Вы находитесь на странице: 1из 84

MAKALAH IKGM-P SKENARIO 4

Disusun oleh:
KELOMPOK PBL 9

Bima Surya Heri Itanto 1306409841

Danny Tandean 1306366350

Dovian Emely Suteja 1306366275

Mediani Retno Putri 1306366294

Merry Elisa 1306366432

Muthia Khansa 1306409803

Nadia Desty Fadhilah 1306404102

N. M. Valencia Sarasti Wijaya 1306404134

Nindy Fairiska 1306366426

Rebecca Grace Agustina 1306366256

Vina Arlia Shafadilla 1306440726

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS INDONESIA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah IKGM-P Skenario 4 ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai pembelajaran penulis dan untuk
memenuhi tugas skenario 4 mata kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Masyarakat - Pencegahan.

Makalah ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. drg. Yuniardini Septorini Wimardhani M.Sc.Dent yang telah menjadi fasilitator di
kelas PBL 9;
2. drg. Anton Rahardjo, MKM, PhD sebagai narasumber dalam skenario ini;
3. Pihak perpustakaan yang telah menyediakan fasilitas berupa bahan literatur;
4. Teman-teman kami yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga bantuan dan kerjasama yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal
dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk
penyusunan makalah yang lebih baik di kemudian hari.

Depok, 1 Oktober 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4


1.1. Jabaran Skenario ..................................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
1.3. Hipotesis .................................................................................................................... 5
1.4. Peta Konsep .............................................................................................................. 6
1.5. Sasaran Belajar ........................................................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 7


2.1. Promosi Kesehatan .................................................................................................. 7
2.2. Promosi Kesehatan Gigi dan Mulut ....................................................................... 9
2.3. Perilaku dan Faktor Determinan Promosi Kesehatan Gigi dan Mulut............ 15
2.4. Perilaku Kesehatan Gigi........................................................................................ 17
2.5. PRECEDE/PROCEED .......................................................................................... 23
2.6. Oral Health Literacy dan Health Literacy .......................................................... 27
2.7. Teori Perubahan Perilaku Individu ..................................................................... 33
2.7.1. Transtheoretical Model (Stages of Changes Model) ................................... 33
2.7.2. Health Belief Model ....................................................................................... 35
2.8. Teori Perubahan Perilaku Komunitas ................................................................. 37
2.8.1. Proses Adopsi Perilaku .................................................................................. 37
2.8.2. Teori Difusi-Inovasi ....................................................................................... 42
2.8.3. Pemberdayaan Masyarakat .......................................................................... 52
2.8.4. Partisipasi Masyarakat dalam Promosi Kesehatan .................................... 58
2.9. Advokasi dalam Promosi Kesehatan .................................................................... 60
2.10. Motivational Interviewing ..................................................................................... 70

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 82


3.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 82
3.2. Saran ....................................................................................................................... 82

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 83


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Jabaran Skenario


Petugas Promosi Kesehatan pada suatu Dinas Kesehatan provinsi mengamati
bahwa status kesehatan gigi di Indonesia yang cenderung memburuk tidak diimbangi
dengan meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan gigi. Dari konsep Hendrik Blum,
faktor perilaku cukup memberi kontribusi yang signifikan terhadap masalah ini, dengan
demikian pendidikan kesehatan gigi dan mulut menjadi sangat penting dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut. Dia akan membuat perencanaan program
Pendidikan Kesehatan tentang pencegahan penyakit Karies gigi dan Penyakit Periodontal
dengan model PRECEDE/PROCEED. Dari beberapa literatur, ia pelajari dan menyadari
bahwa, Pendidikan Kesehatan Gigi, dalam pemahaman yang lebih komprehensif, bertujuan
tidak hanya untuk mempengaruhi individu dalam memilih gaya hidup, tetapi juga
meningkatkan kesadaran terhadap adanya determinan (faktor-faktor penentu) kesehatan
gigi dan mulut, serta mendorong individu, keluarga/kelompok, dan komunitas membuat
suatu aktivitas atau aksi yang dapat mempengaruhi dalam memodifikasi determinan
tersebut. Dengan demikian ia berpendapat bahwa pendidikan kesehatan gigi dan mulut
dapat dicapai, tidak hanya sekedar melalui metode komunikasi, interaksi, adopsi, difusi,
inovasi, pastisipasi dan pemberdayaan, tetapi pendidikan kesehatan tersebut diharapkan
akan mengarah ke melek kesehatan gigi dan mulut (Oral Health Literacy), yaitu
memungkinkan mengarah ke tindakan individu atau komunitas yang efektif dan
bermanfaat bagi kesehatannya yang pada gilirannya meningkatkan kualitas hidup mereka.
Untuk menentukan aktivitas intervensi yang tepat ada beberapa model perubahan perilaku
ia perlu pelajari dari tingkat individu misalnya, proses adopsi, model tahap-tahap
perubahan (Stages of Change Model) dan model keyakinan sehat (Health Beliefs Model)
sampai ke tingkat komunitas dengan teori Difusi-Inovasi dan perubahan sosial. Setelah
semua dipelajari petugas tersbut harus melakukan langkah-langkah advokasi atau proses
untuk memperoleh komitmen yang akan dilakukan secara persuasif dengan menggunakan
informasi yang meyakinkan kepada atasannya dan seluruh instansi terkait.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan promosi kesehatan?
2. Apa yang dimaksud dengan promosi kesehatan gigi dan mulut?
3. Apa saja teori yang digunakan untuk promosi kesehatan gigi dan mulut?
4. Bagaimana cara melakukan promosi kesehatan gigi dan mulut?
5. Bagaimana faktor perilaku memberi kontribusi yang signifikan terhadap status
kesehatan gigi dan mulut?
6. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu dan
komunitas? (internal dan eksternal)
7. Apa saja determinan (faktor-faktor penentu) status kesehatan individu?
8. Apa tujuan dari model PRECEDE/PROCEED?
9. Apa yang dimaksud dengan model PRECEDE/PROCEED?
10. Apa yang dimaksud dengan Metoda Komunikasi, Interaksi, Adopsi, Difusi, Inovasi,
Partisipasi dan Pemberdayaan serta tujuannya?
11. Bagaimana cara penilaian dan indeks dari Oral Health Literacy?
12. Apa saja model perubahan perilaku individu dan komunitas sera tujuannya?
13. Bagaimana proses adopsi dalam model perubahan perilaku tingkat individu?
(motivational interview)
14. Apa yang dimaksud dengan Stages of Change Model dan Health Beliefs Model?
15. Bagaimana langkah-langkah advokasi untuk bekerjasama dengan instansi terkait
dalam implementasi program promotif-preventif kesehatan gigi dan mulut?
16. Bagaimana cara memberdayakan masyarakat dalam melakukan promosi kesehatan
gigi dan mulut di tingkat komunitas?

1.3. Hipotesis
Pendidikan dengan model PRECEDE/PROCEED dan metode KIADIPP yang
bertujuan untuk meningkatkan oral health literacy diharapkan dapat merubah perilaku
ditingkat individu dan komunitas sehingga diperlukan langkah-langkah advokasi pada
instansi terkait untuk mengimplementasikan program promotif-preventif kesehatan gigi
dan mulut.
1.4. Peta Konsep

1.5. Sasaran Belajar


Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan:
1. Definisi promosi kesehatan secara umum dan promosi kesehatan gigi dan mulut
2. Bentuk-bentuk promosi kesehatan gigi dan mulut
3. Perilaku kesehatan dan faktor-faktor determinan promosi kesehatan gigi dan mulut
4. Model PRECEDE/PROCEED
5. Oral health literacy dan health literacy
6. Proses adopsi perilaku
7. Stages of change theory dan health belief model
8. Teori difusi-inovasi
9. Teori perubahan sosial
10. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat
11. Advokasi dalam promosi kesehatan
12. Motivational interviewing
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Promosi Kesehatan


Promosi kesehatan adalah ilmu dan seni dalam membantu masyarakat dan komunitas
mengubah gaya hidupnya untuk mencapai kesehatan yang optimal. Promosi kesehatan
meliputi tindakan preventif, edukasi, kebijakan administratif, program, atau hukum untuk
mencapai outcome yang diinginkan. WHO mendefiniskan promosi kesehatan sebagai
proses yang memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan kontrol dan memperbaiki
kesehatannya. WHO kemudian juga menyatakan promosi kesehatan lebih utama
dibandingkan pelayanan kesehatan. Hal ini menempatkan kesehatan pada agenda pembuat
kebijakan di seluruh sektor dan di seluruh tingkatan, mengajak masyarakat untuk peduli
terhadap konsekuensi kesehatan yang mereka pilih dan menerima tanggung jawab untuk
kesehatan. Kebijakan promosi kesehatan mengkombinasikan pendekatan yang beragam
namun saling melengkapi meliputi undang-undang, kebijakan fiskal, pajak, dan perubahan
dalam organisasi. Hal tersebut dirancang untuk menciptakan lingkungan yang mendukung
dan memperkuat aksi masyarakat. Promosi kesehatan menyatukan 4 bagian puzzle dalam
dental hygiene care plan: penilaian (assessing), perencanaan (planning), implementasi
(implementation), dan evaluasi (evaluating).1
Ilmu kedokteran tradisional di negara Barat terfokus pada perawatan penyakit untuk
meningkatkan kuantitas hidup. Kuantitas hidup adalah jumlah tahun seseorang dapat hidup.
Sedangkan, kualitas hidup adalah seberapa berartinya hidup seseorang, yang mana
sebagiannya tergantung pada kesehatan umum individu. Pelayanan kesehatan berkembang
dari perawatan penyakit menjadi pencegahan penyakit, dan yang terkini adalah promosi
kesehatan. Perawatan penyakit dan pencegahan penyakit mengacu pada kuantitas hidup,
sementara promosi kesehatan mengarah kepada peningkatan kuantitas dan kualitas hidup
untuk semua orang. 1
Karena perilaku dan cara berpikir individual tidak mudah untuk diubah, promosi
kesehatan harus menggunakan pendekatan interdisiplin yang melibatkan perawatan klinis,
edukasi kesehatan, penelitian, kebijakan publik, ilmu sosial dan kesehatan masyarakat
dengan tujuan untuk mengeliminasi ketidakseimbangan kesehatan. Untuk mencapai tujun
ini, promosi kesehatan harus menentukan faktor-faktor dalam masyarakat, organisasi
swasta, instansi pemerintah, dan pembuat kebijakan untuk memastikan terwujudnya akses
pada kegiatan pencegahan, perilaku sehat yang tepat, dan lingkungan yang sehat. 1
Organisasi dan instansi pemerintah yang memiliki dampak dalam promosi kesehatan
yakni:
Tempat beribadah
Sekolah
Tempat kerja
Partai politik
Kelompok aksi komunitas
Instansi federal, negara bagian, dan lokal
Badan asuransi kesehatan
Ahli kesehatan (health professionals) dihadapkan dengan beberapa hambatan dalam
promosi kesehatan. Mereka yang terlibat dalam promosi kesehatan harus mengetahui
bahwa kesehatan dan isu yang terkait dengan kesehatan berkaitan dengan keputusan yang
dibuat oleh instansi pemerintahan dan organisasi lainnya. Lebih jauh lagi, usaha promosi
kesehatan tidak selalu berhasil karena rumitnya motivasi manusia secara individual dan
adanya hambatan lain, seperti kebijakan publik.1
WHO telah mengemukakan strategi promosi kesehatan sebagai usaha untuk mengatasi
hambatan-hambatan dalam pelaksanaan promosi kesehatan. Lima strategi pokok WHO
dalam promosi kesehatan (WHOs five core strategies of health promotion) adalah1:
1. Menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive environment)
2. Membangun kebijakan publik yang sehat (build healthy public policy)
3. Menguatkan aksi komunitas (strengthen community action)
4. Mengembangkan keterampilan personal (develop personal skills)
5. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services)
Fokus WHO adalah untuk menghilangkan hambatan-hamabatan dalam kesehatan
dengan cara bekerja sama dengan orang-orang. Dalam Ottawa Charter for Health
Promotion, WHO menggambarkan syarat wajib terwujudnya kesehatan bagi semua adalah
sebagai berikut1 :
1. Advokasi promosi kesehatan bertujuan untuk menciptakan kondisi yang
menguntungkan melalui kegiatan advokasi untuk kesehatan.
2. Enable promosi kesehatan bertujuan untuk mengurangi perbedaan status kesehatan
yang ada saat ini dan memastikan kesempatan dan sumber daya yang sama bagi semua
orang untuk meraih kesehatan.
3. Mediasi promosi kesehatan bertujuan untuk melibatkan semua orang sebagai
individu, keluarga, dan komunitas. Strategi yang dibuat harus disesuaikan dengan
kebutuhkan lokal pada suatu negara atau area karena diperkirakan akan ada perbedaan
sistem sosial, budaya, dan ekonomi.
4. Menciptakan kebijakan publik yang sehat kebijakan publik dan pembuat
kebijakan di semua tingkatan harus mempertimbangkan konsekuensi kesehatan dari
keputusan yang mereka buat dan mereka harus menerima tangggung jawab yang sama.
5. Menciptakan lingkungan yang mendukung membuat keputusan global yang
kondusif (berpengaruh positif) dan tidak merugikan kesehatan.
6. Menguatkan aksi komunitas menentukan prioritas, membuat keputusan,
perencanaan, dan implementasi strategi untuk meraih kesehatan melalui aksi komunitas.
7. Mengembangkan keterampilan personal menyediakan informasi melalui edukasi
individu yang meningkatkan keterampilan hidup yang dapat meningkatkan opsi
kesehatan.
8. Reorientasi pelayanan kesehatan ahli kesehatan (health professionals) dan
organisasi kesehatan harus mengubah cara pikir atau paradigma ke arah promosi
kesehatan.
Empat elemen utama yaitu biologis manusia, lingkungan, gaya hidup, dan organisasi
pelayanan kesehatan memiliki kontribusi pada pengetahuan dan perkembangan promosi
kesehatan, proteksi kesehatan, dan pelayanan kesehatan. 1

2.2. Promosi Kesehatan Gigi dan Mulut


Terdapat determinan kesehatan dan faktor risiko yang berdampak pada kesehatan,
seperti genetik, perilaku individu dan kelompok, lingkungan sosial dan fisik, kebijakan dan
intervensi. Kesehatan bergantung pada interaksi kompleks antara determinan kesehatan.
Dengan demikian outcome sehat bergantung pada kebiasaan, lingkungan, dan kerentanan
host. Keempat penyakit mulut yang dapat dicegah memiliki faktor yang dapat dimodifikasi
oleh profesional kesehatan ketika ingin membuat program promosi kesehatan. 1
Pencegahan merupakan hal terpenting pada promosi kesehatan, karena kebanyakan dari
penyakit gigi dan mulut dapat dicegah. Dulu, penyakit-penyakit yang masih dapat dicegah
baru diberi perawatan setelah mereka terjadi. Promosi kesehatan bertujuan untuk
mengurangi insidens dari penyakit tersebut. Tujuan dari promosi kesehatan gigi dan mulut
adalah untuk mendorong masyarakat untuk mendapatkan hak dalam kesehatan dan
mengurangi insidens serta prevalensi dari penyakit gigi dan mulut melalui edukasi dan
intervensi. 1
WHO telah membuat garis besar dari strategi promosi kesehatan dalam upaya untuk
mengatasi hambatan untuk mempromosikan kesehatan, antara lain1:
1. Membuat lingkungan yang suportif
2. Membangun kebijakan publik yang sehat
3. Memperkuat aksi komunitas
4. Membangun keterampilan individu
5. Re-orientasi pelayanan kesehatan
Promosi kesehatan gigi dan mulut meliputi:
Program edukasi, seperti pencegahan tembakau dan program penghentian, serta
instruksi kebersihan gigi dan mulut pada sekolah publik.
Program sosial meliputi fluoridasi air dan program sealant
Aktivitas legislatif meliputi pendirian hukum dan dana untuk program yang
mempromosikan kesehatan gigi dan mulut
Komponen dari Program Promosi Kesehatan Gigi dan Mulut yang Efektif1 :
1. Intervensi1
Intervensi merupakan tindakan kesehatan berupa aktivitas promotif, preventif,
kuratif, atau rehabilitasi yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesehatan.
Intervensi harus efektof dan efisien. Kegiatan seperti komunikasi, edukasi, advokasi
komunitas, evaluasi status kesehatan, insentif dan disinsentif, serta modifikasi perilaku
mungkin dapat bermanfaat sebagai bagian dari intervensi.
Bentuk intervensi promosi kesehatan gigi dan mulut
Mason J. Concepts in Dental Public Health 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins: 2010.

Mason J. Concepts in Dental Public Health 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins: 2010.

a. Program menyikat gigi di sekolah


Dampak jangka panjang program menyikat gigi telah terlihat pada area yang
kekurangan sumber fluoride di Skotlandia. Program ini mengikutsertakan
peran ibu bersama anaknya yang berusia 5 tahun selama 1 jam/hari untuk
menyikat gigi di sekolah dengan hasil penurunan tingkat karies pada gigi M1
sebesar 32%-56%.
Di area yang kekurangan fluoride di London, program menyikat gigi di sekolah
dengan pengawasan guru yang menggunakan pasta gigi berfluoride (1400 ppm)
menurunkan kerusakan gigi hingga 11%-21%.
Di Yordania anak sekolah dasar yang menyikat gigi tiap hari di sekolah selama
4 tahun, kemungkinan terjadinya karies berkurang hingga 6 kali dibandingkan
anak yang tidak menyikat gigi.
Program di Cina yang telah berjalan selama 3 tahun, berisikan kegiatan
menyikat gigi dengan pengawasan dan pemberian edukasi mengenai kesehatan
gigi dan mulut setiap bulan menunjukkan dampak yang signifikan terhadap
kesehatan gusi, peningkatan kehadiran pada klinik, serta berkurangnya
konsumsi kue dan biskuit.
Syarat keberhasilan program menyikat gigi di sekolah meliputi:
Tingkat kerusakan gigi yang tinggi di area yang tidak terfluoridasi
Bekerjasama dengan orang tua
Program dimulai dari usia 5 tahun
Anak-anak yang tidak menyikat gigi setidaknya 2 kali sehari dengan pasta gigi
berfluoride (di rumah dan/atau di sekolah)
Dukungan untuk guru-guru atau penggunaan supervisor non-guru
b. Program berkumur fluoride di sekolah
Bertujuan untuk mencegah adanya gigi berlubang pada anak-anak dengan akses
terbatas terhadap fluoride. Program ini sebaiknya dilakukan di sekolah dengan
anak-anak yang memiliki tingkat kerusakan gigi yang tinggi dan sedikit fluoride.
Studi di Edinburgh menyatakan program ini dapat mengurangi tingkat kerusakan
gigi hingga 21% pada area yang kekurangan fluoride.
c. Edukasi Kesehatan gigi dan mulut berbasis Sekolah
Program DHE berbasis sekolah menurut Watt dan Marinho menunjukkan efek
positif jangka pendek pada tingkat plak.
Pendekatan yang bisa dilakukan meliputi:
Bekerjasama dengan lingkungan rumah
Studi di Skotlandia membandingkan DHE di rumah bersama orang tua
dengan di sekolah. Hasilnya tidak ada peningkatan kesehatan gusi yang
ditemukan pada edukasi di sekolah dibandingkan kelompok kontrol, namun
kelompok keluarga meningkat signifikan.
Pembelajaran yang kreatif dan interaktif
Program yang interaktif dan menggunakan permainan telah
menunjukkan keberhasilan. Namun evaluasi hanya dalam jangka pendek dan
tidak mengukur pengaruh kerusakan gigi. Watt dan Fuller menyatakan program
pembelajaran yang relevan dengan kehidupan murid berpengaruh signifikan
pada peningkatan pengetahuan, sikap, dan keyakinan.
Penggunaan peer leaders
Studi di Jerman dan Irlandia menunjukkan keuntungan melalui
penggunaan teman sebaya untuk mengajarkan anak yang lebih kecil mengenai
kesehatan gigi.
Theory-based approaches
Theory-based approaches untuk promosi kesehatan gigi dan mulut pada
remaja sebaiknya didalami sebagai alternatif untuk strategi edukasi DHE
tradisional.
Annual classroom lesson
Metode ini kurang efektif untuk DHE karena hanya meningkatkan
pengetahuan, namun tidak menurunkan prevalensi kerusakan gigi.
d. Kebijakan sekolah mengenai kesehatan gigi, termasuk integrasi promosi
kesehatan gigi dan mulut ke kurikulum sekolah
WHO menganjurkan menggunakan program Health Promoting School untuk
mempromosikan kesehatan gigi dan umum. Ditemukan kerusakan gigi dan trauma
dental yang lebih rendah pada anak-anak di sekolah Brazil dengan kebijakan
kesehatan gigi dan mulut yang komprehensif sebagai bagian dari HPS
dibandingkan tanpa kebijakan. Kebijakan tersebut meliputi pemilihan makanan dan
minuman, keamanan taman bermain, dan peran serta orang tua dan komunitas.
e. Program berbasis klinik dan komunitas/sekolah
Program yang berhasil dalam mencegah kerusakan gigi dan/atau meningkatkan
kebersihan rongga mulut dan kesehatan gusi pada anak dan remaja meliputi
childcare dan DHE berbasis sekolah selain intervensi klinik. Intervensi tersebut
meliputi aplikasi fluoride, sealant, dan pembersihan gigi.
f. Program mengunyah permen karet
2. Edukasi1
Edukasi saja tidak cukup efektif dalam mencegah suatu penyakit. Edukasi
merupakan kegiatan promosi kesehatan lainnya yang telah dianggap efektif jika
digunakan bersama dengan teknik lainnya. Para ahli kesehatan mendefinisikan edukasi
sebagai kombinasi dari pengalaman belajar atau intervensi edukatif didesain untuk
membantu individu atau kelompok mempelajari informasi kesehatan yang baru dan
membangun perilaku kesehatan yang baru. Edukasi harus spesifik terhadap audiensnya,
contoh edukasi mengenai tembakau pada anak umur 6 tahun harus meliputi informasi
yang sesuai dengan usianya, aktivitas dan buku-buku yang menarik dan mudah
dipahami. 1
Tingkatan Fokus dalam Edukasi Kesehatan
Teori sosial dan perilaku menawarkan sebuah kerangka kerja yang
mendeskripsikan tiga tingkatan yang berbeda pada fokus untuk aktivitas kesehatan.
1. Fokus intrapersonal
Menggunakan pendekatan individu sebagai target untuk mendapatkan sebuah
perubahan. Seperti teknik modifikasi perilaku untuk mendapatkan perubahan
pengetahuan, perilaku, atau kepercayaan. Contohnya adalah one-to-one chairside
instruction.
2. Fokus interpersonal
Pendekatan ini fokus pada kelompok sebagai target dari perubahan. Contohnya
seperti edukasi kesehatan pada kelompok kecil antara keluarga, tetangga, atau
kelompok kerja yang mencoba untuk mencapai perubahan perilaku.
3. Fokus komunitas
Pendekatan komunitas fokus pada dampaknya terhadap ekonomi, politik, atau
faktor lain yang berada didalam komunitas tersebut. Program edukasi yang
berfokus pada komunitas mengambil keuntungan dari kekuatan komunitas dalam
menangani sebuah masalah, dimana tidak bisa secara efektif didapatkan dari
individu maupun kelompok kecil.
Mason J. Concepts in Dental Public Health 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins: 2010.

2.3. Perilaku dan Faktor Determinan Promosi Kesehatan Gigi dan Mulut
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati
langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Blum, Perilaku
seseorang merupakan faktor yang berpengaruh terhadap status kesehatan gigi dan mulut,
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman serta lingkungan.
Becker (1979) dalam (Notoatmodjo, 2007) membuat klasifikasi lain tentang perilaku
kesehatan dan membedakan menjadi 3, yaitu:
1. Perilaku hidup sehat (Healthy Behavior)
Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan usaha seseorang
untuk meningkatkan kesehatanya, dengan cara: Makan dengan menu seimbang
(appropriat diet), olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras dan
narkoba, istirahat yang cukup, mengendalikan stres, perilaku atau gaya hidup yang
positif bagi kesehatan.
2. Perilaku sakit (Illness Behavior)
Perilaku sakit merupakan respon seseorang terhadap penyakit. Perilaku ini
mencakup: pengetahuan mengenai penyebab penyakit, pengobatan penyakit.
3. Perilaku peran sakit (The Sick Role Behavior)
Perilaku peran yang mencakup hak-hak dan kuwajiban orang sakit. Perilaku ini
mencakup mengetahui hak-hak untuk memperoleh pelayanan dan upaya untuk
memperoleh kesembuhan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan

Menurut Lawrence Green, 1980, perilaku kesehatan terbentuk dari tiga faktor utama,
yaitu:
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor tersebut terdiri atas pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinaan, ilai-
nilai, umur pendidikan, pekerjaan, status ekonomi kelarga
2. Faktor Pendukung (Enabling Factors)
Faktor tersebut terdiri atas lingkungan fisik, ada atau tidaknya sarana dan
prasarana kesehatan, dan ada atau tidaknya program kesehatan. ketersediaan
sumber daya dan fasilitas
3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factors)
Faktor tersebut terdiri atas sikap dan perilaku tenaga kesehatan dan orang lain
yang menjadi panutan

Perilaku dipengaruhi oleh individu, keluarga, dan masyarakat itu sendiri melalui faktor
eksternal dan internal:
1. Faktor eksternal
Kebiasaan
Adat istiadat
Kerpercayaan
Pendidikan
Kondisi sosial-ekonomi
2. Faktor internal
Perhatian
Pengamatan
Persepsi
Motivasi
Fantasi
Sugesti

2.4. Perilaku Kesehatan Gigi


Perilaku kesehatan gigi meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan yang berkaitan
dengan konsep sehat dan sakit gigi serta upaya pencegahannya. Dalam konsep ini yang
dimaksud dengan kesehatan gigi adalah gigi dan semua jaringan yang ada dalam rongga
mulut.
Pengetahuan tentang kesehatan gigi diperoleh seseorang melalui penginderaan
terhadap objek tertentu. Pengetahuan dapat diperoleh secara alami maupun secara
terencana yaitu melalui proses pendidikan. Pengetahuan sangat penting karena
memengaruhi terbentuknya tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan:
1. Tahu mengetahui fungsi gigi
2. Memahami dapat menjelaskan tanda-tanda radang gusi
3. Aplikasi mampu menggunakan materi yang dipelajari pada kondisi yang
sebenarnya
4. Analisis mampu menjabarkan suatu materi atau objek dalam komponen-
komponen
5. Sintesis mampu menggabungkan bagian-bagian menjadi bentuk baru
6. Evaluasi mampu menilai obyek tertentu
Sikap mengenai kesehatan gigi terdiri dari tiga komponen yaitu kepercayaan atau
keyakinan, kehidupan emosional atau evaluasi emosional, dan kecenderungan untuk
bertindak. Menurut Allport (1954), ketiganya membentuk sikap yang utuh. Sikap dibagi
menjadi empat tingkatan, yaitu menerima, merespons, menghargai, dan bertanggung jawab.
Sikap tentang kesehatan gigi merupakan hasil dari proses sosialisasi. Seorang bereaksi
sesuai dengan rangsangan dari obyek kesehatan gigi yaitu konsep gigi dan gusi sehat dan
sakit serta upaya pemeliharaannya yang didapatkan dari proses sosialisasi.
Tindakan mengenai kesehatan gigi dapat terwujud dengan adanya faktor pendukung
atau kondisi yang memungkinkan antara lain dengan adanya fasilitas. Tindakan memiliki
empat tingkatan, yaitu persepsi, respons terpimpin, mekanisme dan adaptasi.

Hubungan Perilaku dengan Status Kesehatan Gigi dan Mulut


Berdasarkan teori Blum yang dikutip oleh Anitasari dkk, status kesehatan gigi dan
mulut seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor penting yaitu :
- Keturunan
- Lingkungan (fisik maupun sosial budaya)
- Perilaku
- Pelayanan Kesehatan
Dari keempat faktor tersebut, perilaku memegang peranan yang penting dalam
mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut secara langsung. Perilaku dapat juga
mempengaruhi faktor lingkungan dan pelayanan kesehatan. Peran penting dalam perilaku
adalah pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan dan sikap merupakan hasil dari
indera dan peran penting dari satu tindakan. Meningkatkan pengetahuan dan sikap akan
meningkatkan kesadaran kesehatan.
Menurut Boediharjo yang dikutip oleh E. Ristya Widi, menyatakan bahwa yang
terpenting dalam usaha menjaga kebersihan mulut adalah faktor kesadaran dan perilaku
pemeliharaan hygiene mulut personal. Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala
macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Penilitian yang dilakukan oleh E. Ristya widi
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara perilaku membersihkan gigi dengan
tingkat kebersihan mulut. Semakin baik perilaku membersihkan gigi, maka semakin baik
tingkat kebersihan gigi dan mulut, sebaliknya semakin jelek perilaku membersihkan gigi,
semakin jelek pula tingkat kebersihan gigi dan mulutnya.
Perilaku di dalam diri seseorang terbentuk dari dua faktor utama yakni: faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor eksternal (stimulus) merupakan faktor dari luar diri seseorang
tersebut, dan faktor internal (respon) merupakan faktor dari dalam diri orang yang
bersangkutan.
1. Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik,
maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dari
penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal paling besar perannya. Faktor eksternal
yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya, dimana
seseorang tersebut berada.
2. Faktor internal yang menentukan seseorang itu merespons stimulus dari luar adalah;
perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya.

Hubungan Perilaku dengan Penyakit Karies


Karies merupakan penyakit gigi dan mulut yang disebabkan karena adanya tiga faktor
utama dalam mulut, yaitu host (gigi dan saliva), mikroorganisma (plak) dan substrat
(karbohidrat) dalam waktu tertentu. Selain ketiga faktor utama tersebut yang langsung
berhubungan dengan karies, terdapat faktor-faktor yang secara tidak langsung berhubungan
dengan karies. Faktor-faktor tersebut disebut faktor resiko luar yang dapat menjadi faktor
predisposisi atau faktor peghambat karies. Faktor luar tersebut antara lain jenis kelamin,
tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan gigi.
Menurut Bahar (2000) salah satu faktor utama yang mempengaruhi kesehatan gigi dan
mulut penduduk di Negara Berkembang adalah perilaku. Perilaku yang dapat
mempengaruhi perkembangan karies adalah kebiasaan makan dan pemeliharaan
kebersihan mulut dengan menggunakan pasta gigi yang mengandung fluor (Reich dkk,
1999; Petersen, 2005)
Segala perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut dinamakan
perilaku kesehatan gigi dan mulut (oral heath behavior). Perilaku kesehatan gigi individu
atau masyarakat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan gigi
individu atau masyarakat. Perilaku kesehatan gigi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: perilaku
kesehatan gigi positif, seperti kebiasaan menyikat gigi dan mulut, dan perilaku kesehatan
gigi negatif, seperti tidak menyikat gigi secara teratur. Perilaku kesehatan gigi positif dapat
menghambat terjadinya karies sedangkan perilaku kesehatan gigi negatif dapat
meningkatkan terjadinya karies.
Berdasarkan dari berbagai penelitian mengenai hubugan perilaku dengan karies,
Berikut ini berbagai perilaku kesehatan gigi dan mulut yang berpengaruh terhadap karies:
a. Frekuensi asupan gula
b. Frekuensi minum minuman bersoda/alkohol
c. Cara makan dan minum makanan/minuman manis
d. Frekuensi asupan fluor
e. Frekuensi menyikat gigi
f. Frekuensi penggunaan dental floss
g. Frekuensi dan alasan kunjungan ke dokter gigi
Bahkan, gaya hidup sehat seperti vegetarian atau makan makanan mentah dan
meminum teh herbal (seperti lemon) juga dapat menyebabkan karies dikaranenakan asam
yang terkandung dalam sayuran, buah atau teh tersebut. Untuk itu diperlukan edukasi
kesehatan gigi dan mulut untuk meningkatkan perilaku kesehatan gigi dan mulut sehingga
dapat mengurangi prevalensi karies dan meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut.

Hubungan Perilaku dengan Penyakit Periodontal


Sejumlah penelitian epidemiologi telah menunjukkan bahwa penyakit periodontal
merupakan salah satu penyakit yang paling umum. Telah diketahui bahwa faktor
mikroorganisme plak, imunologi, dan genetik mempunyai peran penting dalam terjadinya
penyakit periodontal. Pada saat ini, penyakit periodontal juga dapat dipengaruhi oleh faktor
perilaku gaya hidup dan psikososial. Konsep perilaku/gaya hidup yang sehat langsung
berhubungan dengan kesehatan, beberapa sumber mengatakan bahwa individu dengan
perilaku sehat yang aktif memiliki gejala yang lebih sedikit pada gigi dan gusi daripada
individu dengan perilaku sehat yang tidak aktif. Perilaku gaya hidup seperti penggunaan
tembakau, diet, dan kontrol plak, asupan makanan dan minuman yang mengandung gula,
konsumsi alkohol dapat mempunyai dampak yang signifikan pada terjadinya penyakit
periodontal. Individu dengan perilaku tidak sehat mempunyai status periodontal yang
buruk karena kebiasaan menyikat gigi yang tidak baik dan efek merugikan dari rokok. Pada
suatu penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki status periodontal dan
mempunyai perilaku sehat yang lebih baik daripada laki-laki, hal ini bisa jadi disebabkan
karena faktor estetik. Pada penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku sehat ditentukan
oleh faktor social dan lingkungan. Contohnya sikat gigi sebagai perilaku sehat, dipengaruhi
oleh usia, jenis kelalmin, status sosioekonomi, perilaku keluarga dan kelompok, pekerjaan,
tingkat edukasu, dan tempat tinggal.
1. Oral Hygiene yang Buruk
Perilaku menjaga kebersihan rongga mulut sangat berhubungan dengan status
kesehatan gigi dan mulut, salah satunya kesehatan jaringan periodontal. Oral hygiene
yang buruk akan menimbulkan akumulasi plak. Plak yang lunak dapat mengeras akibat
adanya endapan garam-garam mineral sehingga membentuk kalkukus. Kalkulus
menyediakan tempat retensi untuk akumulasi plak berikutnya di area dekat gingiva.
Kemudian plak tersebut akan menginisiasi inflamasi gingiva, menyebabkan
pembentukan poket, kehilangan perlekatan gingiva, dan seterusnya. Oleh karena itu,
modifikasi perilaku dalam menjaga oral hygiene sangat diperlukan untuk mengurangi
prevalensi penyakit periodontal sehingga dapat meningkatkan status kesehatan gigi dan
mulut.
2. Merokok
Merokok adalah faktor risiko utama periodontitis. Merokok akan meningkatkan
prevalensi, perluasan, keparahan penyakit tersebut, serta berdampak buruk terhadap
hasil perawatan bedah, nonbedah, maupun keberhasilan penempatan implan.

Carranzas Clinical Periodontology 11th edition

Perokok mengalami inflamasi gingiva (akibat akumulasi plak) yang lebih


rendah daripada non-perokok. Hal ini karena terdapat perubahan signifikan pada
mikrosirkulasi gingiva, yang berakibat pada penurunan aliran darah dan tanda klinis
inflamasi.
Meskipun inflamasi gingiva pada perokok lebih rendah dibanding non-perokok,
penelitian telah menunjukkan bahwa kedalaman poket periodontal, kehilangan
perlekatan, dan kehilangan tulang alveolar terjadi lebih sering dan lebih parah pada
perokok. Rata-rata, perokok 4 kali lebih berisiko periodontitis dibanding orang yang
tidak pernah merokok. Sedangkan perokok yang telah berhenti (former smokers) 1,7
kali lebih berisiko periodontitis dibanding orang yang tidak pernah merokok. Hal ini
menunjukkan bahwa risiko periodontitis menurun seiring dengan lamanya waktu sejak
pasien berhenti merokok. Oleh karena itu, dokter gigi harus memotivasi pasien untuk
berhenti merokok.
3. Kebiasaan dan Self-inflicted Injury
Pasien sering tidak sadar akan kebiasaan diri mereka sendiri yang dapat
menyebabkan trauma pada rongga mulut sehingga dapat menyebabkan inisiasi atau
progresi penyakit periodontal. Oleh karena itu, diperlukan edukasi dan motivasi dari
dokter gigi untuk menghilangkan kebiasaan tersebut.
- Trauma mekanis sikat gigi : Abrasi gingiva, sama seperti abrasi gigi, dapat
disebabkan oleh kebiasaan menyikat gigi secara agresif.dengan arah horizontal
atau memutar. Efek merusak dari tekanan berlebih tersebut diperparah dengan
penggunaan pasta gigi abrasif. Selain itu, penggunaan dental floss yang tidak
benar juga dapat menyebabkan laserasi (luka robek) pada papila interdental.
- Trauma mekanis akibat tekanan kuku pada gingiva
- Trauma akibat perhiasaan oral (piercing) : Insidensi resesi lingual dengan
pembentukan poket dan bukti radiografik kehilangan tulang terjadi pada 50%
subjek usia 22 tahun yang menggunakan lingual barbells selama 2 tahun atau
lebih.
- Iritasi bahan kimia : Iritasi bahan kimia dapat menyebabkan inflamasi gingiva akut.
Iritasi ini dapat disebabkan oleh alergi terhadap bahan kimia yang tidak berbahaya
(obat kumur, pasta gigi, gigi tiruan) maupun iritasi akibat bahan kimia yang
memang berbahaya (aplikasi topikal obat-obatan korosif seperti aspirin atau
kokain).
4. Smokeless tobacco
Mengunyah tembakau biasanya ditempatkan di vestibulum bukal mandibula
selama beberapa jam dan secara berkala meludah saliva dan tembakau yang sudah
mencair. Penggunaan smokeless tobacco dapat menyebabkan resesi gingiva lokal,
kehilangan perlekatan, leukoplakia, dan peningkatan kerentanan terhadap severe
periodontitis.

2.5. PRECEDE/PROCEED
Planning models (model perencanaan) dapat digunakan sebagai panduan yang
terstruktur atau alat yang digunakan dalam pengembangan program-program
komunitas. Ada beberapa model perencanaan yang digunakan oleh program-program
kesehatan gigi dan mulut dan program kesehatan umum. Salah satunya adalah model
PRECEDE/PROCEED.1
Dr. Lawrence W. Green dan Kreuter membuat model perencanaan bernama
PRECEDE/PROCEED untuk program edukasi dan promosi kesehatan. Model ini
berguna karena memberikan sebuah format untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, perilaku dan implementasi program.1
Tujuan dari model ini adalah untuk menjelaskan perilaku yang berhubungan
dengan kesehatan dan untuk merancang serta mengevaluasi intervensi yang
mempengaruhi perilaku, kondisi hidup dan sequelae yang mempengaruhi mereka.
(Sequelae = kondisi patologis akibat penyakit sebelumnya). Intinya, model ini
digunakan untuk merancang intervensi untuk mencegah penyakit agar kesehatan umum
dan kualitas hidup individu meningkat.1
Dalam pelaksanaannya PRECEDE-PROCEED dilakukan dengan membaginya
ke dalam dua tahap, yaitu PRECEDE dan PROCEED. PRECEDE (=come before
something/order atau pendahuluan) memiliki singkatan Predisposing, Reinforcing, and
Enabling Constructs in Ecosystem Diagnosis and Evaluation. Bagian dari model ini
mempertimbangkan faktor perilaku yang berhubungan dengan munculnya dan
terjadinya sebuah masalah kesehatan. Pada bagian ini dilakukan diagnosa dan
perencanaan yang akurat (diagnostic planning), sebuah proses yang dapat digunakan
untuk membuat program kesehatan yang tertarget dan terfokus pada komunitas yang
dituju. Selain itu dilakukan juga evaluasi. Tiga kategori dari faktor-faktor ini
(Predisposing, Enabling dan Reinforcing) memungkinkan untuk menggolongkan
berbagai perilaku menjadi beberapa segmen untuk perencanaan program.1
1. Faktor Predisposing (Predisposisi) memberikan alasan dibalik sebuah perilaku
atau motivasi terjadinya sebuah perilaku. Termasuk di dalamnya adalah :
pengetahuan, kepercayaan, sikap, nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan keterampilan
yang sudah ada dalam diri.1
2. Faktor Enabling (Memungkinkan) yang termasuk di dalamnya adalah personal
skills dan sumber yang tersedia untuk dilakukannya perilaku. Mereka
memungkinkan (enable) sebuah tindakan untuk terjadi. Tidak adanya faktor ini
akan mencegah sebuah tindakan untuk terjadi kunci dari mengidentifikasi faktor
enabling.1
3. Faktor Reinforcing (Memperkuat) memberikan insentif (sesuatu yang
memotivasi atau mendukung seseorang untuk melakukan sesuatu) untuk repetisi/
pengulangan atau persistensi dari perilaku kesehatan yang telah dimulai. Contoh
dari faktor reinforcing ini adalah pujian, reassurance (meyakinkan kembali),
symptom relief (meredakan gejala), dan dukungan sosial.1
Bagian PROCEED (=begin or continue a course of action, moving forward
atau memulai/melanjutkan) meliputi komponen administrasi dan policy (kebijakan)
dari model perencanaan ini. PROCEED terdiri dari Political, Regulatory, dan
Organizational Constructs affecting Educational and Environmental Development.
Tahapan PRECEDE dapat dibagi menjadi 5 fase sebagai berikut:1
1) Fase 1 (Diagnosis Sosial)
Proses menentukan persepsi masyarakat terhadap kebutuhannya dan aspirasi
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup melalui partisipasi dan penerapan
berbagai informasi yang didesain sebelumnya. Untuk dapat mengetahui masalah
sosialnya, kita perlu menggunakan indikator sosial yang didapatkan dari data sensus,
angka statistik yang ada atau pengumpulan data secara langsung ke masyarakat
melalui wawancara, forum, arau survey.1
2) Fase 2 (Diagnosis Epidemiologi)
Dalam fase ini dilakukan identifikasi siapa dan kelompok mana yang terkena
masalah kesehatan dilihat dari umur, jenis kelamin, lokasi, dan suku. Dicari juga
bagaimana pengaruh atau akibat dari masalah kesehatan tersebut dan cara
menanggulanginya. Sebagai contoh anak usia 12 tahun banyak yang mengalami
sakit gigi hingga tidak dapat bersekolah, cara menanggulanginya adalah diberikan
perawatan ataua pengobatan. Dalam fase ini penting untuk menetapkan prioritas
masalah yang didasarkan pertimbangan besarnya masalah dan akibat yang
ditimbulkan serta kemungkinan untuk diubah. Sehingga masalah tersebut yang
akan paling mungkin untuk diubah dalam model.1
3) Fase 3 (Diagnosis Perilaku dan Lingkungan)
Dalam fase ini perilaku dan lingkungan yang dapat memberikan pengaruh pada
perilaku dan status kesehatan atau kualitas hidup penting dicari tahu dan promotor
kesehatan juga harus bisa membedakan masalah perilaku yang dapat dikontrol
secara individu atau harus dikontrol melalui institusi. Untuk melakukan diagnosis
perilaku dan lingkungan kita perlu melakukan langkah-langkah berikut:1
- Memisahkan faktor perilaku dan nonperilaku sebagai penyebab masalah
kesehatan
- Mengidentifikasi perilaku yang dapat dicegah dan perilaku yang berhubungan
dengan tindakan perawatan atau nonpengobatan. Untuk faktor lingkungan, kita
lakukan eliminasi faktor nonperilaku yang tidak dapat diubah seperti genetik
dan demografi
- Mengurutkan masalah perilaku dan lingkungan berdasarkan besarnya pengaruh
terhadap kesehatan
- Mengurutkan masalah perilaku dan lingkungan berdasarkan kemungkinan
untuk diubah
- Menetapkan perilaku dan lingkungan yang menjadi sasaran program dan tujuan
perubahan perilaku dan lingkungan yang ingin dicapai dalam program
4) Fase 4 (Diagnosis Pendidikan dan Organisasi)
Identifikasi pendidikan dan organisasi dilakukan berdasarkan deteminan
perilaku yang mempengaruhi status kesehatan seseorang/masyarakat dengan
menggunakan 3 faktor yaitu faktor predisposisi, faktor enabling, dan faktor yang
memperkuat yang akhirnya bisa membagi perilaku ke dalam beberapa perencanaan
program. Faktor predisposisi menyediakan alasan dibelakang, atau alasan motivasi
dalam berperilaku, seperti pengetahuan, kepercayaan, attitude, nilai, kultural dan
adat, serta skills. Faktor enabling termasuk kemampuan personal dan sumber
tersedia yang dibutuhkan untuk menunjukan perilaku. Mereka memungkinkan, atau
dibuat mungkin suatu aksi akan terjadi. Faktor memperkuat menyediakan
pendorong untuk pengulangan atau persistensi dari perilaku sehat sekali ketika
sudah memulai. Seperti pujian, penentraman hati, pembebasan dari gejala, ataupun
dukungan sosial.1
5) Fase 5 (Diagnosis Administrasi dan kebijakan)
Analisis terhadap kebijakan, sumber daya dan peraturan yang berlaku yang
dapat memberikan fasilitas atau menghambat pengembangan program promosi jika
dilaksanakan. Kita perlu data untuk perencanaan promosi kesehatan yang bisa
didapatkan dari dokumen yang ada, langsung ke masyarakat, petugas kesehatan
lapangan, ataupun tokoh masyarakat.1

Setelah fase ini, mulai masuk ke Tahap PROCEED yang dapat terbagi menjadi
4 tahap yaitu:1
1. Fase 6 (Implementasi)
Menentukan tujuan promosi kesehatan yang mencakup tiga hal yaitu:
- Peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat
- Peningkatan perilaku masyarakat
- Peningkatan status kesehatan masyarakat
Selain tujuan, kita juga perlu menentukan sasaran promosi kesehatan, apakah
individu dan kelompok atau sebaliknya dengan sasaran langsung (primer) dan tidak
langsung (sekunder dan tersier) siapa. Adapun komponen promosi kesehatan berisi
pesan yang dapat dibuat menggunakaan gambar dan bahasa setempat sesederhana
mungkin agar mudah dipahami oleh sasaran sehingga pesan tersebut benar-benar
ditujukan untuk mereka dan diharapkan sasaran mau melaksanakan isi pesan
tersebut.1
2. Fase 7 (Evaluasi Proses)
3. Fase 8 (Evaluasi Pengaruh)
4. Fase 9 (Evaluasi Hasil)
Kemampuan untuk mengelompokkan perilaku sehat ke dalam faktor
predisposisi, reinforce, dan enabling sangat berguna dalam perencanaan program.
Jika sudah dikategorikan, prioritas harus diidentifikasi untuk mengetahui
kepentingan yang mempengaruhi perilaku, derajat dari faktor yang akan diubah,
dan ketersediaan sumber. Evaluasi dilakukan dengan melihat visi/perencanaan di
awal mengenai kualitas hidup atau status kesehatan pada masyarakat tersebut.1
Mason J. Concepts in Dental Public Health 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins: 2010.

2.6. Oral Health Literacy dan Health Literacy


Health literacy merupakan keterampilan kognitif dan sosial yang menentukan
motivasi dan kemampuan individu untuk mendapatkan akses, memahami, dan
menggunakan informasi untuk meningkatkan dan menjaga kesehatannya tetap baik.
Dengan meningkatkan akses masyarakat ke informasi kesehatan dan kapasitas mereka
untuk menggunakan secara efektif, health literacy sangat penting untuk diberdayakan
(WHO, 1998). Ratzan dan Parker (2000) mendefinisikan health literacy adalah tingkat
dimana individu memiliki kapasitas untuk memperoleh, memproses, dan memahami
informasi dasar kesehatan dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk membuat
keputusan kesehatan yang tepat. Sementara itu definisi oral health literacy adalah
tingkat dimana individu memiliki kapasitas untuk memperoleh, memproses, dan
memahami informasi dasar kesehatan gigi dan mulut dan pelayanannya yang
dibutuhkan untuk membuat keputusan kesehatan yang tepat. Jadi dapat disimpulkan
bahwa health literacy adalah interaksi antara keterampilan individu dan permintaan
sistem pelayanan kesehatan.2
Upaya untuk meningkatkan kualitas, mengurangi biaya dan kesenjangan
kesehatan gigi dan mulut tidak dapat sukses tanpa meningkatkan health literacy publik,
penyedia pelayanan kesehatan, dan pembuat kebijakan. Studi menunjukkan bahwa oral
health literacy terkait dengan tingkat pengetahuan, kunjungan ke dokter gigi, tingkat
keparahan karies, oral health quality of life, dan janji pertemuan kesehatan yang gagal.
Literacy memengaruhi kemampuan individu untuk mengakses informasi dan memroses
informasi tersebut.2
Health literacy bervariasi berdasarkan pada ras, etnis, tingkat pendidikan, dan
tingkat kemiskinan. Semakin rendah tingkat health literacy, semakin besar
kemungkinan individu akan memiliki kesehatan yang buruk, menggunakan prosedur
preventif yang lebih sedikit, dan biaya pelayanan darurat yang lebih mahal. Tingkat
health literacy yang lebih rendah juga lebih mungkin untuk tidak dapat memanajemen
kondisi kesehatan yang sudah kronis. Masalah health literacy yang terbatas lebih besar
pada:2
- Orang lanjut usia
- Kelompok dengan sosioekonomi yang rendah
- Kelompok dengan tingkat pendidikan yang rendah
- Populasi minoritas
- Orang yang memiliki profisiensi inggris yang terbatas

Tingkat literacy secara langsung memengaruhi kemampuan seseorang untuk


bertindak pada informasi kesehatan dan juga untuk mengontrol kesehatan sebagai
individu, keluarga, dan komunitas. Lingkup health literacy memiliki 3 level yang
berbeda, yaitu:3
1. Functional literacy Kemampuan individu untuk membaca consent form, label
obat, dan informasi kesehatan; serta memahami informasi tertulis dan verbal yang
diberikan oleh tenaga kesehatan.3
2. Conceptual literacy Kompetensi seseorang untuk mencari, mengevaluasi, dan
menggunakan informasi kesehatan dan konsep yang ia miliki untuk menentukan
pilihan, mengurangi risiko penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup.3
3. Health literacy as empowerment Memperkuat kewarganegaraan aktif dengan
memiliki komitmen untuk melaksanakan promosi kesehatan dan usaha pencegahan
yang melibatkan individual untuk memahami haknya sebagai pasien dan
kemampuan navigasi pada sistem pelayanan kesehatan; berperan sebagai konsumen
yang telah memiliki informasi mengenai risiko kesehatan suatu produk, pelayanan
dan mengenai pilihan pelayanan kesehatan yang tersedia, dan berperan sebagai
individu atau kolektif untuk meningkatkan kesehatan melalui sistem politik,
advokasi, atau keanggotaan suatu gerakan sosial.2 Health literacy bergantung pada
faktor individu dan sistemik:2
- Keterampilan komunikasi
- Pengetahuan mengenai topik kesehatan
- Sosial dan budaya
- Permintaan terhadap sistem pelayanan kesehatan
- Permintaan terhadap situasi atau konteks

a. Keterampilan komunikasi
Health literacy bergantung pada keterampilan komunikasi konsumen dan
penyedia. Keterampilan komunikasi termasuk keterampilan literacy seperti
membaca, menulis, numeracy, berbicara, mendengar dan memahami.2
b. Pengetahuan mengenai topik kesehatan
Pasien dengan keterbatasan atau pengetahuan yang tidak akurat mengenai tubuh
sendiri dan penyebab penyakit tidak dapat1:
- Memahami hubungan antara faktor gaya hidup (contoh: diet dan olahraga atau
oral hygiene dan kontrol diabetes) dan status kesehatannya
- Menyadari ketika mereka membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan
- Memiliki informasi preventif terkini
Penyedia yang tidak mengikuti perkembangan sains tidak dapat menyediakan
pengetahuan dan informasi yang akurat dan pelayanan evidence-based ke pasien
mereka.2
c. Sosial dan budaya
Sosial dan budaya dapat memengaruhi individu:2
- Bagaimana individu berkomunikasi dan memahami informasi kesehatan
- Bagaimana individu berpikir dan rasakan mengenai kesehatannya
- Jika dan bagaimana individu menghargai kesehatan gigi dan mulut
- Kapan dan dari siapa individu mencari bantuan pelayanan kesehatan
- Bagaimana individu merespon terhadap rekomendasi perubahan gaya hidup
dan perawatan
Sosial dan budaya dapat memengaruhi penyedia:2
- Bagaimana penyedia berkomunikasi dan memahami informasi kesehatan
- Bagaimana penyedia berpikir dan rasakan mengenai kelompok ras/ etnis/
ekonomi lain selain mereka sendiri
- Bagaimana penyedia menghargai kesehatan gigi dan mulut
- Kapan dan dari siapa individu mencari bantuan pelayanan kesehatan
- Jika dan bagaimana penyedia merespon terhadap rekomendasi dan guideline
evidence-based untuk pasien mereka
d. Permintaan sistem pelayanan kesehatan
Health literacy bergantung pada permintaan pelayanan kesehatan dan sistem
kesehatan masyarakat. Individu membutuhkan untuk:2
- Mengetahui dimana lokasi dan bagaimana menavigasikan fasilitas kesehatan
- Membaca, memahami, dan memenuhi berbagai macam bentuk formulir untuk
menerima perawatan dan reimbursement pembayaram
- Dapat mengutarakan tanda dan gejala yang dialami dengan jelas
- Mengetahui mengenai berbagai macam tipe ahli kesehatan dan pelayanan apa
yang mereka sediakan dan bagaimana mengakses layanan tersebut
- Mengetahui bagaimana dan kapan menanyakan pertanyaan atau menanyakan
klarifikasi ketika mereka tidak mengerti
e. Permintaan terhadap situasi atau konteks2
- Konteks kesehatan umumnya dibandingkan dengan konteks lain karena
individu merasa stress atau faktor takut
- Konteks kesehatan dapat meliputi kondisi unik seperti penurunan fisik atau
mental karena penyakit
- Situasi kesehatan seringkali baru, asing, mengintimidasi, dan melelahkan
individu
- Beberapa fasilitas kesehatan memiliki staff yang tidak empati terhadap
pasiennya (not user friendly)
- Beberapa fasilitas kesehatan memiliki banyak hambatan untuk pasien

Health literacy penting karena health literacy memengaruhi kemampuan


seseorang untuk:2
- Memahami konsep dental/medis
- Membagi informasi personal dan kesehatannya ke penyedia
- Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan mereka dan anak mereka
- Menavigasi sistem pelayanan kesehatan, termasuk melokasi penyedia dan
pelayanan, menemukan transportasi dan memenuhi formulir
- Aksi terhadap berita dan pengumuman mengenai kesehatan, contoh:
mengambil keuntungan terhadap gaya hidup preventif
Hal-hal tersebut memengaruhi status kesehatan individu, biaya pelayanan
kesehatan, dan kualitas pelayanan serta kualitas hidup.2

M. Horowitz, PhD A. Nuts & Bolts: (Why) Oral Health Literacy. Presentation presented at; 2013; Huntsville.

Mengukur Health Literacy


Health literacy diukur sebagai kesatuan fungsional. Apakah seseorang dapat
mengaplikasikan informasi kesehatan yang didapat. Yang kemudian tidak dapat
dipisahkan dari: kemampuan membaca, background knowledge terkait dengan
kesehatan, dan budaya dalam masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan.
Misalnya seseorang individu yang baru mendapat obat. Yang diukur bukan hanya
kemampuan membaca, namun juga kemampuan mengerti instruksi pada botol resep
dan menggunakan obat dengan aman, menanyakan pertanyaan yang relevan untuk
informasi kesehatan personal dan atau keluarga, mengerti penjelasan medis dan
rekomendasi dental, mengkomunikasikan tanda dan gejala kepada profesional
kesehatan, dan mengadvokasi hak pasien dalam aturan kesehatan. Health literacy
memfasilitasi orang dewasa untuk menggunakan sumber kesehatan dan untuk membuat
keputusan dan mengambil tindakan untuk kesehatan mereka sendiri.3
Ada banyak pengukuran yang dapat digunakan dalam mengukur health literacy,
antara lain:3
1. Rapid Estimate of Adult Literacy in Medicine (REALM)
2. Test of Functional Health Literacy in Adults (TOFHLA)
3. Health Activities Literacy Scale (HALS)
4. Newest Vital Sign (NVS)
5. Stieglitz Informal Reading Assessment of Cancer Text (SIRACT)
6. Medical Achievement Reading Test (MART)
7. Literacy Assessment for Diabetes (LAD)
8. Short Assessment of Health Literacy for Spanish speaking Adults
(SAHLSA)

.
M. Horowitz, PhD A. Nuts & Bolts: (Why) Oral Health Literacy. Presentation presented at; 2013; Huntsville.

Dalam mengukur oral health literacy, banyak digunakan:3


1. Rapid Estimate of Adult Literacy in Detistry (REALD)
2. Test of Functional Health Literacy in Dentistry (ToFHLiD)

M. Horowitz, PhD A. Nuts & Bolts: (Why) Oral Health Literacy. Presentation presented at; 2013; Huntsville.
2.7. Teori Perubahan Perilaku Individu
2.7.1. Transtheoretical Model (Stages of Changes Model)
1. Pre-contemplation
Tahap dimana seseorang tidak ingin mengambil tindakan dan melakukan
perubahan.
Terjadi akibat pasien tidak memiliki info atau tidak mendapatkan info yang
cukup mengenai konsekuensi dari tindakannya. Dapat juga terjadi karena sudah
demotivasi akibat kegagalannya
Mereka menolak untuk membaca buku atau membicarakan terkait risiko tinggi
yang dimilikinya.
Cendrung membela kebiasaan buruk yang dimilikinya
Seseorang tidak merasa memiliki masalah
2. Contemplation
Memahami dampak dari kebiasaan buruk mereka tapi belum tentu mau
berubah
Memahami pro-kontra dari perubahan dapat mengakibatkan seseorang
terlalu lama pada suatu stage kronik kontemplasi
Sangat efektif untuk mendapatkan edukasi dan informasi
3. Preparation
Memiliki komitmen untuk berubah
Akan segera mengambil tindakan
Memiliki rencana aksi seperti mengikuti kelas edukasi kesehatan, konsultasi,
atau membeli buku yang berkaitan.
4. Action
Seseorang sudah melakukan hal yang spesifik
Tidak semua perubahan merupakan aksi ada batas tertentu misal:
konsumsi kalori < 30% baru disebut sebagai aksi diet.
Ada kemungkinan besar untuk kembali butuh penjagaan
5. Maintenance
Menahan diri untuk tidak kembali ke kebiasaan lama
6. Termination
Seseorang sudah 100% mandiri
10 Proses Perubahan (process of change) adalah kegiatan yang terlihat
maupun tak terlihat yang dilakukan orang untuk melakukan perubahan. Merupakan
petunjuk untuk melakukan program intervensi.
Experiential Processes
Consciousness raising (meningkatkan kesadaran)
Meningkatnya kesadaran tentang penyebab, akibat, dan perawatan untuk
sebuah permasalahan. Intervensi yang dapat meningkatkan kesadaran feedback,
education, confrontation, interpretation.
Dramatic relief (membangun emosi)
Perubahan perilaku dengan cara meningkatkan emosional pasien kemudian
diikuti dengan penurunan emosi dengan cara menawarkan solusi yang dpt diambil
pasien increased emotional experiences followed by reduced affect if appropriate
action taken.
Self reevaluation (mengkritisi diri sendiri)
Kombinasi antara penilaian kognitif dan afektif terhdap satu orang dengan dan
tanpa kebiasaan buruk. Value clarification dan healthy role model adalah teknik
yang dapat digunakan
Environmental reevaluation (mengkritisi lingkungan)
Dampak dari sebuah kebiasaan buruk terhadap lingkungan sekitar. Seseorang
dapat menjadi contoh yang baik atau buruk bagi lingkungannya. Intervensi keluarga
dan training empati dpt menjadi bentuk intervensi yang baik.
Social liberation (kesempatan lingkungan)
Meningkatnya sarana dan prasarana yang akan membantu seseorang untuk
berubah. Intervensi dapat berupa advokasi, pembuatan kebijakan, dll.

Behavioral Processes
Self liberation (komitmen)
Percaya bahwa seseorang dapat berubah, berkomitmen, dan tidak berkomitmen
kembali. Intervensi dapat berupa resolusi tahun baru, testimony public, dll.
Counterconditioning (penggantian)
Mencari hal-hal yang dapat mengkompensasi kebiasaan buruk yang sedang
dihentikan
Stimulus control (menata ulang)
Memberikan stimulus-stimulus yang dapat memotivasi pasien dan
menghilangkan hal-hal yang dapat mengingatkan pasien akan kebiasaan buruk.
Intervensi berupa peer-group, penataan lingkungan (membuat tempat parker yang
membutuhkan 2 menit berjalan)
Contingency management (penghargaan)
Adanya konsekuensi dari sebuah hal yang dilakukan reward and punishment
Helping relationship (mendukung)
Mengkombinasikan antara peduli, percaya, dan pengakuan sebagai support
untuk perubahan menuju kebiasaan yang lebih sehat.

2.7.2. Health Belief Model


Model ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 yan didasari atas partisipasi
masyarakat pada program deteksi dini tuberculosis. Model ini dibuat berdasarkan suatu
teori bahwa perilaku dapat diarahkan oleh persepsi dan keyakinan seseorang (belief).
terdapat tiga komponen yang menjadi penyusun utama dari model ini:
1. Persepsi individu meliputi pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki
seseorang tentang kebiasaan mereka dan dampak yang dapat dimiliki.
a. Perceived susceptibility
Susceptibility kemungkinan untuk terpengaruh dan mendapat
dampak negatif dari suatu hal
Perceived susceptibility mengarah pada opini seseorang tentang
bagaiman kebiasaannya dapat mengarah pada dampak negative. Tujuan dari
HBM adalah untuk mengubah persepsi seseorang akan dampak negative suatu
hal sehingga pasien mau merubah kebiasaannya.
b. Perceived severity
Severity memiliki makna keparahan. Artinya adalah bagaimana opini
seseorang tentang keparahan dari penyakit yang dideritanya. Contohnya adalah
saat rokok dapat menyebabkan kanker paru. Pengetahuan mereka akan sakitnya
kanker paru dapat menentukan mereka mau merubah sikap atau tidak. HBM
berperan untuk meningkatkan kesadaran seseorang akan seberapa serius/parah
dampak yang akan didapatkan dari kebiasaan buruk seseorang.
2. Modifying Factor hal-hal eksternal yang akan mempengaruhi opini seseorang
terhadap keparahan dari dampak akan kebiasaan buruknya.
a. Perceived threat
Opini seseorang terhadap ancama yang akan dia peroleh. Orang yang
baru merokok setahun tidak akan merasa begitu terancam karena masih sehat
dan jika dia berhenti, tubuhnya akan mudah untuk sehat. Berbeda dengan
perokok berat, dia akan merasa lebih terancam ketika dirinya sudah batuk-
batuk yang parah.
b. Environmental faktor
Faktor demografik dan pertemanan. Seseorang yang hidup miskin akan
lebih merasa terancam.
c. Cues to action
Segala hal yang dapat mendorong seseorang untuk berubah media
atau orang terdekat
3. Likelihood of action jika sudah menyadari potensi dari sebuah kebiasaan buruk.
Penting untuk menimbang kembali keuntungan dan rintangan dari sebuah
perubahan.
a. Perceived benefit
Jika seseorang memahami bahwa perubahan dapat membawa dampak
yang lebih baik. Dia akan lebih mudah untuk berubah.
b. Perceived barrier
Menganalisis alasan kenapa seseorang sulit untuk berubah dan
membantunya.
2.8. Teori Perubahan Perilaku Komunitas
2.8.1. Proses Adopsi Perilaku
Menurut Rogers (1974), terdapat beberapa proses dalam adopsi perilaku yang
baru. Proses tersebut dinamanakan Learning-Ladder Decision-Making Continuum.
Diagram ini mengilustrasikan perkembangan dari awal penolakan hingga adopsi
perilaku yang baru. Berdasarkan teori ini, sesorang harus melalui setiap langkah dalam
mendapatkan dan membuat komitmen terhadap perilaku baru. Apabila salah satu
langkah terabaikan, maka perilaku baru tidak akan teradopsi dan terjadi dalam jangka
waktu yang panjang. Dalam aplikasi teori ini, edukator harus mengidentifikasi tingkat
awal seseorang sebelum membuat perencanaan untuk bergerak ke tingkat yang lebih
lanjut. Learning ladder dapat membantu edukator untuk menyusun perencanaan
edukasi.4
Blue C. Darby's Comprehensive Review of Dental Hygiene. 2015

Tahapan4 Penjelasan4
Unawareness Adanya penolakan, tidak adanya informasi atau informasi yang
ada salah
Awareness Menerima informasi yang benar, namun belum paham dan
tahap sadar berkeinginan untuk melakukannya
Contoh: menyikat gigi dapat menghilangkan plak gigi serta
mencegah radang gusi dan karies gigi
Interest Seseorang mulai tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
ketertarikan manfaat dari perilaku baru tersebut.
Contoh: mencaritahu lebih lanjut manfaat menyikat gigi pada
orang yang lebih tahu atau dari sumber lainnya yang dianggap
tahu
Involvement / Seseorang mulai memiliki keinginan untuk bertindak dan
Evaluation menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya informasi tersebut
bagi dirinya
Contoh: rasa ingin tahu meningkat, mempertimbangkan dari
berbagai sudut misalnya kemampuan membeli sikat, pasta gigi
atau melihat orang lain yang rajin menyikat gigi
Action / Trial Seseorang mulai mencoba untuk melakukan sebuah perilaku
tersebut masih dalam bentuk uji coba.
Contoh: mencoba menyikat gigi (apabila merasa nyaman akan
dilanjutkan, apabila terasa ngilu maka kegiatan tersebut tidak
dilanjutkan atau berhenti sementara)
Adoption/habit Seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
menjadi kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus telah yakin dan
kebiasaan mampu menerima bahwa perubahan perilaku tersebut memiliki
keuntungan tertentu.
Contoh: seseorang telah percaya bahwa menyikat gigi memberi
keuntungan sehingga menjadi kebutuhan sehari-harinya

Setiap tahapan harus dilalui dalam proses adopsi perilaku baru. Setiap tahap
memiliki penilaian tersendiri apakah sesorang berkeinginan untuk menerima informasi
atau perilaku baru atau tidak. Proses perubahan perilaku dapat juga dikatakan sebagai
proses belajar. Setelah seseorang melewati tahapan action, dapat dilakukan evaluasi
apakah perilaku baru tersebut dirasa menguntungkan atau merugikan bagi dirinya.
Setelah tahap adopsi, maka akan timbul rasa puas dengan hasil yang telah dicapai (tahap
satisfaction).4

Learning Styles
Learning styles adalah gaya belajar seseorang terhadap informasi baru atau
menjelaskan bagaimana proses pembelajaran seseorang. Dalam dunia kesehatan
umumnya menggunakan strategi pendidikan yang sesuai dengan target populasinya.
Contohnya beberapa orang merasa lebih suka belajar dengan metode self-learners yaitu
belajar secara mandiri dengan membaca instruksi yang diberikan atau menulis
informasi yang diberikan. Selain itu, juga ada tipe group learning yang suka belajar
secara berkelompok. Tipe ini memiliki keuntungan karena dapat membandingkan
informasi yang didapat antar teman kelompok. Selanjutnya, terdapat auditory learners
yang lebih menyukai mendengar penjelasan yang diberikan. Sedangkan, visual learners
akan lebih mengerti jika informasi yang diberikan disajikan secara visual seperti
menyaksikan demonstrasi.4
Namun diantara semua metode pembelajaran yang telah disebutkan, hands-on
activities dan movement-related experiences adalah yang terbaik. Orang-orang tipe ini
merupakan kinetic learners karena potensial belajar mereka sudah dimaksimalkan saat
mereka mempraktikan secara langsung informasi yang telah didapat. Learning styles
ini menentukan seberapa banyak dan seberapa cepat orang tersebut dapat menerima
pelajaran yang diberikan.4
Umumnya tingkat pengetahuan yang dimengerti dari proses pembelajaran
berbeda tergantung cara belajarnya. Jika belajar dari kelas kuliah hanya 5%, jika
membaca hanya 10%, jika menggunakan media audio atau visual sebanyak 20%, jika
menonton demonstrasi sebanyak 30%. Cara belajar ini merupakan metoda
pembelajaran pasif. Sedangkan, dengan metoda pembelajaran aktif, tingkat
pengetahuan yang diterima lebih besar. Jika belajar dalam grup diskusi, tingkat
pengetahuan yang diterima sebanyak 50%, jika mempraktekannya sebanyak 75%, dan
jika mengajarkan ke orang lain, tingkat pengetahuan yang didapat sebanyak 90%.4

Blue C. Darby's Comprehensive Review of Dental Hygiene. 2015.

Learning Principles4
1. Proses pembelajaran akan menjadi lebih cepat dan akan lebih lama diingat jika
memiliki konten yang berisi, terorganisasi dan bestruktur
2. Pengulangan, review, dan penguatan materi meningkatkan pembelajaran
3. Proses pembelajaran lebih efektif jika mendapat lebih banyak informasi
4. Belajar sambil melakukan
5. Terdapat peningkatan respon
6. Proses pembelajaran akan menjadi lebih baik jika individunya terlibat dalam
pemilihan dan perencanaan project
7. Perilaku yang dipelajari harus sesuai dengan kegunaanya
8. Dibutuhkan kesiapan dari individu tersebut agar proses pembelajaran menjadi lebih
efisien dan lebih mudah
9. Dibutuhkan motivasi yang kuat dari diri individu itu sendiri
10. Individu tersebut akan bergerak sejauh mana keinginan mereka mencapai tujuan
tersebut.

Proses pembelajaran dalam menerima perilaku baru dapat terjadi karena adanya
hubungan individu dengan lingkungannya serta adanya interaksi sosial. Interaksi sosial
menyebabkan individu dapat mempengaruhi atau dipengaruhi orang lain, yang disebut
proses penyesuaian diri. Proses penyesuaian diri dibagi menjadi 2 macam, yaitu:4
a. Autoplastis: proses penyesuaian diri terhadap lingkungannya dengan membentuk
dirinya sendiri
b. Aloplastis: proses penyesuaian diri dengan cara merubah lingkungannya sesuai
dengan keinginannya.

Ada beberapa faktor yang dapat mendasari interaksi sosial, yaitu:4


a. Imitasi
Seseorang mempengaruhi orang lain melalui proses belajar. Kondisi-kondisi
yang dapat menunjunag, yaitu:4
- Minat atau perhatian yang cukup besar terhadap materi yang akan dipelajari
- Sikap mengagumi atau menjunjung tinggi sesuatu yang akan dipelajari
- Adanya pandangan penghargaan yang tinggi terhadap sesuatu yang akan
dipelajari
b. Sugesti
Seseorang menerima perilaku orang lain tanpa adanya kritikan. Sugesti
didukung oleh beberapa kondisi yaitu:4
- Hambatan berpikir
- Konsentrasi yang terpecah
- Situasi otoriter
- Pengaruh lingkungan mayoritas
- Kesediaan seseorang untuk menerima
c. Identifikasi
Kecenderungan atau keinginan diri untuk menjadi seperti orang lain yang
dikagumi. Proses ini melibatkan perasaan emosional. Secara tidak sadar, orang
terkadang telah mengidentifikasi orang yang dikagumi. Interaksi sosial yang telah
melibatkan proses identifikasi menunjukkan hubungan yang lebih mendalam
dibandingkan dengan interaki yang hanya melibatkan proses imitasi atau sugesti.4
d. Simpati
Perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain berdasarkan pemikiran logis,
rasional, dan emosional. Dorongan rasa simpati adalah keinginan untuk mengerti
dan bekerja sama, sedangkan pada proses identifikasi lebih ke keinginan untuk
mengikuti jejak, mencontoh dan belajar.4

2.8.2. Teori Difusi-Inovasi


Sebelum suatu ide, perilaku, produk, atau layanan baru menjadi bagian dari
masyarakat, maka diperlukan proses komunikasi, penerimaan, dan adopsi oleh
masyarakat tersebut. Teori Difusi-Inovasi (dipionirkan oleh Rogers pada tahun 1962)
menjelaskan mengenai bagaimana ide, praktik sosial, atauapun produk baru menyebar
ke dan di antara masyarakat.1
Difusi merupakan suatu proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui media
(channel) tertentu dalam suatu periode waktu di antara para anggota dari suatu sistem
sosial. Terdapat 3 komponen utama yaitu inovasi, komunikasi kanal, dan waktu.1
Inovasi merupakan suatu ide, praktik, atau objek yang diterima sebagai hal baru
oleh individu atau unit adopsi. Proses komunikasi melibatkan suatu inovasi dari unit
individu yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman kepada individu lain yang
belum dan dihubungkan oleh kanal komunikasi. Kanal komunikasi merupakan jalur
dimana suatu pesan didapat dari individu yang satu ke individu yang lain. Komunikasi
dapat terjadi secara homofilus (memiliki kesamaan karakteristik seperti keyakinan,
pendidikan, status sosial) dan menghasilkan komunikasi yang lebih efektif, daripada
heterofilus (memiliki perbedaan, terutama perbedaan bahasa; pendidikan, status sosial,
pengetahuan, dan pengalaman). Waktu merupakan komponen penting dimana dimensi
ini terlibat dalam proses inovasi diterima oleh individual pertama kemudian
dibandingkan, lalu diadopsi (tingkat adopsi).5,6
Secara umum proses innovation-decision merupakan proses seseorang
menerima informasi mengenai inovasi pertama kali untuk kemudian menghasilkan
suatu keputusan akan menerima atau menolak, mengimplementasi, dan
mengkonfirmasinya. Terdapat 5 tahapan dalam proses ini:6
1. Pengetahuan (Knowledge or Awareness Stage)
Pengetahuan terjadi ketika individu terekspos pada suatu inovasi dan
mendapatkan pemahaman seputar inovasi tersebut.
2. Persuasi (Persuasion or Interest Stage)
Persuasi terjadi ketika individu membentuk suatu perilaku yang cenderung
positif atau negatif terhadap inovasi. Individu akan mencari informasi tambahan
seputar inovasi yang telah diketahui.
3. Keputusan (Decision or Evaluation Stage)
Keputusan terjadi ketika individu terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada
tindakan mengadopsi atau menolak suatu inovasi.
Penolakan terdiri dari 2 tipe :
- Penolakan aktif, terjadi proses konsiderasi adopsi inovasi, namun kemudian
memutuskan tidak mengadopsinya
- Penolakan pasif (nonadopsi), tidak terjadi proses konsiderasi inovasi
4. Implementasi (Implementation or Trial Stage)
Implementasi merupakan saat dimana individu meletakkan inovasi dalam
pemanfaatan sehari-hari.
5. Konfirmasi (Confirmation or Adoption Stage)
Konfirmasi terjadi ketika individu mencari penguatan atas keputusan inovasi
yang telah dibuat dimana dapat mengganti keputusan yang awalnya telah dibuat jika
mendapat tanggapan kurang sesuai terhadap inovasi. Jika individu telah sepenuhnya
yakin maka terjadilah proses adopsi.
Model 5 Tahap Innovation-Decision
Seberapa baik inovasi diterima atau seberapa cepat diadopsi ditentukan oleh
berbagai faktor, diantaranya:
- Melibatkan populasi target dalam pengembangan inovasi.
Hal ini sangat penting dimana nilai, kebutuhan, pengalaman, dan kebiasaan
masyarakat merupakan pertimbangan yang penting untuk diperhatikan
- Mengidentifikasi atau mengetahui opini dari pemimpin suatu komunitas guna
mendapatkan dukungannya untuk ide dan pengalaman yang sifatnya baru
Ketika suatu pemimpin komunitas membuat pernyataan melalui berbagai media
yang ada, maka akan semakin besar peluang masyarakat untuk menerima ide atau
tindakan baru tersebut
- Komunikasi dilakukan dua arah
Komunikasi diupayakan untuk terjadi dua arah sehingga sifatnya resiprokal.
Pada hal ini seluruh saluran komunikasi baik formal maupun nonformal, serta
sistem sosial harus diidentifikasi dan digunakan untuk penyebarannya.

Kategori Adopter berdasarkan Kemampuan Mengadopsi Inovasi


Tidak semua individual dalam sistem sosial mengadopsi inovasi pada waktu
yang sama, dengan demikian tingkat adopsi terjadi pada beberapa tahapan. Penentuan
dimana kah posisi adopsi suatu kelompok masyarakat dapat membantu edukator untuk
memilih strategi intervensi kesehatan yang tepat. Innovativeness dalam bahasa Inggris
diartikan sebagai suatu tingkatan dimana individu mampu mengadopsi suatu inovasi
secara lebih cepat dibanding anggota lain dalam sistem yang sama. Rogers membuat
suatu kurva berdasarkan variabel waktu untuk mengklasifikasikan kategori para
adopter membentuk kurva distribusi normal (bell shaped) untuk menunjukkan tingkat
adopsi pada plot waktu dalam basis frekuensi dan kurva S kumulatif untuk
menunjukkan kumulasi adopter yang telah diplotkan. Keduanya menggambarkan data
yang sama. Garis arsir pada kurva S menandkan waktu dimana difusi dimulai (takes
off).7
Grafik distribusi frekuensi normal (bell shaped) dan kurva kumulatif S untuk distribusi adopter
Dilihat pada kurva S tampak kenaikan berjalan lambat pada awalnya hanya
sedikit adopter, kemudian terakselerasi hingga titik maksimum ketika mencapai
setengah dari populasi target mengadopsi, kemudian terjadi peningkatan yang lambat
ketika hampir seluruh individu telah mengadopsi. Namun pada kurva distribusi
frekuensi tetap normal. Hal ini disebabkan oleh peran informasi dan reduksi yang tidak
pasti pada difusi inovasi. Ketika seorang individu belajar suatu hal baru maka akan
membentuk kurva normal, namun ketika diberikan situasi baru maka dapat terjadi
beberapa kesalahan yang akan berkurang sejalan dengan kapasitas pembelajaran yang
semakin berkembang. Sehingga secara kumulatif akan membentuk kurva S namun
secara umum distribusi frekuensinya normal.7
Pada kurva kumulatif terdapat titik yang disebut critical mass, yaitu dimana
sejumlah individu telah mengadopsi inovasi sehingga kemudian proses adopsi
selanjutnya berlangsung apa adanya (menjadi self-sustaining).7
Titik kritis dari kurva kumulatif adopsi inovasi
Berdasarkan kurva distribusi normal tersebut, para adopter diklasifikasikan
menjadi 5 kelompok, yaitu:
a. Innovator (2,5%)
Tipe petualang, tidak konvensional, obsesi dan senang dengan ide baru,
pengambil risiko, sadar media, memasuki lingkungan sosial kosmopolit,
berpendidikan, dan biasanya bukan bagian dari struktur sosial yang umum.
Memiliki kemampuan finansial yang cukup terutama untuk menghadapi kerugian
dari suatu inovasi. Memegang peranan penting dalam proses difusi untuk
memunculkan ide baru dalam sistem sosial dengan sebagai gate keeper.
b. Early adopter (13,5%)
Dihormati, mengetahui opini pemimpin komunitas, aktif di komunitas, sadar
media, menggunakan inovasi secara sukses, dapat dikonsultasikan sebelum adopter
potensial menerima ide baru. Lebih terintegrasi dalam sistem sosial daripada
inovator, lokalis, dapat menjadi agen pemercepat proses difusi.
c. Early majority (34%)
Menerima perubahan walau bukan yang pertama, tenang dan hati-hati, pengikut
daripada pemimpin, berpendidikan, dipengaruhi oleh interaksi interpersonal
daripada media, lebih mendengarkan berita lokal dan regional daripada nasional. Di
atas usia rata-rata, berperan menjaga keterhubungan dalam suatu sistem sosial,
memilih untuk berpikir terlebih dahulu sebelum menerima suatu inovasi.
d. Late majority (34%)
Skeptis dalam komunitas, curiga namun dapat diyakini oleh persuasi rekan
seumur, tidak terlalu suka mengambil risiko, usia lebih tua, pendidikan tidak terlalu
tinggi, memiliki posisi sosioekonomi yang lebih rendah
e. Laggards (16%)
Curiga terhadap suatu inovasi, tradisional, sangat lamban untuk berubah,
terorientasi dengna masa lalu, hanya memiliki pengaruh yang rendah pada sistem
sosial terkini, posisi sosioekonomi yang rendah, dan kadang merasa terisolasi dari
lingkungan, menggunakan media hanya untuk hiburan saja. Umumnya merupakan
target potensial dari program kesehatan gigi mulut pemerintah.
*terdapat segmen kecil dari komunitas yang tidak menerima inovasi

Grafik Distribusi Normal Kelompok Adopter


Berdasarkan berbagai penelitian, terdapat tiga hal yang membedakan antar
adopter antara adopter awal dan kemudian, yaitu status sosioekonomi, kepribadian, dan
kemampuan komunikasi.
1. Sosioekonomi
a. Adopter awal tidak berbeda dengan adopter lanjut berdasarkan usia
b. Adopter awal memiliki pendidikan yang lebih lama dari adopter lanjut
c. Adopter awal lebih mudah diajari (literate) yang lebih lama dari adopter lanjut
d. Adopter awal memiliki status sosial yang lebih tinggi dari adopter lanjut
e. Adopter awal memiliki mobilitas sosial yang lebih tinggi dari adopter lanjut
f. Adopter awal memiliki unit kepemilikan (rumah, perusahaan, usaha) yang lebih
besar dari adopter lanjut
g. Adopter awal lebih mudah memiliki orientasi ekonomi komersial dari adopter
lanjut
h. Adopter awal memiliki kecenderungan meminjam uang dari adopter lanjut
i. Adopter awal lebih banyak memiliki spesialisasi dari adopter lanjut
2. Kepribadian
a. Adopter awal memiliki empati yang lebih besar dari adopter lanjut
b. Adopter awal lebih tidak dogmatis dari adopter lanjut
c. Adopter awal memiliki kemampuan menghadapi hal yang abstrak yang lebih
baik dari adopter lanjut
d. Adopter awal memiliki rasionalitas yang lebih besar dari adopter lanjut
e. Adopter awal memiliki inteligensi yang lebih besar dari adopter lanjut
f. Adopter awal memiliki kecenderungan perubahan sikap dari adopter lanjut
g. Adopter awal lebih mampu menghadapi ketidaktentuan dan risiko dari adopter
lanjut
h. Adopter awal memiliki perilaku yang lebih baik terhadap pendidikan dan ilmu
pengetahuan dari adopter lanjut
i. Adopter awal lebih tidak pesimis dari adopter lanjut
j. Adopter awal memiliki tingkat motivasi lebih besar dari adopter lanjut
k. Adopter awal memiliki aspirasi (untuk pendidikan, pekerjaan, dan lainnya) yang
lebih besar dari adopter lanjut
3. Kemampuan Komunikasi
a. Adopter awal memiliki partisipasi sosial yang lebih besar dari adopter lanjut
b. Adopter awal memiliki keterhubungan dalam sosial sistem yang lebih besar dari
adopter lanjut
c. Adopter awal lebih kosmopolit dari adopter lanjut
d. Adopter awal memiliki kontak dengan agen perubahan yang lebih besar dari
adopter lanjut
e. Adopter awal memiliki eksposur media massa dan komunikasi interpersonal
yang lebih besar dari adopter lanjut
f. Adopter awal mencari informasi mengenai inovasi lebih aktif dari adopter lanjut
g. Adopter awal memiliki pengetahuan mengenai inovasi yang lebih besar dari
adopter lanjut
h. Adopter awal berada pada sistem yang terhubung (interconnected) dari adopter
lanjut

Variabel yang Menentukan Tingkat Adopsi Inovasi


Tingkat adopsi merupakan kecepatan relatif suatu inovasi dapat diadopsi oleh
masyarakat pada sistem sosial; umumnya diukur dari jumlah individual yang
mengadopsi ide baru pada suatu periode spesifik. Variasi pada tingkat adopsi sebanyak
49-87% ditentukan oleh lima karakteristik adopsi; selain itu ditunjang oleh variabel lain
yaitu tipe innovation-decision (individual atau kelompok; semakin banyak pihak yang
terlibat maka akan semakin mengurangi kecepatan adopsi sehingga sangat diupayakan
tipe individuallebih cepat), media komunikasi yang digunakan (komunikasi verbal
secara langsung atau menggunakan media), kondisi sistem sosial (norma dan nilai yang
berlaku di masyarkat, selain itu tingkat efektivitas komunikasi), dan perluasan upaya
promosi dari agen perubahan (semakin besar dan efektif upaya yang dilakukan maka
diharapkan memberikan hasil yang lebih signifikan).
Lima karakteristik adopsi merupakan faktor yang dapat meningkatkan
penerimaan dan adopsi suatu ide, perilaku, ataupun inovasi pelayanan. Faktor tersebut
dirangkum dalam lima karakteristik persepsi individu untuk memprediksikan tingkat
adopsi dan bagaimana suatu inovasi ditanggapi. Dalam buku Rogers yang berjudul
Diffusion of Innovations hal ini disebut sebagai the five attributes of innovations,
yang berbeda satu sama lain tetapi berhubungan. Karakteristik tersebut meliputi:
- Keuntungan relatif (relative advantage): penilaian seberapa baik inovasi dapat
menggantikan ide, produk, praktik, maupun program sebelumnya ; apakah lebih
baik dari ide sebelumnya. Penilaian keuntungan dapat dilihat dari nilai uang
(ekonomis), kemudahan, penghematan waktu, dan kebanggaan yang didapatkan.
Keuntungan relatif dari suatu inovasi, seperti yang didapatkan oleh anggota suatu
sistem sosial, berpengaruh positif terhadap tingkat adopsinya.
- Kecocokan (compatibility): penilaian seberapa cocok dan konsisten suatu inovasi
terhadap nilai, kebiasaan, pengalaman, dan kebutuhan masyarakat yang akan
mengadopsi. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan inovasi dengan nilai, norma,
dan situasi masyarakat yang dituju. Tingkat kecocokan dapat dilihat dari beberapa
aspek yaitu nilai dan kepercayaan sosial dan budaya, ide yang sebelumnya telah
diketahui / diperkenalkan ke masyarakat, dan kebutuhan akan inovasi. Tingkat
kecocokan dari suatu inovasi, seperti yang didapatkan oleh anggota suatu sistem
sosial, berpengaruh positif terhadap tingkat adopsinya.
- Kerumitan (complexity): penilaian seberapa mudah suatu inovasi digunakan. hal ini
dimaksudkan untuk menghasilkan suatu program, ide, maupun produk yang mudah
digunakan dan dimengerti khalayak banyak. Suatu ide dapat diklasifikasikan
menurut tingkat kerumitan dan kemudahan (complexity-simplicity continuum).
Tingkat kerumitan dari suatu inovasi, seperti yang didapatkan oleh anggota suatu
sistem sosial, berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsinya.
- Kemampuan diuji coba (trialability): penilaian seberapa mampu suatu inovasi diuji
coba secara terbatas; sehingga dapat menyediakan peluang mencoba terlebih dahulu
dengan batasan dan basis tertentu. Suatu ide baru yang dapat diuji coba pada tahap
awal akan memiliki potensi adopsi yang lebih cepat daripada inovasi yang sulit diuji.
Kemampuan uji coba dari suatu inovasi, seperti yang didapatkan oleh anggota
suatu sistem sosial, berpengaruh positif terhadap tingkat adopsinya.
Adopter awal (early adopters) secara relatif memandang kemampuan uji coba lebih
penting daripada adopter tahap lanjut (later adopters). Tipe laggard berpindah dari
uji coba awal menuju skala penuh aplikasi suatu inovasi secara lebih cepat daripada
inovator dan adopter awal; hal ini disebabkan karena individu yang lebih inovatif
tidak memiliki penahulu untuk diikuti ketika mereka mengadopsi suatu inovasi baru.
Sedangkan para adopter lanjutan dikelilingi oleh para rekan yang telah mengadopsi
inovasi sehingga tidak lagi melalui tahap uji coba melainkan langsung mengadopsi
suatu inovasi yang sesungguhnya tersebut. Rekan para adopter lanjutan seolah-olah
sebagai bentuk hasil uji coba psikologis atau uji coba singkat pengganti yang mana
konsep uji coba aktual dari suatu ide baru sebenarnya tidak terlalu penting bagi
mereka.
- Kemampuan diobservasi (observability): penilaian kemampuan keberhasilan yang
nyata dari suatu inovasi. Hal ini dapat dilihat dengan mengobservasi hasil yang ada
yaitu melalui umpan balik atau publisitas. Kemampuan observasi dari suatu inovasi,
seperti yang didapatkan oleh anggota suatu sistem sosial, berpengaruh positif
terhadap tingkat adopsinya.

Karakteristik Inovasi dalam Adopsi


Efek difusi merupakan hasil kumulatif efek dari suatu pendekatan atau inovasi
terhadap individual untuk menerima atau menolak. Ambang batasnya adalah 20-30%
dalam suatu kelompok masyarakat. Efek difusi semakin besar pada sistem sosial
dengan tingkat keterhubungan yang tinggi (interconnectedness: suatu tingkat
pengukuran unit dalam sistem sosial yang terhubung oleh koneksi interpersonal), yang
akan meningkatkan tingkat adopsi inovasi. Sedangkan overadopsi merupakan kondisi
dimana terjadi proses adopsi suatu inovasi dimana para ahli berpendapat bahwa ide
tersebut seharusnya ditolak.7

Paradigma Variabel yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Inovasi

2.8.3. Pemberdayaan Masyarakat


A. Definisi
Salah satu strategi global promosi kesehatan adalah pemberdayaan atau
empowerment dengan sasaran masyarakat atau komunitas. Pemberdayaan
masyarakat adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi
dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat
bersifat noninstruktif dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan,
dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat dari
fasilitas yang ada, baik dari instansi lintas sektoral maupun LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) maupun tokoh masyarakat. Masyarakat diupayakan untuk
diberdayakan agar mereka mau dan mampu memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka sendiri.8,9
Terdapat batasan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan, yakni
dikhususkan sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Sedangkan batasan
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan dari Kemenkes RI menekankan
pada pendekatan noninstruktif, yaitu dimaksudkan untuk menghindari kesan pada
masyarakat bahwa pendekatan-pendekatan pengembangan masayarakat yang ada
bersifat instruktif, atau kurang memperhatikan pertumbuhan dari bawah. Tujuan
yang ingin dari pemberdayaan ini yaitu kemandirian masyarakat. Dalam hal ini
pemberdayaan masyarakat merupakan proses, dan kemandirian merupakan hasil
dari proses tersebut.8,9
B. Tujuan di Bidang Kesehatan9
Terdapat beberapa tujuan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan,
antara lain:
1. Menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan kesehatan bagi
individu, kelompok atau masyarakat
Adanya kesadaran dan pengetahuan dapat menjadi tahap awal
timbulnya kemampuan yang merupakan hasil proses belajar. Melalui proses
belajar kesehatan, maka dapat diperoleh informasi kesehatan sehingga dapat
menimbulkan kesadaran akan kesehatan sehingga mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatan.
2. Menimbulkan kemauan atau kehendak, yang merupakan bentuk lanjutan dari
kesadaran dan pemahaman terhadap objek
Kemauan dan kehendak atau biasa disebut sikap atau niat merupakan
kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan. Dari kemauan dapat berlanjut
ke tindakan atau berhenti pada kemauan saja, bergantung dari berbagai faktor.
Faktor utama yang mendukung berlanjutnya kemauan tersebut adalah sarana
dan prasarana untuk mendukung tindakan tersebut. Contohnya, tersedianya
bahan-bahan untuk membangun fasilitas yang mendukung kesehatan, misalnya
jamban sehat.
3. Menimbulkan kemampuan masyarakat di bidang kesehatan, yang menandakan
bahwa secara individu maupun kelompok telah mampu mewujudkan kemauan
kesehatannya dalam bentuk tindakan atau perilaku sehat
Sarana, prasarana, fasilitas atau dana yang mendukung terwujudnya
kemampuan untuk hidup sehat merupakan hal yang yang utama. Dengan begitu
maka dapat tercipta masyarakat yang mandiri di bidang kesehatan, yaitu
masyarakat yang mampu memfasilitasi kebutuhan sarana atau prasarana
kesehatannya.

Bagan Proses Pemberdayaan


Kemenkes RI. Promosi kesehatan di daerah bermasalah kesehatan. Jakarta: Depkes RI; 2011.
C. Kriteria Masyarakat yang Mandiri dalam Bidang Kesehatan
Terdapat beberapa kriteria masyarakat yang mandiri dalam bidang kesehatan9,
antara lain:
1. Mampu mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah-masalah kesehatan, terutama di lingkungan dan masyarakat setempat.
Untuk mewujudkan hal tersebut masyarakat harus mempunyai
pengetahuan kesehatan yang baik (health literacy). Pengetahuan kesehatan dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya yang harus dimiliki oleh masyarakat
sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut:
Pengetahuan tentang penyakit baik menular maupun tidak, meliputi nama,
tanda atau gejala, penyebab, cara penularan, cara mencegah penyakit
tersebut dan tempat pelayanan kesehatan yang tepat untuk pengobatan
Pengetahuan tentang gizi dan makanan yang harus dikonsumsi, meliputi
kebutuhan zat gizi, makanan yang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan
tubuh, akibat dari kekurangan gizi
Perumahan sehat dan sanitasi dasar untuk menunjang keluarga atau
masyarakat, meliputi ventilasi dan pencahayaan rumah, sumber air bersih,
pembuangan tinja, sampah
Pengetahuan tentang bahaya merokok dan zat lain yang menimbulkan
gangguan kesehatan, seperti narkoba
2. Mampu mengatasi masalah-masalah kesehatan mereka sendiri secara mandiri.
3. Mampu memelihara dan melindungi diri akan ancaman kesehatan.
4. Mampu meningkatan kesehatan baik secara individu, kelompok dan
masyarakat.
D. Prinsip
Terdapat beberapa prinsip dalam pemberdayaan masyarakat9, antara lain:
1. Menumbuhkembangkan potensi masyarakat
Peran petugas kesehatan adalah untuk membuat masyarakat mengenal
potensi mereka sendiri, baik sumber daya alam maupun manusia, kemudian
dibimbing untuk mengembangkan potensi mereka sendiri sehingga masyarakat
dapat menemukan upaya pemecahan masalah berdasarkan kemampuan yang
dimiliki.
2. Mengembangkan gotong royong masyarakat
Peran petugas kesehatan antara lain memotivasi dan memfasilitasi agar
gotong-royong terjadi di masyarakat, yaitu dengan melakukan pendekatan
kepada tokoh penggerak masyarakat.
3. Menggali kontribusi masyarakat
Seorang petugas kesehatan bersama dengan tokoh masyarakat harus
menggali kontribusi masyarakat sebagai bentuk partisipasi masyarakat.
4. Menjalin kemitraan
Seorang petugas kesehatan dapat membantu memudahkan akses
masyarakat ke pelayanan kesehatan, maka provider kesehatan dapat
memfasilitasi advokasi kepada sektor pembangunan, misalnya pemda atu dinas
pekerjaan umum setempat.
5. Desentralisasi
Setiap bentuk pengambilan keputusan harus diserahkan ke masyarakat
setempat, sesuai dengan budaya masing-masing komunitas. Peranan sistem di
atasnya hanya sebagai fasilitator dan motivator. Masyarakat bebas melakukan
kegiatan atau program inovatif, tanpa adanya arahan atau instruksi dari atas.
E. Ciri9
1. Tokoh atau pemimpin masyarakat (Community Leader)
Pada tahap awal, petugas kesehatan dapat melakukan pendekatan ke
tokoh masyarakat terlebih dahulu karena pada umumnya masyarakat Indonesia
berpanutan kepada orang yang berpengaruh di lingkungannya. Tokoh
masyarakat dapat bersifat formal, seperti camat, lurah, ketua RW/RT, atau
informal seperti ustad, pendeta, kepala adat, dan sebagainya. Petugas kesehatan
juga dapat memanfaatkan tokoh masyarakat ini sebagai potensi yang harus
dikembangkan untuk pemberdayaan masyarakat
2. Organisasi masyarakat (Community Organization)
Organisasi masyarakat dapat menjadi potensi dan mitra kerja dalam
upaya pemberdayaan masyarakat. Contoh organisasi yang ada di masyarakat,
antara lain PKK, karang taruna, majelis taklim, kelompok-kelompok pengajian,
koperasi-koperasi, dan lain-lain. Mitra puskesmas, seperti posyandu dan
poslindes, juga diperlukan sesuai kebutuhan masyarakat setempat, tidak
semata-mata berdasarkan target dari puskesmas. Materi penyuluhan pada setiap
posyandu sebaiknya seragam dalam hal konten penyuluhan, selain itu
disesuaikan dengan masalah endemic yang terjadi di wilayah tersebut
3. Pendanaan masyarakat (Community Fund)
Dana sehat atau BPJS telah tersedia dengan menjunjung tinggi prinsip
gotong-royong, yaitu yang sehat menolong yang sakit, yang kaya membantu
yang miskin. Namun, pada beberapa daerah yang difasilitasi oleh LSM yang
bekerjasama dengan Dinkes telah mengembangkan berbagai bentuk community
fund lain seperti Tabulin (Tabungan ibu bersalin), dan Tassia (Tabungan suami
sayang ibu dan anak).
4. Material masyarakat (Community Material)
Merupakan sumber daya alam di wilayah yang berbeda-beda, yang
dapat dimanfaatkan secara gotong-royong untuk pembangunan fasilitas
kesehatan.
5. Pengetahuan masyarakat (Community Knowledge)
Semua bentuk penyuluhan kesehatan kepada masyarakat merupakan
contoh pemberdayaan yang meningkatkan komponen pengetahuan masyarakat,
dan dapat dilakukan dengan pendekatan community based health education.
Contohnya adalah lomba membuat poster himbauan tentang pesan-pesan
kesehatan pada event tertentu seperti hari jadi kota, atau hari kesehatan nasional.
Dari lomba tersebut peserta yang menang akan memperoleh hadiah, dan
posternya akan ditempel ditempat umum.
6. Teknologi masyarakat (Community Technology)
Penggunaan teknologi dapat dilakukan untuk pengembangan program
kesehatan. Teknologi-teknologi sederhana yang lahir dari masyarakat ini
merupakan potensi untuk pemberdayaan masyarakat. Petugas kesehatan dapat
mengadopsi dan memodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan di tempat lain atau
diperluas.
F. Indikator Hasil9
1. Input
a. Sumber daya manusia tokoh masyarakat formal maupun informal yang
bepartisipasi
b. Besarnya dana yang digunakan dana yang diperoleh dari kontribusi
masyarakat setempat maupun dari bantuan diluar masyarakat
c. Bahan-bahan dan alat, atau materi yang digunakan untuk menyokong
kegiatan pemberdayaan
2. Proses
a. Jumlah penyuluhan kesehatan dilaksanakan di masyarakat yang bersangkutan
b. Frekuensi dan jenis pelatihan dilaksanakan di masyarakat yang bersangkutan
dalam rangka pemberdayaan masyarakat
c. Jumlah tokoh masyarakat atau kader kesehatan yang telah diintervensi atau
dilatih sebagai penggerak pemberdayaan masyarakat
d. Pertemuan-pertemuan masyarakat dalam rangka perencanaan atau pengambilan
keputusan untuk kegiatan pemecahan masalah masyarakat setempat
3. Output
a. Jumlah dan jenis UKBM/ upaya kesehatan bersumber daya masyarakat,
seperti posyandu, polindes, pos obat desa, dana sehat, dsb.
b. Jumlah orang atau anggota masyarakat yang telah meningkat pengetahuan
dan perilakunya
c. Jumlah anggota keluarga yang mempunyai usaha untuk meningkatkan
pendapatan keluarga
d. Meningkatnya fasilitas-fasilitas umum di masyarakat
4. Outcome
a. Menurunnya angka kesakitan, kematian umum, kelahiran, di masyarakat
b. Meningkatnya status gizi anak balita di masyarakat
c. Menurunnya angka kematian bayi, dan sebagainya

2.8.4. Partisipasi Masyarakat dalam Promosi Kesehatan


A. Definisi10
Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan di masyarakat. Partisipasi masyarakat di
bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Filosofi partisipasi masyarakat
dalam pelayanan program kesehatan adalah terciptanya suatu pelayanan untuk
masyarakat, dari masyarakat, dan oleh masyarakat. Berikut adalah idealisme yang
menjadi dasar:
1. Community felt need pelayanan diciptakan untuk masyarakat, berarti
masyarakat memerlukan pelayanan tersebut, yaitu berasal dari bawah ke atas.
2. Pengorganisasian masyarakat fasilitas pelayanan kesehatan itu timbul dari
masyarakat itu sendiri.
3. Pelayanan kesehatan akan dilakukan oleh masyarakat sendiri yaitu
tenaga dan penyelenggaranya akan ditangani oleh anggota masyarakat itu sendiri
yang dasarnya sukarela, dibawah bimbingan petugas kesehatan.
B. Metode10
1. Partisipasi dengan paksaan (enforcement participation), yakni memaksa
masyarakat untuk berkontribusi dalam suatu program. Metode ini dapat
dilakukan, baik melalui perundang-undangan, peraturan, maupun dengan lisan,
dan dinilai hasilnya akan lebih cepat terlihat dan lebih mudah. Namun,
kerugiannya adalah masyarakat akan takut, merasa dipaksa, dan kaget karena
dasarnya bukan kesadaran, tetapi ketakutan. Hal ini dapat berakibat masyarakat
tidak akan mempunyai rasa memiliki terhadap suatu program.
2. Partisipasi dengan persuasi dan edukasi, yakni partisipasi yang didasarkan pada
kesadaran. Partisipasi ini dapat dimulai dengan penerangan, penyuluhan,
pendidikan dan sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Metode ini membutuhkan waktu lama karena sulit untuk ditumbuhkan di
masyarakat, namun apabila hasilnya tercapai, masyarakat akan mempunyai rasa
memiliki dan memelihara terhadap suatu program.
C. Elemen10
1. Motivasi
Timbulnya motivasi harus berasal dari masyarakat itu sendiri, pihak luar
hanya menstimulasi saja. Untuk itu, pendidikan atau promosi kesehatan sangat
diperlukan untuk merangsang tumbuhnya motivasi.
2. Komunikasi
Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat menyampaikan
pesan, ide, dan informasi kepada masyarakat. Komunikasi dapat dilakukan
melalui media massa seperti TV, radio, poster, film dan sebagainya. Media
tersebut dapat efektif untuk menyampaikan pesan yang akhirnya dapat
menimbulkan partisipasi.
3. Kooperasi
Kerjasama dengan instansi baik di dalam dan di luar kesehatan perlu
dilakukan agar terbentuk teamwork yang dapat membantu menumbuhkan
partisipasi.
4. Mobilisasi
Partisipasi ini dapat dimulai se-awal mungkin sampai se-akhir mungkin,
seperti dari identifikasi masalah, menentukan prioritas, perencanaan, program,
pelaksanaan sampai dengan monitoring program, dengan ruang lingkup yang
mutidisiplin.
D. LKMD sebagai Wadah Partisipasi Masyarakat10
Strategi partisipasi masyarakat adalah sebaga berikut:
1. Lembaga Sosial Desa atau Lembaga Kerja Pembangunn Masyarakat Desa
(LKPMD) adalah suatu wadah kegiatan antar disiplin tingkat desa,atau tiap
kelurahan. Lembaga ini memiliki tugas untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi kegiatan pembangunan di desanya
2. Program tidak harus kesehatan, dapat meliputi kegiatan non kesehatan lain yang
dapat menyokong program kesehatan misalnya pendidikan
3. Puskesmas dapat dijadikan pusat kegiatan, walaupun pusat perencanaannya
adalah LKPMD, dan petugas kesehatan sebagai motivator
4. Dokter puskesmas atau petugas kesehatan yang lain dapat membentuk suatu
teamwork dengan dinas atau instansi lain
5. Dalam pelaksanaan, program dapat dimulai dari desa satu ke desa lain, agar
dapat dimonitor perkembangannya. Bila perlu membuat proyek percontohan
sebagai pusaat perembangan desa yang lain
6. Bila desa terlalu besar, maka dapat dimulai dari tingkat RT RW, sehingga mudah
diorganisasi.

2.9. Advokasi dalam Promosi Kesehatan


A. Pengertian Advokasi dan Pentingnya Advokasi dalam Promosi Kesehatan8
Secara operasional advocacy is a combination of individual and social action
designed to gain political commitment, policy support, social acceptance and systems
support for particular health goal or programme. Such action my be taken by and or
on be half of individual and groups to create living condition which are conducive to
health and the achievement of healthy life style (WHO, 1989). Jadi advokasi adalah
kombinasi kegiatan individu dan sosial yang dirancang untuk memperoleh komitmen
politis, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan system yang mendukung tujuan
atau program kesehatan tertentu. Definisi Chapela 1994 yang dikutip WISE (2001)
secara harfiah: melakakukan advokasi berarti mempertahankan, berbicara mendukung
seseorang atau sesuatu atau mempertahankan ide. Sedangkan advokator adalah
seseorang yang melakukan kegiatan atau negosiasi yang ditujukan untuk mencapai
sesuatu untuk seseorang, kelompok, masyarakat tertentu atau secara keseluruhan.8
Dalam tulisan Sharma dikutip beberapa pengertian yang berkait dengan
advokasi misalnya:8
1. Advokasi adalah bekerja dengan orang dan organisasi untuk membuat sesuatu
perubahan.
2. Advokasi adalah proses dimana orang terlibat dalam proses pembuatan
keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
3. Advokasi terdiri berbagai strategis ditujukan untuk mempengaruhi pembuatan
keputusan dalam satu organisasi ditingkat lokal, nasional maupun internasional.
Strategis advokasi termasuk lobi, pemasaran sosial, KIE, pengorganisasian
masyarakat maupun berbagai taktik lainya.
Advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan (approaches) terhadap orang lain
yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau
kegiatan yang dilaksanakan. Target atau sasaran advokasi biasanya pemimpin suatu
organisasi atau institusi kerja, baik di lingkaran pemerintah maupun swasta, serta
organisasi kemasyarakatan, pada sector kesehatan, sasaran advokasi adalah pimpinan
eksekutif termasuk presiden dan pimpinan yang terkait dengan kesehatan dan lembaga
legislatif.8
Strategi advokasi sangat dibutuhkan di Negara-negara berkembang khususnya
karena masalah kesehatan di Negara berkembang belum memperoleh perhatian secara
proporsional dari sector di luar kesehatan, baik pemerintah maupun swasta. Selain itu,
kemauan dan kemampuan masyarakat terhadap derajat kesehatan di Negara
berkembang masih kurang.8
Salah satu strategi global promosi kesehatan yang digunakan dalam program
kesehatan masyarakat pertama kali oleh WHO (1984) adalah advokasi (advocacy).
Terdapat 3 strategi pokok dalam mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan yang
efektif, yaitu:8
1) Advokasi (Advocacy)8
Melakukan pendekatan atau lobbying dengan para pembuat keputusan setempat
agar yang bersangkutan menerima dan berkomitmen sehingga bersedia
mengeluarkan kebijakan atau keputusan untuk mendiukung program tersebut.
2) Dukungan sosial (Social Support)8
Melakukan pendekatan dan pelatihan kepada para tokoh masyarakat setempat
baik formal maupun informal yang bertujuan agar para tokoh masyarakat setempat
memiliki kemampuan seperti yang diharapkan program, mampu memberikan
penyuluhan kepada masyarakat lain dan yang terpenting dapat menjadi masyarakat
yang berperilaku positif yang dapat dicontoh oleh masyarakat lain.
3) Pemberdayaan masyarakat (Empowerment)8
Petugas kesehatan bersama dengan tokoh masyarakat melakukan kegiatan
penyuluhan kesehatan, konseling dan sebagainya secara langsung atau tidak
langsung.
B. Prinsip Advokasi
Advokasi merupakan suatu kegiatan dengan dimensi yang sangat luas dan
komprehensif (menyeluruh). Advokasi dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan
atau pendekatan dan untuk melakukan kegiatan advokasi dibutuhkan argumentasi-
argumentasi yang kuat, sehingga prinsip advokasi dapat dilaksanakan sesuai prosedur
jika terdapat tujuan yang jelas, kegiatan serta argumentasi. Kegiatannya tidak hanya
sekedar lobi-lobi politik, tetapi mencakup kegiatan persuasif bahkan memberikan
tekanan kepada pimpinan institusi untuk membuat kebijakan.8
1. Tujuan Advokasi
Tujuan advokasi berdasarkan pembahasan diatas mencakup: komitemen politik
(political commitment), dukungan kebijakan (policy support), dukungan
masyarakat (social acceptance), dan dukungan sistem (system support).8
a. Political Commitment
Komitmen dari para pembuat kebijakan pada setiap tingkatan dan setiap
sektor yang ada diperlukan dalam upaya pemecahan masalah kesehatan.
Komitmen dari para pembuat kebijakan terhadap masalah kesehatan ditentukan
oleh pemahaman mereka terhadap masalah-masalah kesehatan. Begitupun
kebijakan mereka mengenai pengalokasian anggaran untuk kesehatan juga
dipengaruhi oleh cara pandang dan kepudulian mereka terhadap kesehatan.8
b. Policy Support
Setelah adanya komitmen politik dari pembuat kebijakan tahapan
selanjutnya adalah memberikan bukti konkret para pembuat kebijakan terhadap
kesehatan dengan membuat kebijakan yang mendukung atau berpihak pada
masalah kesehatan. Salah satu bentuk dukungan kebijakan yang bias dilakukan
adalah dengan membuat undang-undang, aturan pemerintah, peraturan daerah
dan sebagainya.8
c. Social Acceptance
Dukungan masyarakat disini berarti diterimanya suatu program oleh
masyarakat. Program kesehatan apapun dibuat untuk memperoleh dukungan
dari sasaran utama program, yakni masyarakat. Setelah dua proses diatasnya
sudah tercapai, perlu dilakukan sosialisasi program agar masyarakat sebagai
sasaran utama dapat mengetahui mengenai program kesehatan tersebut dan
mau melakukannnya.8
d. System support
Agar suatu program berjalan dengan baik, perlu adanya system,
mekanisme, atau prosedur kerja yang jelas. Sehingga dibutuhkan system kerja
atau organisasi kerja yang melibatkan kesehatan perlu dikembangkan,
mengingat masalah kesehatan memiliki dampak yang besar pada sektor lain,
sehingga dalam penanganannya diperlukan kerjasama dengan berbagai sektor
lainnya.8
2. Metode dan Teknik Advokasi
Komitmen dan kebijakan yang telah ditetapkan atau dibuat sebelumnya dapat
diwujudkan dalam dua hal pokok, yaitu bentuk software (perangkat lunak) dan
hardware (perangkat keras). Cara atau bentuk kegiatan advokasi untuk mencapai
tujuan bermacam-macam, antara lain:
a. Political Lobbying8
Lobi adalah berbincang-bincang secara informal dengan para pejabat untuk
menginformasikan dan membahas masalah dan program kesehatan yang akan
dilaksanakan. Tahapan lobi adalah:
Petugas kesehatan menyampaikan masalah kesehatan yang dihadapi di
wilayah kerjanya dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.
Menyampaikan alternative terbaik untuk memecahkan atau
menanggulangi masalah tersebut
Dalam lobi diperlukan data yang akurat (evidence based) tentang masalah
kesehatan yang dihadapi
b. Seminar dan atau Presentasi8
Seminar atau presentasi ini dihadiri oleh para pejabat lintas sektoral,
dalam hal ini petugas kesehatan menyajikan masalah kesehatan di wilayah
kerjanya lengkap dengan data dan ilustrasi yang menarik serta rencana program
pemecahannya. Kemudian masalah tersebut dibahas bersama dan diharapkan
akan diperoleh komitmen dan dukungan terhadap program yang akan
dilaksanakan.
c. Media8
Advokasi media merupakan kegiatan advokasi dengan menggunakan
media, khususnya media massa melalui media cetak ataupun elektronik
permasalahan kesehatan disajikan baik dalam bentuk lisan, artikel, berita,
diskusi, penyampaian pendapat, dan sebagainya. Melalui media tersebut akan
terbentuk opini public yang dapat mempengaruhi bahkan menjadi tekanan
(pressure) terhadap penentu kebijakan.
d. Asosiasi Peminat8
Asosiasi atau perkumpulan orang-orang yang mempunyai minat
terhadap masalah tertentu atau perkumpulan profesi juga merupakan bentuk
advokasi. Contohnya, kelompok masyarakat peduli AIDS adalah kumpulan
orang yang peduli dengan masalah HIV/AIDS. Kemudian kelompok ini
melakukan kegiatan untuk menanggulangi HIV/AIDS. Kegiatan ini tidak
hanya dapat menanggulangi masalah tetapi akan memberikan dampak terhadap
kebijakan-kebijakan yang akan diambil.
3. Argumentasi untuk Advokasi
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan para penentu kebijakan atau para
pembuat keputusan sehingga mereka memberikan dukungan, baik kebijakan,
fasilitas, maupun dana terhadap program yang ditawarkan. Meyakinkan para
pejabat terhadap pentingnya program kesehatan tidak mudah, dibutuhkan
argumentasi-argumentasi yang kuat. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya
advokasi dipengaruhi oleh kuatnya persiapan kita dalam berargumentasi. Berikut
beberapa cara yang dapat memperkuat argumentasi dalam melakukan kegiatan
advokasi.8
a. Credible
Program yang diajukan harus meyakinkan para petinggi penentu
kebijakan atau pembuat keputusan, advokasi ini harus didukung dengan data
dan sumber yang dapat dipercaya artinya program yang diajukan tersebut harus
didasari dengan permasalahan yang utama dan faktual, atau masalah tersebut
memang ditemukan kenyataannya di lapangan dan penting untuk segera
ditangani. Oleh sebab itu, sebaiknya sebelum program itu diajukan, harus
dilakukan kajian lapangan, jangan hanya berdasarkan data atau laporan yang
tersedia, yang terkadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.8
b. Feasible
Program yang diajukan tersebut, baik secara teknik, politik, maupun
ekonomi, dimungkinkan atau layak atau dapat dilakukan. Layak secara teknik
(feasible) artinya program tersebut dapat dilaksanakan, petugas mempunyai
kemampuan yang cukup, sarana dan prasarana pendukung tersedia.8
Layak secara politik artinya program tersebut tidak akan membawa
dampak politik pada masyarakat.
Layak secara ekonomi artinya didukung oleh dana yang cukup, dan
apabila program tersebut adalah program pelayanan, masyarakat
mampu membayarnya.
c. Relevant
Program yang diajukan tersebut paling tidak harus mencakup 2 kriteria,
yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat dan benar-benar dapat memecahkan
masalah yang dirasakan masyarakat. Semua pejabat di semua sector setuju
bahwa tugas mereka adalah menyelenggarakan pelayanan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan. Sehingga, sifat relevan dalam program tersebut dapat
membantu pemecahan masalah dan memenuhi kebutuhan.8
d. Urgent
Program yang diajukan tersebut harus mempunyai urgensi yang tinggi
dan harus segera dilaksanakan, jika tidak akan menimbulkan masalah yang
lebih besar lagi. Sehingga, program alternatif yang diajukan haruslah yang
paling baik di antara alternatif-alternatif yang lain.8
e. High Priority
Program yang diajukan tersebut harus mempunyai prioritas yang tinggi.
Agar program tersebut dapat dinilai sebagai prioritas tinggi, diperlukan analisis
yang cermat, baik terhadap masalahnya sendiri, maupun terhadap alternatif
pemecahan masalah atau program yang akan diajukan. Hal ini terkait dengan
argumentasi sebelumnya, yakni program mempunyai prioritas tinggi jika
feasible, baik secara teknis, politik, maupun ekonomi, relevan dengan
kebutuhan masyarakat, dan mampu memecahkan permasalahan masyarakat.8
C. Komunikasi dalam Advokasi
1) Atraksi Interpersonal8
Atraksi interpersonal merupakan daya tarik seseorang atau sikap positif pada
seseorang yang memudahkan orang lain untuk berhubungan atau berkomunikasi
dengannya. Para petugas kesehatan di semua tingkat dan tatanan, terutama para
pejabat sebagai komunikator dituntut mempunyai daya atraksi interpersonal.
Faktor-faktor yang menentukan atraksi interpersonal, yaitu:
a. Daya Tarik
Daya tarik ditentukan oleh sikap dan perilaku seseorang. Daya tarik
dapat dipelajari dengan membiasanya senyum kepada setiap orang, berpikir
positif, dan menempatkan diri lebih rendah dari orang lain.
b. Percaya diri
Percaya diri merupakan suatu perasaan mampu atau menguasai ilmu
atau pengalaman di bidangnya. Untuk menjadi percaya diri, kita perlu
memperdalam teori dan memperbanyak pengalaman lapangan, terutama
mengenai program yang akan diadvokasikan
c. Kemampuan
Orang yang mampu melakukan tugas-tugasnya akan lebih percaya diri.
d. Familiar
Petugas kesehatan yang sering muncul atau hadir dalam kegiatan dan
pertemuan tertentu akan lebih familiah dikalangan pemimpin-pemimpin sector.
Hal itu akan membuat proses advokasi menjadi lebih mudah.
e. Kedekatan (proximity)
Menjalin hubungan baik atau kekeluargaan dengan para pejabat atau
keluargapejabat setempat merupakan faktor yang dapat mempermudah proses
advokasi.
2) Perhatian8
Untuk memberikan komitmen dan dukungan terhadap sesuatu, penentu
kebijakan dan pembuata keputusan harus mempunyai perhatian terhadap hal
tersebut. Berdasarkan teori psikologi, terdapat dua faktor yang mempengaruhi
perhatian seseorang, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan
faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut, terdiri dari faktor biologis dan
faktor sosiopsikologi. Maka dari itu ketika melakukan advokasi, kita harus
mengaikannya dengan minat kebiasaan, atau kebutuhan mereka. Kebutuhan
seorang pejabat umumnya adalah aktualisasi diri. Maka perlu dijelaskan bahwa
memberikan dukungan terhadap sector kesehatan akan berdampak baik terhadap
pembangunan wilayahnya sehingga pejabat tersebut dapat memperoleh
penghargaan, yang menjadi salah satu bentuk dari aktualisasi diri.
3) Intensitas Komunikasi8
Agar komunikasi advokasi efektif, maka program yang ingin didukung oleh
pejabat, harus sering dikomunikasikan melalui berbagai kesempatan atau
pertemuan, baik formal maupun informal melalui seminar dan sebagainya, dengan
kata lain program kesehatan yang ditawarkan harus mempunyai intensitas tinggi.
4) Visualisasi8
Informasi atau pesan yang menarik perlu divisualisasikan dalam media,
khususnya media interpersonal. Media interpersonal yang paling efektif adalah flip
chart, booklet, slide, atau video cassete. Pesan tersebut didasari fakta-fakta yang
diilustrasikan melalui grafik, table,gambar atau foto.
D. Pendekatan Utama Advokasi
Ada 5 pendekatan utama dalam advokasi (UNFPA dan BKKBN 2002) yaitu:8
1. Melibatkan para pemimpi
Para pembuat undang-undang,mereka yang terlibat dalam penyusunan hukum,
peraturan maupun pemimpin politik, yaitu mereka yang menetapkan kebijakan
publik sangat berpengaruh dalam menciptakan perubahan yang terkait dengan
masalah sosial termaksud kesehatan dan kependudukan. Oleh karena itu, sangat
penting melibatkan mereka semaksimum mungkin dalam isu yang akan
diadvokasikan.
2. Bekerja dengan media massa
Media massa sangat penting berperan dalam membentuk opini publik. Media
juga sangat kuat dalam mempengaruhi presespsi publik atas isu atau masalah
tertentu. Mengenal, membangun dan menjaga kemitraan dengan media massa
sangat penting dalam proses advokasi.
3. Membangun kemitraan
Dalam upaya advokasi sangat penting dilakukan uapaya jaringan, kemitraan
yang berkelanjutan dengan individu, organisasi-organisasi dan sektor lain yang
bergerak dalam isu yang sama. Kemitraan ini dibentuk oleh individu, kelompok
yang bekerja sama yang nertujuan untuk mencapai tujun umum yang sama atau
hampir sama. Namum membangun pengembangan kemitraan tidak mudah,
memerlukan aktual, perencanaan yang matang serta memerlukan penilaian
kebutuhan serta minat dari calon mitra.
4. Memobilisasi masa
Memobilisasi massa merupaka suatu proses mengorganisasikan individu yang
telah termotivasi kedalam kelompok-kelompok atau mengorganisasikan kelompok
yang sudah ada dengan mobilisasi dimaksudkan agar motivasi individu dapat
diubah menjadi tindakan kolektif.
5. Membangun kapasitas
Membangun kapasitas disini dimasudkan melembagakan kemampuan untuk
mengembangkan dan mengelolah program yang komprehensif dan membangun
critical mass pendukukung yang memiliki ketereampilan advokasi. Kelompok ini
dapat diidentifikasikan dari LSM tertentu,kelompok profesi serta kelompok lain.
E. Indikator Hasil Advokasi
Advokasi merupakan suatu kegiatan yang diharapkan dapat menghasilkan suatu
produk, yakni adanya komitmen politik dan dukungan kebijakan dari penentu kebijakan
atau pembuat keputusan yang dapat kita nilai melalui 3 komponen, yaitu:8
1. Input8
Input kegiatan advokasi yang paling utama adalah orang yang akan melakukan
advokasi dan material yakni data atau informasi yang membantu atau mendukung
argumen dalam advokasi. Indicator untuk mengevaluasi kemampuan tenaga
kesehatan dalam melakukan advokasi sebagai input antara lain :
a) Frekuensi petugas kesehatan, terutama para pejabat, telah mengikuti pelatihan
mengani komunikasi, advokasi atau pelatihan yang berkaitan dengan
pengembangan kemampuan hubungan antarmanusia. Pada tingkat provinsi,
apakah kepala dinas, kepala subdinas, atau kepala seksi telah memperoleh
pelatihan tentang advokasi.
b) Sebagai institusi, dinas kesehatan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten,
juga mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi para petugas kesehatan dengan
kemampuan advokasi melalui pelatihan.
c) Ketersediaan evidence juga merupakan input yang sangat penting, karena hasil
surveillance akan diolah menjadi informasi dan informasi dianalisis yang akan
menghasilkan suatu evidence yang kemudian dikemas dalam media (buku,
leaflef, slide, flip chart), khususnya media interpersonal dan digunakan sebagai
alat bantu untuk memperkuat argumentasi kita kepada para pengambil
keputusan atau penentu kebijakan yang mendukung program tersebut.
2. Proses8
Proses advokasi adalah kegiatan untuk melakukan advokasi. Indicator untuk
proses, antara lain :
a) Frekuensi melakukan lobbying dalam rangka memperoleh komitmen dan
dukungan kebijakan terhadap program yang terkait dengan kesehatan. Dengan
siapa saja lobbying itu dilakukan.
b) Frekuensi menghadiri rapat atau pertemuan yang membahas masalah dan
program-program pembangunan termasuk program kesehatan di daerahnya.
Oleh siapa rapat tersebut diadakan. Seberapa jauh program kesehatan dibahas
dalam rapat tersebut.
c) Frekuensi seminar atau lokakarya tentang masalah dan program-program
kesehatan diadakan dan mengundang sector pembangunan yang terkait
kesehatan.
d) Frekuensi pejabat kesehatan menghadiri seminar atau lokakarya yang diadakan
oleh sector lain, dan membahas masalah serta program pembangunan yang
terkait dengan kesehatan.
e) Frekuensi media local termasuk media elektronik membahas atau
mengeluarkan artikel tentang kesehatan atau pembangunan yang terkait dengan
masalah kesehatan.
3. Output8
Output advokasi sector kesehatan dapat diklasifikasikan dalam 2 bentuk, yaitu
software dan hardware. Indikator output dalam bentuk software adalah peraturan-
peraturan atau undang-undang sebagai bentuk kebijakan dari komitmen politik
terhadap program-program kesehatan, seperti:
a. Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah
c. Keputusan Presiden
d. Keputusan Menteri atau Dirjen
e. Peraturan Daerah (surat keputusan Gubernur, Bupati atau Camat dan lainnya).
Sedangakan output dalam bentuk perangkat keras, yaitu :
a. Meningkatnya dana atau anggaran untuk pembangunan kesehatan
b. Tersedianya atau dibangunnya fasilitas atau sarana pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan sebagainya
c. Dibangunnya atau tersedianya sarana dan prasarana kesehatan, seperti air
bersih, jamban keluarga, atau jamban umum, tempat sampah dan sebagainya
d. Dilengkapinya peralatan kesehatan, seperti laboratorium, peralatan
pemeriksaan fisik, dan sebagainya.
2.10. Motivational Interviewing
Definisi Motivational Interviewing
Motivational Interviewing (MI) merupakan gaya pembicaraan kolaboratif untuk
memperkuat motivasi seseorang dan komitmen untuk berubah.1 Atau dengan kata lain
MI ialah gaya pembicaraan terarah dan terfokus pada pasien untuk mendorong
perubahan perilaku dengan membantu klien mengeksplorasi dan menyelesaikan
ambivalensi. MI dikembangkan oleh Miller & Rollnick (1991). MI merupakan strategi
yang baik untuk perubahan perilaku yang konsisten dengan teori perubahan perilaku.
MI meliputi strategi, keterampilan, dan pendekatan spesifik berdasarkan pengertian
umum mengenai interaksi yang menolong pasien (semangat MI).2 MI telah
mempengaruhi perilaku kesehatan secara positif terhadap kebiasaan merokok,
penurunan berat badan, manajemen diabetes, penggunaan kondom, dan kesehatan oral.
Ditemukan bahwa perubahan positif lebih banyak terjadi ketika dokter menghubungkan
perubahan dengan nilai yang dihargai oleh pasien. Resistensi sering muncul pada gaya
konfrontasi atau persuasi langsung.11
MI didasarkan pada teori bahwa motivasi penting untuk memunculkan
perubahan ada di dalam individu dan bisa dicapai dengan mengungkapkan nilai
personal/keinginan dan kemampuan untuk berubah. Pasien diijinkan menginterpretasi
dan mengintegrasikan kesehatan dan perubahan perilaku, yang dipersepsikan relevan
terhadap situasinya. Pasien dianggap merupakan ahli dari dirinya sendiri.11

Komponen Motivational Interviewing

Piramida MI

Williams, K.B., Bray, K. Motivational Interviewing: A Patient-Centered Approach to Elicit Positive Behavior

Change. Dentalcare.com continuing education course. 2014.


Spirit (semangat)
Dasar dari MI merupakan semangat mutual respect dan kolaborasi. Dokter
harus meninggalkan impuls untuk menyelesaikan masalah pasien (atau righting
reflex) dan mengijinkan pasien mengartikulasikan solusinya sendiri.11
The Spirit of MI12,13
1. Collaboration (kolaborasi)
Pasien merupakan ahli dari dirinya sendiri.
Dokter membangun suasana yang kondusif, bukan koersif, dan membangun
kemitraan.
2. Evocation (pembangkitan)
Pasien memiliki sumber daya dan motivasi sendiri untuk berubah;
Dokter harus membangkitkan/mengaktivasi ini dari dalam pasien dengan
menghubungkan perubahan perilaku dengan hal yang pasien pedulikan.
3. Honouring a patients autonomy (menghormati otonomi pasien)
Pasien memiliki hak dan kapasitas untuk mengarahkan dirinya sendiri;
Dokter memberi informasi dan menasihati, namun menghormati hak dan
kebebasan pasien untuk berubah atau tidak.
Authoritative/Paternalistic Therapeutic Style12,13
1. Confrontation (konfrontasi)
Pasien diasumsikan memiliki perspektif yang salah, perlu pencerahan;
Dokter mencoba mempersuasikan dan memaksakan perubahan pada pasien.
2. Education (edukasi)
Pasien diasumsikan kekurangan pengetahuan yang diperlukan untuk berubah;
Dokter menerangkan dengan memaksakan edukasi, memberitahu apa yang
harus dilakukan.
3. Authority (otoritas)
Pasien diasumsikan kekurangan kapasitas untuk mengarahkan dirinya sendiri;
Dokter menginstruksikan pasien untuk berubah.
Principles (prinsip)
Dalam MI, dokter mengikuti sinyal-sinyal dari pasien dan bergerak antara
mendengarkan, bertanya, mendengarkan, dan menginformasikan. Eksplorasi
kolaboratif ini dicapai melalui 4 guiding principles of MI. prinsip ini
memungkinkan pasien mengekspresikan pandangannya akan keuntungan dan
kerugian pola perilaku dan memutuskan tindakan apa, jika ada, untuk dilakukan.
Keputusan ada di pihak pasien, bukan dokter.11
Four General Principles of MI (RULE)
1. Resisting the righting reflex
Hindari gaya prescriptive provider-centered untuk menyelesaikan
masalah pasien untuk mereka. Pandu mereka untuk mengeluarkan solusinya
sendiri.11
Pada hubungan dokter-pasien tradisional, dokter merasa
bertanggungjawab untuk menyediakan informasi dan solusi untuk masalah
pasien. Sayangnya, ini mencegah komunikasi 2 arah. Penelitian menunjukkan
tenaga kesehatan menginterupsi pasien dalam 18 detik, yang bisa diartikan
bahwa pernyataan pasien tidak dihormati atau relevan. Ketika dokter mengerti
keinginan atau usaha pasien, hubungan yang saling percaya semakin kuat. Jika
sudah ada kepercayaan, pasien bisa terbuka dan mulai menyelesaikan
ambivalensinya untuk berubah. Ketika pasien tidak ingin berubah, dokter
mengerti dan tidak mendorongnya terus menerus. Ini kesempatan yang ideal
untuk mengeksplorasi cara pandang dan otonomi pasien. Secara non verbal hal
ini menunjukkan bahwa pasien merupakan pusat dari setiap perubahan perilaku.
Komentar sederhana seperti oke, sepertinya Anda belum siap untuk apakah
baik jika kita membicarakan ini lagi di masa yang akan datang? menunjukkan
dokter mendengar pasien dan mengerti otonominya. Pendekatan kolaboratif ini
akan menyediakan solusi kolaboratif yang konsisten dengan keadaan pasien.11
2. Understanding your patients motivation
Mengerti motivasi pasien di antara perilaku saat ini dan tujuan/nilai
penting dalam hidupnya.11
Prinsip kedua ialah mengerti motivasi pasien. Setiap inkonsistensi
antara status kesehatan pasien, pierlaku, dan nilai menciptakan teknana internal
yang dapat menjadi alasan untuk perubahan. Tahap pertama menggunakan
open-ended questioning dan reflective listening memberikan informasi pada
doker mengenai nilai, sikap, dan kepercayaan pasien. Dokter lalu bisa
memastikan dengan menanyakan dengan motivation ruler question: dari skala
1-10 dengan 10 sangat termotivasi dan 1 tidak ada motivasi sama sekali,
seberapa termotivasikah Anda untuk ? ketika pasien menemukan
motivasinya sendiri, dokter bisa memastikan lagi dengan bertanya apa yang
memberikan Anda motivasi pada tingkat ini dan apa yang diperlukan untuk
meningkatkan 2-3 tingkat? Pendekatan ini juga bisa dgunakan untuk
mengeksplorasi tingkat ketertarikan dan kepercayaan diri dalam mengadopsi
perilaku baru.11
3. Listening to your patient
Dengarkan pasien lewat penerimaan, afirmasi, pertanyaan terbuka, dan
reflective listening.
Prinsip ketiga dialah mendengarkan pasien. Ketika dokter menanyakan
pertanyaan terbuka dan mendengar secara aktif, mereka merasakan rasa empati
dan penerima. Reflective listening mendorong dokter untuk mendapatkan
informas yang benar. Kedua proses ini mendorong hubungan menjadi hubungan
yang terpusat pada pasien.11
4. Empower your patient
Memperkuat motivasi pasien dengan dukungan, self-efficacy, dan
optimism.11
Semua hal yang dilakukan ditujukan untuk memperkuat pasien. Dokter
mengisyaratkan pada pasien bahwa ia percaya pasien mampu berubah. Karena
pasien yang harus mengubah dirinya sendiri, mendukung self-efficacy
(kepercayaan seseorang pada kemampuannya untuk berhasil dalam situasi atau
tugas tertentu) menggeser kepemilikan solusi masalah kepada pasien.
Mendukung self-efficacy bisa meningkatkan kompetensi pasien dan dan
kemungkinan perubahan yang berhasil.11

Four Futher Principles of MI12


1. Express emphaty
Membangun hubungan dokter-pasien yang baik
Penerimaan akan memfasilitasi perubahan
Reflective listening merupakan hal fundamental
Ambivalensi adalah hal yang normal
2. Develop discrepancy
Menunjukkan pro dan kontra
Pasien harus mengungkapkan alasan perubahan perilaku (bukan dokter)
Perubahan dimotivasi oleh kesenjangan antara tujuan dan nilai pasien vs
perilaku saat ini
3. Roll with resistance
Menghormati otonomi pasien
Dokter harus menghindari argumentasi dan persuasi, yang dapat
mendorong pasien ke arah berlawanan
Pasien mendapatkan perspektif baru, bukan dokter yang memaksakannya
Klien menyediakan jawaban dan solusi
Resistensi ialah sinyal bagi dokter untuk merespon secara berbeda
4. Support self-efficacy
Mengkomunikasikan bahwa pasien mampu berubah
Kepercayaan pasien akan kemungkinan berubah merupakan kunci
motivasi
Pasien bertanggungjawab akan pencapaian tujuan
Dokter menegaskan tanggungjawab ini dan mendukung mereka dalam
kemampuannya mencapai tujuan

Strategies (Aplikasi Praktis Motivational Interviewing)


Komponen utama dari Motivational Interviewing yang dapat diaplikasikan
dalam penyampaian informasi kesehatan gigi dan saran yaitu:11
Ask Permission
Meminta ijin untuk melakukan diskusi atau berbagi informasi strategis
merupakan langkah awal pada MI. Hal ini untuk memberikan respek atau
menghormati otonomi klien dan kebebasan untuk perilaku mereka. Contohnya
May I ask you a few questions about your current oral hygiene habits so I can
understand your situation better?11
Elicit-Provide-Elicit (Asking, Listening, Informing)
Fase ini menggunakan tiga keterampilan komunikasi yaitu open-ended
questions, reflection dan affirmation yang memungkinkan pasien untuk mulai
bercerita mengenai masalahnya dan mendengarkan motivasi intrinsik mereka
sendiri untuk perubahan. Hal tersebut dapat manjadi kesempatan untuk
menggunakan strategi Elicit-Provide-Elicit untuk mengarahkan pasien ke
solusi nyata. Dimulai dengan menanyakan pasien apa yang mereka telah
ketahui atau apa yang mereka tertarik untuk tahu mengenai kesehatan gigi dan
mulut. Contohnya What do you know about the risks associated with
inadequate tooth brushing time?.2 Pertanyaan ini akan menunjukkan
keterampilan dan pengetahuan pasien, dan hindari untuk menceritakan sesuatu
yang mereka sudah tahu. Sehingga praktisi hanya memberikan informasi yang
pasien butuhkan setelah pasien bercerita apa yang mereka ketahui, dan
kemudian praktisi menanyakan pandangan pasien mengenai apa yang
ditawarkan.11

Pendekatan elicit-provide-elicit ini dicapai dengan menggunakan pertanyaan terbuka, afirmasi


(penegasan), refleksi dan rangkuman

Williams, K.B., Bray, K. Motivational Interviewing: A Patient-Centered Approach to Elicit Positive

Behavior Change. Dentalcare.com continuing education course. 2014.

Building Motivation to Change


Digunakan basic skills of MI yang terdiri atas 4 teknik konseling dasar yang
konsisten dengan semangat MI.3 OARS: the basic skills of motivational
interviewing12,13

o Open-ended question

Izinkan pasien bercerita dan mengekspresikan pandangannya sendiri


Dokter mempelajari hal yang pasien pedulikan (contoh: nilai, tujuan, harapan)
Hindari jawaban ya atau tidak
Contoh:
Saya mengerti Anda memiliki masalah mengenai kebiasaan minum alkohol.
Apakah bisa Anda ceritakan kepada saya?
Apa konsekuensi negatif yang pernah Anda alami sebagai akibat dari minum
alkohol?
Contoh yang salah:
Apakah Anda pernah mengalami konsekuensi negatif dari minum alkohol?

o Affirming and supporting

Bisa dalam bentuk pujian atau apresiasi


Membantu membangun rapport dan memvalidasi serta mendukung pasien
dalam proses perubahan
Paling efektif saat kekuatan dan usaha pasien diperhatikan dan ditegaskan
Contoh:
Dulu Anda mampu menurunkan berat badan karena ketekunan Anda. Kelebihan
Anda tersebut bisa membantu Anda berhenti merokok.
Saya mengapresiasi keberanian Anda untuk membicarakan mengenai kebiasaan
minum alkohol Anda dengan saya hari ini.
Contoh yang salah:
Secara realistis, akan sulit bagi Anda untuk berhenti merokok.
o Reflection
Dokter memiliki peran sebagai seorang pendengar yang aktif dan merupakan
keterampilan yang penting. Reflective listening dengan merefleksikan kembali apa
yang pasien katakan. Kemampuan refleksi tidak hanya sekedar mengulang kembali
apa yang pasien katakan tetapi, juga menemukan makna yang mendasarinya
sehingga juga memberikan empati pada pasien.11 Penyedia layanan kesehatan
sering memiliki keinginan yang kuat untuk berbagi informasi atau memberikan
solusi untuk memecahkan masalah pasien. Maka, hindari overstating dan
understating, jangan menghakimi, mendorong eksplorasi personal berkelanjutan
(memperdalam pembicaraan), menolong pasien mengerti motivasinya lebih lagi
dan digunakan untuk memperbesar keinginan untuk berubah.
Righting reflex perlu dihindari, karena dapat meningkatkan resistensi dan
menurunkan kesempatan untuk perubahan perilaku. Contohnya Its interesting
how many people have that same idea. Actually, there is research showing that
bleeding gums are a sign of inflammation that can worsen and lead to tooth loss.
Would you be interested in hearing about that?12

Contoh:
Anda menikmati efek alkohol, bagaimana alkohol membantu saat stres setelah
bekerja dan membantu berinteraksi dengan teman-teman. Namun Anda mulai
khawatir akan dampaknya pada kesehatan. Sampai saat ini Anda belum terlalu
khawatir karena merasa masih minum dalam batas aman. Namun Anda
menemukan kesehatan Anda mulai terpengaruh, dan pasangan Anda
mengatakan beberapa hal yang membuat Anda ragu apakah alkohol memang
membantu Anda.

Williams, K.B., Bray, K. Motivational Interviewing: A Patient-Centered Approach to Elicit Positive

Behavior Change. Dentalcare.com continuing education course. 2014.


o Summary
Merangkum secara periodik dalam diskusi untuk apa yang pasien telah katakan
akan mengkonfirmasi apakah praktisi mendengarkan dengan baik. Salah satu
pendekatan untuk menyelidiki tingkat importance, confidence, dan motivation
untuk perubahan perilaku baru dapat dengan memberikan skala pada pasien.
Contohnya, On a scale of 1 to 10, with 10 being most important, how important is
your oral health to you?
Kemudian saat pasien telah menjawab, kita dapat meneruskan klarifikasi
dengan menanyakan, What would it take for you to increase the importance 2 or
3 additional levels?
Memastikan pengertian yang sama sejauh ini, menunjukkan jarak antara situasi
pasien dengan tujuannya di masa depan dan mendemonstrasikan mendengar dan
mengerti perspektif pasien
Contoh:
Jika tidak apa-apa dengan Anda, izinkan saya memastikan bahwa saya mengerti
semua yang telah kita diskusikan. Anda telah khawatir tentang kebiasaan
minum alkohol Anda beberapa buln ini karena Anda sadar Anda telah
mengalami beberapa masalah kesehatan karena alkohol, dan Anda mendapat
masukan dari pasangan bahwa ia tidak senang dengan kebiasaan tersebut.
Beberapa kali Anda mencoba berhenti namun tidak mudah, dan Anda khawatir
Anda tidak bisa berhenti. Apakah saya benar?

Bray, K.K., Using Brief Motivational Interviewing to Sustain Toothbrushing Behavior Change. American
Dental hygienists Associatio. 2010.

Williams, K.B., Bray, K. Motivational Interviewing: A Patient-Centered Approach to Elicit Positive

Behavior Change. Dentalcare.com continuing education course. 2014.

Strengthening Motivation to Change


Change talk
Hal ini melibatkan penentuan tujuan dan rencana tindakan. Tanpa tujuan,
aplikasi MI hanya membuat pasien terjebak dalam ambivalensi. Hal ini bisa dihindari
dengan melakukan strategi untuk memulai change talk. Ada banyak strategi untuk
memulai change talk namun cara yang paling sederhana ialah dengan menemukan
keinginan pasien untuk berubah dengan nmenanyakan beberapa pertanyaan dari 4
kategori:13
1. Kerugian status quo
2. Keuntungan perubahan
3. Optimisme untuk berubah
4. Keinginan untuk berubah
Change talk Pertanyaan Contoh
Kerugian Apa yang membuat Anda khawatir akan Sepertinya, sejujurnya, jika saya
status quo tekanan darah Anda? tetap minum, saya khawatir
Apa kesulian yang telah terjadi karena keluarga saya tidak akan
minnum alkohol? memaafkan perilaku saya lagi
Bagaimana berat tubuh Anda menjadi
masalah bagi Anda?
Keuntungan Kesehatan seperti apa yang Anda Jika berat badan saya turun,
perubahan inginkan dalam 5 tahun ke depan? setidaknya saya tidak akan
Apa saja keuntungan mengurangi minum merasa bersalah setiap pagi
alkohol? karena tidak merawat diri saya.
Apa yang akan berbeda jika Anda
menurunkan berat badan?
Optimisme Kapan Anda melakukan perubahan Saya berhenti merokok
untuk berubah signifikan dalam hidup Anda beberapa tahun yang lalu selama
sebelumnya? Bagaimana Anda setahun, dan saya merasa lebih
melakukannya? sehat. Itu sangat sulit, tapi jika
Apa kelebihan yang Anda miliki untuk saya terus memikirkannya
membantu Anda berubah biasanya saya kan terus
melakukanny
Keinginan Bagaimana Anda mau hidup Anda Saya tidak pernah berpikir akan
untuk berubah berbeda dalam 5 tahun? hidup seperti ini. Saya ingin
Lupakan bagaimana Anda mencapainya, kembali hidup sehat dan kuat,
jika Anda bisa melakukan apa saja apa dengan cukup energi untuk
yang ingin Anda ubah? berkumpul bersama keluarga.

Importance ruler
Jika hanya ada sedikit waktu, metode change talk bisa diganti dengan
importance ruler. Misalnya, jika dihitung dari skala 0-10, untuk 0 tidak penting sama
sekali dan 10 sangat penting, seberapa pentingkah bagi Anda untuk menurunkan berat
badan? Mengapa Anda ada pada dan tidak 0? Apa yang diperlukan untuk
meningkatkan dari ke angka yang lebih tinggi?13

Build a Change Plan


Rencanakan rencana perubahan bersama. Ini melibatkan teknik penentuan
tujuan standar, menggunakan semangat MI sebagai prinsip penuntun dan memicu dari
pasien apa rencana mereka (daripada menginstruksikan). Jika dokter merasa pasien
memerlukan saran untuk menentukan tujuan, tanyakan kesediaannya dulu sebelum
memberi saran sebagai penghormatan pada otonomi pasien. Beberapa pertanyaan yang
bisa diajukan seperti:13
Sepertinya hal ini tidak selamanya bisa seperti ini. Apa yang menurutmu perlu kamu
lakukan?
Apa perubahan yang pernah kamu pikirkan untuk dilakukan?
Ke mana arah kita dari sini?
Apa yang ingin kamu lakukan pada tahap ini?
Bagaimana kamu ingin hal-hal ini berubah selanjutnya?
Setelah meninjau semua ini, apa yang menjadi langkah selanjutnya untukmu.
Pasien akan sering bertanya akan jawaban yang tepat. Ingatkan akan
otonominya dengan kalimat seperti Anda adalah ahli bagi diri Anda sendiri, jadi saya
tidak yakin apakah saya merupakan orang yang terbaik untuk menghakimi apa yang
akan cocok untuk Anda. Namun saya bisa memberikan pandangan mengenai apa yang
ditunjukkan oleh bukti-bukti sebelumnya dan apa yang orang lain dalam posisi Anda
lakukan sebelumnya.

Memberikan saran adalah tugas dari dokter gigi, maka berikut beberapa poin konsep
dasar dalam memberikan saran untuk perubahan perilaku yang berkepanjangan :14

1. Tawarkan informasi, jangan memaksa


2. Cari tahu apa pasien menginginkan informasi tsb sebelum memberikannya
3. Meminta ijin
4. Menyediakan informasi dalam konteks pasien lain
5. Memberikan pasien ijin untuk tidak sepakat denganmu
6. Gunakan perkataan pasien untuk merefleksikan apa yang mereka telah katakan
sehingga mereka dapat mengamati dugaan mereka sendiri
7. Memberikan informasi yang faktual berdasarkan evidence based dari pada hanya opini
8. Ajak apasien untuk menentukan informasi apa yang berarti untuk mereka
9. Ingat pasien adalah seseorang manusia juga, sehingga tidak mungkin untuk memproses
seluruh informasi dalam satu waktu yang sama.

Sehingga tujuan MI adalah untuk memperoleh pernyataan komitmen (perubahan


bicara). Hal ini sangat kuat dan efektif bila pasien mendengar sendiri menyarankan
perubahan perilaku. Hal ini meningkatkan komitmen mereka untuk apa yang mereka
katakan dan memperkuat otonomi. Tugas dokter adalah untuk membangkitkan,
memfasilitasi dan memperkuat perubahan bicara motivasi diri daripada mencoba eksternal
untuk mendorong perubahan.14

Menyediakan Pilihan dan Mendapatkan Komitmen Pasien14

Pendekatan harus konsisten dengan sesi brainstorming, memberikan beberapa pilihan


perubahan dan memberikan perencanaan. Apabila praktisi berargumen dengan poin atau
pemikirannya sendiri terhadap pasien, maka dapat membuat siatuasi dimana ambivalensi
pasien akan memberi argumen bertentangan dan menghambat perubahan. Sehingga pasien
akan menentang untuk memberikan komitmen untuk berubah. Simpulkan kemudian
tanyakan : jadi menurutmu apa yang harus kamu lakukan?
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Untuk meningkatkan status kesehatan gigi di Indonesia, perlu adanya kerja sama
yang baik dan seimbang antara pelayan kesehatan dan penentu kebijakan. Pelayan
kesehatan berperan dalam memberikan pendidikan kesehatan yang sesuai kepada
masyarakat, bahkan melibatkan masyarakat melalui suatu pemberdayaan. Pendidikan
kesehatan tersebut dapat mengarahkan masyarakat untuk mencapai oral health literacy
sehingga dapat menjadi masyarakat yang mandiri di bidang kesehatan, yakni masyarakat
yang mampu memfasilitasi kebutuhan sarana atau prasarana kesehatannya melalui sumber
dayanya sendiri. Namun, pendidikan kesehatan tersebut tidak dapat berhasil sepenuhnya
tanpa adanya pendekatan dari dokter gigi ke pasien karena menurut teori Blum, dalam
melakukan upaya promotif-preventif kesehatan gigi dan mulut, salah satu faktor yang
berkontribusi adalah perilaku. Dengan demikian, dokter gigi memerlukan suatu metode
pendekatan yang dapat mengubah perilaku buruk pasien menjadi perilaku yang baik.
Metode pendekatan dokter gigi ke pasien yang dapat dilakukan adalah motivational
interviewing.
Untuk menentukan intervensi yang tepat kepada suatu komunitas, penentu kebijakan
terlebih dahulu harus mempelajari dan memahami tahap-tahap perubahan individu dan
sosial, serta melakukan advokasi secara persuasif kepada seluruh instansi terkait. Dalam
perencanaan suatu program, model PRECEDE-PROCEED dapat dijadikan acuan karena
dapat berguna dalam mengidentifikasi masalah kesehatan, implementasi program, dan
evaluasi program. Dengan adanya kerja sama antara petugas kesehatan dan instansi terkait,
maka status kesehatan gigi dan mulut Indonesia pun diharapkan dapat meningkat.

3.2. Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca untuk lebih mendalami tentang framework
model PRECEDE-PROCEED dan Theory of Plan Behavior.
Daftar Pustaka

1. Mason J. Concepts in Dental Public Health 2nd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins. 2010.
2. M. Horowitz, PhD A. Nuts & Bolts: (Why) Oral Health Literacy. Presentation
presented at; 2013; Huntsville.
3. Kanj Mitic W. Promoting Health and Development: Closing the Implementation Gap
[Internet]. 1st ed. Nairobi: WHO; 2009 [cited 28 September 2016]. Available from:
http://www.who.int/healthpromotion/conferences/7gchp/Track1_Inner.pdf
4. Blue C. Darby's Comprehensive Review of Dental Hygiene. 2015
5. Kaminski J. Diffusion of Innovation Theory: Theory in Nursing Informatics Column.
Canadian Journal of Nursing Informatics [Internet]. 2011 Jun 19 [cited 2015 Sep
28];6(2). Available from: http://cjni.net/journal/?p=1444
6. Rogers EM. Diffusion of innovations. 5th ed. [Internet]. 2006 Dec 2 [cited 2015 Sep
28]. Available from : http://www.conceptlab.com/notes/rogers-2003-diffusion-of-
innovations.html
7. Tan PJB. Applying the UTAUT to Understand Factors Affecting the Use of English E-
Learning Websites in Taiwan. SAGE Open [Internet]. 2013 Nov 13 [cited 2015 Sep
28];3(4). Available from:
http://sgo.sagepub.com/lookup/doi/10.1177/2158244013503837
8. Notoatmojo S. Promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.
9. Kemenkes RI. Promosi kesehatan di daerah bermasalah kesehatan. Jakarta: Depkes RI;
2011.
10. Agustini M, Nyorong M, Darmawansyah. Kompetensi promosi kesehatan pada petugas
penyuluh kesehatan puskesmas di wilayah kerja dinas kesehatan kota Samarinda.
[Internet]. 2010 [cited 29 September 2016];. Available from:
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d6fbeabf8f5190d0ec935b81dec8d4a7.pdf
11. Williams, K.B., Bray, K. Motivational Interviewing: A Patient-Centered Approach to

Elicit Positive Behavior Change. Dentalcare.com continuing education course. 2014.

12. Bray J, Kowalchuk A, Waters V. Brief Intervention: Stages of Change and Motivational
Interviewing [internet]. [cited 2016 Sept 26]. Available from:
https://www.bcm.edu/education/program/sbirt/index.cfm?pmid=25042
13. Bray, K.K., Using Brief Motivational Interviewing to Sustain Toothbrushing Behavior
Change. American Dental hygienists Associatio. 2010.
14. Hall K, Gibbie T, Lubman DI. Motivational Interviewing Techniques Facilitating
Behaviour Change in The General Practice Setting. Aust Fam Physician [Internet].
2012 [cited 2016 Sept 27];41 (9):660-7. Available from:
https://www.racgp.org.au/afp/2012/september/motivational-interviewing-techniques/

Вам также может понравиться