Вы находитесь на странице: 1из 17

ANATOMI HIDUNG

Penyaji:
Bellavia Fransisca, S.Ked

Pembimbing:
dr. Upang Wijayanto, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PENYAKIT THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG
TAHUN 2017

1
BAB I

HIDUNG

I.1 Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian

luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar

dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat

digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan;

dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk

hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

1) pangkal hidung (bridge),

2) batang hidung (dorsum nasi),

3) puncak hidung (hip),

4) ala nasi,

5) kolumela,

6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:

1) tulang hidung (os nasal)

2) prosesus frontalis os maksila

2
3) prosesus nasalis os frontal;

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu

1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)

3) tepi anterior kartilago septum. (1)

I.2 Anatomi hidung dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.

internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga

hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat

konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior

dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka

media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut

meatus superior.(2)

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

I.2.1 Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior

oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela

3
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila ,

Krista palatine serta krista sfenoid. (2)

I.2.2 Kavum nasi (3)

Kavum nasi terdiri dari:

1. Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan

prosesus

horizontal os palatum.

2. Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os

nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus

os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina

kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang

berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju

bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

3. Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis

os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang

merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina

perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka.

Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus

4
inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus

media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.

Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang

teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal

dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian

superior dan palatum.

I.2.3 Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah

yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas

konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di

sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang

besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan

korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat

bermuaranya sinus sfenoid.

I.2.4 Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan

celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini

terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior

sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya

menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk

bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara

atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan

5
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus

semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk

tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus

unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu

bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus

frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya

bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior

biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila

bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel

etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium

tersendiri di depan infundibulum.

I.2.5 Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,

mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3

sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

I.2.6 Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi

dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri

septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina

horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh

prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

I.2.7. Sinus Paranasal

6
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang

terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris

merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk

piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan

puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.(2)

I.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior

yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus

paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media

dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah

prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger

nasi dan ressus frontal.

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena

sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal

sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai

serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung

menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus

dan konka media(4).

7
Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal

I.4 Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid

anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis

interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.

maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina

yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (5)

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang

disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.(2,5)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena

8
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk

mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial(2,5).

I.5 Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal

dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion

sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima

serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari

n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus

profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung

posterior konka media.

Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan

bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu

pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(5)

BAB II

SINUS PARANASAL

II.1 Anatomi Sinus Paranasal

9
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang

sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus

paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk

rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah

pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid

kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan

kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga

sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi

udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (1)

Gambar 4. Sinus Paranasal

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian

anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau

di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior

sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka

media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis

perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara

10
kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus

paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang

dialirkan ke mukosa hidung. (4)

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi

udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris

dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari

orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified

columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari

rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel

goblet.(4)

II.1.1 Sinus maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang

terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan

sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya

mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.(6)

Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan

ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat

berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang

menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam

perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga

yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan

rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm

11
vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi

dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini

akan turun, dan akan

setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan

perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi

permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.(2)

Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke

fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.

Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa

kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding

medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum

dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid,

prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding

superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris

dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial

sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut

Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada

bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm.

Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui

lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding

medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya

berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah

untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (2)

12
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :

1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas ,

yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi

taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke

dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua

dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus.

Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup

oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini

dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,

sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan

rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.

2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

3) Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga

drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui

infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid

anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat

menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan

sinusitis.(2)

II.1.2 Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke

emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum

13
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan

akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.(2)

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga

sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang

juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya

tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang

terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu

sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran

rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-

rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding

sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal

dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,

sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan

dengan infundibulum etmoid(2)

II.1.3 Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-

akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi

sinus-sinus lainnya.(2)

Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal

dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid

anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian

14
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas.

Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di

bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan

lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus

kira-kira 14 ml.(2)

Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai

sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang

terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya,

sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus

medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian

terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,

yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula

etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum,

tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di

resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di

infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila(2)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan

lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis

dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.(2)

II.1.4 Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan

evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya

15
berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak

berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak

berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna

pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran

serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh

septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu

sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.(6)

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid

posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.

Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm.

Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh

darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan

rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-

batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar

hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan

dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)

dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah

pons. (2)

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and
accessory sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck.
Fourteenth edition Ed. Ballenger JJ. Lea & Febiger. Philadelphia, London,
1991: p.3-8
2. Soepardi EA, et al. Buku ajar ilmu kesehatan : telinga hidung tenggorok
kepala& leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007
3. East C. Examination of the Nose. In : Mackay IS, Bull TR(Eds). Scott-
Brownss Otolaryngology Sixth ed London: Butterworth, 1997: p.4/1/1-8
4. Effendi H, editor. Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed. Jakarta: EGC ; 1997 ;
p.135-142.
5. Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In : Gleeson (Ed).
Scott-Brownss Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth, 1997:
p.1/5/1-30.
6. Yilmaz AS, Naclerio RM. Anatomy and Physiology of the Upper
Airway. Available at:
http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pdf+html. Accessed
on: 22/06/2012
7. Muranjan S. Anatomy of the nose and paranasal sinuses.
Available at: http://www.bhj.org/journal/1999_4104_oct99/sp_617.htm.
Accessed on: 22/06/2012

17

Вам также может понравиться