil bulat isokor diameter 2,5 mm/2,5
mm, refleks cahaya (+/+), refleks kornea (+/+), suhu 36,5 oC. Pada pemeriksaan
B4 (bladder), urin per kateter 50 cc/jam. Pada pemeriksaan B5 (bowel) didapatkan
supel, ikut gerak napas, peristaltik kesan normal. Tampak luka operasi tertutup
verban di pinggang kanan. Pada pemeriksaan B6 (bone), edema (-/-), fraktur (-/-),
deformitas (-/-). Terapi lanjut.

Pada hari ke-3 di ruang ICU, dilakukan pemeriksaan B1 (breathing) dan


didapatkan O2 via room air, rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2: 100%. Untuk
pemeriksaan B2 (blood), tekanan darah 110/80 mmHg, heart rate 82 x/menit
reguler, kuat angkat. Pada pemeriksaan B3 (brain), GCS15 (E4M6V5), pupil bulat
isokor diameter 2,5 mm/2,5mm, refleks cahaya (+/+), refleks kornea (+/+), suhu
36,5oC. Pada pemeriksaan B4 (bladder), urin per kateter 50 cc/jam. Pada
pemeriksaan B5 (bowel) didapatkan supel, ikut gerak napas, peristaltik kesan
normal. Tampak luka operasi tertutup verban di pinggang kanan. Pada pemeriksaan
B6 (bone), edema (-/-), fraktur (-/-), deformitas (-/-). Pasien dipindahkan ke
perawatan, dengan analgetik kontinyu melalui kateter epidural menggunakan agen
bupivacain 0,125 % dan fentanyl 2 mcg/cc jalan 4 cc/jam. Kateter epidural dilepas
pada hari ke-4 di ruang perawatan.

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Syok hipovolemik merupakan tipe syok paling umum ditandai dengan


penurunan volume intravaskular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen
intraselular dan ekstraseluler. Cairan intraseluler menempati hampir 2/3 dari air
tubuh total sedangkan cairan tubuh ekstraseluler ditemukan dalam salah satu
kompartemen intravaskuler dan interstisial. Volume cairan interstisial adalah kira-
kira 3-4x dari cairan intravaskuler. Hal ini akan menggambarkan kehilangan 750ml
sampai 3000 ml pada pria dengan berat badan 70 kg. Paling sering, syok
hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik). 1,2

3.2 Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume
darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan
yang masif atau kehilangan plasma darah. 3,4
Syok hipovolemik dapat terjadi akibat:5

1. Kehilangan darah / syok hemoragik


a. Hemoragik eksternal : trauma, pendarahan gastrointestinal
b. Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks, hemoperitonium
2. Kehilangan plasma
Misalnya: luka bakar, dermatitis eksfoliatif, peritonitis
3. Kehilangan cairan dan elektrolit
a. Eksternal : muntah, diare, keringat berlebih, keadaan hiperosmolar
(ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar nonketotik)
b. Internal : pankreatitis, asites, obstruksi usus

12
Tabel 2. Penyebab Syok Hipovolemik
Perdarahan
Hematom subkapsular hati
Aneurisma aorta pecah
Perdarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
Kehilangan plasma
Luka bakar luas
Pancreatitis
Deskuamasi kulit
Sindrom Dumping
Kehilangan cairan ekstraseluler
Muntah
Dehidrasi
Diare
Terapi diuretic yang agresif
Diabetes insipidus
Insufisiensi adrenal
Sumber: Wijaya IP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien
trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak
terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak
lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna,
seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis,
dan patah tulang besar atau majemuk.3
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang
lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit
yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat
mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi ileus dapat

13
terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada diabetes atau penggunaan
diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan.
Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau
peritonitis purulenta difus.6
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons
tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama
perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk
mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan
mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi
perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron,
sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.3,5
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah,
gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan.4,6
Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma
benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah
sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar,
dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi
pada tengkorak.
Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan
darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.
Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik
antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, dan
Mallory-Weiss tears.
Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik
terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat
kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan
ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi
pernah dilaporkan.

14
3.3 Patofisiologi Syok

Jalur akhir dari syok adalah kematian sel. Begitu sejumlah besar sel dari organ
vital telah mencapai stadium ini, syok menjadi ireversibel dan kematian terjadi
meskipun dilakukan koreksi penyebab yang mendasari.4

Mekanisme patogenetik yang menyebabkan kematian sel tidak seluruhnya


dimengerti. Satu dari denomiator yang lazim dari ketiga bentuk syok adalah curah
jantung rendah. Pada pasien dengan syok hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok
obstruktif ekstrakardiak serta pada sebagian kecil syok distributif, timbul
penurunan curah jantung yang berat sehingga terjadi penurunan perfusi organ vital.
Pada awalnya, mekanisme kompensasi seperti vasokonstrikisi dapat
mempertahankan tekanan arteri pada tingkat yang mendekati normal.
Bagaimanapun, jika proses yang menyebabkan syok terus berlangsung, mekanisme
kompensasi ini akhirnya gagal dan menyebabkan manifestasi klinis sindroma syok.
Jika syok tetap ada, kematian sel akan terjadi dan menyebabkan syok ireversibel.5

Orang dewasa sehat dapat mengkompensasi kehilangan 10% volume darah


total yang medadak dengan menggunakan mekanisme vasokonstriksi yang
diperantarai sistem simpatis. Akan tetapi, jika 20 sampai 25 persen volume darah
hilang dengan cepat, mekanisme kompensasi biasanya mulai gagal dan terjadi
sindroma klinis syok. Curah jantung menurun dan terdapat hipotensi meskipun
terjadi vasokonstriksi menyeluruh. Pengaturan aliran darah lokal mempertahankan
perfusi jantung dan otak sampai pada kematian sel jika mekanisme ini juga gagal.
Vasokonstriksi yang dimulai sebagai mekanisme kompensasi pada syok mungkin
menjadi berlebihan pada beberapa jaringan dan menyebabkan lesi destruktif seperti
nekrosis iskemik intestinal atau jari-jari. Faktor depresan miokard telah
diidentifikasi pada anjing dengan syok hemoragik tetapi faktor ini tidak dikaitkan
secara jelas dengan gangguan fungsi miokard klinis. Akhirnya, jika syok terus
berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang mencetuskan sindroma distres
respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskuler diseminata, dan gagal
multiorgan yang menyebabkan kematian.4

15
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata
dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:2

Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya
traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di
jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu
menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan
ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang
berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak.
Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga
<60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua
organ akan terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom
tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan ventrikel
dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan adalah hasil
kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan
penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume
sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun
memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah
jantung.

16
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif
yang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta
peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan
menyebabkan depresi jantung.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi. Frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang
banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok,
sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media
kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,
tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus,
yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi.

3.4 Tahapan Syok


Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih
dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh
tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih). 6
1. Tahap kompensasi
Adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi
normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit
pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah,dan
pengisian pembuluh darah yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini sulit
untuk dikenali karena biasanya individu yang mengalami syok terlihat normal.
2. Tahap dekompensasi
Dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya. Yang
terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu dengan
mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran

17
ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya
adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah,
kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu.
3. Tahap ireversibel
Dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat
diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin,
maka aliran darah akan mengalir sangat lambat sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme
pertahanan tubuh akan mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga
aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi
penyebab rusaknya hati ,maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik
sekalipun, kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat
diperbaiki.

Hipovolemia diawali oleh mekanisme kompensasi tubuh. Denyut jantung dan


resistensi vaskuler meningkat sebagai akibat dari dilepaskannya katekolamin dari
kelenjar adrenal. Curah jantung dan tekanan perfusi jaringan meningkat. Sehingga
terjadi penurunan tekanan hidrostatik kapiler, cairan interstitiel berpindah kedalam
kompartemen pembuluh darah. Hati dan limpa menambah volume darah dengan
melepaskan sel-sel darah merah dan plasma.5
Sistem kardiovaskuler berespon dengan cara melakukan redistribusi darah ke
otak, jantung, dan ginjal dan perfusi berkurang pada kulit, otot, dan saluran
gastrointestinal. Di ginjal, renin menstimulasi dirilisnya aldosteron dan retensi
natrium (dan menahan air), di mana hormon antidiuretik (ADH atau vasopressin)
dari kelenjar ptiuitari posterior meningkatkan retensi air.2
Sistem hematologi mengaktivasi kaskade koagulasi dan
mengkontraksikan pembuluh darah yang terluka dengan pelepasan tromboksan A2
yang lokal. Selain itu, trombosit teraktivasi dan membentuk sebuah bekuan yang
imatur di sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak mengekspos kolagen,
yang secara signifikan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi bekuan darah
tersebut.1,4

18
Dibutuhkan kurang lebih 24 jam untuk menyelesaikan fibrinasi bekuan darah
dan bentuk yang matang. Bagaimanapun, mekanisme kompensasi ini terbatas.
Apabila cairan dan darah berkurang dalam jumlah yang besar atau berlangsung
terus-menerus, mekanisme kompensasi pun gagal, menyebabkan penurunan
perfusi jaringan. Terjadi gangguan dalam penghantaran nutrisi ke dalam sel dan
terjadi kegagalan metabolisme sel.1,6
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya
aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke
dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa
melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat.
Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam
lemak, dan keton.2,3
Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian
syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu
diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian
cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.4,6

3.5 Diagnosis
Anamnesis pada pasien syok hipovolemik terutama untuk menentukan
penyebabnya. Pasien biasanya mengeluh haus, berkeringat, dan kesulitan bernafas.
Kesadaran pasien umumnya normal, kecuali pada syok berat pasien menjadi apatis
atau kebingungan. Untuk diagnosis klinis syok, dapat ditemukan hipotensi dan
tanda klinis iskemi organ. Tanda klinis ini tidak sensitif pada kehilangan darah yang
sedikit. Sensitivitas ini dapat dinilai dengan menggunakan indeks syok, yaitu
frekuensi jantung dibagi dengan tekanan darah sistolik. Klinisi dapat menentukan
syok bila terdapat penurunan tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg atau
penurunan tekanan darah lebih dari 40 mmHg di bawah tekanan darah sebelum
syok, dengan penurunan tekanan nadi.7
Diagnosis klinis dari syok hipovolemik tidak sulit bila ditemukan hipotensi
dan kehilangan cairan yang terlihat seperti pada trauma (misalnya fraktur),
perdarahan saluran cerna dan paru, luka bakar dan diare. Perdarahan internal akibat

19
ruptur aneurisma aorta, trauma tumpul abdomen, dan hemotoraks sulit didiagnosa
kecuali dari anamnesis dan tanda fisik yang nyata, seperti redup pada perkusi dada,
nyeri dan distensi abdomen menunjukkan kemungkinan adanya perdarahan
internal. Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, harus dicari tanda-tanda
penyakit hati kronis, seperti eritema palmar, spider nevi, dan hipertensi portal
(asites), karena hal ini dapat menunjukkan perdarahan varises yang menyebabkan
syok hipovolemik. Warna kecoklatan pada telapak tangan dan membran mukosa
menunjukkan adanya insufisiensi adrenokortikal, serta adanya bau aseton pada
udara ekspirasi menunjukkan diabetes mellitus yang tidak terkontrol
(ketoasidosis).2,5

Tabel 3. Derajat Syok Hipovolemik setelah Perdarahan


Class I Class II Class III Class IV
Blood loss >750 750-1500 1500-2000 >2000
(mL)
Blood loss >15% 15-30% 30-40% >40%
(%)
Heart <100 >100 >120 >140
rate/min
Systolic Nomal Normal Decreased Decreased
Blood
Pressure
Pulse Normal Decreased Decreased Decreased
Pressure
Respiratory 14-20 20-30 30-40 <35
rate
Capilary refill Delayed Delayed Delayed Delayed
Urine ouput >30 20-30 5-15 Minimal
(mL/hr)
Mental status Slightly Anxious Confused Confused
anxious and lethargic
Sumber: Parillo JE, Dellnger RP. Critical Care Medicine: Principle and
Management in the Adult. 3rd Edition.p.499.Copyright Elsevier; 2008.

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa


ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan.
Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam
traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah.

20
Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung
turun sampai terjadi gangguan kompensasi, atau terjadi penggantian cairan dari
luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya
perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan
cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin
meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.2

Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non
perdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam
kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah mempertahankan
perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam
sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja simpatis,
hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps pelepasan hormon stres serta ekspansi
besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan
intersisial, intraselular dan menurunkan produksi urin.5

Klasifikasi Syok

Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardi ringan


dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang
sedang berbaring. Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non
vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat
hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan
yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau
ringan.

Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih
cemas dan takikardia lebih jelas meski tekanan darah bisa ditemukan normal
pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi
ortostatik dan takikardia. Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak
menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi

21
hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini
terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik.
Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.

Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan
darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, pasien
menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke
susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah
berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting. Perfusi ke jantung dan
otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk
menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi
vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis
berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG
abnormal, curah jantung menurun).

Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau
malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit
berat di mana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari
terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat. 2

Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena


penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah
jantung dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya
tanda syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3 maka
semua dapat dibedakan.5
Tanda-tanda Dini Syok

Seperti setiap keadaan patologis lain, diagnosis dini menambah kemungkinan


keberhasilan penatalaksaan syok yang sering terjadi sangat mendadak dan menam-
pilkan sedikit tanda peringatan.6

Sangat sering kepucatan dan dingin jelas sebelum sirkulasi memperlihatkan


tanda kegagalan. Sedikit penurunan tekanan sistolik dan penambahan beberapa
denyut per menit dalam kecepatan nadi harus dipandang dengan kecurigaan bila

22
syok cenderung terjadi, dengan nadi dan tekanan darah diobservasi setiap lima
menit setelah itu.4,5

Syok karena endotoksin sering ditandai oleh hipotensi hebat, demam, dan
kekakuan (rigor). Kulit bisa hangat dan kering pada permulaan, baru kemudian
menjadi abu-abu kebiruan. Kegagalan ginjal dapat menyusul. Dengan kelebihan
dosis obat, tonus vaskular hilang dan darah cenderung "mengumpul" (pool),
hipotermia biasa, dan ventilasi sering tertekan hebat.4

Bila syok disebabkan oleh kehilangan darah atau cairan, seperti biasa pada
meja operasi, tanda-tandanya adalah penurunan tekanan darah, kenaikan frekuensi
nadi, pucat, berkeringat dan kulit dingin.6

3.6 Penatalaksanaan

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk


memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan
mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok.
Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.3,5

Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC.


Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa
endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan
memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume
peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia
relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan
pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk
mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi
vasodilatasi perifer. 4,6
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat
fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama
untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan

23
terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan
jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.2,6
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan
kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok
hipovolemik. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan
darah pada pasien kombustio 18-24 jam sesudah cedera luka bakar. 2
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan
pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan
akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan
mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit,
plasma, atau darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah
mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus
Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk
pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Jika
hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2
liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan
cairan terbaik untuk resusitasi.3
Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah
dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan
cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh
sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan
untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia
atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip
dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar
kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan
sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel. Ringer
asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat.4
Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada
ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan

24
otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan
resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti
sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan mengganti kebutuhan harian.5,6
Penanganan di UGD terdapat tiga objektif yang ingin dicapai di UGD pada
pasien syok hipovolemik seperti berikut: (1) memaksimalkan pemberian oksigen-
lengkap dengan memastikan pemberian ventilasi yang adekuat, meningkatkan
saturasi oksigen ke dalam darah dan mengembalikan aliran darah, (2) mengontrol
perdarahan lanjut, dan (3) pemberian resusitasi cairan. Selain itu, desposisi pasien
haruslah ditentukan secara cepat dan tepat.2,4
Pemantauan dilakukan terus menerus terhadap pernapasan, denyut nadi,
tekanan darah, suhu badan dan kesadaran. Ketika syok hipovolemik diketahui maka
tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih
tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat
akses intravena atau cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP
(central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah
garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis
hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti Ringers laktat (RL)
dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis tentang kelebihan
pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30
menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.6
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan
tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan
menggunakan kateter Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti
perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut
dengan kadar hemoglobin 10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi.
Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan
telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat maka dapat
digunakan Packed red cells tipe darah yang sesuai atau O-negatif.3,5

25
Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan
inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan
untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi
dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada
hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3 -5 menit dilanjutkan
60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP.2
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen
pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan
organ akhir jarang terjadi dibandingkan dengan syok septik atau traumatik.
Kerusakan organ dapat terjadi pada susunan saraf pusat, hati dan ginjal dan ingat
gagal ginjal merupakan komplikasi yang penting pada syok ini. 2,6
1. Pemantauan
Parameter di bawah ini harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan :
denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, tekanan vena sentral
(CVP) dan pengeluaran urin. Pengeluaran urin yang kurang dari 30 ml/jam (atau
0.5 ml/kg/jam) menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.
2. Penatalaksanaan pernapasan
Pasien harus diberikan aliran oksigen yang tinggi melalui masker atau kanula.
Jalan napas yang bersih dipertahankan dengan posisi kepala dan mandibula yang
tepat dan aliran pengisapan darah dan sekret yang sempurna. Penentuan gas
darah arterial harus dilakukan untuk mengamati ventilasi dan oksigenasi. Jika
ditemukan kelainan secara klinis atau laboratorium analisis gas darah, pasien
harus diintubasi dan diventilasi dengan ventilator yang volumenya terukur.
Volume tidal harus diatur sebesar 12 15 ml/kg, frekuensi pernapasan sebesar
12 16 kali/menit. Oksigen harus diberikan untuk mempertahankan PO2 sekitar
100 mmHg. Jika pasien melawan terhadap ventilator, maka obat sedatif atau
pelumpuh otot harus diberikan. Jika cara pemberian ini gagal untuk
menghasilkan oksigenase yang adekuat, atau jika fungsi paru paru menurun
harus ditambahkan 3 10 cm tekanan ekspirasi akhir positif.

26
3. Pemberian cairan
Penggantian cairan harus dimulai dengan memasukkan larutan Ringer laktat
atau larutan garam fisiologis secara cepat. Kecepatan pemberian dan jumlah
aliran intravena yang diperlukan bervariasi tergantung beratnya syok.
Umumnya paling sedikit 1 2 liter larutan Ringer laktat harus diberikan
dalam 45-60 menit pertama atau bisa lebih cepat lagi apabila dibutuhkan.
Jika hipotensi dapat diperbaiki dan tekanan darah tetap stabil, ini merupakan
indikasi bahwa kehilangan darah sudah minimal. Jika hipotensi tetap
berlangsung, harus dilakukan transfusi darah pada pasien pasien ini
secepat mungkin, dan kecepatan serta jumlah yang diberikan disesuaikan
dengan respons dari parameter yang dipantau.
1) Darah yang belum dilakukan reaksi silang atau yang bergolongan O-
negatif dapat diberikan terlebih dahulu, apabila syok menetap dan tidak
ada cukup waktu (kurang lebih 45 menit) untuk menunggu hasil reaksi
silang selesai dikerjakan.
2) Segera setelah hasil reaksi silang diperoleh, jenis golongan darah yang
sesuai harus diberikan.
3) Koagulopati dilusional dapat timbul pada pasien yang mendapat
transfusi darah yang masif. Darah yang disimpan tidak mengandung
trombosit hidup dan faktor pembekuan V dan VI. Satu unit plasma
segar beku harus diberikan untuk setiap 5 unit whole blood yang
diberikan. Hitung jumlah trombosit dan status koagulasi harus dipantau
terus-menerus pada pasien yang mendapat transfusi masif.
4) Hipotermia juga merupakan konsekuensi dari transfusi masif. Darah
yang akan diberikan harus dihangatkan dengan koil penghangat dan
suhu tubuh pasien dipantau.
Vasopresor Pemakaian vasopresor pada penanganan syok hipovolemik
akhir akhir ini kurang disukai. Alsannya adalah bahwa hal ini akan lebih
mengurangi perfusi jaringan. Pada kebanyakan kasus, vasopresor tidak
boleh digunakan; tetapi vasopresor mungkin bermanfaat pada beberapa
keadaan. Vasopresor dapat diberikan sebagai tindakan sementara untuk

27
meningkatkan tekanan darah sampai didapatkannya cairan pengganti yang
adekuat. Hal ini terutama bermanfaat bagi pasien yang lebih tua dengan
penyakit koroner atau penyakit pembuluh darah otak yang berat. Zat yang
digunakan adalah norepinefrin 4-8 mg yang dilarutkan dalam 500 ml
dektrosa 5% dalam air (D5W), yang bersifat vasokonstriktor predominan
dengan efek yang minimal pada jantung. Dosis harus disesuaikan dengan
tekanan darah.

3.7 Pencegahan Syok

Mencegah syok lebih mudah daripada mencoba untuk mengobatinya setelah


terjadi. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah cepat dalam mendiagnosis dan
bertindak dapat mengurangi risiko syok berat dan pertolongan pertama dapat
membantu kontrol syok.8,9
1. Pemberian jumlah obat anestetik yang sedikit praktis berlaku sama untuk
teknik umum, lokal, dan spinal.
2. Pencegahan kehilangan cairan yang banyak. Dalam hubungan ini teknik
sirkuit tertutup dapat mempunyai keuntungan lebih dari metode pemberian
terbuka, tetapi tidak cukup untuk memberikan prasangka terhadap pilihan
teknik anestesia anda.
3. Hati-hati untuk tidak terlalu memanaskan pasien, dan ingat bahwa atropin
atau hiosin praoperasi akan mengurangi kehilangan panas dari kulit dengan
menghilangkan keringat. Jangan menutupi pasien dengan verlak karet, dan
jangan memakaikan terlalu banyak selimut. Jika pasien terasa panas pada
sentuhan jangan ragu-ragu melepaskan sebagian dari penutup badannya.
Suhu dalam kamar operasi harus berada antara 20-22oC, dan kelembapan
sekitar 60%.
4. Di mana jelas bahwa manipulasi ahli bedah mengacaukan pasien, jangan
ragu meminta pasien diberikan istirahat sebentar. Istirahat beberapa
menit tanpa gangguan sering memberi kesempatan untuk pulihnya sirkulasi,
dan dengan demikian mencegah timbul syok.

28
5. Penggantian darah atau cairan sebagaimana perlu.8

3.8 Komplikasi
Akhirnya, jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang
mencetuskan sindroma distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi
intravaskuler diseminata, dan gagal multiorgan yang menyebabkan kematian.3
Hipovolemia dianggap menimbulkan cedera vaskular alveolus akibat anoksia
sel. DIC terjadi akibat penggunaan PRC tanpa plasma dalam resusitasi selama syok
perdarahan hipovolemik akibat koagulopati dilusional.4,5
- Kerusakan ginjal
- Kerusakan otak
- Gangren dari lengan atau kaki, kadang-kadang mengarah ke amputasi
- Serangan jantung

3.9 Prognosis

Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala


dan hasil dapat bervariasi tergantung pada: 6
- Jumlah volume darah yang hilang
- Tingkat kehilangan darah
- Cedera yang menyebabkan kehilangan
- Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru-
paru, dan penyakit ginjal
Secara umum, pasien dengan derajat syok yang lebih ringan cenderung lebih
baik dibandingkan dengan syok yang lebih berat. Dalam kasus-kasus syok
hipovolemik berat, dapat menyebabkan kematian sehingga memerlukan perhatian
medis segera. Orang tua yang mengalami syok lebih cenderung memiliki hasil yang
buruk.10

29
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. G umur 32 tahun datang ke RS. Ibnu Sina pada tanggal 5 April
2017 dengan nyeri pada pinggang belakang sebelah kanan yang dialami + 2 bulan
yang lalu, awalnya pasien mengeluh BAK sedikit-sedikit dan terasa nyeri.
Berdasarkan history taking pada kunjungan preoperatif, didapatkan bahwa pasien
menderita ISK sejak 2 bulan terakhir dengan riwayat pengobatan di puskesmas,
pasien diberikan antibiotik tetapi tidak kunjung sembuh. Riwayat hipertensi
maupun asma tidak ada. Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
ini didapatkan nyeri ketok pada pinggang belakang kanan. Pasien telah melakukan
ureterorenoskopi pada bulan lalu dengan anestesi SAB (Subarachnoid Block) tanpa
penyulit dan komplikasi. Satu bulan setelah operasi pasien masih mengeluh nyeri
pinggang dan setelah CT-scan didapatkan gambaran hidronefrosis dextra.
Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang
direncanakan. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien diklasifikasikan ASA-2 yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
Pada pasien ini didapatkan syok hipovolemik durante operasi dengan
perdarahan sebanyak 2250 cc selama 2 jam 10 menit. Tekanan darah terendah yaitu
60/30 mmHg dengan frekuensi nadi 110 kali/menit. Produksi urine durante operasi
sebanyak 50 cc selama 2 jam 10 menit dengan berat badan pasien 46 kg.
Berdasarkan jumlah perdarahan, pasien masuk dalam klasifikasi syok
hipovolemik kelas 4 dengan total perdarahan durante operasi sebanyak 2250 cc dari
Total Blood Volume (TBV) 3220 cc atau sekitar 65-70% dari Estimasi Blood
Volume (EBV).
Resusitasi syok hipovolemik pada pasien ini dilakukan dengan memberikan
cairan kristaloid (ringer laktat) sebanyak 2000 cc dan koloid (gelofusin) sebanyak
1000 cc serta PRC (Packed Red Cells) 600 cc. Efedrin injeksi diberikan durante
operasi karena hipotensi yang terjadi diakibatkan vasodilatasi pembuluh darah oleh

30
obat-obat anestesi umum. Setelah operasi pasien juga ditransfusi FFP (Fresh Frozen
Plasma) sebanyak 2 bag (440 cc).
Pemilihan jenis cairan infus yang digunakan sangat tergantung pada jenis
tindakan pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Untuk tindakan-tindakan
pembedahan yang menimbulkan kehilangan darah dan pergeseran cairan yang
minimal, maka dapat digunakan cairan rumatan. Larutan RL adalah cairan yang
umum digunakan bahkan untuk kebutuhan rumatan.
Idealnya, darah yang hilang harus digantikan dengan cairan kristaloid atau
koloid untuk mempertahankan volume intravaskuler tetap normovolemia hingga
risiko akibat anemia yang terjadi lebih berat daripada risiko transfusi. Pada batas
tersebut, kehilangan darah selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah
untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit pada level
tersebut. Pada kebanyakan pasien, batas tersebut berkorespondensi pada kadar
Hemoglobin antara 7-8 g/dl atau hematokrit 21 24 %.
Konsentrasi Hb dibawah 7 g/dl menyebabkan curah jantung istirahat akan
meningkat untuk mempertahankan penghantaran oksigen normal. Sedangkan kadar
Hb 10 g/dl umumnya digunakan untuk pasien-pasien yang lebih tua dengan
penyakit jantung atau paru-paru yang nyata. Batasan yang lebih tinggi mungkin
dapat digunakan jika diduga terjadi perdarahan yang cepat dan terus-menerus.
Pada praktiknya, penggantian kehilangan darah akan dilakukan dengan
pemberian cairan RL kira-kira 3 sampai 4 kali volume darah yang hilang, atau
memberikan cairan koloid (gelofusin) dengan perbandingan 1:1, sampai tercapai
ambang batas untuk transfusi. Pada keadaan tersebut, setiap unit darah yang hilang
digantikan dengan unit darah juga, dengan pilihannya adalah PRC. Satu unit PRC
akan menaikkan kadar Hb 1 g/dl dan akan menaikkan Ht 2 3 %.
Pada saat telah dilakukan resusitasi, pasien diobservasi di ICU. Pasien
dipasangkan ventilator. Tekanan darah pasien mulai naik yaitu 110/60 mmHg,
frekuensi nadi masih takikardia yaitu 124 kali per menit. Frekuensi pernapasan
pasien 14 kali per menit, volume tidal pasien sebanyak 320 cc dan SpO2 100%.
Produksi urine mulai bertambah, dan ekstremitas teraba hangat dan kering dengan
CRT (Capillary refill time) < 2 detik.

31
Hal ini menunjukkan bahwa perfusi ke jaringan mulai stabil, karena cardiac
output sudah bertambah maka tekanan darah mulai naik, kompensasi jantung
meningkatkan frekuensi nadi supaya perfusi ke jaringan organ vital tetap tercukupi
juga berkurang. Produksi urine yang mulai bertambah menunjukkan bahwa aliran
darah ke ginjal mulai bertambah sehingga tidak terjadi retriksi cairan oleh ginjal
sebagai akibat dari syok hipovolemik. Ekstremitas pasien yang tadinya teraba
dingin dan basah sebelum dilakukan resusitasi kembali hangat dan kering setelah
resusitasi. Hal ini menunjukkan perfusi ke jaringan perifer mulai bertambah.
Capilarry refill time (CRT) juga normal setelah dilakukan resusitasi karena perfusi
ke jaringan perifer mulai tercukupi.
Pada saat perawatan di ICU, pasien diberikan transfusi FFP (Fresh Frozen
Plasma) sebanyak 2 bag. FFP mengandung semua protein plasma dan mencakup
semua faktor pembekuan. Hal ini dilakukan pada pasien karena pasien telah
menerima transfusi darah yang masif dan perdarahan yang terus menerus.

32
BAB V
KESIMPULAN

Syok hipovolemik merupakan salah satu jenis syok yang disebabkan oleh
hilangnya darah, plasma, atau cairan interstitiel dalam jumlah yang besar.
Hilangnya darah dan plasma menyebabkan hipovolemia secara langsung.
Hilangnya cairan interstitiel menyebabkan hipovolemia secara tidak langsung
dengan memicu terjadinya difusi plasma dari intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.
Syok hipovolemik mulai berkembang ketika volume intravaskuler berkurang
sekitar 15 %.
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila
perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal
atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah.
Jalur akhir dari syok adalah kematian sel. Begitu sejumlah besar sel dari organ
vital telah mencapai stadium ini, syok menjadi ireversibel dan kematian terjadi
meskipun dilakukan koreksi penyebab yang mendasari.
Tujuan utama manajemen syok adalah menyediakan oksigenasi ke organ vital
dan mengembalikan volume sirkulasi darah. Pengelolaan perdarahan merupakan
proses yang sangat kompleks, termasuk di antaranya penanganan secara umum,
seperti resusitasi, monitoring kardiopulmoner, transfusi, pengobatan terhadap
perdarahannya sendiri, dan pencegahan terhadap komplikasi.
Tujuan dari terapi perioperatif adalah untuk mencukupi volume intravaskuler
yang hilang oleh berbagai sebab, agar sistem kardiovaskuler dalam keadaan yang
optimal, yaitu dapat menghasilkan aliran darah yang adekuat ke organ-organ vital,
dan ke jaringan yang mengalami trauma serta efektif untuk penyembuhan luka.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Kolecki P. Hypovolemic Shock. Diunduh dari:


http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview. 17 April 2017.
2. Wijaya, IP. Syok hipovolemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
V. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2009. Hal. 242-4
3. Guyton, A.C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11. Jakarta : EGC; 2007.
Hal.292-303
4. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL.
Harrison: prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 1. Edisi 13. Jakarta:
EGC; 1999.Hal.259-62.
5. Mansjoer, A. Kegawatdaruratan; hipotensi dan syok. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. ed.3. jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2000. Hal. 610-3.
6. Wolak E, Grant EJ, Hardin SR. Shock. In : Kaplow R, Hardi SR, editors.
Critical Care Nursing : Synergy For Optimal Outcome. London : Jones and
Bartlett; 2007.Hal. 243-55
7. Harijanto E. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta : PP
IDSAI; 2009.Hal.22
8. Ostlere G. Anestesiologi. Edisi 9. Jakarta: EGC; 1993.Hal.124-40
9. Lamm, RL. Hypovolemic and Hemorrhagic Shock. Diunduh dari
https://med.uth.edu/anesthesiology/files/2015/05/Chapter-10Hypovolemic-
and-Hemorrhagic-Shock.pdf. 18 April 2017.
10. Longnecker, DE. Anesthesiology. New York : McGraw Hill; 2012. Hal. 1356-
7

34

Вам также может понравиться