Вы находитесь на странице: 1из 16

SYOK

SYOK

TUJUAN
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, peserta diharapkan mampu mengidentifikasi dan
menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan yang menyangkut diagnosis awal dan
penatalaksanaan syok pada penderita trauma.
Secara khusus, peserta diharapkan mampu :
A. Menguraikan definisi syok dan menerapkan definisi ini di praktek klinis.
B. Mengenai syndrom klinis syok menghubungkan tanda klinis akut penderita syok dengan
derajat kehilangan darah.
C. Mengetahui kepentingan diagnosis dini dari syok, dan kontrol pendarahan.
D. Mengenal persamaan dan perbedaan dalam penampilan klinis dari penderita-penderita
dengan berbagai etiologi keadaan syok.

I. PENGANTAR
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui tanda-tanda
klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis awal
didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok sebagai ketidaknormalan dari sistem peredaran
darah yangmengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga
sebagai perangkat untuk diagnosis dan terapi.

Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang
untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita
trauma akan mengalami syok hipovolemik, tetapi mereka mungkin menderita syok
kardiogenik, neurogenik, dan bahkan kadang-kadang syok septik. Mungkin juga, tension
pneumothoraks dapat mengurangi pengembalian darah ke jantung (venous return) dan
mengakibatkan syok. Diagnosis ini harus dipertimbangkan dalam hal penderita yang
mungkin cedera diatas diafragma. Syok neuroenik diakibatkan oleh cedera berat pada sistem
saraf pusat atau pada medula spinalis. Sebagai pedoman praktis, syok tidak akan diakibatkan
cedera otak saja (isolated brain injuries). Penderita dengan cedera medula spinalis mungkin
ada tanda-tanda awal syok sebagai akibat dari vaso dilatasi maupun dari hipovolemia relatif.
Syok septik jarang ditemukan, namun harus dipertimbangkan bagi penderita yang tiba
terlambat di fasilitas gawat darurat.

Dokter yang brtanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus mulai dengan
mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambilmencari kemungkinan penyebab dari
keadaan syok tersebut. Respon terhadap terapi awal, digabung dengan penemuan sewaktu
melakukan primary survey dan secondary survey, biasanya memberikan cukup informasi
untuk menentukan penyebab syoknya. Perdarahan merupakan penyebab syok yang paling
sering ditemukan pada penderita trauma.

A. Fisiologi Dasar Jantung


Definisi cardiac output adalah volume darah per menit yang di pompa oleh jantung, dan
ditentukan oleh hasil detak jantung dan stroke volume. Stroke volume atau jumlah darah yang
di pompa dalam setiap kontraksi jantung, secara klasik ditentukan dengan (1) preload, (2)
kontraksi miokard dan (3) afterload.
Preload berarti volume pengembalian darah ke jantung dan ditentukan oleh pengisian vena,
keadaan volume darah, dan perbedaan antara tekanan sistemik vena rata-rata dan tekanan
atrial kanan. Perbedaan tekanan ini menentukan aliran vena. System vena dapat dianggap
sebagai tempat penampungan atau system kapasitans dimana volum darah dapat dibagi dalam
dua komponen. Komponen pertama yaitu volume darah yang tetap tinggal didalam tempat
penampungan (sirkuit kapasitas) bila tekanan didalam systemnya nol, dan tidakmenyumbang
kepada tekanan vena sistematik rata-rata.

Komponen kedua yang lebih penting, mewakili volume vena yang menyumbang pada
tekanan vena systematik rata-rata. Hampir 70% dari seluruh volume darah diperkirakan
berada didalam sirkuit vena. Hubungan antara volume darah vena dan vena penting untuk
diperhatikan, karena kenaikan tekanan inilah yang mengakibatkan komponen kedua ini
kehabisan darah vena, mengurangi tekanan vena,dan akibatnya adalah mengurangi
pengembalian darah vena kejantung.

Volume darah vena yang dikembalikan kejantung menentukan panjang serabut otot miokard
setelah pengisian ventrikel pada akhir diastol. Panjang serabut otot berhubungan dengan sifat-
sifat kontraktilitas otot miokard menurut hukum starling. Kontraktilitas miokard adalah
pompa yang menjalankan sistem ini. Afterload (beban sesudahnya) adalah tahanan pembuluh
darah sistematik (perifer) atau, dengan kata lain, tahanan terhadap arus darah ke perifer.

B. Patofisiologi Kehilangan Darah


Respon dini kehilangan darahadalah kompensasi tubuh, sebagai contoh adalah vasokontriksi
progresif dari kulit, otot, dan sirkulasi viseral (dalam rongga perut) untuk menjamin arus
darah keginjal, jantung dan otak. Karena ada cidera, respon terhadap berkurangnya volume
darah yang akut adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output
jantung. Hampir selalu takikardi akan merupakan gejala awal dari syok. Pelepasan
katekolamin-katekolamin endogen meningktakan tekanan pembuluh darah perifer. Hal ini
akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure),
tetapi hanya sedilit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat
vaso-aktif juga dilepaskan kedalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin,
bradykinin, beta-endorpin, dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi
ini berdampak besar pada micro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah.

Pada syok perdarahan yang masih dini, mekasnisme kompensasi hanya sedikit mengatur
pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah didalam sistem
vena, hal mana tidak banyak membantu memperbaiki tekanan vena sistematik. Cara yang
paling efektif untuk memulihkan cardiac output dan perfusi oragan adalah dengan
memulihkan pengembalian darah (venous return) kebatas normal dengan memperbaiki
volumenya.

Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat
esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada
keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah kemetaabolisme anaerobik, hal mana
mengakibatkan asam laktat dan berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya
berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP(adenosine triphosphate)
tidak memadai, maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan
gradient elektrik normal hilang.
Pembengkakan retikulum endoplasmik merupakan tanda ultrastruktural pertama dari hipoksia
seluler setelah itu tidak lama lagi akan diikuti cidera mithocondrial. Lisosom pecah dan
melepaskan ensim yang mencernakan struktur intre seluler lainnya. Natrium (Na) dan air
memasuki sel, dan terjadilah pembengkakan sel. Juga terjadi penumpukan kalsium intra
seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cidera seluler yang progresif penambahan
edema jaringan dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi.

Pemberian larutan elektrolit isotonis dalam jumlah yang cukup akan membantu
melawanproses tersebut. Pengelolaan diarahkan kepada cara mengembalikan fenomenom ini
yaitu dengan cara memberikan oksigenasi yang cukup ventilasi, dan resusitasi cairan yang
tepat. Resusitasi dapat diikuti oleh penigkatan edema intertisial, yang disebabkan oleh
cedera repefusi pada membran kapiler-interstisial. Volume cairan yang lebih besardaripada
yang diantisipasi semula.

Penatalaksanaan awal dari syok diarahkan kepada pemulihan perfusi seluler dan organ
dengan darah yang dioksigenasi dengan adekuat. Dalam syok hemoragik hal ini berarti
menambah preload atau memulihkan secara adekuat volume darahyang beredar dan bukan
hanya mengembalikan tekanan darah dan denyut nadi penderita menjadi normal. Vasopresor
merupakan kontra indikasi pada terapi syok hemorogik. Perlu dilakukan monitoring teratur
dari indikator-indikator perfusi penderita, agar dapat dilakukan evaluasi respon terhadap
terapi dan untuk mengetahui sedini mungkin kalau keadaannya memburuk.

Kebanyakan penderita truma dengan syok hipovolemik memerlukan intervensi pembedahan


untuk mengatasi keadaan syok. Karena itu, adanya syok pada penderita trauma menuntut
keterlibatan ahli bedah dengan segera.

II. PENILAIAN AWAL PENDERITA

A. Mengenal Syok
Syok karena gangguan sirkulasi yang berat, yang ditandai oleh perfusi yang tidak adekuat
pada kulit, ignjal dan sistem syaraf pusat mudah untuk dikenali. Namun, setelah dipastikan
airway dan ventilasi adekuat, maka sangatlah penting melakukan evaluasi dengan teliti atas
status sirkulasi penderita agar dapat secara dini mengidentifikasi manifestasi syok termasuk
takikardia dan vasokonstriksi kulit (cutaneous vasoconstriction).

Kalau hanya mengandalkan tekanan darah sistolik sebagai tanda syok, maka akan timbul
keterlambatan dalam mengetahui status syok. Mekanisme kompensasi dapat mencegah
penurunan tekanan darah sistolikwalaupun sudah sampai 30% dari volume darah penderita
yang hilang. Perhatian khusus harus harus diarahkan kepada denyut nadi, laju pernapasan,
perfusi kulit, dan tekanan nadi (perbedaan anatara tekanan sistolik dan diastolik). Takikardia
dan vasokonstriksi kulit merupakan respon fisiologis yang biasa dan dini terhadap kehilangan
volume pada kebanykan orang dewasa. Maka, setiap penderita yang dingin dan takikardia
dianggap mengalami syok sampai terbukti sebaliknya. Kadang-kadang, detak jantung yang
normal, atau bahkan brakikardia, dapat ditemukan pada hipovolemia akut. Dalam keadaan ini
harus dipantau dengan indikator perfusi yang lain.
Detak jantung normal berubah sesuai dengan usia. Penderita dinyatakan takikardia bila detak
jantung lebih dari 160 pada bayi, 140 pada anak usia belum sekolah, 120 pada anak usia
sekolah sampai pubertas, dan 100 pada orang dewasa. Penderita yang berusia lanjut mungkin
tidak menunjukan takikardia karena tebatasnya respon jantung terhadap stimulasi
katcholamin atau penggunaan obat-obatan seperti beta-bloker adrenergis. Kemampuan untuk
mempercepat detak jantung mungkin juga terbatas karena ada pacemaker (alat pacu jantung).
Tekanan nadi yang mengecil manandakan kehilangan darah yang cukup banyak dan adanya
mekanisme kompensasi.

Penggunaan hematokrit atau konsentrasi hemoglobin tidak dapat diandalkan untuk menduga
kehilangan darah akut, dan tidak cocok untuk diagnosis syok. Kehilangan darah banayk
secara akut hanya akan mengakibatkan pengurangan yang minimal dalam hematokrit atau
konsentrasi hemoglobin. Dengan demikian, hemotokrit yang sangat rendahyang diperoleh
tidak lama setelah cidera, menandakan kehilangan darah banyak atau dapat juga karena
anemia yang telah ada sebelumnya, sedangkan hematokrit yang normal dapat ditemukan
walaupun kehilangan darah cukup banyak.

B. Diferensiasi Klinis dari Etiologi Syok


Syok pada penderita trauma dapat diklasifikasi sebagai perdarahan atau bukan akibat
perdarahan. Penderita yang cedera diatas diafragma dapat diperlihatkan tanda perfusi yang
tidak adekuat karena kinerja jantung yang tidak baik dari trauma tumpul miokard atau dari
tension pneumotorax yang mengakibatkan pengembalian darah yang tidak cukup (preload).
Dokter yang waspada dan melakukan pengamatan yang sangat teliti megenai respon
penderita pada terapi awal, seharusnya mengenal dan dapat mengelola segala bentuk syok.
Pada fase awal, maka penentuan etiologi syok tergantung pada anamnesis yang tepat dan
pemeriksaan jasmani yang teliti. Melakukan tes tambahan, seperti tekanan vena sentral (
Central Veneus Pressure ), pemasangan kateter di arteri pulmonalis, foto toraks dan felvis,
dan ultrasonografi dapat membantu diagnosis syok, namun tidak boleh mengakibatkan
tertundanya penggantian volume.

1. Syok hemoragik (hemorrhagic)


Perdarahan (hemorrhage) adalah penyebab syok yang paling umum setelah trauma, dan
hampir semua penderita dengan trauma multipel ada komponen hipovolemia, harus diingat
bahwa walaupun syok bukan disebabkan perdarahan, namun akan memberi respon sedikit
atau singkat terhadap resusitasi cairan. Karena itu, bila terdapat tanda-tanda syok, maka syok
itu dianggap disebabkan karena hipovolemia. Namun, dalam melakukan terapi, harus
diketahui bahwa sejumlah kecil penderita mempunya etiologi syok yang lain (misalnya,
penderita mungkin mempunyai kondisi sekunder seperti tamponade jantung, cedera saraf
tulang belakang, atau trauma tumpul jantung yang akan merumitkan syok hipovolemia itu).
Terapi syok perdarahan akan dibahas dengan lebih terinci dalam bagian lain dari bab ini.

2. Syok non-hemoragik
a. Syok kardiogenik
Disfusi miokardial dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade jantung, emboli
udara, atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan dengan cedera penderita. Bila
mekanisme cedera pada toraks merupakan deselerasi, harus dicurigai cedera tumpul jantung
(blunf). Semua penderita dengan trauma tumpul tumpul memerlukan pemantauan EKG terus-
menerus untuk mengetahui pola cedera dan disritmia. Isoenzyme-CPK dan pemeriksaan
isotop spesifik jarang dipakai dalam menegakan diagnosis atau mengelola penderita dibagian
gawat-darurat. Ekokardiografi dapat dipergunakan dalam menentukan diagnosis dari
temponade atau ruptur dari katup jantung, tetapi tidak praktis dan jarang dapat langsung
digunakan di UGD.

Adanya darah dalam rongga perikardium (temponade jantung) dapat dikenali dengan
pemeriksaan ultrasonografi (FAST, Focused Assesment Sonografy in Trauma) untuk
diagnosis penyebab syok.
Cedera tumpul jantung mungkin merupakan suatu indikasi pemasangan tekanan vena sentral
(CVP) secara dini agar dapat memandu resusitasi cairan dalam situasi ini.

Temponade jantung merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada trauma tumbus
toraks, tetapi dapat juga pada trauma tumpul toraks. Takikardia, bunyi jantung yang teredam,
pelebaran dan penonjolan vena-vena dileherdengan hipotensi yang tidak dapat diatasi dengan
terapi cairanmenandakan temponade jantung. Tidak adanya penemuan klasik diatas tidak
menyingkirkan diagnosis ini. Tension pneumutoraks bisa mirip tamponade jantung, namun
bedanya tidak ada bunyi nafas dan pada perkusi hipersonor dibagian hemitoraks yang
terkena. Untuk sementara kedua kondisi yang mengancam nyawa ini dapat diatasi dengan
dengan memasukan jarum keruang pleura dalam kasustension pneumutoraks atau kedalam
kantung perikardial untuk tamponade jantung.

b. Tension pneumotoraks
Tension pneumotoraks merupakan keadaan gawat darurat bedah yang memerlukan
diagnosisdan penanganan segera. Tension pneumotoraks terjadi bila ada udara yang masuk
kerongga pleura tetapi karena suatu mekanisme ventil (katup-ayun/flapvalve) mencegah
aliran keluarnya. Tekanan intrapleural menigkat dan menyebabkan paru-paru kolaps total dan
terjadi penggeseran dari mediastinum ke sisiseberangnya diikuti terganggunya aliran darah
balik ke jantung (veneus return) dan penurunan output jantung. Adanya gangguan pernafasan
yang akut, emfisema subkutanmenghilangnya suara nafas pada auskultasi, hipersonor pada
perkusidan pergeseran trakea mendukung dianosis dari tension pneumotoraks dan menuntut
dilakukannya dekompresi toraksdengan segera tanpa menunggu konfirmasi foto ronsen untuk
diagnosisnya.

c. Syok neurogonik
Cedera intrakarnial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan syok. Adanya syok pada
penderita dengan cedera kepala harus dicari penyebab syok yang lain. Cedera syaraf tulang
belakang yang mungkin mengakibatkan hipotensi karena hilangnya tonus simpatis pada
kapiler. Ingat, kehilangan tonus simpatis pada kapiler memperberat efek fisiologis dari
hipovolemia, sebaliknya hipovolemia akan memperberat efek-efek fisiologis denervasi
simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogonik adalah hipotensi tanpa takikardiaatau
vasokonstriksi kulit. Tekanan nadi yang mengecil tidak terlihat dalam syok neurogenik.
Penderita yang menderita cedera tulang belakang sering kali mengalami trauma didaerah
tubuh lainnya. Karena itu, penderita yang diduga atau diketahui mempunyai syok neurogenik
pada awalnya harus dirawat untuk hipovolemia. Kegagalan dalam pemulihan perfusi organ
denga resusitasi cairan menandakan perdarahan masih berlanjut atau syok neurogenik.
Memantau tekanan vena sentral (CVP) mungkin membantu dalam masalah yang kadang-
kadang rumit.

d. Syok septik
Syok karena infeksi yang timbul segera setelah trauma jarang terjadi. Namun, kalau
kedatanagan penderita di fasilitas gwat-darurat tertunda untuk beberapa jam, masalah ini
mungkin terjadi pada penderita dengan cedera perut yang tembus pada kontaminasi rongga
peritoneal dengan isi usus. Penderita septik yang hipotensif dan afebril secara klinis sukar
dibedakan dari yang terkena syok hipovolemik, karena kedua kelompok ini dapat
menunjukan takikardia, vasokontriksi kulit, produksi urine menurun, tekanan sistolik yang
menurun, dan tekanan nadi yang mengecil. Penderita dengan syok septik yang dini mungkin
mempunyai peredaran volume yang normal, takikardia yang sedang, kulit berwarna merah
jambu yang hangat, tekanan sistolik mendekati normal, dan tekanan nadi yang lebar.

III. SYOK HEMORAGIK PADA PENDERITA TRAUMA

Perdarahan adalah penyebab syok yang paling sering terjadi pada penderita trauma. Respon
penderita trauma terhadap kehilangan darah menjadi lebih rumit karena pergeseran cairan
diantara kompartemen cairan didalam tubuh (khususnya didalam kompartemen ekstra
selular). Respon klasik terhadap kehilagan darah harus dipertimbangkan dalam konteks
pergeseran cairan tersebut dalam kaitannya dengan cedera jaringan lunak. Sebagai tambahan,
perubahan yang berhubunga dengan syok yang berat dan berkepanjangan dan hasil
patofisiologis dari resusitasi dan perfusi juga harus dipertimbangkan seperti dibahas
sebelumnya.

A. Definisi Perdarahan (Hemorrhage)


Definisi dari perdarahan adalah kehilangan akut volume peredaran darah. Walau dapat
bervariasi, volume darah orang dewasa normal adalah kira-kira 7% dari berat badan. Dengan
demikian laki-laki yang beratnya 70 kilo, mempunyai volume darah yang beredar kira-kira 5
liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan
idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan berat badan yang sebenarnya, hasilnya mungkin
jau diatas volume yang sesungguhnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari
berat badan (80 sampai 90 ml/kg). Efek langsung dari kelas perdarahan, berdasarkan
persentase kehilangan volume darah yang akut, dibicarakan tersendiri di bab ini agar dapat
difahami manifestasi fisiologis dan klinis syok hemoragik.

Perbedaan antara kelas-kelas syok hemoragikmungkin tidak jelas terlihat pada seseorang
penderita, dan penggantian volume harus diarahkan pada respon terhadap terapi semula dan
bukan dengan hanya mengandalkan klasifikasi awal saja. Sistem klasifikasi ini berguna untuk
memastikan tanda-tanda dini dan patofisiologi keadaan syok. Perdarahan kelas I adalah ibarat
seseorang yang menyumbang satu unit darah. Kelas II adalah perdarahan tanpa komplikasi,
namun resusitasi cairan kristaloid diperlukan. Kelas III adalah keadaan perdarahan dengan
komplikasi dimana harus diberikan infus kristaloid dan mungkin penggantian darah.

Perdarahan kelas IV harus dianggap sebagai kejadian preterminal, dan kalau tidak diambil
tindakan yang sangat agresif, penderita akan meninggal dalam beberapa menit. (Lihat tabel I
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah). Beberapa faktor akan sangat mengganggu penilaian
respon hemodinamis terhadap perdarahan. Faktor-faktor ini meliputi (1) usia penderita; (2)
parahnya cedera, dengan perhatian khusus bagi jenis dan lokasi anatomis cederanya;
(3)rentang waktu antara cedera dan permulaan terapi; (4) terapi cairan pneumatis (PASG);
dan (5) obat-obat yang sebelunya sudah diberikan karena ada penyakit kronis.

Tabel 1 Perkiran kehilangan Cairan dan Darah


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah (ml) Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan darah (% volume darah) Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi (mmHg) Normal atau naik Menurun Menurun Menurun
Frekuensi pernafasan 14-20 20-30 30-40 >35
Produksi urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 Tidak berarti
CNS/Status mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas,bingung Bingung,lesu (lithargic)
Penggantian cairan (hukum 3:1) Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah Kristaloid darah

Berbahaya untuk mnunggu sampai tanda-tanda syok jelas, dan baru setelah itu mulai
pemulihan volume dengan agresif. Resusitasi cairan harus dimulai bila tanda-tanda dan gejala
kehilangan darah nampak atau diduga, bukan bila tekanan darah menurun atau sudah tidak
terdeteksi.

1. Perdarahan Kelas I Kehilangan Volume Darah sampai 15%


Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Tidak ada perubahan yang berarti
dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderita yang dalam
keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti. Pengisian transkapiler dan
mekanisme kompensasi lain akan memulihkanvolume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada
kehilangan cairan karena sebab lain, kehilangan jumlah darah ini dapat mengakibatkan
gejala-gejala klinis. Penggantian cairan untuk mengganti kehilangan primer, akan
memperbaiki keadaan sirkulasi.

2. Perdarahan Kelas II Kehilangan Volume Darah 15% Sampai 30%


Pada seorang laki-laki 70 kg. Kehilangan volume ini berjumlah 750 sampai 350 ml darah.
Gejala-gejala klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang dewasa),
takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Penurunuan tekanan nadi ini terutama berhubungan
dengan peningkatan dalam komponen diastolik karena bertambahnya katekolamin yang
beredar. Zat Inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah
perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini karena itu penting untuk
lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi dari pada tekanan sistolik. Penemuan klinis yang
lain yang akan ditemukan pada tingkat kehilangan darah ini meliputi perubahan sistem saraf
sentral yang tidak jelas (subtle) seperti cemas, ketakutan, atau sikap permusuhan. Walau
kehilangan darah dan perubahan kardiovaskuler besar, namun produksi urin hanya sedikit
terpengaruh. Aliran air kencing biasanya 20 sampai 30 ml sejam untuk orang dewasa.

Kehilangan cairan tambahan dapat memperberat manifestasi klinik dari jumlah kehilangan
darah ini. Ada penderita yang kadang-kadang memerlukan transfusi darah, tetapi pada
awalnya dapat distabilkan dengan larutan kristaloid.

3. Perdarahan Kelas III 30% sampai 40% Kehilangan Volume Darah


Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000 ml untuk orang dewasa) dapat sangat
parah. Penderitanya hampir selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat,
termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan penting dalam status mental, dan
penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah
kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita
dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu memerlukan transfusi darah. Keputusan
untuk memberi transfusi darah didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi cairan
semula dan perfusi dan oksigenasi organ yang adekuat, seperti diuraikan dalam bagian lain
dari bab ini.

4. Perdaahan Kelas IV Lebih Dari 40% Kehilangan Volume Darah


Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya meliputi
takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang cukup besar, dan tekanan nadi
yang sangat sempit (atau tekanan diastolik yang tidak teraba). Produksi urin hampir tidak ada,
dan kesadaran jelas menurun. Kulitnya dingin dan pucat. Penderita ini seringkali memerlukan
transfusi cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon
resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita
mengakibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.

Kegunaan klinis skema klasifikasi tersebut dapat digambarkan dengan contoh berikut. Karena
perdarahan Kelas III merupakan kehilangan volume darah yang terkecil yang dapat
dihubungkan dengan penurunan tekanan sistolik, seorang penderita 70 kg yang hipotensif
ketika tiba, kehilangan kira-kira 1470 ml darah (70 kg x 7% x 30% = 1,47 L, atau 1470 ml).
Dengan menggunakan hukum three for one, penderita ini membutuhkan 4,4 liter cairan
kristaloid (1470 ml x 3 = 4410 ml). Bila penderitanya tidak memperlihatkan tanda perbaikan
dari tanda-tanda vital sebagai respon terhadap pemberian cairan sejumlah ini, maka dokter
harus mempertimbangkan kemungkinan (1) bahwa perdarahan yang cukup potensial masih
sedang berlangsung, (2) terdapat tambahan kehilangan cairan lain yang memperburuk
kehilangan volume sirkulasi darah akut, atau (3) syoknya bukan karena perdarahan.

C. Perubahan Cairan Sekunder pada Cedera Jaringan Lunak


Cedera jaringan lunak dan patah tulang yang berat memberi gangguan keadaan hemodinamis
penderita yang cedera dengan dua cara. Pertama, darah hilang ke tempat sederanya, terutama
pada patah tulang panjang. Fraktur tibia atau humerus dapat menyebabkan kehilangan 1,5
unit (750 ml) darah. Dua kali jumlah itu (sampai 1500 ml) dapat disebabkan oleh patah tulang
femur dan beberapa liter darah dapat berkumpul di hematoma retroperitoneal dalam
berhubungan dengan patah tulang panggul.
Faktor kedua yang perlu diperhatikan ialah edema yang terjadi pada cedera jaringan lunak
dan tergantung dari beratnya cedera jaringan lunak. Cedera jaringan lunak mengakibatkan
aktivasi respon peradangan sistemik dan produksi serta pelepasan banyak cytokin. Banyak
dari hormon ini berdampak secara nyata pada endotel pembuluh darah, yang akan
mengakibatkan peningkatan permeabilitasnya. Berkembangnya edema jaringan adalah akibat
dari pergeseran cairan terutama dari plasma ke ruang ekstravaskuler dan ekstraseluler.
Pergeseran tersebut mengakibatkan hilangnya volume intravaskuler menjadi bertambah.

IV. PENATALAKSANAAN AWAL DARI SYOK HEMORAGIK

Diagnosis dan terpai syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir semua penderita
trauma, penanganan dilakukan seolah-olah penderita mengalami syok hipovolemi, kecuali
bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan
hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegang ialah menghentikan perdarahan
dan mengganti kehilangan volume.

A. Pemeriksaan Jasmani
Pemeriksaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan
meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting
untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adlah tanda-tanda
vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan
menyusul jika keadaan penderita mengijinkan.

1. Airway dan Breathing


Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi
dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih
dari 95%.

2. Sirkulasi Kontrol Perdarahan


Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh
akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan
tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat
perdarahan. PASG (Pneumatic Anti Shock Garment) dapat digunakan untuk mengendalikan
perdarahan dari patah tukang pelvis atau ekstremitas bawah, namun tidak boleh mengganggu
resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang
diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.

3. Disability Pemeriksaan Neurologi


Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan
mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai
perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.
Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi
mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi da oksigenasi otak
harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial.

4. Exposure Pemeriksaan Lengkap


Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus
ditelanjangi dan di periksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari mencari
cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hypothermia. Pemakaian
penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal sangat
bermanfaat dalam mencegah hipotermia.

5. Dilatasi Lambung Dekompresi


Dilatasi lambung seringkali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak, dan
dapat mengakibstkan hipotensi atau disritmia jantung yang yang tidak dapat diterangkan,
biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf vagus yang berlebihan. Distensi lambung
membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung
membesarkan risiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu aspirasi isi lambung, ini
merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukkan selang/pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada
penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik,
masih mungkin terjadi aspirasi.

6. Pemasangan Kateter Urin


Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan
evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Darah pada uretra atau prostat
dengan letak tinggi, mudah bergerak, atau tiak tersentuh pada laki-laki merupakan kontra-
indikasi mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada konfirmasi radiografis tentang
uretra yang utuh.
B. Akses Pembuluh Darah
Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik dilakukan dengan
memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimum 16 Gauge) sebelum
dipertimbangkan jalur vena sentral. Kecepatan aliran berbanding lurus dengan empat kali
radius kanul, dan berbanding terbalik dengan panjangnya (Hukum Poiseuille). Karena itu
maka lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairam dalam
jumlah besar dengan cepat.

Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau
pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan penggunaan pembuluh
darah perifer, maka digunakkan akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis, atau
vena subclavia dengan kateter besar) dengan menggunakan teknik Seldinger atau melakukan
vena seksi pada vena safena di kaki, tergantung tingkat ketrampilan dan pengalaman
dokternya. Seringkali akses vena sentral di dalam situasi gawat darurat tidak dapat
dilaksanakan dengan sempurna ataupun tidak seratus persen steril, karena itu bila keadaan
penderita sudah memungkinkan, maka jalur vena sentral ini harus di ubah atau diperbaiki.
Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius sehubungan dengan usaha
penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumo- atau hemotoraks, pada penderita yang saat
itu mungkin sudah tidak stabil.
Pada anak-anak di bawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra-osseus harus dicoba
sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang penting untuk memilih
prosedur atau caranya adalah pengalaman dan tingkat ketrampilan dokternya.
Kalau kateter intravena sudah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan crossmatch,
pemeriksaan laboratorium yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada
wanita usia subur. Analisa gas darah arteri juga harus diambil setelah pemasangan CVP pada
vena subclavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan penilaian
kemungkinan terjadinya pneumo- atau hemotoraks.

C. Terapi Awal Cairan


Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilakan volume vaskuler dengan cara
menggantikan kehilangan cairan berikutnya ke dalam ruang intersisial dan intraseluler.
Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua.
Walaupun NaCl fisiologis merupakan cairan pengganti yang baik namun cairan ini memiliki
potensi untuk terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila
fungsi ginjalnya kurang baik.
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal
adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak. Ini sering membutuhkan
penambahan pemasangan alat pompa infus (mekanikal atau manual). Respon penderita
terhadap penderita cairan ini di pantau, dan keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi
lebih lanjut akan tergantung pada respon ini.

Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi
penderita. Pada tabel 1, Perkiraan Kehilanngan Cairan dan Darah, dapat dilihat cara
menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan
kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti
setiap mililiter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan
resusitasi volume plasma yang hilang ke dalam ruang intersisial dan intraseluler. Ini dikenal
sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun, lebih penting untuk menilai respon
penderita kepada resusirasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai,
misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer. Bila, sewaktu resusitasi, jumlah
cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau mempertahankan perfusi organ jauh melebihi
perkiraan tersebut, maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang
belum diketahui atau penyebab lain untuk syoknya.

V. EVALUASI RESUSITASI CAIRAN DAN PERFUSI ORGAN

A. Umum
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk diagnosis
syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita. Pulihnya tekanan darah ke
normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan bahwa
perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi
informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan peredaran
kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kuantitasnya sukar
ditentukan.

Tabel 2 Respon terhadap pemberian cairan awal


RESPON CEPAT RESPON SEMENTARA TANPA RESPON
Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan sementara tensi dan nadi kembali turun Tetap
abnormal
Dugaan kehilangan darah Minimal (10%-20%) Sedang masih ada (20%-40%) Berat (>40%)
Kebutuhan kristaloid Sedikit Banyak Banyak
Kebutuhan darah Sedikit Sedang banyak Segera
Persiapan darah Type spesific dan crossmatch Type spesific Emergenci
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini ahli bedah Perlu Perlu perlu

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal. Produksi
urin yang normal pada umumnya manandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila tidak
dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu dari
pemantau utama resusitasi dan respon penderita maka pengukuran CVP sudah mencukupi.

B. Produksi Urin
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah ginjal.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5
ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak dan 2 ml/kg/jam untuk bayi
(dibawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau mungkin turunnya produksi urine dengan berat
jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang cukup. Keadaan ini menuntut
ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.

C. Keseimbangan Asam/Basa
Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami akalosis pernafasan karena takifnea.
Alkalosis respiratorik sering kali disusul dengan asidosis metabolik ringan dalam tahap syok
dini dan tidak perlu terapi. Asidosis metabolik yang berat dapat terjadi pada syok yang sudah
lama, atau akibat syok berat. Asidosis metabolik terjadi karena metabolisme anaerobik akibat
perfusi jaringan yang kurang dan produksi asam laktat. Asidosis yang persisten biasanya
akibat resssitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah terus-menerus dan, pada penderita
syok normotermik harus diobati dengan cairan, darah, dan dipertimbangkan interpensi
operasi untuk mengendalikan perdarahan. Defisit basa yang diperoleh dari analisa gas darah
arteri dapat berguna dalam memperkirakan beratnya defisit perfusi yang akut. Jangan
gunakan sodium bikarbonat secara rutin untuk mengobati asidosis metabolik sekunder pada
syok hipovolemik.

VI. KEPUTUSAN TERAPEUTIS BERDASARKAN RESPON KEPADA RESUSITASI


CAIRAN AWAL

Respon penderita kepada resusitasi cairan awak merupakan kunci untuk menentukan terapi
berikutnya. (lihat tabel 2, Respon Pada Resusitasi Cairan Awal). Setelah membuat diagnosis
dan rencana sementara berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat
mengubah pengelolaannya berdasarkan respon penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan
melakukan observasi terhadap respon penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita
yang kehilangan darahnya lebih besar dari yang diperkirakan, dan yang perdarahannya
berkanjut dan memerlukan pengendalian perdarahan interna melalui operasi. Dengan
resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli
bedah dan dilakukan pemulihan volume intravaskuler secara simultan. Resusitasi diruang
operasi ini, juga membatasi kemungkinan transfusi berlebihan pada orang yang status
awalnya tidak berimbang dengan jumlah kehilangan darahnya.
Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamis stabil dari orang yang
hemodinamis normal. Penderita yang hemodinamis stabil mungkin tetap ada takikardi,
takipnea, dan origuri, dan jelas masih tetap kurang di resusitasi dan masih syok. Sebaliknya,
penderita yang hemodinamis normal adalah yang tidak menunjukan tanda perfusi jaringan
yang kurang memadai.
Pola respon yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok : respon cepat, respon
sementara, dan respon minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.

A. Respon cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respon kepada bolus cairan awal dan tetap
hemodinamis normal kalau bolus cairan awal selesai dan kemudian cairan diperlambat
sampai kecepatan maintenence. Penderita seperti ini biasanya penyilangan volume darah
minimum (kurang dari 20 %). Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan
atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darah dan chrossmatchnya harus tetap dikerjakan.
Konsultasi dan evalusasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena
interpensi operatif mungkin masih diperlukan.

B. Respon Sementara (Transient)


Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespon terhadap pemberian cairan, namun
bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali karena kehilangan darah
yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada
kelompok ini adalah antara 20 40 % volume darah. Pemberian cairan pada kelompok ini
harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respon terhadap pemberian darah
menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.

C. Respon Minimal Atau Tanpa Respon


Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup tetap tanpa respon, ini menandakan
perlunya operasi sangat segera. Wawalupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai
kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard.
Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.
Pemasangan CVP atau echocardiografi emergency dapat membantu membedakan kedua
kelompok ini.
VII. TRANFUSI DARAH
Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan seperti diterangkan
sebelumnya.

A. Darah Chrossmatch, Jenis-spesifik dan Tipe O


Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki oxygen-carrying capacitys. Perbaikan
volume dapat dicapai dengan pemberian larutan kristaloit, yang sekaligus akan memperbaiki
volume intersisial dan interseluler.

1. Yang lebih baik ialah darah yang sepenuhnya chrossmached. Namun, proses
chrossmatching lengkap memerlukan sekitar 1 jam dihampir semua bank darah. Untuk
penderita yang cepat menjadi stabil, harus dicari darah yang chrossmatched dan harus
tersedia untu ditransfusi bila dibutuhkan.
2. Jenis darah spesifik dapat disediakan oleh hampir semua bank darah dalam 10 menit
waktu. Darah ini sesuai dengan jenis darah ABO dan Rh, tetapi masih bisa juga terdapat
ketidaksesuaian anti body lain. Darah tipe spesifik dipilih untuk penderita yang responnya
sementara atau singkat seperti diuraikan diseksi sebelumnya. Walaupun darah tipe spesifik
diperlukan, bank darahnya tetap harus menyelesaikan chrossmatching.
3. Bila darah tipe spesifik tidak ada, packed cell tipe O dianjurkan untuk penderita dengan
perdarahan exanguinating untuk menghindari sensitisasi dan komplikasi dikemudian hari, Rh
(-) lebih disukai untuk wanita usia subur. Untuk kehilangan darah yang mengancam nyawa,
lebih disukai penggunaan darah tipe spesifik yang tidak dilakukan matching daripada tipe O,
kecuali bilamana berapa penderita tidak dikenal sekaligus sedang mengalami perdarahan, dan
resiko cukup besar untuk salah memberikan darah.

B. Pemanasan Cairan-Plasma dan kristaloid


Hipotermia harus dihindari an di proyeksi bila penderita saat tiba di rumah sakit dalam
keadaan hipotermia penggunaan penghangat darah merepotkan namun sangat diperlukan di
bagian gawat darurat untuk mencegah hipotermia pada seseorang penderita yang menerima
volume besar kristaloid adalah menghangatkan cairan sampai 390 C (102,20 F) sebelum
digunakan. Hal ini dicapai dengan menyimpan kristaloid di dalam penghangat atau dengan
menggunakan oven microwave. Produk darah tidak dapat dihangatkan di dalam microwave,
tetapi dapat dihangatkan dengan melewatkannya melalui alat penghangat cairan intravena.

C. Autotransfusi
Adaptasi alat koleksi pipa torakostomi standar dapat di beli, dan dapat digunakan untuk
koleksi steril, antikoagulasi (pada umumnya dengan larutan sodium sitrat, bukan heparin),
dan transfusi ulang dari darah yang telah keluar. Pengumpulan darah keluar untuk
autotransfusi sebaiknya dipertimbangkan untuk penderita dengan hemotoraks yang berat.

D. Koagulopati
Koagulopati jarang terjadi pada jam pertama terapi penderita dengan cedera miltiple.
Transfusi masif akan menghasilkan delusi platelet dan faktor-faktor pembekuan. Hipotermia
akan menyebabkan gangguan agregasi platelet dan clotting cascade. Kedua hal diatas
merupakan penyebab yang sering untuk terjadinya koagulopati pada penderita cedera. Waktu
protrombin, Partial thromboplastin time, dan hitung trombosit adalah sebagai dasar yang
berharga untuk diperoleh pada jam pertama, khususnya bila penderita punya riwayat
pembekuan, menggunakan terapi yang mengubah koagulasi (warfarin, aspirin, atau unsur anti
infeksi yang non steroidal), atau bila tidak terdapat riwayat perdarahan yang dapat diatasi
transfusi trombosit, cryopresipitate, dan plasma yang baru dibekukan harus di pandu oleh
parameter koagulasi, termasuk fibrinogen. Penggunaan rutin produk-produk tersebut pada
umumnya tidak dianjurkan kecuali bila penderitanya diketahui mempunyai kelainan
koagulasi atau pernah diberikan antikoagulan untuk pengelolaan suatu masalah medis yang
spesifik. Bila terdapat bukti perdarahan atau ada kemungkinan kehilangan darah internal
(misalnya cedera kepala, perut atau cedera toraks), maka dalam hal ini harus dimulai terapi
penggantian faktor spesifik.
E. Pemberian Kalsium
Kebanyakan penderita yang menerima transfusi darah tidak memerlukan tambahan kalsium.
Pemberian kalsium tambahan dan berlebihan dapat berbahaya.

VIII. PERTIMBANGAN KHUSUS DALAM DIAGNOSIS DAN TERAPI SYOK

A. Menyamakan Tekanan Darah Dengan Output Jantung


Terapi syok hipovolemik (hemoragik) berarti koreksi terhadap perfusi dari organ yang tidak
memadai. Hal ini berarti meningkatkan aliran darah organ dan oksigenasi jaringan.
Meningkatkan aliran darah memerlukan peningkatan output jantung. Hukum Ohm (V = I x
R), kalau diterapkan pada fisiologi kardiovaskuler menyatakan bahwa tekanan darah (V)
sebanding dengan uotput jantung (I) dan tahanan pembuluh darah sistemik (R) (afterload).
Peningkatan dalam tekanan darah janngan disamakan dengan peningkatan output jantung.
Peningkatan dalam tahanan perifer, seperti bila diberikan terapi vasopresor, tanpa perubahan
dalam output jantung menghasilkan peningkatan tekanan darah, tetapi tidak menghasilkan
perbaikan dalam perfusi jaringan atau oksigenasi.

B. Usia
Penderita trauma yang lanjut usia memerlukan pertimbangnan khusus. Proses menua
menghasilkan penurunan relatif pada kegiatan simpatis dalam hubungannya dengan sistem
kardiovaskuler. Ini diduga sebagai akibat dari pengurangan dalam respon reseptor terhadap
katecholamine. Complience jantung menurun sesuai dengan usia lanjut. Penderita yang lebih
tua tidak dapat meningkatkan laju jantung atau efisiensi kontraksi miokard bila diganggu oleh
kehilangan volume darah seperti yang terjadi pada penderita yang lebih muda. Penyakit
vaskuler oklusif akibat aterosklerosis membuat banyak organ vital sangat sensitif terhadap
sedikit saja berkurangnya arus darah. Banyak penderita yang lanjut usia mempunyai
kekurangan volume yang sudah ada sebelumnya, sekunder akibat penggunaan diuretik kronik
atau malnutrisi yang tersamar.oleh sebab itu, hipotensi yang sekunder akibat kehilangan
darah kurang dapat diterima oleh penderita trauma yang lanjut usia. Penggunaan beta-
adrenergik bloker mungkin meniadakan takikardi sebagai tanda dini syoknya. Terapi lain pun
dapat memberi dampak yang berlawanan kepada respon stress kepada cedera, atau bahkan
memblokirnya sama sekali. Karena kemungkinan membuat kesalahan terapi dalam resusitasi
cairan cukup besar pada penderita lanjjut usia, maka ada baiknya untuk mempertimbangkan
pengguanaan alat monitoring-invasive secara dini sebagai jalan untuk menghindari
pemberian volume yang berlebihan atau kurang memadai.

Berkurangnya complience paru-paru berkurangnya kapasitas difusi, dan lemahnya otot


pernafasan pada umumnya, membatasi kemampuan penderita lanjut usia untuk memenuhi
bertambahnya tuntutan untuk penukaran gas yang akibat cederanya. Hal ini diperberat dengan
hipoksia seluler yang telah terjadi karena berkurangnya suplai oksigen. Proses penuaan pada
glomerulus dan tubulus di ginjal mengurangi kemampuan penderita lanjut usia untuk
mempertahankan volume sebagai respon terhadap pelepasan hormon stress seperti
aldosterone, arginine, vasopressin dan cortisol. Ginjalnya juga lebih mudah terkena oleh efek-
efek aliran darah yang berkurang dan unsur-unsur nefrotoksik seperti obat bius, obat kontras,
dan produk-produk toksik akibat kerusakan sel. Karena alasan-alasan tersebut di atas, maka
mortalitas dan morbiditasmeningkat sebanding dengan peningkatanusia dan status kesehatan
kronis, baik untuk cedera ringan maupun sedang. Walaupun ada efek buruk dari proses
penuaan, adanya penyakit penyerta, dan penurunan umum pada cadangan fisiologis
penderita lanjut usia, namun mayoritas penderita tersebut dapat diselamatkan dan
dikembalikan ke status mereka sebelum cedera. Terapi dimulai dengan resusitasi yang agresif
dan segera, dan pemantauan teliti.

C. Atlit
Latihan teratur yang ketat mengubah dinamika kardiovaskular kelompok penderita ini.
Volume darah dapat meningkat 15% sampai 20%, output jantung dapat meningkat enam kali,
stroke volume dapat meningkat 50%, dan denyut nadi istirahat pada umumnya 50.
Kemampuan kelompok ini untuk mengkompensasi kehilangan darah benar-benar istimewa.
Pada atlit, walaupun terjadi kehilangan darah yang agak banyak, respon biasa terhadap
hipovolemia mungkin tidak terlihat.

D. Kehamilan
Pada wanita hamil, hipovolemia fisiologis akan mengakibatkan kehilangan darah yang lebih
banyak sebelum menunjukkan gangguan perfusi. Hal ini juga akan mengakibatkan gangguan
perfusi pada janin.

E. Obat-obat
Reseptor bloker beta-adrenergik dan Calsium channel blockers secara signifikan dapat
mengubah respon hemodinamik penderita terhadap perdarahan. Over dosis insulin mungkin
akan menyebabkan hipoglikemia dan mungkin merupakan faktor dalam kejadian cedera.
Terapi diuretik kronis dapat menjelaskan hipokalemia yang tidak terduga, dan unsur-unsur
anti-infeksi nonsteroid dapat mengurangi fungsi trombosit.

F. Hipothermia
Penderita yang menderita hipothermia dan syok hemoragik tidak memberi respon normal
terhadap resusitasi darah dan cairan, dan seringkali mengakibatkan berkembangnya
koagulopati. Suhu tubuh merupakan tanda vital penting untuk dipantau pada tahap penilaian
awal. Suhu esofagus atau kandung kemih adalah ukuran yang akurat dari suhu tubuh. Korban
trauma yang terpengaruh alkohol dan terekspos pada suhu dingin yang ekstrim lebih
cenderung akan menderita hipothermia akibat vasodilatasi. Penghangatan cepat di lingkungan
yang dipanasi dengan alat penghangat ekstern seperti lampu pemanas, topi pemanas, gas
pernafasan yang dihangatkan, dan cairan dan darah intravena yang dihangatkan pada
umumnya mengoreksi hipotensi an hipothermia penderita. Penghangatan tubuh internal
(irigasi rongga peritoneal atau toraks dengan larutan kristaloid yang dipanasi dengan larutan
kristaloid 390 C (102,20 F), atau bypass extracorporeal) kadang-kadang dipakai. Terapi
hipotermis yang terbaik adalah melalui pencegahan.

G. Alat pacu jantung (pacemaker)


Penderita dengan pacemaker tidak mampu berespon terhadap kehilangan darah seperti yangg
diharapkan, karena output jantung langsung terkait dengan denyut jantung. Mengingat
banyaknya penderita dengan kelemahan konduksi miokardial yang memiliki alat seperti itu,
maka pemantauan tekanan vena sentral (CVP) sangat penting bagi penderita tersebut untuk
acuan pemberian terapi cairan.

Вам также может понравиться