Вы находитесь на странице: 1из 30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Definisi

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari mata

dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang.( Notoadmodjo, 2003).

Pengetahuan pada hakekatnya merupakan apa segenap yang kita ketahui

tentang suatu obyek tertentu termasuk kedalamnya adalah ilmu jadi.

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui manusia

disamping berbagai pengetahuan lainnya. (Arikunto;2010). Pengetahuan

tentang terapi intravena merupakan suatu hasil dari tahu tentang terapi

intravena setelah seseorang melakukan penginderaan melalui panca indera

manusia baik dari penglihatan maupun pendengaran.

2.1.2 Cara Memperoleh Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang digunakan untuk memperoleh

pengetahuan dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu : 1). Cara tradisional

atau non ilmiah. Cara tradisional meliputi : Cara coba-coba ( Trial and

7
8

Error), Cara kekuasaan atau otoritas dan berdasarkan pengalaman

pribadi. 2) Cara modern atau ilmiah. Pengukuran pengukuran

dilakukan dengan wawancara / angket yang menanyakan isi materi yang

ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Untuk mengetahui

pengetahuan subyek dapat disajikan berupa prosentase : Pengetahuan

baik ( 76% - 100%) mendapat skor 4, pengetahuan cukup ( 56% - 75%)

mendapat skor 3, pengetahuan kurang balk (40% - 55%) mendapat skor

2, pengetahuan tidak baik < 40%) mendapat skor 1 (Arikunto, 2010)

Pada tahun 1956 Bloom dalam bukunya yang berjudul Taxonomy of

Educational Objectives mengklasifikan tujuan kognitif dalam enam

level, yaitu :

a. Pengetahuan (knowledge), berisikan kemampuan untuk mengenali dan

mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan,

metodologi dan prinsip dasar. Sebagai contoh, ketika diminta

menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa

menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk

yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk.

Kata kerja operasional pada tahap ini antara lain : Mengutip,

menyebutkan, menjelaskan, menggambarkan, mengidentifikasi,

mendaftar, memberi label, memberi indeks, menamai, membaca,

menyadari, menghafal, meniru, mencatat, mengulang, memproduksi,

meninjau dan memilih.

b. Pemahaman (comprehension), tingkatan yang paling rendah dalam aspek


9

kognisi yang berhubungan dengan penguasaan atau mengerti tentang

sesuatu. Dalam tingkatan ini responden diharapkan mampu memahami

ide-ide matematika bila mereka dapat menggunakan beberapa kaidah

yang relevan tanpa perlu menghubungkannya dengan ide-ide lain dengan

segala implikasinya.

Kata kerja operasional pada tahap ini antara lain : Memahami,

memperkirakan, menjelaskan, mengkategorikan, membandingkan,

menguraikan, mencontohkan, memperluas dan menyimpulkan.

c. Aplikasi (apply), pada tingkat ini seseorang memiliki kemampuan untuk

menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori di dalam kondisi

kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab

meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi

akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya

kualitas dalam bentuk fish bone diagram.

Kata kerja operasional pada tahap ini antara lain : Menerapkan,

menyesuaikan, mengkalkulasi, memodifikasi, menghitung, mencegah,

menggambarkan, menggunakan, menilai, melatih, mengadaptasi dan

mengemukakan.

d. Analisis (analysis), pada tingkat analisis seseorang akan mampu

menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau

menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk

mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta

membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit.

Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah


10

penyebab, membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap

penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat

keparahan yang ditimbulkan.

Kata kerja operasional pada tahap ini antara lain : Menganalisis,

mengaudit, memecahkan, menegaskan, mendeteksi, mendiagnosis,

menyeleksi, mengkorelasikan, merasionalkan dan menyimpulkan.

e. Sintesis (synthesis), Satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingkat

sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario

yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau

informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yang

dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas

mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi

berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas

produk.

Kata kerja operasional pada tahap ini antara lain : Menganimasi,

megkode, merancang, merencanakan, memperjelas, mengabstraksi dan

mengatur.

f. Evaluasi (evaluation) Dikenali dari kemampuan untuk memberikan

penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi dengan menggunakan

kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai

efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang

manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yang sesuai

untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai

ekonomis.
11

Kata kerja operasional pada tahap ini antara lain : Mengevaluasi,

menilai, menimbang, memutuskan, memisahkan, memprediksi,

memperjelas, membuktikan, memvalidasi dan memilih.

2.1.3 Faktor - Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

2.1.3.1 Faktor internal

Faktor internal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain : Umur, intelegensi,

pendidikan, informasi dan pengalaman.

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan

lebih matang berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat

yang lebih dewasa akan dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi

kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan

jiwanya.Namun sekarang ini hipertensi tidak hanya diderita orang yang

sudah tua tetapi juga yang masih muda (susi purwati, 2008)

Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan

berfikir abstrak guna menyesuaikan diri mental dalam situasi baru.

Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk berfikir

dan mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga is mampu

menguasai lingkungan. Makin tinggi pendidikan seseorang makin

mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan

yang dimiliki sebaiknya pendidikan yang kurang akan menghambat

perkembangan sikap seseorang terhadap nilainilai yang bare

diperkenalkan (Arikunto:2010)
12

Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang.

Semakin banyak informasi yang diperoleh akan semakin bertambah pula

pengetahuannya. Pengalaman merupakan guru yang baik oleh sebab itu

pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh

pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali

pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang

dihadapi pada masa lalu (Notoadmodjo, 2010:13).

2.1.3.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain : Lingkungan dan

sosial budaya.

Lingkungan didefisinikan sebagai semua kondisi yang berasal dari internal dan

eksternal, yang mempengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan dan perilaku

seseorang dari kelompok.

Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang, memperoleh

suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain karena hubungan ini

seseorang mengalami proses belajar atau memperoleh suatu pengetahuan

2.2 Konsep Terapi Intravena

2.2.1 Definisi

Terapi Intra vena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan

untuk memasukan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien,

(Darmawan,2008).

Terapi Intravena (IV) adalah menempatkan cairan steril melalui jarum,


13

langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit

(natrium, kalsium, kalium), nutrient (glukosa), vitamin atau obat

(Brunner & Sudarth, 2002).

Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh,

melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk

menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh

(Darmadi, 2010).

Terapi intravena (IV) digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien

tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan

garam yang dirperlukan untuk mempertahankan keseimbangan

elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme dan

memberikan medikasi (Perry & Potter, 2006).

2.2.2 Tujuan Utama Terapi Intravena

Tujuan utama terapi intravena antara lain : Memberikan atau menggantikan

cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,vitamin, protein, lemak, dan

kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral,

memperbaiki keseimbangan asam basa, memperbaiki volume komponen-

komponen darah, memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan

kedalam tubuh, memonitor tekanan vena sentral (CVP), memberikan nutrisi

pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan (Perry & Potter, 2006)
14

2.2.3 Vena Tempat Pemasangan infus

Menurut Perry & Potter (2006) vena-vena tempat pemasangan infus: Vena

Metakarpal, vena sefalika, vena basilica, vena sefalika mediana, vena

basilika mediana, vena antebrakial mediana.

Menurut Perry&Potter (2006) banyak tempat bisa digunakan untuk terapi

intravena, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara

tempat-tempat ini. Pertimbangan perawat dalam memilih vena adalah

sebagai berikut: Usia klien (usia dewasa biasanya menggunakan vena di

lengan, sedangkan infant biasanya menggunakan vena di kepala dan kaki),

lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan pengukuran

untuk memelihara vena), tipe larutan yang akan diberikan, kondisi vena

klien, kontraindikasi vena-vena tertentu yang tidak boleh dipungsi, aktivitas

pasien (misal bergerak, tidak bergerak, perubahan tingkat kesadaran,

gelisah), terapi IV sebelumnya (plebitis sebelumnya membuat vena menjadi

tidak baik untuk digunakan), tempat insersi/pungsi vena yang umum

digunakan adalah tangan dan lengan. Namun vena-vena superfisial di kaki

dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak memungkinkan dipasang di

daerah tangan. Apabila memungkinkan semua klien sebaiknya

menggunakan ekstremitas yang tidak dominan.

2.2.4 Indikasi dan kontraindikasi Pemberian terapi intravena

Menurut Perry & Potter (2006) indikasi pada pemberian terapi intravena:

pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena

langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus


15

infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan

keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering

terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada

infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat

derajat infeksi. Antibiotika oral (melalui mulut) pada kebanyakan pasien

dirawat di rumah sakit dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan

antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan

administrasi rumah sakit, biaya perawatan, dan lamanya perawatan. Obat

tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika

dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam

sediaan intravena. Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang

susunan kimiawinya polications dan sangat polar, sehingga tidak dapat

diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke

dalam darah).

Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung. Pasien tidak

dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat

(ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu

dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus),

sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular

(disuntikkan di otot). Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi

(tersedakobat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain

dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai,

sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh

balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai,


16

misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam

nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan

untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat

bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan

mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi intravena:

Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan

digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan

hemodialisis (cuci darah).

Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang

aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

2.2.5 Tipe-tipe cairan Intravena

Berdasarkan osmolaritasnya cairan intravena terbagi atas: 1). cairan

hipotonik, 2). cairan isotonik dan 3). cairan hipertonik.

a. Cairan hipotonik : osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum

(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut

dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik

dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan

berpindah dari osmolaritas rendah keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya

mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami

dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik,

juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan


17

ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan

tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps

kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada

beberapa orang.Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

b. Cairan Isotonik : osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati

serum (bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di

osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair dari

komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.

Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan

tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya

overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung

kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer Laktat (RL), dan

normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

c. Cairan hipertonik : osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,

sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam

pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan

produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya

kontradiktif dengan cairan Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%

hipertonik, Dextrose 5%+RingerLactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk

darah (darah), dan albumin (Perry & Potter, 2006)

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:

a. Cairan Kristaloid : bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah

volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu


18

yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.

Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

b. Cairan Koloid : ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar

sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada dalam

pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari

luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid (Perry &

Potter, 2006).

2.2.6 Komposisi cairan intravena

Larutan Nacl berisi air dan elektrolit (Na+, cl-), Larutan dextrose (berisi air

atau garam dan kalori), Ringer laktat berisi air (Na+, K+, cl-, ca++, laktat),

Balans isotonic berisi (air, elektrolit, kalori ( Na+, K+, Mg++, cl-, HCO,

glukonat), Whole blood (darah lengkap) dan komponen darah, Plasma

expanders (berisi albumin, dextran, fraksi protein plasma 5%, hespan yang

dapat meningkatkan tekanan osmotic, menarik cairan dari intertisiall,

kedalam sirkulasi dan meningkatkan volume darah sementara),

Hiperelimentasi parenteral (berisi cairan, elektrolit, asam amino, dan kalori)

(Smeltzer & Bare, 2002).

2.2.7 Kecepatan Cairan Intravena

Pertama atur kecepatan tetesan pada tabung IV. Tabung makrodrip dapat

meneteskan 10 atau 15 tetes per 1 ml. Tabung mikrodrip meneteskan 60

tetes per 1 ml. Jumlah tetesan yang diperlukan untuk 1 ml disebut faktor

tetes. Atur jumlah mililiter cairan yang akan diberikan dengan jumlah total
19

cairan yang akan diberikan dengan jumlah jam infus yang berlangsung.

Kemudian kalikan hasil tersebut dengan faktor tetes. Untuk menentukan

berapa banyak tetesan yang akan diberikan permenit, bagi dengan 60.

Hitung jumlah tetesan permenit yang akan diinfuskan. Jika kecepatan

alirannya tidak tepat, sesuaikan dengan kecepatan tetesan (Smeltzer & Bare,

2002).

2.2.8 Keutungan Terapi Intravena

Keuntungan terapi intravena antara lain :

a. Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat

target berlangsung cepat.

b. Absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat

diandalkan.

c. Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat

dipertahankan maupun dimodifikasi.

d. Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau

subkutan dapat dihindari.

e. Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena

molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus

gastrointestinalis

2.2.9 Kerugian Terapi intravena

Kerugian terapi intravena antara lain :

a. Tidak bisa dilakukan drug Recall dan mengubah aksi obat tersebut

sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi.


20

b. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan speed Shock.

c. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu: Kontaminasi mikroba melalui

titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, Iritasi Vaskular, misalnya

phlebitis kimia, Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat

tambahan.

2.2.10 Hal-hal yang perlu diperhatikan ( kewaspadaan)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi intravena antara

lain :

a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru.

b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi.

c. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain.

d. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan.

e. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir.

f. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus

perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus.

g. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester

dibersihkan memakai kapas

h. Gunakan alat alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik

sterilisasi dalam pemasangan infus.

i. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang

telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.

j. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab

perawat. Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak

memperhatikan regulasi infus adalah hipervolemia dan hipovolemia.


21

Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan

yang akan dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan

cairan infus.

Dextrose 5% in water (D5 W) digunakan untuk menggantikan air (cairan

hipotonik) yang hilang, memberikan suplai kalori, juga dapat dibarengi

dengan pemberian obat-obatan atau berfungsi untuk mempertahankan vena

dalam keadaan terbuka dengan infus tersebut. Hati-hati terhadap terjadinya

intoksikasi cairan (hiponatremia, sindroma pelepasan hormon antidiuretik

yang tidak semestinya). Jangan digunakan dalam waktu yang bersamaan

dengan pemberian transfusi (darah atau komponen darah).

Natrium Clorida (Nacl) 0,9% digunakan untuk menggantikan garam

(cairan isotonik) yang hilang, diberikan dengan komponen darah, atau

untuk pasien dalam kondisi syok hemodinamik. Hati-hati terhadap

kelebihan volume isotonik (misalnya: gagal jantung dan gagal ginjal).

Ringer laktat digunakan untuk menggantikan cairan isotonik yang hilang,

elektrolit tertentu, dan untuk mengatasi asidosis metabolik tingkat sedang.

(Perry & Potter, 2006).

2.2.11 Tipe-tipe Pemberian terapi intravena

Tipe-tipe pemberian terapi intravena antara lain : 1) Intravena push, 2)

Continous Infusion dan 3) Intermitten Infusion

a. Intravena (IV) push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum suntik

secara langsung kedalam saluran/jalan infus. Indikasi: pada keadaan


22

emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan pemberian obat

langsung kedalam intravena, Untuk mendapat respon yang cepat terhadap

pemberian obat (furosemid dan digoksin), Untuk memasukkan dosis obat

dalam jumlah besar secara terus menerus melalui infus (lidocain, xilocain),

Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi

kebutuhan akan injeksi, Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul

apabila beberapa obat yang dicampur.

b. Continous Infusion (infus berlanjut) dapat diberikan secara tradisional

melalui cairan yang digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan

aliran. Infus melalui intravena, intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat

dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun

eksternal. Hal yang perlu dipertimbangkan yaitu, keuntungan: mampu

untuk mengimpus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat,

adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang

infus atau adanya penyumbatan, mengurangi waktu perawatan untuk

memastikan kecepatan aliran infus. Kerugian: memerlukan selang yang

khusus dan biaya lebih mahal.

c. Intermitten Infusion (Infus Sementara) dapat diberikan melalui heparin

lock, piggy bag untuk infus yang kontiniu, atau untuk terapi jangka

panjang melalui perangkat infus. (Perry & Potter, 2006)

2.2.12 Komplikasi Terapi Intravena

Menurut Darmadi (2010) beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam

pemasangan infus: hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan


23

tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi

akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau

tusukan berulang pada pembuluh darah. Infiltrasi, yakni masuknya

cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi

akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. Plebitis, atau bengkak

(inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak

dipantau secara ketat dan benar. Emboli udara, yakni masuknya udara ke

dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam

cairan infus ke dalam pembuluh darah, rasa perih/sakit dan reaksi alergi.

2.3 Konsep Plebitis

2.3.1 Definisi plebitis

Plebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh

iritasi kimia, mekanik maupun oleh bakteri. Hal ini dikarakteristikan

dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah

penusukan atau sepanjang vena, pembengkakan, nyeri atau rasa keras

disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena dan bisa keluar cairan/pus.

Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur

intravena, komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan

tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur

intravena yang tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme pada saat

penusukan (Brunner dan Sudarth,2002).


24

Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) plebitis merupakan

peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering

dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan

didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika

intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut.

Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi

kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi

intravena, Plebitis dikarateristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda

nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi dan teraba mengeras di bagian vena

yang terpasang kateter intra vena (La Rocca, 1998 ). Plebitis dapat

menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi thromboplebitis,

perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika

thrombus terlepas dan kemudian diangkut kealiran darah dan masuk

jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat

atrioventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian (Slyvia,

1995). Hal ini menjadiakan plebitis sebagai salah satu pemasalahan yang

penting untuk dibahas di samping plebitis juga sering ditemukan dalam

proses keperawatan ( Jarumi Yati, 2009 ).

2.3.2 Penyebab Plebitis

Menurut Perry & Potter 2005 faktor yang mempengaruhi terjadinya

plebitis, diantaranya adalah faktor internal dan eksternal. Yang termasuk

faktor internal adalah: Usia, status nutrisi, stress, keadaan vena dan

keadaan penyakit.
25

a. Usia: pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien

neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Menurut WHO (2009) sebagian

besar infeksi neonatus lanjut di dapat di rumah sakit melalui pemberian

cairan intravena, kurangnya tindakan aseptik untuk semua prosedur dan

tindakan menyuntik yang kurang bersih. Pada neonatus keadaan banyak

bergerak dapat mengakibatkan vena kateter bergeser dan hal ini yang bisa

menyebabkan phlebitis.

b. Status nutrisi: pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis

sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya

kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.

c. Stress: tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui

adaptasi imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi

diantara anak-anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam

dimana anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri

karena pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung

menghindari perawatan medis, dengan menghindari pelaksanaan

pemasangan infus/berontak saat dipasang bisa mengakibatkan plebitis

karena pemasangan yang berulang dan respon imun yang menurun.

d. Keadaan vena: kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang

infus mudah mengalami plebitis.

e. Faktor penyakit : penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi

terjadinya plebitis, misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang

mengalami aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer

berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi.


26

Menurut INS (2006) faktor eksternal yang dapat menyebabkan plebitis

adalah: kimia, mekanik, dan bakterial.

a. Chemical Phlebitis (Plebitis kimia) Kejadian plebitis ini dihubungkan

dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan

kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat

terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter

yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 7,45 dan

cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah

yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan

konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya kristalisasi

dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung

glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi

parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas diartikan sebagai

konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu

larutan.Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 10

mOsm/kgH2O (Sylvia,2008). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan

isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitastotal larutan

tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah

larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280-310 mOsm/L, larutan

yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan

yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak

hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga

berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika


27

intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang

mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L.

Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh

vena yang kecil. Cairan isotonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila

ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006). Vena perifer

dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin

tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada

dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli.

Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena

larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas >900 mOsm/L, melalui

vena sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.

Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab

utama kejadian plebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah

mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material

katheter juga berperan pada kejadian plebitis. Bahan kateter yang terbuat

dari polivinilklorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi

plebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau

poliuretan (INS,2006). Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau

campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko

terjadinya plebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5

mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko

plebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut (Darmawan,2008).

b. Mechanical Phlebitis (Plebitis Mekanik) Plebitis mekanikal sering

dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan kateter intravena.


28

Penempatan kateter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian

plebitis oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan kateter yang

terpasang ikut bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena.

Penggunaan ukuran kateter yang besar pada vena yang kecil juga dapat

mengiritasi dinding vena sehingga mudah terjadi plebitis

(Darmawan,2008).

c. Backterial Phlebitis (Plebitis Bakteri). Plebitis bakterial adalah

peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri

yang disebabkan karena tehnik aseptik/perawatan infus yang tidak

baik.Aseptik dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat

pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus untuk mencegah

terjadinya infeksi (Darmawan,2008). Aseptik dressing yang pernah

dilakukan berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter-

related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada

pemasangan katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative,

tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan

meningkat. Vena kateter pada area fleksi lebih sering menimbulkan

kejadian plebitis, oleh karena jamur dilaporkan meningkat.

2.3.3 Tanda dan gejala Plebitis

Tanda dan gejala plebitis antara lain:

a. Nyeri yang terlokalisasi.

b. Pembengkakan.

c. Kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena.


29

d. Vena teraba keras.

e. Pireksia (suhu tubuh> 37,8C)

f. Keluarnya cairan/pus

2.3.4 Angka Kejadian Plebitis

Angka kejadian plebitis termasuk infeksi nosokomial yang merupakan

salah satu indikator mutu dalam standar pelayanan rumah sakit dimana

angka standar yang menjadi acuan adalah 1.5%. Angka kejadian plebitis

adalah perbandingan jumlah kejadian plebitis dengan jumlah pasien yang

mendapat terapi infus (Dep.Kes RI,2008)

2.3.5 Instrumen Monitoring dan Evaluasi Kejadian Plebitis

Terapi infus termasuk ke dalam salah satu tindakan infasive, oleh karena

itu perawat harus terampil saat melakukan pemasangan infus. Ketika

seorang perawat diberi tugas untuk memberikan terapi infus, kemampuan

yang diperlukan perawat adalah melakukan pemasangan infus dengan

benar dan terampil. Perawat juga harus memiliki komitmen untuk

memberikan terapi infus yang aman, efektif dalam pembiayaan, serta

melakukan perawatan infus yang berkualitas sehingga dapat mencegah

terjadinya plebitis (Alexander,ett al. 2010)

Salah satu cara untuk mencegah dan mengatasi plebitis yaitu dengan

mendeteksi dan menilai terjadinya plebitis selama pemasangan infus.

Menurut RCN (2010), adapun cara yang dapat digunakan adalah dengan

menerapkan VIP score. Dinas Kesehatan di Inggris tahun 2010, dan INS di
30

Inggris tahun 2011 dan RCN di Amerika Serikat tahun 2010

merekomendasikan VIP score sebagai alat atau indikator yang valid,

reliabilitas dan secara klinis layak digunakan untuk menentukan indikasi

dini plebitis dan menentukan skor yang tepat untuk plebitis. VIP score

sudah diterima sebagai standar internasional, sudah digunakan di banyak

negara dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. VIP score

memiliki kelebihan yaitu terdapat pengelompokan skor yang jelas

mengenai pembagian plebitis mulai dari skor nol sampai skor empat,

sehingga perawat akan dapat nenentukan kriteria dan skor phlebitis dengan

tepat. VIP score sudah dikembangkan oleh Andrew Jackson, konsultan

perawat terapi intravena dan perawatan Rumah Sakit Umum Rotherharm,

NHS Trust di Inggris. Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual

untuk deteksi dini kejadian plebitis dan penetapan skor yang tepat

sehingga plebitis dapat dinilai dan dapat dicegah sedini mungkin melalui

pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Dengan penerapan VIP

score akan memberdayakan perawat dalam mendeteksi dini terjadinya

plebitis dan penentuan yang tepat untuk skor plebitis, sehingga intravena

kateter dapat dicabut dan dipindahkan ketempat penusukan yang lain pada

indikasi resiko terjadinya plebitis. (INS,2011). Menurut Ermira Tartari

Bonnici (2012) VIP Score dapat digunakan sebagai standar untuk

mendeksi dini kejadian plebitis. Hal ini sudah dibuktikan dengan

penelitian mengenai VIP Score yang dilakukan oleh Ermira Tartari

Bonnici tahun 2012 pada Infection Control Unit di Rumah Sakit Dei Mater

Imsida Malta, dari hasil penelitiannya tingkat plebitis turun dari 22,7%
31

pada pre intervensi menjadi 6,5% pada post intervensi penerapan VIP

Score. VIP Score dapat digunakan untuk mendeteksi dini terjadinya

plebitis dan penentuan yang tepat untuk skor plebitis, melalui pengamatan

visual yang dilakukan oleh perawat. Ada beberapa jenis VIP Score yang

digunakan untuk mendeteksi dini dan menentukan skor plebitis dengan

tepat yaitu:

Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian

plebitis, yaitu :

Tabel 2.1 VIP Score plebitis menurut Andrew Jackson

Observasi Skor Penanganan

IV Line tampak sehat 0 Observasi dan


Tidak ada tanda dokumentasikan pada
plebitis setiap shift
Salah satu tanda-tanda 1 Observasi dan
berikut jelas : Kemungkinan tanda dokumentasikan pada
Sedikit nyeri awal plebitis setiap shift
dedekat iv line
Sedikit kemerahan
dekat iv line
Dua dari tanda berikut 2 Pindahkan dan ganti
jelas : Stadium dini plebitis kanula ke area
Nyeri pada iv line penusukan yang lain
Kemerahan
Pembengkakan
Tiga atau lebih dari 3 Pindahkan dan ganti
tanda berikut jelas: Plebitis kanula ke area
Nyeri disepanjang penusukan yang lain
kanula Kirim pus swab ke
Kemerahan lab
Pembengkakan Rawat luka di area
Pireksia (suhu insersi
tubuh> 37,8C)
Keluar cairan/pus
Semua tanda-tanda 4 Pindahkan dan ganti
berikut jelas: Stadium lanjut plebitis kanula ke area
Nyeri di sepanjang penusukan yang lain
kanula Jika suhu >38C
32

Kemerahan mengambil kultur


Pembengkakan darah
Pireksia (suhu Kirim pus swab ke
tubuh> 37,8C) lab
Keluar cairan/pus Beri informasi ke
Vena teraba keras dokter
Rawat luka di area
insersi

Skala Plebitis Menurut Dougherty, dkk (2010), skala plebitis dibagi menjadi

enam Visual Infusion Phlebitis score

Tabel 2.2 VIP Score menurut Dougherty, dkk

Observasi Skor Stadium Plebitis Penanganan


Tempat insersi 0 Tidak ada tanda Observasi kanul
tampak sehat plebitis
Salah satu dari 1 Mungkin tanda Observasi kanul
gejala berikut dini plebitis
jelas:
Nyeri pada
tempat tusukan
Eritema pada
tempat tusukan
Dua dari tanda 2 Stadium dini Ganti tempat kanul
berikut jelas plebitis
Nyeri pada
tempat tusukan
Eritema pada
tempat tusukan
Pembengkakan
Semua dari tanda 3 Stadium moderate Ganti tempat kanul
berikut jelas : plebitis dan berikan terapi
Nyeri pada
tempat tusukan
Eritema pada
tempat tusukan
Pembengkakan
Semua dari tanda 4 Stadium lanjut Ganti tempt kanul dan
berikut jelas: atau awal berikan terapi
Venous cord tromboplebitis
teraba
Nyeri pada
tempat tusukan
Eritema pada
33

tempat tusukan
Pembengkakan

Semua dari tanda 5 Stadium lanjut Ganti tempt kanul dan


berikut jelas: tromboplebitis berikan terapi
Venous cord
teraba
Nyeri pada
tempat tusukan
Eritema pada
tempat tusukan
Pembengkakan
Demam

Skala Plebitis yang direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standard Of


Practice (2006) yaitu sesuai dengan tabel di bawah ini:

Tabel 2.3 VIP Score menurut Infusion Nursing Standard Of Practice

Skala Kriteria Klinis

0 Tidak ditemukan gejala


1 Eritema pada daerah insersi
2 Nyeri pada daerah insersi disertai eritema dan/atau edema
3 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,
pembentukan lapisan, dan/atau pergerakan sepanjang vena
4 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,
pembentukan lapisan, pengerasan sepanjang vena > 1 inc
dan/atau keluar pus

2.3.6 Pencegahan Plebitis

Menurut Dougherty (2008) kejadian plebitis merupakan salah satu

komplikasi yang terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan

cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi

parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor-

faktor yang berperan dalam kejadian plebitis serta pemantauan yang ketat

untuk mencegah dan mengatasi kejadian plebitis. Ada banyak hal yang
34

dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya plebitis antara lain: Mencegah

plebitis bakterial Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan

pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus, antisepsis

kulit serta observasi dan pemantauan yang ketat untuk mencegah dan

mengatasi kejadian plebitis.

Selalu waspada dan tindakan aseptic. Selalu berprinsip aseptik setiap

tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi

melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan pemberian obat,

pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah ) merupakan jalan

masuk kuman.

Rotasi catheter. Untuk pemindahan lokasi pemasangan harus dilakukan

sebelum terjadi plebitis.INS (2006) merekomendasikan bahwa kanula

perifer harus diganti setiap 72 jam dan segera mungkin jika diduga

terkontaminasi, adanya komplikasi, atau ketika telah dihentikan. Hal ini

menunjukkan bahwa waktu terjadinya plebitis dapat terjadi sebelum 72

jam.Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk pemindahan lokasi

pemasangan yang tepat sehingga angka kejadian plebitis dapat dikurangi.

Penggantian kanul infus sebelum 72 jam dilakukankarena dalam proses

penyembuhan luka yaitu pada fase inflamasi mempunyai prioritas

fungsional yaitu menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati,

dan mencegah infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Inflamasi

merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai setelah beberapa

menit dan berlangsung selama sekitar 3 hari setelah cedera. Proses

perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan (hemostatis), mengirim darah


35

dan sel ke area yang mengalami cedera, dan membentuk sel-sel epitel pada

tempat cedera (epitelialisasi). Sel epitel pada tempat cedera (epitelialisasi).

Selama proses hemostatis, pembuluh darah yang cedera akan mengalami

konstriksi dan trombosit berkumpul untuk menghentikan perdarahan.

Bekuan-bekuan darah membentuk matriks fibrin yang nantinya akan

menjadi kerangka untuk perbaikan sel. Apabila fase ini berlangsung lebih

dari 3 hari maka proses inflamasi akan berlanjut.

Aseptic dressing . INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang

transparan sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus

memanipulasinya Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan,

tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.

Kecepatan pemberian. Makin lambat infus larutan hipertonik diberikan

makin rendah risiko plebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk

pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh

mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya

kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang

iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi

(150330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang

sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang

diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat

tanda dini nyeri atau kemerahan.Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam

pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan

maintenance atau nutrisi parenteral.


36

Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan

dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang

dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari

larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity

sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan

perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L).Dengan

demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko

plebitisnya.

Вам также может понравиться