Вы находитесь на странице: 1из 22

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

SISTEM PERKEMIHAN
PADA LANSIA

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Keperawatan Gerontik II

Dosen Pengampu : Ns, Muhammad Nur Hasan.,M.Sc

Oleh

LALAN ARDIAN
(M14.01.0006)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah subhanahuwataala yang senantiasa memberikan


nikmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan tanpa ada
halangan sedikitpun. Makalah ini disusun memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Gerontik II.

Makalah ini dapat tersaji berkat adanya dorongan, bantuan dan bimbingan dari semua
pihak. Tak lupa pula pada kesempatan ini ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini mulai dari awal hingga akhir yang tidak dapat penyusun
sebutkan satu persatu.

Tak ada gading yang tak retak, begitulah ungkapan yang menunjukkan kepada kita
semua bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu penyusun mengharapkan masukan,
kritik, dan saran dari berbagai pihak demi tercapainya penulisan yang lebih baik di waktu
yang akan datang.

Yogyakarta, November 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahanlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah.
Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan
multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada
keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di
dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua bukanlah
suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang
harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh,
lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Proses menua (aging)
merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan
intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan
waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis
maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada
lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya
ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik
urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar
antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Ketidakmampuan mengontrol
pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena
dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun
pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002). Inkontinensia urin
yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien,
seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka
pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi
pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus
inkontinensia urin pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut
usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin pada
lanjut usia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan
Perry, 2005). Inkontenensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. (Brunner dan Suddart, 2002)
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006
inkontinensia dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi
miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung
kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul
sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang
terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis,
kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf
medulla spinalis, fistula, neuropati.
inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih,
dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-
tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker,
2007).
inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia
refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan
kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
inkontinensia fungsional keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal
dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,
sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran
kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka
tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan
jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus
dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang
adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena
produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang
berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika
seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet
bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang
dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika
memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat
yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis
adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

C. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus


1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu
untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam
pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada mv anusia usia lanjut berisiko mengalami
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter
sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena
kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran
kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat
menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot,
sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine.
Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi
yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat(Asmadi, 2008).
4. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus
otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting
bagi miksi (Asmadi, 2008).
5. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan
kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran
urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).
8. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat
Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi ,
sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-
sama (Potter & Perry,2006).
9. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan,
peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan
yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina
(Potter & Perry,2006).
10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan
individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus
dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson,
penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
11. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali
pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi, yang
memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan kadar
aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya mempertahankan
volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
12. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik
(inderal) (Potter & Perry,2006).

D. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang
paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih
disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla
spinalis (Darmojo, 2000). Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi
kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher
kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995). Pengosongan kandung kemih melalui
persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih
sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat
penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat
kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia
urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung
kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
2. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu
bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur
efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung
kemih terhadap rangsangan panas.
4. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi
ginjal, ureter dan kandung kemih.
5. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine
yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

G. Penatalaksanaan Medis
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
2. Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain
itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
2. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
3. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3
jam.
4. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
5. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif (berpikir).
Terapi farmakologi
1. Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
2. antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
3. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
4. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa
kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat.
Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic(pada wanita).
Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet
sepertiurinal, bedpan
BAB III
ASKEP INKONTINENSIA URIN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama : Ny. M
Tempat/Tanggal Lahir : 61 th
Jenis kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : -
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Tanggal Masuk RS : Rabu, 15 November 2011
No. RM : 235501
Ruang : Dahlia
Penanggung Jawab
Nama : Tn. F
Umur : 64 th
Pekerjaan : swasta
Alamat : Mojokerto
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terus-
menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien juga
mengatakan dia tidak bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi
untuk sampai toilet. klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak
mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien mengatakan
lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena
mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam
dirumah.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumya. Klien
mengatakan pernah dirawat di RS dan dipasang kateter.
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Klien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : klien tampak lemas, dan gelisah
b. Tanda-Tanda Vital :
TD : 160/90 mmHg
ND : 90x/mnt
RR : 18x/mnt
S : 370C
c. Integumen
Kulit kering dan keriput
Terdapat luka tekan (dekubitus)
d. Kepala
Simetris dan tidak ada benjolan, warna rambut putih, distribusi rambut merata
e. Mata
Konjungtiva merah muda
Pupil : an isokor
f. Telinga
Bersih, tidak ada serumen
g. Mulut dan gigi
Gigi tanggal
Mulut kering, air liur mudah mengental
Bibir pecah-pecah
h. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid atau pembesaran limpa nodi
i. Kardiovaskuler
Peningkatan TD
j. Abdomen
Bising usus (+), Pulsasi, nyeri tekan abdomen
k. Perkemihan
Inkontinensia urine, BAK .> 10 kali, Lebih dari 1500-1600 ml dalam 24 jam
Nyeri saat mengeluarkan urine
l. Genetalia
Kelemahan otot vagina dan uterus
m. Ekstremitas
Kelemahan
n. System endokrin
Penurunan produksi hormon estrogen
4. Pengkajian psikososial
Murung
Mudah tersinggung
Mudah marah
Depresi
Dimensia
Isolasi social
Perubahan peran
5. Pengkajian lingkungan
Kondisi rumah :
a. Penerangan : penerangan baik, pada siang hari ada cahaya dari ventilasi rumah
b. Lantai : lantai tidak licin
c. Keadaan rumah datar
d. Tata ruang
Tata ruang tidak sering diubah
Kamar mandi jauh, didekat dapur
Peralatan yang diperlukan tidak jauh dari jangkauan
B. ANALISA DATA
NO Data Etiologi Masalah
1. DS : Sering berkemih, Perubahan pola
- Klien mengatakan ingin BAK terus urgensi eliminansi
menerus
- Klien mengatakan kencingnya lebih
dari 10 kali dalam sehari.
- Klien juga mengatakan dia tidak bisa
menahan kencingnya
DO:
- Klien sering mengompol
3. DS : Intake dan output Kekurangan volum
- Klien mengatakan jarang minum agar yang tidak adekuat cairan
tidak mengompol
- Klien mengatakan sering menahan
haus
DO :
- Jumlah urine lebih dari 1500-1600
mm dalam 24 jam
- klien tampak lemas
- kulit klien kering

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Kekurangan volum cairan berhubungan dengan intake dan output yang tidak adekuat
2) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan sering berkemih, urgensi

D. INTERVENSI
NO Dx Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Kekurangan Setelah TTV stabil Mandiri :
volum dilakukan Membrane Dapatkan riwayat Untuk
cairan intervensi mukosa bibir pasien/ orang memperoleh data
berhubungan selama 2x24 lembab terdekat tentang penyakit
dengan jam Turgor kulit sehubungan pasien, agar
intake dan diharapkan elastic dengan lamanya dapat melakukan
output yang Klien Intake dan output gejala seperti tindakan sesuai
tidak menunjukkan seimbang muntah dan yang dibutuhkan
adekuat hidrasi yang pengeluaran urine
adekuat/ yang berlebihan
kekurangan Pantau TTV, catat Indicator
cairan dapat adanya perubahan hidrasi/volum
diatasi TD warna kulit sirkulasi dan
dan kelembaban- kebutuhan
nya intervensi.
Pantau masukan Membandingkan
dan pengeluaran keluaran actual
urine dan yang
diantisipasi
membantu dalam
evaluasi adanya/
derajat stasis/
kerusakan ginjal
Timbang BB Peningkatan BB
setiap hari yang cepat
mungkin
berhubungan
dengan retensi
Pertahankan Memper-
untuk memberikan tahankan
cairan paling keseimbangan
sedikit 2500 cairan
ml/hari dalam
batas yang dapat
ditoleransi jantung
Kolaborasi:
Berikan terapi Memenuhi
cairan sesuai kebutuhan cairan
indikasi tubuh
Berikan cairn IV Mempertahankan
volum sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal

2. Perubahan Mengurangi Individu akan Mandiri :


pola atau Menjadi Tentukan pola Kalkulus dapat
eliminasi mengatasi kontinen berkemih menyebabkan
berhubungan pola (terutama normalpsien dan eksitalitas saraf,
dengan eliminasi selama siang tentukan variasi yang
sering agar dapat hari, malam, 24 menyebabkan
berkemih, berkemih jam) dan sensasi berkemih
urgensi normal mampu segera. Biasanya
mengidentifikasi frekuensi dan
penyebab urgensi
inkontinens dan meningkat bila
rasional untuk kalkulus
pengobatan mendekati
pertemuan
uretrovesikal
Dorong Peningkatan
mningkatkan hidrasi membilas
pemasukan cairan bakteri,
darah,dan debris
dan dapat
membantu
lewatnya batu
Selidiki keluhan Retensi urine
kandung kemih dapat terjadi
penuh, palpasi menyebabkan
untuk daerah distensi jaringan
suprapubik dan potensial
resiko infeksi,
gagal ginjal

Kolaborasi:
Ambil urine Menentukan
untuk kultur dan adanya ISK,
sensivitas yang penyebab
atau gejala
komplikasi

E. EVALUASI
NO Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi
1. Kekurangan volum Jam 8.00 WIB Jam 10.00 WIB
cairan berhubungan Mandiri : S:
dengan sering berkemih, mendapatkan riwayat Klien mengatakan masih
urgensi pasien/ orang terdekat BAK terus menerus, tetapi
sehubungan dengan sudah berkurang
lamanya gejala seperti frekuensinya
muntah dan Klien mengatakan
pengeluaran urine yang kencingnya sudah kurang
berlebihan dari 10 kali dalam sehari.
memantau TTV, catat Klien mengatakan dia
adanya perubahan TD masih tidak bisa menahan
warna kulit dan kencingnya
kelembaban-nya O:
memantau masukan Klien terlihat masih
dan pengeluaran urine mengompol tetapi sudah
menimbang BB setiap berkurang frekuensinya
hari TTV:
mempertahankan untuk TD : 150 mmHg
memberikan cairan ND : 70x/i
paling sedikit 2500 S : 370C
ml/hari dalam batas RR : 18x/i
yang dapat ditoleransi A :Masalah belum teratasi
jantung P :Intervensi dilanjutkan
Kolaborasi: pantau masukan dan
memberikan terapi pengeluaran urine
cairan sesuai indikasi memberikan terapi cairan
memberikan cairn IV sesuai indikasi
memberikan cairan IV
2. Perubahan pola Jam 20.00 WIB Jam 22.00 WIB
eliminasi berhubungan Mandiri : S:
dengan sering berkemih, menentukan pola Klien mengatakan belum
urgensi berkemih normal berani minum banyak agar
pasien dan tentukan tidak mengompol
variasi Klien mengatakan
mendorong terkadang masih menahan
mningkatkan haus
pemasukan cairan O:
menyelidiki keluhan klien masih tampak sedikit
kandung kemih penuh, lemas
palpasi untuk daerah kulit klien masih terlihat
suprapubik kering
Kolaborasi: A:
mengambil urine Masalah teratasi sebagian
untuk kultur dan P:
sensivitas Intervensi dilanjutkan
tentukan pola berkemih
normal pasien dan tentukan
variasi
dorong meningkatkan
pemasukan cairan
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial.
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni.Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat
atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet

B. Saran
1. Bagi pembaca diharapkan menambah pengetahuan tentang inkontinensia urin.
2. Bagi penyusun diharapkan menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan
tentang inkontinensia urin.
DAFTAR PUSTAKA

Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC


Wilkinson M Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
NOC. Jakarta: EGC
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Вам также может понравиться