Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seksio sesarea merupakan pelahiran janin melalui insisi yang dibuat pada
dinding abdomen dan uterus. Tindakan ini dipertimbangkan sebagai pembedahan
abdomen mayor. Sebelum ada prosedur pembedahan yang aman, pelahiran melalui
abdomen ini dilakukan pada keadaan ibu akan meninggal dan bayi baru lahir akan
diselamatkan. Indikasi persalinan sesarea yang dibenarkan dapat terjadi secara tunggal
atau secara kombinasi. Salah satu penyebabnya adalah pre eklampsia berat (PEB)
(Reeder, Martin, & Griffin, 2015).

Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan bahwa
setiap hari pada tahun 2015, sekitar 830 perempuan meninggal karena komplikasi
kehamilan dan kelahiran anak. Kematian ibu merupakan indikator kesehatan yang
menunjukkan kesenjangan yang sangat lebar antara daerah kaya dan miskin,
perkotaan dan pedesaan, baik antara negara dan dalam diri mereka.

Hasil penelitian Karima, Machmud, dan Yusrawati pada tahun 2015 di RSUP
Dr. M. Djamil Padang menunjukkan jika kejadian PEB dapat terjadi pada semua
kategori usia kehamilan di atas 20 minggu yaitu 35,3% pada usia kehamilan 20- 35
minggu dan 64,8% pada usia kehamilan 37 minggu dari 74 responden. Hasil
penelitian Hikmah, Maryanto, dan Ariesti pada tahun 2014 menunjukkan jika ibu
yang mengalami PEB berisiko untuk dilakukan tindakan seksio sesarea yaitu 98
responden (85,2%) dari 118 responden.

Pengkajian keperawatan pada pasien post seksio sesarea atas indikasi PEB
adalah dengan cara mengenali gejala dari PEB tersebut seperti sakit kepala yang
menetap, penglihatan kabur, nyeri epigastrum, muntah, edema, dan letargi (lemas).
Selain itu juga dikaji status nutrisi, asupan cairan, dan eliminasi. Setelah pasien
melahirkan dengan operasi sesar dapat dilakukan pemantauan semua sistem tubuh,
dikaji jumlah kehilangan darah, dan keseimbangan cairan (Reeder, Martin, & Griffin,
2015).

Diagnosis keperawatan yang sering muncul adalah gangguan eliminasi urin,


gangguan persepsi sensori penglihatan, kelebihan volume cairan, dan lain-lain
(NANDA International, 2015). Rencana dan implementasi yang dapat dilakukan
seperti manajemen cairan, perawatan post partum, dan lain-lain (Bulechek, dkk,
2013). Tindakan yang dilakukan pada pasien post seksio sesarea atas indikasi PEB
seperti kolaborasi pemberikan regimen MgSO4 untuk menormalkan kembali tekanan
darah dan mencegah terjadinya kejang pada pasien (Reeder, Martin, & Griffin, 2015).

Berdasarkan uraian secara teori diatas, kelompok mengangkat kasus


keperawatan dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Seksio
Sesarea atas indikasi Preeklampsia Berat (PEB) di ruang kebidanan RSUP. Dr. M.
Djamil Padang.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Seksio Sesarea atas indikasi
Preeklampsia Berat (PEB) di ruang kebidanan RSUP. Dr. M. Djamil Padang ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Post Seksio Sesarea atas indikasi Preeklampsia Berat (PEB) di ruang
kebidanan RSUP. Dr. M. Djamil Padang.

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan
Post Seksio Sesarea atas indikasi Preeklampsia Berat (PEB) di ruang
kebidanan RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
b. Mahasiwa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
Post Seksio Sesarea atas indikasi Preeklampsia Berat (PEB) di ruang
kebidanan RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
c. Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan pada pasien dengan Post
Seksio Sesarea atas indikasi Preeklampsia Berat (PEB) di ruang kebidanan
RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
d. Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan pada
pasien dengan Post Seksio Sesarea atas indikasi Preeklampsia Berat (PEB) di
ruang kebidanan RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
e. Pasien mampu melakukan evaluasi keperawatan dan melakukan
pendokumentasian keperawatan pada pasien dengan Post Seksio Sesarea atas
indikasi Preeklampsia Berat (PEB) di ruang kebidanan RSUP. Dr. M. Djamil
Padang.

3. Manfaat
Agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pasien
dengan Post Seksio Sesarea atas indikasi Preeklampsia Berat (PEB) beserta
asuhan keperawatannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Seksio Sesarea


1. Pengertian Seksio Sesarea
Seksio sesarea adalah pelahiran janin melalui insisi yang dibuat pada dinding
abdomen dan uterus. Tindakan ini dipertimbangkan sebagai pembedahan
abdomen mayor. Sebelum ada prosedur pembedahan yang aman, pelahiran
melalui abdomen ini dilakukan pada keadaan ibu akan meninggal dan bayi baru
lahir akan diselamatkan. Kelahiran sesarea dapat dilakukan dengan aman tidak
terjadi sampai akhir abad ke 19 (Reeder, Martin, & Griffin, 2015).

2. Indikasi Seksio Sesarea


Menurut Reeder, Martin, & Griffin (2015), indikasi persalinan sesarea yang
dibenarkan dapat terjadi secara tunggal atau secara kombinasi, merupakan suatu
hal yang sifatnya relatif daripada mutlak, dan dapat diklasifikasikan seperti yang
ditunjukkan dibawah:
a. Ibu dan janin
Distosia (kemajuan persalinan yang abnormal) adalah indikasi paling
umum kedua (30%), yang pada umumnya ditunjukkan sebagai suatu
kegagalan kemajuan dalam persalinan. Hal ini mungkin berhubungan
dengan ketidasesuaian antara ukuran panggul dengan ukuran kepala janin
(disproporsi sefalopelvik), kegagalan induksi, atau aksi kontraksi uterus
yang abnormal.
b. Ibu
Penyakit ibu yang berat, seperti penyakit jantung berat, diabetes
melitus, preeklamsia berat atau eklampsia, kanker serviks, atau infeksi
berat (yaitu, virus herpes simpleks tipe II atau herpes genitalia dalam fase
aktif atau dalam 2 minggu lesi aktif). Penyakit tersebut membutuhkan
persalinan seksio sesarea karena beberapa alasan untuk mempercepat
pelahiran dalam suatu kondisi yang kritis, karena klien dan janinnnya tidak
mampu menoleransi persalinan atau janin akan terpajan dengan resiko
bahaya yang meningkat saat melalui jalan lahir. Pembedahan uterus
sebelumnya, termasuk miomektomi, peahiran sesarea sebelumnya dengan
insisi klasik, atau rekontruksi uterus. Obstruksi jalan lahir karena adanya
fibroid atau tumor ovarium.
c. Janin
Gawat janin, seperti janin dengan kasus prolaps tali pusat, insufiensi
uteroplasenta berat, malpresentasi, seperti letak melintang, janin dengan
presentasi dahi kehamilan ganda dengan bagian terendah janin kembar
adalah pada posisi melintang bokong.

3. Klasifikasi Seksio Sesaria


Menurut Reeder, Martin, & Griffin ( 2015) klasifikasi seksio sesarea ada 2 yaitu :
a. Persalinan Sesarea Melintang
Pelahiran sesarea melintang, atau segmen bawah, merupakan
pelahiran sesarea yang pada umumnya dipilih karena berbagai alasan. Karena
insisi dibuat pada segmen bawah uterus, yang merupakan bagian paling tipis
dengan aktivitas uterus yang paling sedikit, maka pada tipe insisi ini
kehilangan darah minimal. Area ini lebih mudah mengalami pemulihan, dan
mengurangi kemungkinan terjadinya ruptur jaringan parut pada kehamilan
berikutnya. Selain itu, juga insidensi peritonitis , ileus paralisis, dan perlekatan
usus lebih rendah.

Insisi awal (membuka rongga abdomen) dibuat secara melintang


melalui daearah peritoneum uterus, yang menempel dengan kendur tepat di
atas kandung kemih. Lipatan peritoneum bawah dan kandung kemih
dipisahkan dari uterus, dan otot otot uterus diinsisi secara tegak lurus
ataupun secara melintang. Selaput ketuban dipecahkan, dan janin dilahirkan.
Plasenta dikeluarkan dan pemberian oksitosin melalui intravena dilakukan
untuk membuat uterus berkontraksi. Insisi uterus dijahit dalam dua lapisan,
dengan lapisan kedua bertumpang tindih dengan lapisan pertama. Susunan
kedua lipatan penutup ini menutup rapat insisi uterus dan diyakini untuk
mencegah lokia masuk ke dalam rongga peritoneum. Kemudian daerah
peritoneum viseral dirapatkan kembali dengan satu lapis jahitan kontinu
menggunakan benang jahit yang dapat diserap. Rongga abdomen dibersihkan
dari tampon. Lavase dengan menggunakan salin normal dilakukan untuk
mengurangi infeksi pascabedah dan kemudian abdomen ditutup dengan jahitan
lapis demi lapis.

b. Sesarea Klasik
Sebuah insisi tegak lurus dibuat langsung pada dinding korpus uterus.
Janin dan plasenta dikeluarkan, dan insisi ditutup dengan tiga lapisan jahitan
menggunakan benang yang dapat diserap. Tindakan ini dilakukan dengan
menembus lapisan uterus yang paling tebal pada korpus uterus. Hal ini
terutama bermanfaat ketika kandung kemih dan segmen bawah engalami
perlekatan yang ekstensif akibat seksio sesarea sebelumnya. Kadang tindakan
ini dipilih saat janin dalam posisi melintang atau pada kasus plasenta anterior.

4. Komplikasi Seksio Sesarea


a. Pada ibu
1) Infeksi puerperalis merupakan infeksi bakteri yang muncul disaluran
genetalia setelah kelahiran. Infeksi ini meliputi mastitis dan infeksi saluran
perkemihan, secara tidak langsung berhubungan dengan laktasi. Infeksi
puerperalis disebabkan oleh masuknya mikroorganisme kesaluran
reproduksi dan menyebar ke dalam darah dan bagian tubuh lainnya,
sehingga dapat berakibat keracunan darah (septisemia). Tanda dan
gejalanya: suhu lebih dari 38oC, pengeringan luka bernanah, subinvolusi
rahim (uterus seperti rawa, fundus lembek, lokasi lebih tinggi dari normal).
2) Perdarahan biasanya didefinisikan sebagai hilang darah lebih dari 1000 ml
post sectio caesarea. Perdarahan disebabkan karena adanya laserasi,
retensio plasenta, atonia uterus yang di sebabkan oleh distensi kandung
kemih.
3) Komplikasi-komplikasi lain seperti kerusakan organ-organ seperti vesika
urinaria dan uterus.
4) Thrombophlebitis (bekuan darah) merupakan inflamasi dinding aliran
darah bagian dalam dengan pembentukan darah yang menempel di
dinding. Sectio casarea berisiko terjadinya thrombophlebitis.
5) Aspirasi atau komplikasi lain yang berhubungan dengan anastesi.
b. Pada bayi
1) Kelahiran bayi premature karena kesalahan pada usia kehamilan.
2) Kematian perinatal pasca sectio caesarea sebanyak 4-7%
5. Penatalaksanan Pasien Post Seksio Sesarea
a. Penatalaksanaan Medis
Dengan pemberian analgetik untuk wanita dengan ukuran tubuh rata-
rata dapat injeksi 75 mg meridian IM setiap 3 jam sekali bila perlu untuk
mengatasi rasa sakit atau dapat diinjeksikan dengan cara IM 10-15 mg morfin
sulfat. Obat-obatan antiemetic, misalnya prometasin 25 mg biasanya diberikan
bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.
Pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, hematokrit, leukosit) secara
rutin diukur pada pagi hari setelah operasi. Hematokrit harus dipantau kembali
bila terdapat kehilangan darah atau bila terdapat oligiro atau keadaan lain yang
menunjukkan hipovolemi. Jika Hematokrit stabil, pasien dapat melakukan
ambulasi tanpa kesulitan apapun dan kemungkinan kecil jika terjadi
kehilangan darah lebih lanjut (Reeder, Martin, & Griffin, 2015).

b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Tanda-tanda vital
Dengan mengontrol tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan,
suhu) setiap 4 jam sekali (Reeder, Martin, & Griffin, 2015).
2) Terapi cairan dan diit
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan, termasuk Ringer
Laktat, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam
pertama berikutnya. Meskipun demikian, jika output urin dibawah 30 ml
perjam, pasien harus dievaluasi kembali. Bila tidak ada manipulasi intra
abdomen yang ekstensif atau sepis, pasien seharusnya sudah dapat
menerima cairan per-oral satu hari setelah pembedahan, Jika tidak
pemberian infus boleh diteruskan (Reeder, Martin, & Griffin, 2015).
3) Vesika urinaria dan usus
Kateter sudah dapat dilepas dari vesika urinaria setelah 12 sampa i 24
jam post operasi. Kemampuan mengosongkan urinaria harus dipantau
sebelum terjadi distensi. Gejala kembung dan nyeri akibat inkoordinasi
gerak usus dapat menjadi gangguan pada hari kedua dan ketiga post
operasi. Pemberian supositoria rectal akan diikuti dengan defekasi atau
jika gagal (Reeder, Martin, & Griffin, 2015).
4) Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi: miring kanan, dan kiri
dapat dimulai sejak 6-10 jam post operasi untuk mencegah thrombosis atau
penyumbatan pembuluh darah, latihan pernapasan dapat dilakukan sambil
tidur telentang sedini mungkin setelah sadar, hari kedua post operasi
pasien dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernapas
dalam lalu menghembuskannya (Reeder, Martin, & Griffin, 2015).
5) Ambulasi
Pada hari pertama post operasi, pasien dengan bantuan perawat dapat
bangun dari tempat tidur sebentar sekurang-kurangnya sebanyak 2 kali
ambulasi dapat ditentukan waktunya sedemikian rupa sehingga preparat
analgesic yang baru saja diberikan akan mengurangi rasa nyeri. pada hari
kedua, pasien dapat berjalan ke kamar mandi dengan pertolongan (Reeder,
Martin, & Griffin, 2015).
6) Perawatan luka
Luka insisi diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang relatif
ringan tampak banyak plester sangat menguntungkan. Paling lampat pada
hari ketiga, pasien sudah dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
Bila balutan luka basah dan berdarah harus dibuka dan diganti (Reeder,
Martin, & Griffin, 2015).

B. Konsep Preeklamsia Berat (PEB)


1. Defenisi Preeklamsia Berat
Preeklamsia meruapakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi
terjadi setelah minggu ke 20 pada wanita yang sebelumya memiliki tekanan darah
normal (Bobak dkk, 2004).

Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante,
intra, dan post partum. Dari gejala-gejala klinik pre eklampsia dapat dibagi
menjadi pre eklampsia ringan dan pre eklampsia berat. (Prawirohardjo, 2013).
Menurut Sarwono Prawirohardjo (2013) klasifikasi pre eklampsia dibagi atas
2 golongan yaitu:
a. Preeklamsia ringan
Pre eklampsia ringan adalah pre eklampsia dengan tekanan darah
sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg disertai
proteinuria 300 mg/24 jam.
b. Preeklamsia berat
Pre eklampsia berat adalah pre eklampsia dengan tekanan darah
sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai
proteinuria lebih 5 g/24 jam.

2. Etiologi Preeklampsia Berat


Penyebab preeklamsia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tapi
penderita yang meninggal karena preeklamsia terdapat perubahan yang khas pada
berbagai alat. Tapi kelainan yang menyertai penyakit ini adalah spasmus arteriole,
retensi Na dan H2O dan koagulasi intravaskuler. Faktor predisposisi preeklamsia
adalah sebagai berikut :
a. Primigravida, primipaterna
b. Hiperplasentosis misalnya molahidatidosa, kehamila multipel, diabetes
melitus, hidroppetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim
d. Kehamilan pertama
e. Obesitas
f. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
(Prawiharjo, 2013).

3. Patofisiologi Preeklamsia Berat


Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus.
Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu
akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik
berperan dalam proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan
tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan
tomboksan dan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan
akan menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit
deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan
perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati.

Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan darah


menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di
keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang
menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah.
Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga
menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin
II akan merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron.
Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan
gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.

Gangguan multiorgan terjadi pada organ- organ tubuh diantaranya otak, darah,
hati, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya edema
serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan
intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral,
nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan risiko
cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan
gangguan kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan
memunculkan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat
pengaruh aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan
retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat
memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan. Selain itu,
vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan penurunan GFR dan
permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi
dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan diuresis
menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri
akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas
terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos
dari filtrasi glomerulus dan menyebabkan proteinuria.

Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema


diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan
memunculkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan
perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan
pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth
Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat janin.

Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis


akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus
gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan
terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl
meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi
akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga
muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan
ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam
laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan
menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan
intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang
terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.
(Sukarni & Sudarti, 2014).

4. Pemeriksaan penunjang Preeklamsia Berat


Menurut Mitayani (2013) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien dengan pre eklamsia yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal
b) hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%).
c) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
d) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)

2) Urinalisis
a) Kadar albumin meningkat (N= 0-8 mg/dl)
b) Adanya protein dalam urin

3) Pemeriksaan Fungsi Hati


a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL)
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL

b. Pemeriksaan radiologi
1) Ultrasonografi (USG)
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi
perteumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat,
aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi
menunjukan bahwa denyut jantung janin lemah.

5. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat


Menurut Sarwono Prawirohardjo (2013) perawatan PEB sama halnya dengan
perawatan PER, dibagi menjadi dibagi dua unsur:
a. Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi
medisinalis.
1) Penderita PEB harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
2) Pemberian obat anti kejang seperti MgSO4
3) Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema
paruparu, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang
dipakai adalah furosemida
4) Pemberian anti hipertensi
b. Sikap terhadap kehamilannya, yaitu aktif: manajemen agresif, kehamilan
diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.
6. Komplikasi Preeklamsia Berat
Menurut Mitayani (2013) komplikasi dari pre eklampsia tergantung pada
derajat pre eklampsia tersebut, antara lain:
a. Pada ibu
1) Eklampsia
2) Solusio plasenta
3) Perdarahan subkapsula hepar
4) Kelainan pembekuan darah (DIC)
5) Sindrom HELLP (hemolisis, elvated, liver, enzymes, dan low platelet
count)
6) Ablasio retina
7) Gagal jantung hingga syok dan kematian

b. Pada janin
1) Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus
2) Prematur
3) Asfiksia neonatorum
4) Kematian dalam uterus
5) Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal
WOC
BAB III

ASKEP TEORITIS

1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Atau Biodata Klien
Meliputi: nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, nomor rekam
medik, dan diagnosa medis.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien pernah melahirkan dengan operasi seksio sesarea sebelumnya.
Kemungkinan klien menderita penyakit hipertensi sebelum hamil.
Kemungkinan klien mempunyai riwayat pre eklampsia pada kehamilan
terdahulu. Biasanya mudah terjadi pada klien yang obesitas. Klien mungkin
pernah menderita penyakit ginjal kronis.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien merasakan nyeri di bagian bawah abdomen bekas operasi. Klien
merasa sakit kepala di daerah frontal. Terasa sakit di ulu hati/nyeri
epigastrium. Gangguan visus : Penglihatan kabur, skotoma, diplopia. Mual dan
muntah, tidak ada nafsu makan. Gangguan serebral lainnya: tidak stabil seperti
terhuyung-huyung, reflek tinggi, tidak tenang. Edema pada ekstremitas.
Tengkuk terasa berat. Kenaikan berat badan mencapai 1 kg seminggu.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, Hipertensi yang
mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada klien. Kemungkinan
mempunyai riwayat pre eklampsia dan eklampsia dalam keluarga.
c. Riwayat Perkawinan
Biasanya terjadi pada wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun atau di atas 35
tahun.
d. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Karena kurangnya pengetahuan klien tentang hipertensi dalam kehamilan, dan
cara pencegahan, penanganan, dan perawatan.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien nifas biasanya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari
keinginan untuk menyusui bayinya.
3) Pola Aktifitas
Pada pasien post seksio sesarea atas indikasi PEB klien dapat melakukan
aktivitas seperti biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan
tenaga banyak, cepat lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas
karena mengalami kelemahan dan nyeri.
4) Pola Eliminasi
Pada pasien post seksio sesarea atas indikasi PEB sering terjadi adanya
perasaan sering/susah kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena
terjadinya edema, yang menimbulkan infeksi dari uretra sehingga sering
terjadi konstipasi karena penderita takut untuk melakukan BAB.
5) Pola Istirahat dan Tidur
Pada klien nifas terjadi perubahan pada pola istirahat dan tidur karena adanya
kehadiran sang bayi dan nyeri abdomen bagian bawah bekas operasi.
6) Pola Hubungan dan Peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga dan
orang lain.
7) Pola Penanggulangan Stres
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas.
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada bekas luka di bagian bawah abdomen,
pada pola kognitif klien nifas primipara terjadi kurangnya pengetahuan
merawat bayinya.
9) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilannya, lebihlebih
menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep diri
antara lain citra tubuh dan ideal diri.
10) Pola Reproduksi dan Sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau fungsi
dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan dan nifas.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, dan apakah ada benjolan.
2) Wajah
Wajah tampak pucat, kadang-kadang terdapat adanya cloasma gravidarum.
3) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, apakah ada
pembesaran kelenjar getah bening.
4) Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva sedikit
anemis, dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena
proses persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kuning.
5) Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihannya, adakah
cairan yang keluar dari telinga.
6) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang
ditemukan pernapasan cuping hidung.
7) Dada
Paru
Inspeksi : retraksi ada atau tidak ada
Palpasi : fremitus sama atau tidak sama
Perkusi : sonor/timpani
Auskultasi : vesikuler/bronkovesikuler
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba atau tidak
Auskultasi : irama teratur atau tidak
8) Payudara/Mamae
Inspeksi : payudara terlihat simetris atau tidak , areola mamae hiperpigmentasi
atau tidak, papila mamae menonjol/datar/ dan tampak bersih atau tidak
Palpasi : ASI/ kolostrum ada atau tidak, ada massa atau tidak yang teraba,
teraba pembesaran atau tidak
9) Abdomen
Inspeksi : tampak ada strie, linea nigra atau alba, tampak ada luka bekas
operasi di bawah umbilikus, posisi luka operasi lintang atau sejajar dengan
ukuranberapa, luka tampak tertutup verban atau tidak.
Palpasi : tinggi fundus uteri 2 jari/3 jari di bawah pusat atau tidak teraba, posisi
uterus medial yaitu berada di tengah perut pasien atau lateral, kontaksi uterus
pasien ada atau tidak dan teraba keras atau lunak.
10) Genitalia dan anus
Genitalia : tampak terpasang kateter atau tidak
Anus : mengalami defekasi 2- 3 hari.
a) Kebersihan : genitalia pasien tampak ada darah nifas
b) Lochea : warna lochea merah segar atau bagaimana,jenis lochea
rubra/serosa/alba, jumlah lochea berapa dengan konsistensi encer atau padat
dan bau lochea bagaimana
c) Haemorhoid : ada atau tidak ada
d) Varises : ada atau tidak ada
11) Ekstremitas
Pemeriksaan edema untuk melihat kelainan-kelainan karena membesarnya
uterus, karena preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.
12) Tanda-Tanda Vital
Hari ke-1
a) Suhu : naik 38oC
b) Nadi : 40-70 kali/menit
c) Tekanan darah : 140/90 mmHg
d) Pernafasan : rentang normal
Hari ke-2 sampai hari ke-3
a) Suhu : rentang normal
b) Nadi : bradikardi atau normal
e) Tekanan darah : 140/90 mmHg
c) Pernafasan : rentang normal
(Reeder, dkk, 2014).
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mitayani (2013) pemeriksaan penunjang pada pasien post seksio sesarea
atas indikasi PEB, sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
(1) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
(2) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
(3) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
b) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
c) Pemeriksaan Fungsi Hati
(1) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL)
(2) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat
(3) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL
(4) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N=
15-45 u/ml)
(5) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat
(N= < 31 u/ml)
(6) Total protein serum menurun (N= 6,7 8,7 g/dL)
d) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu
2,4 2,7 mg/dL.
2) Pemeriksaan Radiologi
a) Ultrasonografi (USG)
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume
cairan ketuban sedikit.
b) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukkan bahwa
denyut jantung janin lemah.
g. Data Sosial Ekonomi
Pre eklampsia berat lebih banyak terjadi pada wanita dari golongan ekonomi
rendah dimana mereka kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung
protein dan juga kurang melakukan perawatan antenatal yang teratur.
h. Data Psikologis
Biasanya klien pre eklampsia ini berada dalam kondisi yang labil dan mudah
marah, klien merasa khawatir akan keadaan dirinya dan keadaan janin dalam
kandungannya, dia takut anaknya nanti lahir cacat atau meninggal dunia,
sehingga ia takut untuk melahirkan.
(Mitayani, 2013).
2. Kemungkinan Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada kasus post seksio sesarea atas
indikasi PEB (NANDA International, 2015):
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka bekas operasi)
b. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
c. Ganguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multiple, infeksi saluran
kemih.
d. Gangguan persepsi sensori penglihatan
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kurang asupan makanan
f. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan asupan cairan dan
natrium
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
h. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
i. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan orang
tua tentang teknik menyusui, prematuritas, reflek isap bayi buruk, suplai ASI tidak
cukup
j. Kesiapan meningkatkan pemberian ASI berhubungan dengan reflek isap bayi baik
k. Kerusakan integritas kulit
l. Ansietas
m. Risiko cedera
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, dkk. 2004. Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.

Karima, Machmud, Yusrawati. 2015. Hubungan Faktor Resiko dengan Kejadian Pre-
Eklampsia Berat di RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4 (2).

Mitayani, 2013. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika.

Prawihardjo, Sarwono. 2013. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka.

Reeder, Martin, Koniak-Griffin. 2015. Volume 2 Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanita,


Bayi dan Keluarga Edisi 18. Jakarta : EGC.

Sukarni & Sudarti. 2014. Patologi Kehamilan dan Masa Nifas. Yogyakarta : Nuha Medika.

Вам также может понравиться