Вы находитесь на странице: 1из 17

ASUHAN KEPERWATAN (ASKEP) EMPIEMA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat ini
terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi parapneumonia
tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500
juta dolar. Di Indonesia terdapat 5 10% kasus anak dengan empiema toraks. Empiema
toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang berhubungan dengan
pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura
yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi
bakteri.

Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia, sepsis,
tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus. Infeksi ruang
pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman kuno. Aristoteles
menemukan peningkatan angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan empiema dan
menggambarkan adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi. sebagian dari terapi
empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan yang dibuat pada tahun
1901 yang berjudul The Principles and Practice of Medicine, William Osler, mengemukakan
bahwa sebaiknya empiema ditangani selayaknya abses pada umumnya yakni insisi dan
penyaliran.

Melakukan asuhan keperawatan (askep) pada pasien dengan Empiema merupakan aspek legal
bagi seorang perawat walaupun format model asuhan keperawatan di berbagai rumah sakit
berbeda-beda. Seorang perawat profesional di dorong untuk dapat memberikan pelayanan
kesehatan seoptimal mungkin, memberikan informasi secara benar dengan memperhatikan
aspek legal etik yang berlaku. Metode perawatan yang baik dan benar merupakan salah satu
aspek yang dapat menentukan kualitas asuhan keperawatan (askep) yang diberikan yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan brand kita sebagai perawat
profesional dalam pelayanan pasien gangguan hisprung. Pemberian asuhan keperawatan pada
tingkat anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia hingga bagaimana kita menerapkan
manajemen asuhan keperawatan secara tepat dan ilmiah diharapkan mampu meningkatkan
kompetensi perawat khususnya.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana konsep penyakit empiema ?

1.2.2 Bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien dengan empiema ?


1.3 Tujuan

`1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien empiema.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi konsep empiema meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis dan


patofisiologi

2. Mengidentifiksi proses keperawatan pada empiema meliputi pengkajian, analisis data dan
diagnose, intervensi dan evaluasi

1.4 Manfaat

1.4.1 Mahasiswa memahami konsep dan proses keperawatan pada klien dengan gangguan
empiema shingga menunjang pembelajaran mata kuliah respirasi

1.4.1 Mahasiswa mengetahui proses keperawatan yang benar sehingga dapat menjadui bekal
dalam persiapan praktik di rumah sakit

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura. Awalnya rongga
pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering kali berlanjut
menjadi yang kental. Hal ini dapat terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga pleura.
Empiema juga di artikan,akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya
(ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah
putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi
protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). ). Ketika pus terkumpul dalam ruang
pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan
terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan
memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat
membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen.
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong
kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru. Meskipun empiema sering kali merupakan
dari infeksi pulmonal, tetapi dapat juga terjadi jika pengobatan yang terlambat.
2.2 Etiologi

1. Stapilococcus

Staphylococcus adalah kelompok dari bakteri-bakteri, secara akrab dikenal sebagai Staph,
yang dapat menyebabkan banyak penyakit-penyakit sebagai akibat dari infeksi beragam
jaringan-jaringan tubuh. Bakteri-bakteri Staph dapat menyebabkan penyakit tidak hanya
secara langsung oleh infeksi (seperti pada kulit), namun juga secara tidak langsung dengan
menghasilkan racun-racun yang bertanggung jawab untuk keracunan makanan dan toxic
shock syndrome. Penyakit yang berhubungan dengan Staph dapat mencakup dari ringan dan
tidak memerlukan perawatan sampa berat/parah dan berpotensi fatal.

2. Pnemococcus

Pneumococcus adalah salah satu jenis bakteri yang dapat menyebabkan infeksi serius seperti
radang paru-paru (pneumonia), ,meningitis (radang selaput otak) dan infeksi darah (sepsis).

Sebenarnya ada sekitar 90 jenis kuman pneumokokus, tetapi hanya sedikit yang bisa
menyebabkan penyakit gawat. Bentuk kumannya bulat-bulat dan memiliki bungkus atau
kapsul. Bungkus inilah yang menentukan apakah si kuman akan berbahaya atau tidak.

2.3 Patofisiologi

Akibat invasi basil piogenik ke pleura, maka akan timbul peradangan akut yang diikuti
dengan pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel polimorphonucleus (PMN) baik
yang hidup maupun yang mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh
dan kental. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantung-kantung yang
melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus bronkus maka timbul fistel
bronkopleura, atau apabila menembus dinding toraks dan keluar melalui kulit maka disebut
empiema nessensiatis. Stadium ini masih disebut empiema akut yang lama kelamaan akan
menjadi kronis.

2.4 Patogenesis

Ada tiga stadium empiema toraks pada anak yaitu :

1. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-
hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan
terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan
mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi
selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan
pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan
enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal,
drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang
dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan
dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri,
dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran
fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini
berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat.
Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang
lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.

3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit


fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura
dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi
untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan
hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi
pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 4 minggu setelah
gejala awal.

2.5 Manifestasi Klinis

Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu :

1. Empiema Akut

Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura. Pada permulaan,
gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila
stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan
clubbing finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya
fistel ditandai dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah masif, serta
kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas).

Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah
keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia, empiema
timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena baksil gram negatif seperti E. coli atau
Bakterioids sering kali menimbulkan empiema.

1. Empiema Kronis

Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan. Disebut kronis jika
empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Penderita mengeluh badannya terasa
lemas, kesehatan makin menurun, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda
cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang sakit.

Tanda-tanda empiema :

1. Demam dan keluar keringat malam.

2. Nyeri pleura.

3. Dispnea.
4. Anoreksia dan penurunan berat badan.

5. Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.

6. Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.

7. Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus.

Jika pasien dapat menerima terapi antimikroba, manifestasi klinis akan dapat dikurangi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil dari chest X-ray dan thoracentesis.

2.6 Penatalaksanaan

1. Pengosongan Nanah

Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksisnya.

1. Closed drainage toracostorry water sealed drainage dengan indikasi :

1) Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi

2) Nanah terus terbentuk setelah dua minggu

3) Terjadinya piopneumotoraks

Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negative sebesar 10-20 cmH2O. Jika
setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus ditempuh cara lain seperti pada empiema
kronis.

1. Drainase terbuka (open drainage)

Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga dengan reseksi tulang
iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi akibat pengobatan
yang terlambat atau tidak adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat,
drainase tidak adekuat sehingga harus seing mengganti atau membersihkan drain.

1. Antibiotic

Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotic memegang peranan
penting. Antibiotic harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus
tepat. Pemilihan antibiotic didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah.
Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotic dapat
diberikan secara sistematik atau tropical. Biasanya diberikan penisilin.

1. Penutupan Rongga Empiema


Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena penebalan dan
kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilkukan pembedahan (dekortikasi) atau
torakoplasti.

1. Dekortikasi

Tindakan ini termasuk operasi besar, dengan indikasi :

1) Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung.

2) Letak empiema sukar dicapai oleh drain.

3) Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura visceralis.

1. Torakoplasti

Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin
dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal,
dengan demikian dinding toraks jatuh ke dalam rongga pleura karena tekanan atmosfer.

1. Pengobatan Kausal

Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika, terapi spesifik pada


amoeboiasis, dan sebagainya.

1. Pengobatan Tambahan

Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan napas.

2.7 WOC

DOWNLOAD : WOC ASKEP EMPIEMA

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN

1. Identitas pasien

1. Nama

2. Umur

Terjadi pada segala umur, sering pada anak umur 2-9 tahun.

1. Suku/ bangsa
2. Agama

3. Alamat

4. Pendidikan

5. Pekerjaan

6. Keluhan utama

Batuk, mual, demam, sesak, dypsnea

1. Riwayat penyakit sebelumnya

Klien dengan riwayat penyakit masa lalu yang berkaitan dengan riwayat penyakit saat ini
misalnya batuk yang lama dan tidak sembuh sembuh akibat infeksi.

1. Riwayat keluarga

Riwayat penyakit keluarga, misalnya asma ( genetik ) memeiliki peluang besar untuk
terserang empiema

1. Riwayat lingkungan

Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman padat, ventilasi rumah yang kurang
juga berperan dalam memperburuk keadaan klien dengan empiema.

3.2 OBSERVASI

1. Keadaan umum

1. Suhu

2. Nadi

3. Tekanan darah

4. B1 ( Breathing )

1. Pemeriksaan persistem

Nafas pendek batuk menetap dengan produksi sputum, riwayat pneumoni berulang, episode
batuk hilang timbul.

1. B2 ( Blood )

2. B3 ( Brain )

normal
1. B4 ( Bladder )

normal

1. B5 ( Bowel )

Anoreksia

1. B6 (Bone )

normal

1. Aspek Psikososial

hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, penyakit lama

1. Aspek perawatan Diri

penurunan kemampuan melakukan ADL

1. Sistem Endokrin

pembengkakan pada ekstremitas bawah.

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. foto thorak

2. kultur darah

3. USG

4. Sampel sputum

5. Torakosenstesis

6. Pemeriksaan cairan Pleura :

Hitung sel darah dan deferensiasi

Protein, LDH, glucose, dan pH

Kultur bakteri aerob dan an aerob, mikobakteri, fungi dan mikoplasma

3.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan pertukaran gas akibat kerusakan alveoli.


2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan


oksigen.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispneu,


kelemahan, anoreksia.

5. Kurangnya pengetahuan, tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, berhubungan


dengan kurangnya informasi atau tidak mengenal sumber individu.

6. PK sepsis

3.5 INTERVENSI

1. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar kapiler

Tujuan : Pertukaran gas jadi optimal

kriteria hasil : - ( RR = 16-20 x/menit).

- pH = 7,35-7,45

- pO2 = 81-100 mmHg

- pCO2= 35-45 mmHg

- SO2 > 98 %.

Intervensi Rasional

1. Kolaborasikan untuk
pemberian O2
1. Gelisah, mudah terangsang,
bingung , somnolen, dapat
menunjukkan hipoksemia
1. Kolaborasikan untuk 1. Takikardia ada sebagai akibat
pemeriksaan Blood Gas demam, dehidrasi, tetapi dapat
Analisis sebagai respon hipoksemia.

2. Mencegah terlalu lelah dan


menurunkan kebutuhan oksigen
untuk memudahkan perbaikan
infeksi.
1. Kaji status mental.

1. Monitor nadi.

1. Pertahankan istirahat tidur.


Dorong menggunakan teknik
relaksasi dan aktivitas
senggang.

1. Terapi oksigen
bertujuan untuk
mempertahankan PaO2
diatas 60mmHg.
Oksigen diberikan
dengan metode yang
memberikan
pengiriman tepat
dalam toleransi klien.

2. Untuk mengukur
kadar ion hidrogen ,
kadar asam dan basa
tubuh.

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi secret,
kelemahan.

Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif

Kriteria Hasil : 1. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas,


misal batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

2. tidak ada ronchi

3. tidak ada wheezing


Intervensi Rasional

1. Bantu klien latihan nafas 1. Nafas dalam memudahkan


dalam dengan keadaan ekspansi maksimum paru
semifowler. Tunjukkan cara atau jalan lebih kecil. Batuk
batuk efektif dengan cara adalah mekanisme
menekan dada dan batuk . pembersihan jalan nafas
yang alami, membantu silia
untuk mempertahankan jalan
nafas paten. Penekanan
menurunkan
ketidaknyamanan dada dan
posisi duduk memungkinkan
upaya nafas lebih dalam dan
lebih kuat.

2. Cairan ( khususnya yang


hangat ) memobilisasi dan
mengeluarkan sekret.

1. Alat untuk menurunkan


spasme bronkus dengan
1. Berikan cairan sedikitnya mobilisasi sekret.
2500 ml/ hari ( kecuali kontra
indikasi ) tawarkan yang 2. Bunyi nafas menurun atau
hangat dari pada dingin. tak ada bila jalan nafas
obstruksi terhadap kolaps
2. Berikan obat sesuai indikasi jalan nafas kecil. ronchi dan
( Mukolitik, ekspektoran, wheezing menyertai
bronkodilator). obstruksi jalan nafas.

3. Auskultasi adanya bunyi 3. Kongesti alveolar


nafas dan catat adanya bunyi mengakibatkan batuk kering.
nafas seperti wheezing, Sputum darah dapat
ronchi. diakibatkan oleh kerusakan
jaringan.

1. Observasi batuk dan sekret.


3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.

Tujuan : intoleransi aktivitas dapat teratasi.

Kriteria hasil : melaporkan peningkatan toleransi aktivitas terhadap aktivitas yang dapat
diukur dengan tak adanya dypsnea, kelemahan berlebihan, dan tanda tanda vital dalam
rentan norma ( RR: 16-20 x /menit Nadi : 60-100 x/ meit ).

Intervensi Rasional

Mandiri :

1. Evaluasi respon pasen


terhadap aktivitas. Catat
laporan dypsnea, peningkitan 1. Pasien mungkin nyaman
kelemahan, dan perubahan dengan posisi kepala tinggi,
tanda-tanda vital. tidur di kursi atau menunuduk
ke depan meja.
2. Bantu pasien memilih posisi
yang nyaman untuk aktivitas 2. Menurunkan stress dan
dan istirahat. rangsangan berlebih,
meningkatkan istirahat.

1. Berikan lingkungan tenang


dan batasi pengunjung selama
fase akut sesuai indikasi .
dorong penggunaan
manajemen stress dan
pengalihan yang tepat.

2. Jelaskan pentingnya istirahat 1. Tirah baring dipertahankan


dlam rencana pengobatan dan selama fase akut untuk
perlunya keseimbangan menurunkan kebutuhan
aktivitas dan istirahat. metabolik, menghemat energi
untuk penyembuhan.
3. Menetapkan kemampuan dan Pembatasan aktivitas
kebutuhan pasiendan ditentukan dengan respon
memudahkan pemilihan individual terhadap aktivitas
intervensi. dan perbaikan kegagalan
pernafasan.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispneu, kelemahan,
anoreksia.

Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi

Kriteria Hasil : a. Nafsu makan meningkat

b. BB meningkat atau normal sesuai umur

Intervensi Rasional

1. Mendiskusikan dan 1. Serat tinggi, lemak,air terlalu


menjelaskan tentang panas / dingin dapat
pembatasan diet (makanan merangsang mengiritasi
berserat tinggi, berlemak dan lambung dan sluran usus.
air terlalu panas atau dingin).
2. Situasi yang nyaman, rileks
2. Menciptakan lingkungan yang akan merangsang nafsu
bersih, jauh dari bau yang tak makan.
sedap atau sampah, sajikan
makanan dalam keadaan 3. Mengurangi pemakaian
hangat. energi yang berlebihan.

3. Memberikan jam istirahat 4. Mengetahui jumlah output


(tidur) serta kurangi kegiatan dapat merencenakan jumlah
yang berlebihan. makanan.

4. Memonitor intake dan out 5. Mengandung zat yang


put dalam 24 jam. diperlukan , untuk proses
pertumbuhan
5. Berkolaborasi dengan tim
kesehtaan lain :

a.Terapi gizi : Diet TKTP rendah


serat, susu

b.Obat-obatan atau vitamin


5. Kurangnya
pengetahuan,
tentang kondisi,
pengobatan,
pencegahan, sehubungan dengan kurangnya informasi atau tidak mengenal sumber
individu.

Kriteria hasil : Pengetahuan klien meningkat

Tujuan : - pasien mampu melakukan perubahan gaya hidup dan mau


berpartisipasi dalam program pengobatan.

- Pasien mampu menyatakan pemahaman tentang kondisi penyakitnya ( dapat


menjelaskan pengertian atelektasis, menyebutkan beberapa penatalaksanaannya).

Intervensi Rasional

Mandiri :

1. Tentukan tingkat pengetahuan


dan kesiapan belajar klien.

1. Jelaskan atau kuatkan penjelasan


proses
penyakit,penatalaksanaan,pencega
han pada ateletaksis.dorong 1. Menurunkan ansietas dan pasien
pasien atau orang terdekat untuk mampu berpartisipasi dalam
bertanya rencana pengobatan.

1. Kaji ulang informasi tentang


etiologi atelektasis, efek
hubungan perilaku pola hidup.
Dorong untuk bertanya.

2. Belajar lebih mudah bila mulai


dari pengetahuan kilen.

1. Memberikan pengetahuan dasar


dimana klien dapat membuat
pilihan informasi/ keputusan
tentang kontrol masalah
kesehatan.
6. PKP
Sepsis
Kriteria hasil : Tidak adanya infeksi pada klien

Tujuan : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi

Kriteria Hasil : -Suhu = Normal (36,5oC-37,5oC)

-WBC = 4500-11000/mm3

-CRP = <15 mmHg

-RR = 16-20 x /menit

-Nadi = 60-100/ menit

Intervensi Rasional

1. Awasi suhu 1. Demam dapat terjadi karena


infeksi dan atau dehidrasi
2. Observasi warna, bau sputum
2. berbau, kuning atau
3. Dorong keseimbangan antar kehijauan menujukkan
aktifitas dan istirahat adanya infeksi paru

4. Diskusi masukan nutrisi 3. Menurunkan konsumsi /


adekuat kebutuhan kesimbangan
oksigen dan memperbaiki
5. Kolaborasi pemeriksaan pertahan pasien terhadapa
sputum infeksi, peningkatan
penyembuhan
6. Kolaborasi antibiotic
4. Malnutrisi dapat
7. Perawatan luka WSD mempengaruhi kesehatan
umum dan menurunkan
8. Kultur sputum tahanan terhadap infeksi

5. Dilakukan untuk
mengidentifikasi organisme
penyebab dan kerentanan
terhadap anti microbial

6. Dapat menurunkan beban


pernafasan akibat nyeri
pleura dan infeksi

7. Mencegah infeksi port de


entry mikroorganisme

8. Bertujuan untuk mencegah


penumpukan sputum akibat
infeksi bakteri dan untuk
mengetahui
sensifitas/kepekaan bakteri
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura. Awalnya
rongga pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering kali berlanjut
menjadi yang kental. Hal ini dapat terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga pleura.
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong
kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru. Meskipun empiema sering kali merupakan
dari infeksi pulmonal, tetapi dapat juga terjadi jika pengobatan yang terlambat.

Empiema sendiri diklasifikasikan menjadi Empiema akut dan Empiema kronis. Bisa
disebabkan oleh bakteri Stapilococcus, Pnemococcus, Streptococcus.

DAFTAR PUSTAKA

Somantri, Irman.2008.Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Pernafasan.Jakarta:Salemba Medika.

Amin, Muhammad dkk.1989.Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press

Price, Sylvia A.1995.Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed4.Jakarta : EGC.

Вам также может понравиться