Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Nina menghentakkan kakinya kesal ke arah aspal. Sudah ada satu setengah jam ia berdiri di tepi
jalan untuk menunggu mobil lewat, namun tidak juga datang. Sebenarnya ia membawa mobil
sendiri.
Tapi ketika ia melewati area hutan Bokoye yang cukup luas itu, mobilnya tiba-tiba mati dengan
sendirinya.
Apakah hanya kebetulan? Hutan Bokoye mulai terlihat menyeramkan saat matahari mulai
tenggelam di ufuk barat. Meninggalkan celah-celah sinar dari balik pepohonan. Dan dalam
beberapa menit, Nina telah berdiri dalam kegelapan malam.
Nina sudah mencoba untuk menghubungi bengkel. Namun sayangnya, berada di tengah hutan
membuatnya tidak dapat mendapatkan sinyal ponsel. Terpaksa, Nina harus menunggu sebuah
keajaiban. Sebuah mobil yang lewat, mungkin. Sementara itu, ia hanya dapat duduk di kap mobil
tuanya itu.
Nina berdecak kesal saat tiba-tiba saja rintik hujan mulai turun. Benar-benar sebuah keadaan
yang sial bagi Nina hari itu. Kenapa ia harus pergi belasan mil untuk pekerjaan ringan, dan harus
melewati pekatnya hutan Bokoye, dan kenapa juga mobilnya harus mogok disaat yang tidak
tepat? Dan kini, hujan turun. Aspal hitam yang membelah hutan tua itu dengan cepat basah. Nina
meringkuk di dalam kabin mobilnya, dengan pandangan mata tajam ke arah jalanan, masih
menunggu.
Entah sudah berapa lama ponselnya memainkan musik untuk mengusir kebosanan. Nina sadari
kemudian bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Dan kini resmi, ia tidak dapat
melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan.
Kedua mata wanita itu tiba-tiba saja melebar saat ia melihat satu titik cahaya berwarna kuning di
kejauhan. Sebuah mobil? Ya. Dan tengah mengarah ke arahnya. Nina dengan cepat turun dari
mobil, mengabaikan tetesan air hujan yang menimpanya, dan berdiri di tengah jalan sambil
melambaikan kedua lengannya. Mobil yang datang itu perlahan memelankan lajunya, dan
berhenti tepat di samping wanita itu.
Maaf! ucap Nina seraya bergerak ke arah sopir yang sudah membuka kaca.
Seorang pria yang kira-kira berusia tiga puluhan berada di belakang kemudi.
Pria itu menunjukkan rasa simpatinya pada keadaan Nina yang tengah Nina alami.
Mobilku mogok. Ucap Nina. Boleh aku menumpang sampai bengkel terdekat?
Sayangnya tidak ada bengkel di sekitar tempat ini. Jawab pria itu, yang dengan seketika
merosotkan hati Nina.
Tidak ada sinyal di ponselku. Ucap Nina. Ia sedikit berteriak untuk mengatasi suara riuh air
hujan.
Kalau begitu ikut aku saja. Ucap pria itu sedetik kemudian. Rumahku tidak jauh dari tempat
ini. Kau bisa menghubungi bengkel lewat telepon rumahku.
Satu senyum lebar hadir di wajah wanita itu. Nina akhirnya mendapatkan bantuan yang sudah ia
nanti-nantikan.
Dalam beberapa detik, Nina sudah duduk di dalam kabin truk pickup berwarna merah yang pria
itu kendarai. Tubuhnya yang basah membuatnya sedikit tidak nyaman.
Mobilmu akan baik-baik saja. Ucap pria itu sebelum menginjak gas, dan pergi dari tempat itu.
Selama kurang lebih lima menit, keduanya saling diam dan tenggelam dalam pikiran mereka
masing-masing. Hingga akhirnya suara pria itu memecah kesunyian.
Kemana tujuanmu sebenarnya? tanya pria itu. Sayang mobilmu harus mogok di tempat
terpencil seperti ini.
Ya. Balas Nina. Aku tengah mengarah ke Cherwood, untuk pekerjaanku. Dan aku
memutuskan memotong jalur melalui hutan ini agar cepat sampai. Siapa kira mobil itu akan
mogok?
Atau ini memang takdir. Ucap pria itu sambil tertawa kecil. Kita bertemu. Takdir, kan?
Terima kasih atas bantuannya. Ucap Nina. Namaku Nina Lawrence. Panggil aku Nina.
Aku jarang keluar bertemu orang lain, sebenarnya. Aku lebih sering menghabiskan waktuku di
rumah.
Apa pekerjaanmu?
Tidak. Jawab Dexter. Aku tinggal di rumah peninggalan kakekku. Di sekitar sini. Kita akan
segera sampai.
Nina sudah tidak tahu lagi ke mana mobil itu pergi. Hujan deras di luar membuatnya tidak dapat
melihat dengan jelas keadaan sekitar. Ditambah lagi dengan suasana hutan pekat, di malam hari.
Beberapa menit kemudian Nina rasakan mobil itu memelankan lajunya, dan berbelok ke arah
sebuah jalan kecil yang masuk ke dalam hutan.
Ke mana kita
Benar. Beberapa menit kemudian mobil itu sampai di halaman sebuah rumah megak, besar, yang
terlihat sudah begitu tua. Di tengah hutan, tentu saja terlihat sedikit menyeramkan. Namun
dengan adanya cahaya-cahaya jingga dari jendelanya, mungkin bagian dalam rumah akan terasa
lebih hangat.
Selamat datang di Wayward Mansion. Ucap Dexter ketika ia membimbing Nina melalui pintu
ganda besar di bagian depan, dan kini ia berdiri di foyer rumah itu yang terlihat megah dan
klasik.
Wayward Mansion?
Dexter kemudian membimbing kembali Nina, sambil menunjukkan benda-benda antik dan
ruangan-ruangan yang ada di dalam rumah besar itu. Anehnya, tidak ada orang lain kecuali
mereka berdua.
Aku akan ambilkan pakaian kering. Kau sebaiknya segera hubungi bengkel terdekat. Nomornya
ada di buku telepon.
Ya. Terima kasih. Ucap Nina seraya bergerak mengarah ke sebuah telepon gagang tua yang
terletak bersanding dengan sebuah asbak antik.
Nina segera menjelaskan mengenai segala sesuatu mengenai mobilnya pada bengkel yang
berhasil ia hubungi. Sayangnya, karena ada badai, mereka baru bisa membetulkan mobilnya
besok pagi. Dan Nina sadar, bahwa untuk malam itu ia harus menghabiskan waktunya di dalam
rumah tua itu.
Dexter kembali beberapa saat kemudian sambil membawa satu setel pakaian usang yang segera
ia serahkan pada Nina.
Dulu milik adikku. Kini sudah tidak terpakai lagi. Semoga muat kau pakai.
Terima kasih. Ucap Nina seraya menerima kemeja dan celana jeans biru usang itu.
Di ujung koridor.
Nina segera melepaskan pakaiannya yang basah, dan menggantinya dengan baju yang Dexter
berikan. Memang tidak nyaman rasanya memakai pakaian orang lain. Tapi apa boleh buat. Ia
juga tidak mau terus kedinginan dengan pakaian basahnya.
Nina kembali ke foyer, dimana Dexter masih berdiri di anak tangga terbawah.
Ia memandang ke arah Nina sambil mengangguk-angguk puas. Pakaian yang ia berikan ternyata
cocok berada di tubuh Nina.
Kau mengingatkanku akan Trace, adikku. Ucap Dexter. Sayangnya, hal itu tinggal
kenangan.
Kemana dia?
Oh! Maaf!
Jangan dipikirkan!
Dexter membawa Nina masuk ke dalam ruang tengah yang luas dan banyak dipenuhi dengan
barang-barang tua yang antik. Terdapat sebuah karpet berwarna marun di tengah ruangan, di
depan sebuah perapian besar yang menyala menghangatkan suasana. Dexter meminta Nina untuk
duduk di salah satu sofa antik yang ada di tempat itu.
Sebentar lagi kita akan malam malam. Ucap Dexter. Sebaiknya kau di sini, menunggu,
sementara aku menyiapkannya.
Nina merasakan aura yang aneh ketika ia berada di ruangan antik itu sendirian. Perasaan yang
tidak menyenangkan entah kenapa hadir ke dalam dirinya. Ia merasa seperti tengah diawasi oleh
seseorang. Padahal tidak ada seorang pun di sekelilingnya. Pajangan kepala rusa yang ada diatas
perapian entah kenapa terlihat hidup. Sorot kedua matanya seolah memperingatkan Nina, akan
adanya bahaya yang mendekat. Namun apa?
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, dan hujan diluar sana semakin deras. Petir beberapa
kali menyambar, membuat langit terlihat terang selama beberapa detik. Nina tidak dapat duduk
diam. Perasaan cemasnya terasa semakin besar, dan ia tidak berhenti mondar-mandir di depan
perapian.
Nina menggigil kedinginan. Entah kenapa. Padahal ia sudah tidak memakai pakaian basahnya. Ia
merasa bahwa ada yang tidak beres. Setiap sudut dari ruangan yang ia tempati terlihat seolah
hidup, dan ada sesuatu yang bergerak di antara bayangan-bayangan benda antik di dalam
ruangan itu.
Nina dengan cepat menghentikan langkahnya saat secara samar ia mendengar sebuah suara
jeritan. Terdengar samar, namun Nina yakin bahwa apa yang ia dengar seperti suara jeritan
seorang wanita. Namun Nina tidak yakin darimana datangnya jeritan itu. Apakah dari dalam
hutan? Bukan. Rasanya lebih dekat.
Nina yang sudah tidak betah berada di ruang antik itu memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia ke
luar, bergerak di koridor sambil mengamati lukisan-lukisan yang ada di dinding. Entah kenapa,
semua lukisan yang ada di rumah itu adalah lukisan abstrak yang tidak jelas. Semuanya nyaris
bernuansa merah, seperti api neraka atau cipratan darah. Dan tidak ada satu pun dari lukisan-
lukisan di tempat itu yang dapat membuai perasaan Nina. Wanita itu malah semakin ngeri
dengan apa yang ia lihat.
Nina sampai di ujung koridor, dimana di tempat itu terdapat sebuah jendela besar dengan tirai
tebal. Tanpa bermaksud apa-apa, Nina menyingkap tirai merah itu dan yang ia lihat adalah
pemandangan bagian belakang rumah yang terlihat gelap. Namun sesaat ketika petir menyambar,
ia dapat melihat bahwa halaman belakang rumah itu dipenuhi dengan mobil-mobil. Mobil-mobil
bekas yang sudah berkarat dan tidak terawat lagi. Namun masih ada satu mobil yang kelihatan
baru. Anehnya, terdapat sebuah noda merah di kaca depan mobil itu. Seperti darah. Apa yang
sebenarnya terjadi? Apa mungkin Dexter baru saja mengalami kecelakaan dengan mobil itu?
Tapi Nina tidak melihat adanya luka di tubuh pria itu.
Dengan penuh pertanyaan, Nina menutup kembali tirai besar itu. Ia kembali berjalan, hingga
tanpa sadar ia telah berada di depan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Rasa
penasaran Nina tak dapat terbendung saat ia merasakan aura tidak menyenangkan dari dalam
ruangan yang berlampu merah itu. Nina memutuskan untuk mengintip ke dalam. Dan ia
temukan
Nina menahan nafasnya. Keduanya matanya membelalak seketika saat ia melihat adanya horor
di dalam ruangan itu. Semua benda nyaris terlihat seperti telah diguyur dengan darah. Merah,
bercampur warna hitam dan terlihat seperti sebuah kamar penyiksaan. Tapi, bukan. Ruangan itu
adalah sebuah galeri, atau ruang lukis. Dan cat merah berhamburan ke segala tempat. Satu
lukisan terlihat masih berada di atas tempat lukis, belum terselesaikan.
Nina?
Nina melonjak ketika suara itu tiba-tiba saja terdengar di telinganya. Ia lihat, Dexter telah berdiri
di dekatnya.
Apa yang kau lakukan? tanya Dexter sambil menarik pintu galeri itu dan menutupnya rapat-
rapat. Kau tidak seharusnya
Maafkan aku! ucap Nina cepat. Aku tidak sengaja melihat ke dalam.
Aura tidak menyenangkan kembali dapat Nina rasakan saat ia duduk di meja makan besar
bersama lelaki itu. Dexter, kini seolah terus mengawasinya. Semenjak pria itu memergokinya
berada di depan galeri, Dexter tidak pernah lagi melepaskan pandangannya dari Nina.
Nina tidak yakin apakah ia mau memakan apa yang sudah Dexter siapkan. Makanan yang ada di
piring terlihat seperti tumpukan daging mentah yang disiram dengan saus berwarna merah.
Terlihat menjijikkan, dengan aroma yang begitu tajam.
Aku memasaknya sendiri. Ucap Dexter lagi. Pria itu mulai menyendok makanannya, dan
makan dengan lahap. Tatapan kedua matanya masih mengarah pada Nina, menunggu wanita itu
untuk juga memasukkan makanan ke mulutnya.
Nina merasa tidak enak untuk menolak. Dengan sangat terpaksa, ia menyendok gumpalan merah
di piringnya itu, dan dengan cepat memasukkannya ke dalam mulut. Aroma yang tajam membuat
Nina nyaris muntah. Tekstur dari makanan itu terlalu lembut dan lengket. Nina mungkin bisa
menyemburkannya jika saja Dexter tidak mengawasi.
Makan malam kala itu terasa seperti sebuah siksaan bagi Nina. Makanan yang menjijikkan itu
akhirnya masuk ke dalam perutnya, dengan usaha yang cukup keras. Nina meraih gelas
anggurnya, dan meminum isinya. Paling tidak, anggur itu masih terasa seperti anggur normal.
Bagaimana dengan mobilmu? tanya Dexter beberapa saat kemudian. Suaranya yang berat
terdengar mencurigakan di antara suara gemuruh di langit. Nina memandang ke arahnya. Dan
perlahan, mulut Nina terbuka.
Apa yang kau bicarakan? Tentu saja. Potong Dexter cepat. Aku senang bisa punya teman
malam ini. Aku biasanya sendiri.
Tidak ada yang dapat Nina lakukan selain berdiam di dalam rumah besar itu untuk semalam. Ia
tidak bisa pergi kemanapun, karena ia tengah berada di tengah hutan Bokoye. Namun satu sisi di
dalam dirinya mengatakan bahwa ia tidak seharusnya tinggal seatap dengan pria yang ada di
hadapannya itu. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan diluar
keadaan normal.
Nina mempermainkan gelas anggurnya. Ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan kembali dengan
adanya sebuah teriakan yang asalnya dari bagian lain rumah itu. Seketika itu juga ia arahkan
matanya pada Dexter.
Apa itu?
Bukan apa-apa! ucap Dexter berusaha bersikap normal. Namun Nina sadari bahwa ada yang
tidak beres dengan ekspresinya barusan. Saat itu juga Dexter bangkit dari kursi yang ia duduki.
Nina tidak percaya dengan ucapan itu. Jeritan yang baru saja ia dengar bukanlah jeritan hewan.
Terdengar lebih mirip seperti teriakan manusia. Seorang wanita.
Nina bergerak meninggalkan meja ketika Dexter sudah menghilang dari pandangan. Dengan aksi
penuh rasa penasaran, Nina mulai menjelajah rumah itu. Ia kembali mengarah ke ruang galeri
tadi, dan berhasil masuk. Didapatinya lagi lukisan-lukisan bernuansa merah yang
menggambarkan kematian. Dan rasanya tidak normal. Lukisan-lukisan itu memberikannya
perasaan yang begitu buruk.
Nina kembali berjingkat saat ia dengar lagi teriakan wanita itu. Nina bergegas keluar dari galeri,
dan bergerak cepat di koridor. Dan ia menghentikan langkahnya saat ia melintasi sebuah ruangan
yang pintu sedikit terbuka. Rasa penasaran Nina meluap-luap. Ia memasuki ruangan itu, dan ia
temukan
Nina menutup mulutnya untuk mencegahnya berteriak. Di dalam ruangan kecil itu terdapat
begitu banyak barang. Kopor-kopor pakaian, lalu barang-barang elektronik kecil seperti ponsel
dan kamera, dan juga ada beberapa tas perempuan. Satu hal yang membuat Nina bergidik adalah
kenyataan bahwa di setiap barang itu terdapat noda merah kehitaman. Darah.
Nina menggelengkan kepalanya tidak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan
semua barang ini? Milik orang-orang? Nina seketika teringat dengan tumpukan mobil di bagian
belakang rumah. Dan satu teori mengerikan muncul di permukaan otaknya.
Dexter!
Dexter adalah seorang yang tidak waras. Kini Nina yakin dengan hal itu. Mobil-mobil yang ada
di belakang rumah, dan juga barang-barang pribadi itu adalah milik orang-orang yang mampir ke
rumah ini. Dan sepertinya mereka tidak bisa keluar hidup-hidup. Lalu jeritan wanita yang Nina
dengar
Nina seketika memutar tubuhnya dan berniat untuk berlari, pergi dari rumah itu. Namun ketika ia
keluar dari pintu, sebuah cengkeraman mendarat di lehernya. Dan ia dapat melihat, wajah Dexter
memicing ke arahnya.
Ups! Sepertinya kau melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat.
Nina tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Seketika, ada hantaman mendarat di tengkuknya,
dan ia pun kehilangan kesadaran.
Nina perlahan membuka kedua matanya tanpa tahu sudah berapa lama ia pingsan. Kini ia sadari
bahwa ia berada di sebuah ruangan yang remang, yang hanya diterangi oleh sebuah lampu pijar
yang menggentung di langit-langit. Nina mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun ia sadari
beberapa detik kemudian bahwa kedua tangan dan kakinya terikat.
Jantung Nina melonjak seketika saat ia mendengar suara rintihan dari samping tempatnya
terbaring. Dan ia lihat, sesosok wanita dalam pakaian dalam terikat pada sebuah kursi, dengan
luka cambuk di sekujur tubuhnya. Rambut pirang wanita itu terlihat kusut, dan wajahnya kotor
penuh dengan air mata yang mengering.
Nina tidak dapat melakukan apapun. Dan kini ia sadar bahwa ia tengah berada dalam sebuah
kondisi yang tidak begitu mengenakkan. Maniak itu, Dexter, mungkin tengah merencanakan
sesuatu.
Dia akan membunuh kita. Ucap wanita itu. Dexter akan membunuh kita!
Tenangkah dirimu! ucap Nina dengan suara serak. Aku akan mencoba mencari jalan keluar
dari rumah ini.
Nina belum pernah mengalami hal seekstrim ini sebelumnya. Dan ia tidak tahu cara untuk
melepaskan tangannya dari ikatan yang ada pada pergelangan tangannya. Ia hanya bisa
menggigit tali coklat yang erat itu, berharaop kekuatan giginya akan membantu.
Ayolah!
Nina berusaha terlalu keras. Pergelangan tangannya mulai lecet dan berdarah karena terlalu
sering bergesekan dengan tali yang mengikat erat itu. Tapi Nina sudah tidak peduli lagi. Ia akan
berusaha semaksimal mungkin untuk keluar dari rumah mengerikan itu.
Nina menghentikan usahanya saat ia dengar sebuah langkah kaki berat mendekat. Dexter,
muncul dengan wajah dingin, dan di tangannya terdapat sebuah cambuk.
Dexter hanya mendengus. Kemudian ia bergerak perlahan ke arah wanita yang terikat di kursi
itu. Wanita itu pun mulai menjerit-jerit saat ia tahu bahwa hal buruk akan terjadi padanya.
Bukankah sudah terlambat untuk hal itu? balas Dexter. Ia menyeringai, lalu mengangkat
cambuknya tinggi-tinggi. Kemudian
Terdengar sebuah erangan yang memilukan disertai dengan suara cambuk yang menghantam
kulit wanita itu. Dexter menggila. Ia melakukan penyiksaan itu dengan dingin dan begitu kejam.
Teriakan wanita itu semakin lama semakin keras. Dan Nina tidak mau melihat lagi hal
mengerikan itu.
Nina mencoba untuk mengabaikan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Dengan usaha yang
terlalu berlebihan, ia mencoba melonggarkan ikatan pada tangannya, yang membuat pergelangan
tangannya itu berdarah.
Dexter sepertinya terlalu sibuk dengan wanita pirang itu, dan tidak memperhatikan apa yang
tengah Nina lakukan. Dan dengan satu keberuntungan, Nina berhasil melepaskan ikatan pada
tangannya. Ia lepas pula ikatan kakinya, lalu berdiri.
Tepat ketika ia berpuar untuk berlari, Dexter menolehkan kepalanya. Pria itu geram, karena salah
satu tawanannya berhasil kabur.
KEMANA KAU MAU PERGI? teriakknya.
Nina berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari pria itu. Satu hal yang ada di dalam kelapanya
hanyalah mencoba untuk keluar dari rumah terkutuk itu. Kini ia tahu bahwa ia tengah
berhadapan dengan seorang pembunuh kejam yang kemungkinan telah membunuh orang-orang
yang tersesat di kawasan itu. Barang-barang pribadi di kamar dan juga tumpukan mobil di
belakang rumah adalah bukti dari hal itu. Dan Nina mungkin akan jadi korban berikutnya.
Nina berlari menyusuri koridor, lalu mengarah ke pintu depan. Dengan cepat ia putar kenop
pintunya, tapi
Tidak!
Pintunya terkunci. Dan Nina sudah kehilangan akal. Nafasnya memburu, penuh dengan
ketakutan. Ia berlari lagi, lalu masuk ke dalam satu satu ruangan tepat ketika ia melihat Dexter
muncul di ujung koridor.
Pria itu bergerak lambat. Mencoba menemukan keberadaan tikusnya yang berhasil lari. Di
tangannya terdapat sebilah pisau, yang penuh dengan darah hasil dari penyiksaannya terhadap
wanita pirang itu. Tidak ada yang dapat Nina lakukan untuk menolong wanita itu. Kini ia harus
fokus untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Nina menahan nafasnya ketika Dexter bergerak melewati ruangan dimana ia bersembunyi.
Keadaan yang sedikit gelap membantu Nina menyembunyikan keberadaannya.
Ketika Dexter sudah berada di foyer rumah, inilah kesempatan bagi Nina untuk lari. Dengan
cepat ia keluar dari ruangan dimana ia bersembunyi lalu berlari ke arah sebuah jendela.
Nina merasakan sebuah keberuntungan ketika ia dapat dengan mudah membuka kunci jendela,
dan melompat keluar dari rumah itu. Hujan masih mengguyur begitu deras namun ia tak peduli
lagi. Dengan meraba dalam kegelapan, ia berlari menembus semak-semak, mencoba menjauh
dari rumah itu.
Nina menghentikan langkahnya ketika ia kira ia sudah begitu jauh dari rumah besar itu. Rumah
besar tua, dengan cahaya jingga berada di tengah kepekatan hutan Bokoye itu memang terlihat
begitu menyeramkan. Namun ia behasil kabur. Dan Nina tertawa lirih.
Wajah menyeringai yang penuh dengan kelicikan dan daya pikat itu masih menghantui Wayward
Mansion. Dan dengan akal busuknya, ia terus menjebloskan orang-orang tersesat untuk masuk ke
dalam istana iblisnya. Untuk menjadi korban, dari kelicikan dan akal busuknya.
Dengan mobilnya, ia terus bergerak mengitari jalanan di sekitar Wayward mansion, dan
menunggu mangsa selanjutnya. Dan beberapa hari setelah ia mendapatkan Nina Lawrance, ia
mendapatkan penumpang lain. Seorang wanita muda yang tersesat.
Ada yang bisa kubantu Nona? tanyanya dengan penuh kelicikan namun tidak ia tunjukkan itu.