Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ATRIAL FIBRILASI
RAPID VENTRICULAR RESPONSE
Disusun Oleh :
Supervisor :
Supervisor Pembimbing,
I.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri dada sebelah kiri
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri dada sebelah kiri dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri terasa seperti tertekan dengan
durasi kurang lebih 30 menit. Nyeri menjalar ke leher dan lengan kiri. Nyeri
muncul pada saat pasien beraktivitas dan tidak hilang dengan istrirahat.
Nyeri dada disertai dengan keringat dingin dan sesak napas. Jantung terasa
berdebar-debar. Mual dan muntah tidak ada. Nyeri ulu hati tidak ada. Buang
air kecil lancar, kesan cukup. Buang air besar biasa, kesan normal.
- Status Antropometri
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 45 kg
IMT : 18,75 kg/m2
- Tanda Vital
Tekanan darah : 170/90 mmHg
Frekuensi nadi : 130-150 kali/menit
Frekuensi napas : 28 kali/menit
Suhu (axilla) : 36,7o C
- Kepala
Deformitas : Tidak ada
Simetris muka : Simetris
Rambut : Sukar dicabut
Ukuran : Normocephal
Bentuk : Mesocephal
- Mata
Eksoftalmus : Tidak ada
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : Isokor 2,5 mm/2,5 mm
Kornea : Refleks kornea (+)
Enoftalmus : Tidak ada
- Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Otorrhea : Tidak ada
- Hidung
Epistaksis : Tidak ada
Rhinorea : Tidak ada
- Mulut
Bibir : Kering (-), sianosis (-)
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Lidah : Kotor (-)
Faring : Tidak hiperemis
- Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
DVS : R+2 cmH2O (90o)
Kaku kuduk : Tidak ada
- Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri sama dengan kanan, normochest
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri sama dengan kanan
Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI dekstra
Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X
Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler
Bunyi Tambahan : Ronkhi basah (-/-), Wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas atas ICS II sinistra
Batas kanan linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea axilla anterior sinistra
Aukultasi : BJ I/II reguler
Bising jantung (-)
- Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba
Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
- Ekstremitas
Tidak ada edema tungkai
I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi
2. Laboratorium (28-10-2017)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HB 12,4 g/dL 11,5 - 16,0
RBC 4,27 x 106 / mm3 3,80 - 5,80
WBC 8,47 x 103 / mm3 4,0 - 10,0
PLT 447 x 103 / mm3 150 - 500
HCT 38,0 % 37,0 - 47,0
MCV 89,0 m3 80 - 100
MCH 29,0 pg 27,0 - 32,0
MCHC 32,6 g/dL 32,0 - 36,0
PT 10,9 detik 10 - 14
APTT 25,2 detik 22,0 - 30,0
INR 1,02 -
GDS 225 140 mg/dl
Ureum 37 10 - 50 mg/dl
Kreatinin 0,86 < 1,1 mg/dl
SGOT 45 < 38 U/L
SGPT 67 < 41 U/L
CK 278,76 <167 U/L
CK-MB 18,4 < 25 U/L
Troponin I < 0,01 < 0,01 ng/ml
Natrium 142 138 - 145 mmol/l
Kalium 4,0 3,5 - 5,1 mmol/l
Klorida 104 97 - 111 mmol/l
Kesan : Hiperglikemia
I.5 ASESSMENT
- Unstable angina pectoris
- Atrial fibrilasi rapid ventricular response
- Congestive heart failure
- Hypertensive heart disease
- Hiperglikemia
I.6 TERAPI
- Tirah baring
- Oksigen 3 liter/menit via nasal kanul
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam
- Arixtra 2,5 mg/24 jam/subkutan
- Aspilet 80 mg/24 jam/oral
- Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral
- Furosemide 40 mg/24 jam/oral
- Farsorbid 10 mg/8 jam/oral
- Captopril 25 mg/24 jam/oral
- Bisoprolol 2,5 mg/24 jam/oral
- Lansoprazole 30 mg/24 jam/oral
- Alprazolam 0,5 mg/24 jam/oral
- Laxadyn syrup 10 ml/24 jam/oral
I.7 PLANNING
- Echocardiography
- Foto thorax
- Follow up EKG setiap hari
- Rawat inap
- Konsul ke bagian Interna divisi Endokrin dan Metabolik
I.8 RESUME
Seorang pasien perempuan, umur 82 tahun, masuk ke IGD PJT RSUD
Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan nyeri dada yang dialami sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri terasa
seperti tertekan dengan durasi kurang lebih 30 menit. Nyeri menjalar ke leher
dan lengan kiri. Nyeri muncul pada saat pasien beraktivitas dan tidak hilang
dengan istrirahat. Nyeri dada disertai dengan keringat dingin dan sesak napas.
Jantung terasa berdebar-debar. Mual dan muntah tidak ada. Nyeri ulu hati
tidak ada. Buang air kecil lancar, kesan cukup. Buang air besar biasa, kesan
normal. Riwayat tekanan darah tinggi ada sejak 1 tahun yang lalu tidak
terkontrol. Riwayat diabetes mellitus tidak ada. Riwayat penyakit jantung
sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan anemis dan ikterik tidak ada, DVS
R+2 cmH2O (90o). Bunyi pernapasan vesikuler, rhonki dan wheezing tidak
ada. Bunyi jantung I/II regular, bising jantung tidak ada. Peristaltik ada, kesan
normal. Tidak ada edema tungkai.
Pemeriksaan elektrokargiografi didapatkan kesan atrial fibrilasi rapid
ventricular response. Pemeriksaan laboratorium kesan hiperglikemia.
BAB II
PENDAHULUAN
III.1 DEFINISI
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling
umum didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan
frekuensi atrium sebesar 350-650 kali/menit sehingga atrium menghantarkan
implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh
periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat
terjadi secara episodik maupun permanen. Jika terjadi secara permanen,
kasus tersebut sulit untuk dikontrol.
Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak
terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan
kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya,
darah terkumpul di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini
ditandai dengan heart rate yang sangat cepat sehingga gelombang P di
dalam EKG tidak dapat dilihat. Ketika ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak
bekerja sama sebagaimana mestinya.
III.2 EPIDEMIOLOGI
Atrial fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui
dalam praktik sehari-hari. Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus
meningkat dalam 50 tahun mendatang. Framingham Heart Study yang
merupakan suatu studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209
subjek penelitian sehat (tidak menderita penyakit kardiovaskular)
menunjukkan bahwa dalam periode 20 tahun, angka kejadian AF adalah
2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan. Sementara itu, data dari
studi observasional (MONICA multinational monitoring of trend and
determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian AF sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase
populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005)
menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka kejadian
atrium juga akan meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil,
hal ini juga tercermin pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita yang menunjukkan bahwa persentase kejadian atrium
pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun
2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).
Atrial fibrilasi menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien
dengan AF memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung
3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa AF. Stroke merupakan salah satu
komplikasi AF yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan
oleh AF mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke
akibat AF ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan
1,5 kali lipat.
Atrial fibrilasi juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain
seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid,
diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum
atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas
fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi
pada 30% pasien AF, namun sebaliknya AF dapat terjadi pada 30-40%
pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu
sendiri. Atrial fibrilasi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung,
disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi pada
atrium kiri dapat menyebabkan AF seperti yang terjadi pada pasien penyakit
katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15% pada defek septal
atrium. Sekitar 20% populasi pasien AF mengalami penyakit jantung
koroner meskipun keterkaitan antara AF itu sendiri dengan perfusi koroner
masih belum jelas.
III.3 ETIOLOGI
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi
menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu :
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
- Peningkatan katup jantung
- Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
- Hipertrofi jantung
- Kardiomiopati
- Hipertensi pulmonal (chronic obstructive pulmonary dan cor
pulmonary chronic)
- Tumor intercardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
- Pericarditis atau myocarditis
- Amyloidosis dan sarcoidosis
- Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan endokrin
- Hipertiroid
- Feokromatisoma
e. Neurogenik
- Stroke
- Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik atrium
Infark myocardial
g. Obat-obatan
Alkohol dan kafein
h. Keturunan atau genetik
III.4 ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
Melalui studi elektrofisiologi diketahui ada tiga jenis kumpulan sel-
sel jantung yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni; (1) sel-sel
pacemaker (nodus SA, nodus AV), (2) jaringan konduksi khusus (serat-serat
purkinje), dan (3) sel-sel otot ventrikel dan atrium. Stimulasi listrik atau
potensial aksi yang terjadi pada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh
interaksi ionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama
melalui kanal-kanal khusus yang melewati membran sarcolema (suatu
membran bilayer fosfolipid).
Transportasi ionik ini mempertahankan gradien konsentrasi dan
tegangan antara intra dan ekstra sel. Dalam keadaan normal, konsentrasi
Na+ dan Ca++ lebih tinggi diluar sel, sedangkan konsentrasi K+ lebih tinggi
didalam sel.
Pembentukan potensial aksi
Seperti sel-sel hidup lainnya, sisi dalam sel-sel jantung memiliki
muatan negatif dibandingkan sisi luarnya, sehingga menghasilkan perbedaan
tegangan di kedua sisi membran yang disebut sebagai potensial
transmembran. Potensial transmembran saat istirahat (80 s/d 90 mV pada
otot jantung dan 60 pada sel pacemaker) terjadi akibat adanya akumulasi
molekul-molekul bermuatan negatif (ion-ion) di dalam sel. Potensial aksi
pada sel jantung memberikan pola yang khas dan mencerminkan aktifitas
listrik dari satu sel jantung. Secara klasik aksi potensial dibagi dalam 5 fase,
namun untuk memudahkan pemahaman terhadap potensial aksi dapat
disederhanakan menjadi 3 fase umum, yakni; fase depolarisasi, fase
repolarisasi dan fase istirahat.
- Fase Depolarisasi
Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi
yang timbul pada saat kanal Na+ membran sel terstimulasi untuk
membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion Na+ yang bermuatan positif
akan serentak masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan potensial
transmembran beranjak positif secara cepat. Perubahan resultan tegangan
ini disebut depolarisasi. Depolarisasisatu sel jantung akan cenderung
menyebabkan sel-sel yang berdekatan ikut berdepolarisasi dan membuka
kanal Na+ sel sebelahnya. Sekali sel berdepolarisasi, gelombang
depolarisasi akan di hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel jantung.
Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan cepatnya impuls listrik
dihantarkan ke seluruh sel miokard. Bila kita melakukan sesuatu
terhadap fase 0, berarti akan mempengaruhi kecepatan konduksi dari
miokard.
- Fase Repolarisasi
Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi
kembali hingga aliran ionik kembali pulih selama depolarisasi. Proses
mulai kembalinya ion-ion ke tempatnya semula seperti saat sebelum
depolarisasi disebut repolarisasi. Fase repolarisasi ini di tunjukkan oleh
fase 1-3 kurva potensial aksi. Karena depolarisasi berikutnya tidak dapat
terjadi hingga repolarisasi, rentang waktu sejak akhir fase 0 hingga akhir
fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory periode). Fase 2 (fase
plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan
menyebabkan ion kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel.
- Fase Istirahat
Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu
antara 2 potensial aksi sebagai fase 4) merupakan fase di mana tak ada
perpindahan ion di membran sel. Namun pada sel-sel pacemaker tetap
terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada fase 4 ini dan secara
bertahap mencapai ambang potensial, kemudian kembali berdepolarisasi
membangkitkan impuls listrik yang dihantarkan ke seluruh jantung.
Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi spontan disebut
automatisitas.
Gambar 1. Pola potensial aksi masing-masing sistem konduksi jantung
III.6 KLASIFIKASI
Secara klinis, FA dapat dibedakan menjadi 5 jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu :
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien
yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa
memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam
48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7
hari atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan
hingga 1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh
dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak
digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka
FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Gambar 4. Klasifikasi atrial fibrilasi
b. Pemeriksaan Penunjang
Adanya denyut irregular seharusnya selalu memunculkan
kecurigaan ke arah AF, dan untuk memastikannya perlu dilakukan
pemeriksaan dengan EKG. Bila EKG tidak menunjukkan adanya AF
namun dugaan AF sangat kuat maka sebaiknya lakukan pengawasan
dengan Holter 24 jam untuk mendokumentasikan ada tidaknya aritmia.
Jika pasien tidak stabil karena hipotensi, ongoing ischemia, gagal
jantung berat, kardioversi elektrik darurat harus segera dilakukan.
Namun bila klinis pasien stabil, anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seharusnya dilakukan dan difokuskan pada
pencarian penyabab dasar yang memicu dan kondisi komorbid yang
menyertai. Pemeriksaan standar yang biasanya dilakukan untuk evaluasi
fungsi jantung dan identifikasi kondisi komorbid termasuk EKG, darah
lengkap, profil metabolik lengkap, pengukuran hormon tiroid, foto
thoraks dan echokardiografi.
1. Antitrombolitik
Pemilihan antitrombolitik harus didasarkan ada tidaknya faktor
risiko stroke dan tromboemboli, pengelompokan menggunakan skor
CHADS2. CHADS2 yang merupakan singkatan dari Cardiac failure,
Hypertension, Age (>75 tahun), Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke
atau TIA masing-masing diberi skor 1 kecuali riwayat stroke mendapat
skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin tinggi risiko stroke,
dalam hal ini skor 0 dikelompokkan sebagai risiko rendah, skor 1-2
risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.
2. Kontrol Laju
Terapi awal setelah awitan AF harus selalu meliputi
antitrombolitik yang adekuat dan mengontrol laju ventrikel. Strategi
menurunkan laju ventrikel dikenal sebagai laju kontrol, berfungsi untuk
memperbaiki pengisian diastolik, perfusi koroner, menurunkan
kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati yang
diperantarai oleh takikardi.
Target utama dari pendekatan ini adalah meredakan gejala klinis
dan pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol
respon laju ventrikel. Target terapi adalah laju ventrikel antara 60-80
kpm saat istirahat dan 90-115 kpm saat beraktivitas sedang. Obat yang
menjadi lini pertama adalah golongan penyekat beta (metoprolol dan
atenolol). Jika monoterapi belum berhasil, maka agen kedua atau ketiga
dapat ditambahkan. Golongan antagonis kalsium non-dihidropiridin
seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan lini kedua pada
pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat beta.
Penyekat beta dan antagonis kalsium bersifat depresif terhadap fungsi
ventrikel sehingga harus berhati-hati dalam penggunaannya pada pasien
dengan hipotensi atau payah jantung. Digoxin dapat dijadikan pilihan
sebagai kontrol laju pada pasien payah jantung dengan fibrilasi atrium.
Namun digoxin kurang efektif dalam mengontrol denyut jantung pada
saat beraktivitas atau dalam kondisi hiperadrenergik seperti demam,
tirotoksikosis dan pasca operasi. Upaya non-farmakologis berupa ablasi
nodus AV dan pacing dapat menjadi pilihan yang efektif dalam kontrol
laju bagi pasien yang gagal terapi dengan agen-agen farmakologis.
3. Kontrol Irama
Merubah AF ke irama sinus dilakukan bila pasien masih terdapat
gejala simptomatik dengan pendekatan kontrol laju. Harus diingat bahwa
pendekatan kontrol irama belum menunjukkan hasil yang lebih baik
dalam hal penurunan mortalitas atau kejadian tromboemboli
dibandingkan dengan pendekatan kontrol laju. Oleh karena itu,
keputusan untuk melakukan kontrol irama hanya bila pasien masih
simptomatik.
Kontrol irama atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan
mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kontrol irama dapat
dicapai secara farmakologis dengan menggunakan agen anti-aritmia
maupun dengan kardioversielektrik. Kardioversi secara farmakologis
kurang efektif jika dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik.
Namun metode kardioversi manapun akan membawa risiko
tromboemboli, terutama jika aritmia telah berlangsung >48jam, kecuali
jika profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan sebelumnya. Agen
farmakologik yang dapat dipakai adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Amiodaron masih merupakan obat dengan
efektifitas yang paling baik untuk kontrol irama. Sebaiknya kardioversi
farmakologik dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium
agar efektivitasnya lebih baik. Panduan dari NICE (National Institute for
Health and Clinical Exellence) menganjurkan strategi kontrol laju
sebagai pilihan pertama pada pasien dengan fibrilasi atrium persisten
dengan karakteristik sebagai berikut; berusia >65 tahun, dengan penyakit
jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen antiaritmia, tanpa adanya
gagal jantung kongestif, dan tidak cocok untuk kardioversi. Sedangkan
strategi rhythm control selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi
atrium persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil pertama
kali sebagai fibrilasi atrium ataupun paroksismal terhadap suatu
presipitan.
Gambar 7. Skema pemilihan antiaritmia untuk mempertahankan irama
sinus pada pasien dengan AF paroksismal dan persisten berulang
4. Ablasi
Indikasi ablasi AF adalah AF simptomatik yang refrakter atau
intoleren terhadap terapi paling tidak satu antiaritmia kelas 1 atau 3.
Ablasi juga dapat dilakukan pada pasien gagal jantung simptomatik. Ada
juga pasien yang memilih ablasi sebagai upaya terbebas dari keharusan
minum antikoagulan jangka panjang. Adanya trombus di atrium kiri
merupakan kontraindikasi ablasi.
III.9 KOMPLIKASI
1. Instabilitas hemodinamik
2. Kardiomiopati
3. Gagal jantung
4. Stroke
III.10 PROGNOSIS
KESIMPULAN