Вы находитесь на странице: 1из 40

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi masih mengancam dunia,

termasuk di Indonesia. Hal ini terbukti bahwa sampai 2014, kejadian luar biasa

(KLB) campak dan difteria masih terjadi di Indonesia. Meskipun

kecenderungannya menurun, namun angka KLB keduanya masih tinggi, KLB

Campak terjadi 10.651 kasus dibanding 2013 sebanyak 18.488 kasus dan KLB

difteri terjadi 394 kasus dibanding 2013 sebanyak 775 kasus.

Penyebab KLB difteria dan KLB campak ini karena masih banyak anak yang

belum terpapar imunisasi. Apabila cakupan imunisasi rendah akan

menyebabkan terjadinya KLB. Cakupan imunisasi yang senantiasa tinggi

diperlukan untuk mencegah individu terpapar penyakit yang berbahaya dan

mencegah penularan di masyarakat, tutur Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro,

Sp.A (K) , Satgas Imunisasi IDAI saat temu media yang diselenggarakan oleh

Center for Research and Integrated Development of Tropical Health and

Infectious Diseases (CRID-TROPHID) Universitas Indonesia di Jakarta

beberapa waktu lalu.

dr. Sri Rezeki juga menjelaskan walaupun cakupan imunisasi campak telah

tinggi (>90%) tapi masih ada anak yang terkena campak. Karena sisa 10 persen

anak yang belum mendapatkan imunisasi ditambah dengan 10 persen dari anak

terimunisasi namun tidak kebal menyebabkan kekebalan masyarakat hanya

mencapai 81%.
Sedangkan cakupan imunisasi di Indonesia atau Universal Child Immunisation

(UCI) berdasarkan Riskesdas 2013 di tingkat desa secara nasional mencapai

80,23% yang mencakup imunisasi hepatitis saat lahir sebesar 79,1%, imunisasi

BCG sebesar 87,6%, imunisasi polio-4 sebesar 77%, imunisasi DPT-HB-3

sebesar 87,6% dan imunisasi campak sebesar 82,1%.

Cakupan imunisasi yang tidak tinggi ini turut menyumbang pada tingginya

angka kematian bayi (AKB) di Indonesia. AKB Indonesia termasuk tertinggi di

ASEAN dengan perbandungan bahwa AKB Indonesia 4,6 kali lebih tinggi

dibanding Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dibanding Filipina dan 1,8 kali lebih

tinggi dibanding Thailand.

dr. Sri Rezeki mengatakan belum tingginya cakupan imunisasi disebabkan

masih banyak anak belum diimunisasi. Merujuk pada Riskesdas 2013, penyebab

anak tidak diimunisasi mencakup anak demam (28,8%), keluarga tidak

mengizinkan (26,3%), anak sering sakit (6,8%), sibuk atau repot (16,3%), tidak

tahu tempat imunisasi (6,7%) dan tempat imunisasi jauh (21,9%).

Untuk mencegah terjadinya KLB, beberapa upaya harus dilakukan mencakup

penyediaan air bersih, imunisasi dan didukung juga oleh faktor nutrisi

seimbang, pemberian air susu ibu eksklusif, menghindari polusi dalam rumah

dan program keluarga berencana. Sementara dalam program Imunisasi Nasional

disebutkan ada 7 macam penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I),

mencakup polio, hepatitis B, pertusis, difteri, Hib, campak dan tetanus

BOKS
Kenal Difteri dan Campak

Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriaeI yang

menyerang tenggorokan, hidung, kulit. Akibat bakteri ini terbentuk selaput di

tenggorokan, pembesaran kelenjar leher dan membentuk toksin (racun)

menyebar ke otot jantung dan syaraf. Penyakit ini sangat menular dan dapat

menyerang semua golongan umur dan dapat dicegah dengan imunisasi

DPT/DT/Td.

Gejala difteri :

Demam tidak tinggi

Nyeri menelan

Terdapat selaput pada tenggorokan

Nafas berbunyi (stridor)

Leher membengkak (bullneck)

Apabila tidak segera diobati terjadi komplikasi

Sesak nafas

Muka biru (hipoksia)

Suara sengau

Perubahan denyut jantung

Kelumpuhan syaraf

Kasus Difteri di Indonesia 2006-2014

Tahun Jumlah kasus


2006 432

2007 183

2008 218

2009 189

2010 432

2011 816

2012 1192

2013 775

2014 394

Penyakit campak disebabkan oleh infeksi virus. Penyakit ini akan memunculkan

ruam di seluruh tubuh dan sangat menular. Campak bisa sangat mengganggu

dan mengarah pada komplikasi yang lebih serius. Gejala campak mulai muncul

sekitar satu hingga dua minggu setelah virus masuk ke dalam tubuh.

Campak sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian saat terjadi

komplikasi. Contoh komplikasi akibat campak adalah radang pada telinga,

bronkitis, infeksi paru-paru (pneumonia) dan infeksi otak (ensefalitis). Dan

kelompok orang yang berisiko mengalami komplikasi diantaranya bayi di

bawah usia satu tahun, anak-anak dengan kondisi kesehatan buruk dan gizi

kurang, orang dengan penyakit kronis dan orang dengan sistem kekebalan tubuh

yang lemah.

Campak bisa dicegah dengan vaksinasi MMR, yaitu vaksin gabungan untuk
campak, gondongan, dan campak Jerman. Vaksinasi MMR diberikan dua kali.

Pertama diberikan ketika anak berusia 15 bulan dan dosis vaksin MMR

berikutnya diberikan saat mereka berusia 5-6 tahun atau sebelum memasuki

masa sekolah dasar.

Gejala campak :

Mata merah.

Mata menjadi sensitif terhadap cahaya.

Gejala menyerupai pilek seperti radang tenggorokan, hidung beringus atau

tersumbat.

Mengalami demam.

Bercak putih keabu-abuan pada mulut dan tenggorokan.

Kasus Campak di Indonesia, 2006-2014

Tahun Jumlah kasus campak Jumlah KLB Jumlah Kasus

2006 55348 86 1595

2007 31891 114 2408

2008 24338 110 1705

2009 18055 190 2770

2010 19111 188 3044

2011 23282 356 4993

2012 18798 163 2328


2013 11521 128 1677

2014 10651 170 2038

Apa permasalahan program penanggulangan penyakitcampak ?

Indonesia telah melaksanakan imunisasi

campak

lebih dari 20 tahun, namun angka kesakitandan kematian karena

campak

masih cukup tinggi, diperkirakan terdapat 1 juta penderita

campak

dan 30.000 kemarian yang berkaitan dengan

campak

setiap tahunnya.

Mengapa ?

Data surveilans belum cukup akurat dalam mengarahkan kebijakan

pelaksanaan imunisasi

campak

, karena banyak kasus dan kematian

campak
tidak dicatat dan tidak dilaporkan

Apa yang harus dilakukan ?

Dengan mencatat setiap kasus

campak

ke dalam formulir C1 dan melaporkan ke tinggat yanglebih atas secara

berjenjang berarti kita telah berperan penting dalam memberikan arahan

yangtepat dalam penanggulangan penyakit

campak

Apa definisi tersangka kasuscampak ?

Penyakit

campak

sering juga disebut penyakit morbili atau measles.Anak menderita demamtinggi,

bintik merah (rash), ditambah dengan salah satu gejala mata merah atau batuk

pilek.

Apa bahaya penyakitcampak ?

Penyakit

campak

sangat menular dan dapat menyebabkan pneumonia, radang otak, diare

berat,kebutaan, bahkan kematian.Diperkirakan 48 % kematian balita akibat

penyakit yang dapatdicegah dengan imunisasi (PD3I) disebabkan karena


campak

.Penyakit

campak

dapat dicegah dengan pemberian imunisasi yaitu pada anak usia 9-11 bulandan

pada saat anak duduk di kelas 1 SD.

Apa yang dimaksud dengan surveilanscampak ?

Pemantauan secara terus menerus terhadap setiap kejadian tersangka kasus

campak

dimasyarakat, meliputi : mencatat semua kasis

campak

ke dalam formulir C1, melaporkan ketingkat yang lebih atas, melakukan

penyelidikanKLBcampak

, menganalisa data danmemberikan hasil analisa kepada program imunisasi.

Untuk apa surveilanscampak dilakukan ?

Untuk mengetahui permasalahan dalam penanggulangan

campak

yang meliputi :1. Kelompok umur kasus

campak

2. Status imunisasi kasus

campak
3. Wilayah yang bermasalah serta waktu kejadian kasus

campak

4. Memprediksi terjadinya

KLBcampak

Apa kegunaan data surveilanscampak bagi program imunisasi ?

1. Untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan imunisasi

campak

2. Memberikan arahan bagi program imunisasi dalam menentukan kebijakan

imunisasi

campak

dan perencanaan dimasa mendatang secara tepat sesuai dengan permasalahan

yangditemukan oleh surveilans

KASUS KLB CAMPAK DI PROVINSI JAWA BARAT

A. Definisi KLB Campak


KLB Campak adalah adanya kasus atau kematian campak pada suatu

kecamatan, puskesmas, desa yang pada tahun sebelumnya tidak

ditemukan/dilaporkan. KLB campak juga dapat didefinisikan sebagai

peningkatan jumlah kasus campak baru atau kematian campak pada suatu

wilayah (desa, puskesmas, kecamatan) selama kurun waktu 3 minggu atau lebih

secara berturut-turut.

Penyakit campak (Measles) sendiri merupakan penyakit infeksi yang

sangat menular disebabkan oleh virus campak dengan gejala awal berupa

demam, konjungtivitis, pilek, batuk dan bintik-bintik kecil dengan bagian

tengah berwarna putih atau putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan di

daerah mukosa pipi (bercak koplik), gejala khas bercak kemerahan di kulit

timbul pada hari ketiga sampai ketujuh, dimulai di daerah muka, kemudian

menyeluruh, berlangsung selama 47 hari, kadang-kadang berakhir dengan

pengelupasan kulit berwarna kecoklatan (Chin, 2000).

Menurut WHO, campak adalah gejala bercak kemerahan di tubuh

berbentuk makulo papular selama 3 hari atau lebih disertai panas badan 38C

atau lebih (teraba panas) dan disertai salah satu gejala batuk pilek atau mata

merah. Bercak kemerahan makulo papular tersebut setelah 1 minggu sampai 1

bulan berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik.

B. Epidemiologi KLB Campak


Epidemiologi penyakit campak mempelajari tentang frekuensi, distribusi, dan

faktor-faktor yang mempengaruhi.

1. Frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak

Indonesia merupakan salah satu dari 47 negara penyumbang kematian

campak di dunia. Frekuensi Kejadian Luar Biasa (KLB) selama 1998-1999,

berdasarkan hasil penyelidikan lapangan KLB campak yang dilakukan Subdit

Surveilans dan Daerah, kasus-kasus campak lantaran belum mendapat imunisasi

cukup tinggi, mencapai sekitar 40100 persen dan mayoritas adalah balita (>70

persen).

Sementara itu, selama 1994-1999, frekuensi KLB campak berdasarkan

laporan seluruh provinsi se-Indonesia ke Subdit Surveilans lewat laporan (W1),

berfluktuasi dan cenderung meningkat pada periode 19981999: dari 32

kejadian menjadi 56 kejadian. Angka frekuensi itu sangat dipengaruhi intensitas

laporan W1 dari propinsi atau kabupaten/kota. Daerah-daerah dengan sistem

pencatatan dan pelaporan Wl yang cukup intensif dan mempunyai kepedulian

cukup tinggi terhadap pelaporan Wl KLB, mempunyai kontribusi besar terhadap

kecenderungan meningkatnya frekuensi KLB campak di Indonesia, seperti Jawa

Barat.
Meskipun kampanye campak telah dilaksanakan mulai 27 Februari 2007,

namun berdasarkan data surveilans campak Jawa Barat, tahun 2007 dari 11

laporan KLB campak , tercatat 6 KLB konfirm Campak, yakni di Kab Bogor,

Kab Sukabumi dan Kab Bekasi. KLB Campak konfirm terjadi pada antara

Januari s/d awal Maret 2007.

Setahun paska kampanye (2008) dari 14 laporan KLB Campak, hasil lab

menunjukan konfirm rubella. Sampai semester satu 2009, dari 16 laporan KLB

Campak terdapat 3 KLB konfirm Campak, yakni 1 kali di Kab Bogor dan 2 kali

Kab Cirebon.

Kondisi tersebut menunjukan di wilayah Provinsi Jawa Barat masih

terdapat agent campak dan masih adanya populasi risiko campak.Menurut

Alma, hasil analisa Dinas Kesehatan Jawa Barat, jumlah balita yang rentan

terkena campak di Jawa barat mencapai 1,5 juta balita, atau 32 persen dari

jumlah balita yang ada.

2. Distribusi Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak

a. Orang

Virus Campak ditularkan dari orang ke orang, manusia merupakan satu-satunya

reservoir penyakit Campak . Virus Campak berada disekret nasoparing dan di


dalam darah minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat setelah

timbulnya ruam. Penularan terjadi melalui udara, kontak langsung dengan

sekresi hidung atau tenggorokan dan jarang terjadi oleh kontak dengan benda-

benda yang terkontaminasi dengan sekresi hidung dan tenggorokan.

Dimana, campak adalah penyakit menular yang dapat menginfeksi anak-anak

pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja. Penyebaran

penyakit Campak berdasarkan umur berbeda dari satu daerah dengan daerah

lain, tergantung dari kepadatan penduduknya, terisolasi atau tidaknya daerah

tersebut. Pada daerah urban yang berpenduduk padat transmisi virus Campak

sangat tinggi.

b.Tempat

KLB campak biasanya terjadi pada daerah padat penduduk. Bila wilayahnya

cukup luas seperti Provinsi Jawa Barat, KLB dapat terjadi sporadis setiap tahun

(honey moon period), sedangkan pada kelompok masyarakat yang lebih kecil

tapi belum terjangkau (virgin area seperti pulau Mentawai), interval antara KLB

dapat lebih panjang namun attack ratedan CFRnya lebih tinggi. Anak yang

tinggal di rumah yang padat penghuni akan berpeluang untuk menderita campak

2,95 kali daripada anak yang tinggal di rumah yang tidak padat (Purnomo,

1996)
c. Waktu

Dari hasil penelitian retrospektif oleh Jusak di rumah sakit umum daerah Dr.

Sutomo Surabaya pada tahun 1989, ditemukan Campak di Indonesia sepanjang

tahun, dimana peningkatan kasus terjadi pada bulan Maret dan mencapai

puncak pada bulan Mei, Agustus, September dan oktober.

3. Determinan Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak

Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya kasus campak pada balita di suatu

daerah adalah :

a. Status Imunisasi

Pada bulan Februari 2007 (tanda:panah) telah dilakukan kampanye imunisasi

campak dengan tujuan ingin meningkatkan kekebalan populasi balita > 95%.

Pemberian imunisasi pada kampanye ini, untuk sebagian besar balita merupakan

pemberian dosis ke dua imunisasi campak. Cakupan kampanye mencapai angka

>95%.
b. Status Gizi

Data yang disajikan dalam Laporan Pencapaian MDGs tersebut

menujukkan angka penurunan walaupun masih kurang signifikan. Prevalensi

balita gizi buruk turun dari 5,4% (2007) menjadi 4,9% (2010), namun untuk

prevalensi balita gizi kurang tidak mengalami penurunan dari angka 13,0% dari

tahun 2007 ke tahun 2010. Menurut Riskesdas 2010, data prevalensi balita gizi

buruk/kurang berdasarkan tempat tinggal menunjukkan bahwa di perdesaan

prevalensi balita gizi buruk/kurang (20,7%) lebih besar daripada di perkotaan

(15,3%)

Berdasarkan pendidikan kepala keluarga, dapat disimpulkan bahwa prevalensi

balita gizi buruk/kurang pada balita yang kepala keluarganya berpendidikan

rendah lebih besar dibandingkan balita yang kepala keluarganya berpendidikan

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kepala keluarga dan tempat

tinggal berpengaruh kepada status gizi balita. Balita dengan status gizi

kurang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit campak dari pada

balita dengan gizi baik. Menurut penelitian Siregar (2003) di Bogor, anak

berumur 9 bulan sampai dengan 6 tahun yang status gizinya kurang mempunyai
risiko 4,6 kali untuk terserang campak dibanding dengan anak yang status

gizinya baik.

c. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan

Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan

kesehatan khususnya imunisasi, daerah ini merupakan daerah rawan terhadap

penularan penyakit campak.

C. Strategi Pemberantasan KLB Campak

WHO mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya pemberantasan campak,

dengan tekanan strategi yang berbeda-beda pada setiap tahap yaitu :

1. Tahap Reduksi

Tahap ini dibagi dalam 2 tahap :

Tahap pengendalian campak

Pada tahap ini ditandai dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi campak rutin

dan upaya imunisasi tambahan di daerah dengan morbiditas campak yang

tinggi. Daerah -daerah ini masih merupakan daerah endemis campak, tetapi

telah terjadi penurunan insiden dan kematian, dengan pola epidemiologi kasus

campak menunjukkan 2 puncak setiap tahun.


Tahap Pencegahan KLB

Cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi >80% dan merata, terjadi penurunan

tajam kasus dan kematian, insiden campak telah bergeser kepada

umur yang lebih tua, dengan interval KLB antara 4-8 tahun.

2. Tahap Eliminasi

Cakupan imunisasi sangat tinggi >95% dan daerah -daerah dengan cakupan

imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan

KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak

terlindung) harus diselidiki dan diberikan imuniasi campak.

3. Tahap Eradikasi.

Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus campak sudah tidak

ditemukan. Transmisi virus campak sudah dapat diputuskan, dan negara-negara

di dunia sudah memasuki tahap eliminasi.

Adapun tujuan reduksi campak di Indonesia adalah menurunkan insiden

campak anak dibawah lima tahun (balita) (SKRT) dari 528 per 10.000 pada

tahun 1986 menjadi 50 per 10.000 balita pada tahun 2004, dan menurunkan

kematian dari 40 per 10.000 balita per tahun (SKRT) menjadi 2 per 10.000 pada

tahun 2004.

Strategi reduksi campak di Indonesia meliputi :

1. Imunisasi rutin pada bayi 9 -11 bulan (UCI desa >80%)


2. Imunisasi tambahan (suplemen)

3. Surveilans (Surveilans rutin,SKD-respon KLB & Penyelidikan KLB).

4. Tata laksana kasus (case management)

5. Pemeriksaan Laboratorium

6. Penanggulangan KLB.

Sumber :

http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1722

http://www.diskes.jabarprov.go.id

http://www.gizikia.depkes.go.id

http://www.pusat1.litbang.depkes.go.id

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Naskah%206%20%28h111-115%29.pdf

http://www.kabarpublik.com/2011/11/hasil-kajian-kipi-pada-kampanye-imunisasi-

polio-campak-di-jawa-barat/

http://kesehatan.kompasiana.com

http://repository.usu.ac.id
IMUNISASI EFEKTIF CEGAH DIFTERI

DIPUBLIKASIKAN PADA : KAMIS, 11 FEBRUARI 2016 00:00:00, DIBACA : 12.487

KALIJakarta, 11 Februari 2016

Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain

pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di

negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap

diberikan dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Di

Indonesia yang daerah cakupan imunisasinya tinggi, tidak laporan adanya

kasus difteri. Sementara untuk daerah yang pernah terjadi wabah difteri dan

dilakukan outbreak response immunization (ORI), terbukti efektif memutus

rantai penularan. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi

ditambah dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar

dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit ini.

Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian.

imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu anak-anak

mendapatkan imunisasi secara gratis.

Ada lima (5) jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yang

terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, serta campak. Semua
jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun

diikuti dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan Anak Usia Sekolah.

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa

Barat yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab

Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai

dengan tanggal 10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang.

Berdasarkan hasil surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri

tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang

ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian,

orang dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang

dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri.

Di Indonesia, penyakit difteri mulai muncul kembali sekitar tahun 2003 di

Bangkalan, Jawa Timur kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten/kota

di Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun

2011. Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa

provinsi seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Pada

tahun 2014 Kota Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan

sebagai KLB, kasus tersebut menyebar ke kabupaten Padang Pariaman dan


Solok.

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang

cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi,

rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk

menanggulanginya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas

Kesehatan setempat telah Memberikan pengobatan pada penderita dan

memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang

mengandung kuman tapi tidak memiliki gejala klinis difteri);Melakukan

Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub PIN difteri dengan

memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun, DT untuk usia 3 7

tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian profilaksis untuk

kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada bayi dan

imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan

cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta

Memperbaiki manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk

menjaga mutu vaksin

Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya

pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring,


faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu

komplikasi penyakit difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan

ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan

kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri

Serum pada penderita.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat

Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi

Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili:

(021)52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.


BAB I

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat urgent dalam membentuk negara

yang hebat. Tak dapat dipungkiri bahwa, terciptanya generasi bangsa yang

sehat akan mendorong potensi yang lebih besar untuk menghasilkan sumber

daya manusia yang berkompeten dan berkualitas. Dengan keberadaan sumber

daya manusia yang berkualitas, maka secara otomatis pembangunan nasional

dari segi kesehatan akan terus mengalami peningkatan.

Peran tenaga kesehatan sebagai komponen penentu pelaksanaan

program haruslah memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan dan

manajemen dalam suatu tempat pelayanan kesehatan. Yang harus disadari

adalah dalam manajemen kesehatan diperlukan adanya subjek kesehatan yang

mampu menjalankan fungsi sebagai tenaga kesehatan yang mampu

mengumpulkan, mengolah, maupun menginterpretasi data dalam suatu

struktur organisasi.

Disinilah letak peran vital para epidemiolog. Mereka dibekali dengan

kemampuan teknis dalam melakukan fungsi surveilans. Fungsi yang semakin

lama semakin dibutuhkan apalagi ketika kita menelitik fakta bahwa semakin
banyaknya penyebaran penyakit di Indonesia, baik penyakit menular maupun

tidak menular. Surveilans bukan hanya sekedar berfungsi untuk

mengumpulkan data, namun fungsinya kian kompleks karena mereka juga

dituntut mampu menganalisis determinan munculnya suatu penyakit serta

melakukan upaya pencegahan dan promotif di bidang kesehatan khususnya

epidemiologi.

Kegiatan surveilans dalam rangka mendukung penyediaan informasi

epidemiologi untuk pengambilan keputusan yang meliputi Sistem Surveilans

Terpadu (SST), Surveilans Sentinel Puskesmas, Surveilans Acute Flaccid

Paralysis, Surveilans Tetanus Neonatorum, Surveilans Campak, Surveilans

Infeksi Nosokomial, Surveilans HIV/AID, Surveilans Dampak Krisis, Surveilans

Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit dan Bencana, Surveilans Penyakit Tidak

Menular serta Surveilans Kesehatan Lingkungan untuk mendukung

penyelenggaraan program pencegahan dan pemberantasan penyakit, Sistem

Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penelitian. Pada

Peraturan Pemerintah RI. No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah

dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, BAB II Pasal 2 ayat 3.10.j

menyatakan bahwa salah satu kewenangan Pemerintah di Bidang Kesehatan

adalah surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan

penanggulangan wabah penyakit menular dan kejadian luar biasa, sementara


pada BAB II Pasal 3 ayat 5.9.d menyatakan bahwa salah satu kewenangan

Propinsi di Bidang Kesehatan adalah surveilans epidemiologi serta

penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar biasa.

Oleh karenanya, diharapkan pada setiap tempat pelayanan kesehatan

seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, harusnya memiliki tenaga surveilans

sebagai pendukung efektivitas kinerja dalam meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat.

B. Pengertian Surveilans Epidemiologi

Surveilans pada awalnya hanya dipahami sebatas proses pengumpulan

dan pengolahan data. Namun semakin berkembangnya dunia kesehatan,

mendorong perluasan makna sekaligus peran dan fungsi para tenaga

surveilans. Tuntutan bahwa perlunya ada proses analisis data dan pengamatan

terhadap faktor determinan penyakit justru membuat tenaga surveilans

semakin memiliki posisi yang penting dalam pelayanan kesehatan. Sistem

surveilans dalam epidemiologi harus mampu melakukan kajian kritis terhadap

insidensi dan prevalensi penyakit sehingga mampu memberikan saran terkait

upaya yang harus dilakukan dalam menanggulangi penyakit tertentu.


Secara garis besar, surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara

sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah masalah

kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan

penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat

melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses

pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi

kepada penyelenggara program kesehatan.

Kegiatan surveilans dilakukan secara terpadu dan terstruktur dalam

sebuah tempat pelayanan kesehatan. Tak jarang sangat mudah menemui

kegiatan surveilans, yang biasanya terdapat pada laboratorium, tempat

diagnosa penyakit, ataupun di tempat-tempat penting lainnya. Maka sudah

sepatutnya tenaga surveilans harus ditempatkan pada sektor-sektor penting di

tempat pelayanan kesehatan.

C. Visi, Misi, dan Tujuan Surveilans Epidemiologi

a. Visi

Manajemen kesehatan berbasis fakta yang cepat, tepat, dan akurat.

b. Misi

- Memperkuat sistem surveilans disetiap unit pelaksana program kesehatan.


- Meningkatkan kemampuan analisis dan rekomendasi epidemiologi yang

berkualitas dan bermanfaat.

- Menggalang dan meningkatkan kerjasama dan kemitraan unit surveilans

dalam pertukaran serta penyebaran informasi.

- Memperkuat sumber daya manusia di bidang epidemiologi untuk manajer

dan fungsional

c. Tujuan

Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen

kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan,

pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta

respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat secara nasional, propinsi dan

kabupaten/kota menuju Indoensia yang lebih sehat.

BAB II

LAPORAN KEGIATAN SURVEILANS DI PUSKESMAS TAMALATE

A. Profil Petugas Surveilans


a. Nama : Andi Asriani H, SKM

b. Alamat : Hertasning

c. No. Hp : 085299118588

d. Basic Keilmuan : Epidemiologi Unhas

e. Masuk Kerja di Puskesmas : 2010

f. Menjadi Tenaga Surveilans : Mulai bulan januari 2015 sekarang

B. Jumlah Petugas Surveilans

Jumlah petugas survelans di puskesmas tamalate berjumlah 1 orang. Dalam

menjalankan fungsingya petugas surveilans dibantu oleh tenaga kesling,

promkes, gizi, kesehatan kerja yang masing-masing berjumlah 1 orang. Ia

mengatakan idealnya harus ada 2-3 orang petugas surveilans.

Jumlah petugas surveilans yang turun dalam mengumpulkan data biasanya

tergantung dari tingkat temuan penyakit. Misalnya kasus diare maka yang

turun ke lapangan biasanya 2-3 orang, sedangkan misalnya pada kasus campak

biasanya yang turun cukup 1 orang.

C. Sasaran Daerah Petugas Surveilans


Petugas surveilans di puskesmas tamalate mencakup 2 kelurahan yaitu

Parangtambung dan Balang Baru yang terdiri dari 22 RW dengan 13 RW di

parangtambung dan 9 RW di Balang Baru.

D. Tugas dan Peran Petugas Surveilans

Petugas surveilans puskesmas tersebut mengutarakan bahwa tugas utama

mereka adalah mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data penyakit

yang terjadi di 2 kelurahan yaitu Parangtambung dan Balang Baru kemudian

menganalisis faktor penyebab penyakit tersebut.

E. Siklus Pelaporan Surveilans

Siklus Pelaporan Surveilans yaitu mereka mengumpulkan data melalui buku

diagnosa pengunjung yang datang ke puskesmas untuk berobat, kemudian

dicatat di laporan harian, terus data tersebut dianalisa kenapa penyakit

tersebut dapat terjadi. Apabila penyakitnya tergolong berbahaya, maka akan

diberikan rujukan ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Ia

menyatakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu lingkungan dan

pola hidupnya. Setelah itu petugas surveilans melaporkan hasil analisis data

penyakit ke Dinkes melalui sms.


F. Kegiatan Petugas Surveilans

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan petugas surveilans yakni :

a. Pengumpulan data

Dilakukan dengan turun langsung ke rumah warga dan dengan melihat buku

diagnosa dari pengunjung puskesmas setiap harinya.

b. Penyuluhan

Penyuluhan dilakukan secara berkala dengan mempertimbangkan kejadian

penyakit maupun KLB.

c. Interpretasi data

Data penyakit dikumpulkan setiap hari kemudian dilakukan interpretasi

terhadap temuan data.

d. Analisis penyebab

Analisis penyebab dilakukan untuk mengetahui faktor risiko apa yang

menyebabkan banyaknya jumlah penyakit yang diderita masyarakat sekitar. Ia

mengambil contoh seperti diare, maka yang harus diperhatikan apakah

lingkungan, kebiasaan masyarakat, serta ketaatan dalam menjalankan anjuran

petugas surveilans.

e. Pembuatan laporan harian, bulanan, dan tahunan


Pembuatan laporan dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan

sehingga data yang dihasilkan dapat terus diamati perkembangannya hingga 1

tahun lamanya.

f. Pengawasan masyarakat

Pengawasan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh petugas surveilans tidak

dilakukan secara ketat. Pengawasan hanya dilakukan dengan memperhatikan

rumah-rumah masyarakat apakah ada perubahan perilaku masyarakat atau

tidak.

g. Pelaporan hasil temuan penyakit

Pelaporan terkait temuan penyakit sangatlah dibutuhkan sebagai langkah awal

dalam menentukan upaya yang akan ditempuh dalam menyelesaikan

persoalan suatu penyakit di daerah tertentu. Ia mengatakan laporan akhir akan

diberikan kepada pihak Dinkes via sms secara rutin.

G. Proses Surveilans

a. Surveilans Aktif

Kegiatan surveilans aktif yang dilakukan di puskesmas ini adalah dengan cara

mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan

(posyandu) yang disebar di RW, bisa juga dengan langsung ke rumah

masyarakat.
b. Surveilans Pasif

Kegiatan surveilans pasif yang dilakukan di puskesmas ini adalah dengan cara

mengumpulkan data dengan menerima data tersebut sumber buku diagnosa

pengunjung puskesmas, dan memperhatikan penyakit apa saja yang diderita

masyarakat.

H. Dana Surveilans

Dana surveilans yang diberikan hanya dalam bentuk dana transportasi tanpa

detail jumlah yang jelas.

I. Evaluasi

Evaluasi kinerja petugas surveilans di puskesmas tersebut dilakukan dengan

rapat mingguan, bulanan, maupu tahunan, tanpa penentuan waktu terlebih

dahulu.

J. Pelatihan

Pelatihan yang diberikan pada tenaga surveilans tergantung pada keputusan

Dinas Kesehatan Kota Makassar, maupun Dinas Kesehatan Provinsi Sul-sel, dan

biasanya melihat dari prevalensi dan insidensi kejadian penyakit. Jadi tidak

dilakukan pelatihan secara rutin.


K. Kendala

a. Operasional : Kendaraan yang belum tersedia.

b. Efektivitas Kerja : Paradigma masyarakat yang masih sering acuh

terhadap arahan yang diberikan petugas surveilans.

L. Struktur Puskesmas

Struktur

puskesmas tercantum dalam gambar yang ada di bawah ini :

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook


Reaksi:

Posted in Perkuliahan

Newer Post Older Post Home

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to: Post Comments (Atom)

Search

Penulis

Muhammad Haris

Aku terlahir dengan sebuah nama yang indah yaitu Muhammad Haris

(Sang Pelindung) tepat pada tanggal 15 Januari 1995 di Bulukumba,

Sulawesi Selatan. Saat ini sedang menempuh kuliah di UIN Alauddin

Makassar dengan jurusan Kesehatan Masyarakat. Aku adalah seorang

yang simple, menyukai tantangan, sedikit humoris, dan keras kepala soal
prestasi hehehe.. Mendambakan kebahagiaan dunia terlebih akhirat.

Mencintai semua orang di sekelilingku terlebih lagi Allah swt. Bermimpi

sukses dan bisa membahagiakan orang tua, aamiin..

View my complete profile

Popular Posts

Contoh Laporan Kegiatan Surveilans di Puskesmas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mewujudkan masyarakat

yang berbudaya sehat tentu merupakan salah satu cita-cita pemb...

Makalah Kesehatan Ibu dan Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kesehatan masyarakat

adalah suatu ilmu seni yang bertujuan untuk mencegah timbulnya p...

Contoh Skala Pengukuran Variabel

Skala pengukuran variabel dibedakan atas 4 macam yaitu: 1. Skala

Nominal, merupakan skala pengukuran yang digunakan untuk ka...


Peran dan Tugas Tenaga Kesehatan Masyarakat dalam Meningkatkan

Kesehatan Ibu dan Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidup sehat adalah impian

semua orang. Pada hakikatnya, setiap orang berkeinginan u...

Contoh Makalah Studi Kasus Anemia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia masih menjadi

permasalahan yang cukup serius di kalangan masyarakat. Anemia

adala...

Blogger templates

Muhammad Haris Ar

Buat Lencana Anda


Blogger news

Blogroll

Categories

#TrueStory

Cerpen

Esai

Health

Opini

Perkuliahan

Puisi

Tentang Saya

Blog Archive

2017 (18)

2016 (3)

2015 (85)

o November (4)
o October (7)

o September (3)

o August (1)

o July (2)

o June (5)

o May (12)

o April (12)

Komunikasi Kesehatan

Langkah-Langkah Analisis Data

Daftar Puskesmas di Kota Makassar

Hak Asasi Manusia Melawan Pidana Mati

Gemstone, Bakti Nyata Kader ISMKMI

Makalah Tentang Perbandingan Pemukiman di Indonesi...

Contoh Matriks Jurnal Kanker Prostat

Matriks Isu Tentang Penyakit Tidak Menular di Indo...

Ayat Al-Quran yang Membahas Mengenai Air

Jadi Orang Bertanggung Jawab itu Mahal !

Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat(PPM)

Contoh Laporan Tentang Kegiatan Surveilans di Pusk...

o March (11)
o February (10)

o January (18)

2014 (30)

Copyright 2017 Coretan Kecil Untuk Kisah Yang Besar | Powered by Blogger

Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger

Templates | NewBloggerThemes.com

Kasus Campak Mencapai 523 Kasus

29 November, 2011 - 06:50

JAWA BARAT

GARUT, (PRLM).- Sedikitnya 523 kasus campak ditemukan di Kab. Garut

sepanjang tahun 2011 berjalan. Program imunisasi campak dan polio yang

dilakukan serentak beberapa waktu lalu perlu dipertahankan karena di

Kabupaten Garut masih terdapat Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak, apalagi

pada tahun-tahun sebelumya cakupan imunisasi masih di bawah target.


Hal itu diungkapkan Kabid Pemberantasan Penyakit (P2) Dinas Kesehatan Kab

Garut Drs. Dede Rohmansyah, Senin (28/11). "Kasus temuan campak masih

tinggi, diharapkan lewat kegiatan imunisasi angka kasus penyakit tersebut dapat

ditekan," ujarnya.

Dari 523 kasus tersebut, 50,28 persen diantarnya menimpa balita usia 1-4 tahun

atau sebanyak 263 anak. Sedangkan 183 menimpa anak usia 5-9 tahun.

Dinkes Kab. Garut mencatat, terdapat lima daerah di Garut yang dinyatakan

rawan campak di Kabupaten Garut, yaitu Kecamatan Samarang, Pasirwangi,

Tarogong Kaler, Karang Tengah dan Kecamatan Pakenjeng. "Kasus temuan

campak tersebut kebanyakan tersebar di 5 kecamatan rawan campak," ujarnya.

Kampanye Campak dan Polio di Kabupaten Garut yang ditandai pemberian

vaksin kepada balita sejak 18 Oktober-18 November 2011, berakhir dengan

capaian target di atas 95% sebagaimana diproyeksikan Pemerintah Provinsi

Jawa Barat. Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan, cakupan polio di

Garut mencapai sebanyak 221.178 sasaran balita, tercapai 98,67% atau

sebanyak 218.230 balita. Sedangkan campak dari sasaran sebanyak 183.884,

tercapai 97,89%. (A-158/A-88)***

Вам также может понравиться