Вы находитесь на странице: 1из 13

INFEKSI JAMUR PADA SALURAN CERNA

A. PENDAHULUAN

Infeksi jamur telah muncul sebagai salah satu infeksi nosocomial yang penting di seluruh
dunia dengan angka morbiditas, mortalitas dan pembiayaan kesehatan yang bermakna.
Penggunaan antijamur untuk profilaksis dan penatalaksanaan infeksi. Penggunaan agen
kemoterapeutik, imunosupresif, antibiotic spectrum luas, transplatasi organ, nutrisi parenteral dan
teknik bedah mutakhir juga telah berperan untuk mengubah epidemiologi infeksi jamur.1

Candida adalah anggota flora normal terutama saluran pencernaan, juga selaput mukosa
saluran pernafasan, vagina, uretra, kulit dan dibawah jari-jari kuku tangan dan kaki. Infeksi jamur
telah muncul sebagai ancaman yang bermakna pada individu yang immunocompromised. Spesies
Candida adalah patogen jamur yang paling sering. Di tempat ini jamur dapat menjadi lebih
dominan dan menyebabkan keadaan patologik ketika daya tahan tubuh menurun baik secara local
maupun sistemik. Kadang-kadang infeksi jamur dapat menyebabkan penyakit sistemik progresif
pada penderita yang lemah atau sistem imunnya tertekan.2

Infeksi Candida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan
oleh Franchois Valleix (1836). Langerbach (1839) menemukan jamur penyebab thrust, kemudian
Berhout (1923) memberi nama organisme tersebut.2

Infeksi jamur dapat mengenai saluran percernaan tergantung dari penyebabnya yaitu bisa
disebabkan akibat luka pembedahan, trauma dan perluasan infeksi akibat keadaan imunodefisiensi.
Keadaan imunodefisiensi dapat terjadi pada pasien HIV, pasien yang sedang mendapat
kemoterapi, pasien yang mendapat terapi imunosupresi lama seperti steroid, pasien anak-anak dan
pasien tua, pasien dengan diabetes, pasien malnutrisi, pasien dengan post splenektomi, pasien
dengan chronic alcoholism.3

Sangat penting untuk mengetahui infeksi jamur secara dini karena pengobatan secara dini
dapat mencegah komplikasi yang lebih luas yang diakibatkan infeksi jamur seperti obstruksi usus,
perdarahan, perforasi, perotinitis, sepsis dan kematian. Sayangnya infeksi jamur sering diketahui
lambat karena disebabkan gejala yang non spesifik. Penegakan diagnosis infeksi jamur
memerlukan penelusuran mendalam dari gejala klinis, epidemiologinya dan dari bukti
pemeriksaan penunjang maupun pemeriksaan mikroskopik, kultur, histopatologi dan serologi.3
B. Epidemiologi

Pada pasien neonatus, infeksi candida spp sering menjadi penyebab invasive yang mengancam
nyawa. Umumnya insiden candidiasis invasive pada pediatric lebih tinggi daripada orang dewasa
dengan resiko lebih tinggi pada neonatus. Pada pasien neonatus yang sakit berat, Candida spp
merupakan agen ketiga tersering penyebab infeksi onset lambat, dengan insiden berkisar 2,6
10% pada bayi BBLR (1001-1500 gram) dan 5,5 20% pada bayi BBLSR (<1000 gram). Angka
mortalitas kasar yang berhubungan dengan infeksi ini berkisar antara 15 30% dan mortalitas
yang disebabkan oleh penyakit tersebut.3 Tahun 2010, Montagna dkk mengevaluasi epidemiologi
infeksi fungi invasive pada bayi, mereka menunjukkan bahwa secara keseluruhan insidennya 1,3
% dan angka mortalitas kasar sebesar 23,8 %. Dimana pada bayi dengan berat 1500 gram (4,3%)
menunjukkan insiden yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pada bayi dengan berat
2500 gram (0,2 %). Candida parapsilosis (61,9 %) merupakan spesies yang paling sering
terisolasi.4

Pasien neonatus jarang menunjukkan infeksi yang disebabkan oleh jamur filament, seperti
Aspergillus dan Zygomycetes, meskipun mereka dapat menyebabkan infeksi kulit setelah lesi kulit
nekrotikan dan infeksi saluran pencernaan setelah mucositis yang terinduksi oleh enterocolitis.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Groll dkk, yang disebabkan oleh aspergillus yang tercatat
pada bayi kurang bulan, 32% mengalami aspergillosis diseminata, 25% mengalami aspergilosis
cutaneus primer, dan 23% mengalami aspergillosis mandi pulmoner invasive. Sedikitnya 41%
pasien mendapatkan terapi kortikosteroid sebelum diagnosis dan hanya 1 pasien yang mengalami
neutropenia, ketikan prematuritas menjadi kondisi yang mendasari (43%), hanya 14% yang
terbukti menderita penyakit granulomatosa kronik. Spesies yang bertanggung jawab dalam infeksi
aspergillosis, A. fumigatus merupakan spesies tersering yang ditemukan pada bayi diikuti oleh A.
flavus, A. terreus, dan A. niger.5

Meskipun anak yang sehat memiliki imunitas alami yang kuat melawan infeksi jamur,
beberapa mikosis superficial seperti Tinea sering muncul. Tinea, disebabkan oleh dermatofit
seperti Tricophyton, Epydermophyton, Microsporum, merupakan infeksi kulit tang ditularkan
langsung dengan kontak kulit dengan penderita atau dengan kontak oleh permukaan seperti pada
lantai kamar mandi atau ruangan loker. Infeksi ini sering ditemukan pada anak usia 3-9 tahun yang
tinggal di area yang padat.6
Pada anak dan remaja yang menderita kanker, faktor resiko yang terpenting untuk infeksi
jamur adalah pada pemasangan kateter intravena, mucositis karena kemoterapi, antibiotic
spectrum luas, dan penggunaan kotrikosteroid dalam terapi terutama pada pasien leukemia.
Candida spp dan Aspergillus spp adalah agen penyebab tersering. Pada pasien neutropenia pada
anak dengan leukemia atau transplantasi sumsum tulang, frekuensi candidiasis invasive adalah 8
10% dengan angkat mortalitas kasar 100% pada pasien dengan neutropenia persisten atau setelah
transplantasi hemopoetik stem cell.3

Selain infeksi candida spp, pada anak dengan infeksi Aspergillus spp juga tercatat. Aspergillus
dapat menyebabkan penyakit infeksi, saprofitik atau alergi. Faktanya, frekuensinya berkisar 4,5-
10% dengan angka kematian kasar 40 94%. Spesies tersering adalah A. fumigatus, A. flavus,
dan A. terreus.3

B. Morfologi dan Identifikasi

Kandidiasis disebabkan oleh angota genus Candida, yang meliputi 80 spesies berbeda.
C.abicans merupakan 80-90% infeksi pada manusia, sisanya disebabkan oleh Candida tropicalis,
Candida parapsilosis, Candida guillermondii, Candida kruzei dan beberapa spesies Candida yang
lebih jarang.1

Candida memiliki 3 bentuk morfologis utama. Sel ragi (blastospora) memiliki diameter 1,5-5
um, tunas aseksual, dapat tumbuh pada permukaan tubuh dan cairan, mengawali lesi invasive, dan
dapat menyebabkan toksik atau reaksi radang. Klamidospora berukuran lebih besar (7-17 um) dan
jarang menimbulkan penyakit sistemik. Bentuk hifa (pseudomiselia) adalah fase jaringan Candida.
Bukan kontaminasi dan merupakan sulur-sulur filamentosa yang memanjang dari sel ragi. Candida
tumbuh secara aerobic pada media laboratorium rutin namun dapat memakan waktu inkubasi
beberapa hari.2

Pada sediaan apus eksudat, Candida tampak sebagai ragi lonjong, kecil, berdinding tipis,
bertunas, gram positif, berukuran 2-3 x 4-6 m, yang memanjang menyerupai hifa
(pseudohifa). Candida membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal
melepaskan diri, menghasilkan rantai sel-sel yang memanjang yang terjepit atau tertarik
pada septasi-septasi diantara sel. Candida albicans bersifat dimorfik, selain ragi-ragi dan
pseudohifa, ia juga bisa menghasilkan hifa sejati. Candida berkembang-biak dengan budding. Pada
agar sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar atau 37c selama 24 jam, spesies Candida
menghasilkan koloni-koloni halus berwarna krem yang mempunyai bau seperti ragi.7

Pertumbuhan permukaan terdiri atas sel-sel bertunas lonjong. Pertumbuhan di bawahnya


terdiri atas pseudomiselium. Ini terdiri atas pseudohifa yang membentuk blastokonidia pada
nodus-nodus dan kadang-kadang klamidokonidia pada ujung-ujungnya. Dua tes morfologi
sederhana membedakan C.albicans yang paling patogen dari spesies candida lainnya yaitu
setelah inkubasi dalam serum selama sekitar 90 menit pada suhu 37c, sel-sel ragi C
albicans akan mulai membentuk hifa sejati atau tabung benih dan pada media yang
kekurangan nutrisi C albicans menghasilkan chlamydospora bulat dan besar. Candida albicans
meragikan glukosa dan maltosa, menghasilkan asam dan gas; asam dari sukrosa; dan tidak
bereaksi dengan laktosa. Peragian karbohidrat ini, bersama dengan sifat-sifat koloni dan
morfologi, membedakan Candida albicans dari spesies Candida lainnya.5

C. Patogenesis dan Patologi

Sumber utama infeksi candida adalah flora normal dalam tubuh pada pasien dengan
sistem imun yang menurun. Dapat juga berasal dari luar tubuh, contohnya pada bayi baru
lahir mendapat candida dari vagina ibunya (pada waktu lahir atau masa hamil) atau dari
staf rumah sakit, dimana angka terbawanya candida sampai dengan 58%, meskipun masa hidup
spesies candida di kulit sangat pendek. Transmisi Candida antara staf rumah sakit dengan pasien,
pasien dengan pasien biasanya muncul pada unit khusus, contohnya unit luka bakar, unit geriatri,
unit hematologi, unit bedah, Intensive Care Unit dewasa dan neonatus dan unit transpantasi.1

Infeksi Candida dapat terjadi apabila ada faktor predisposisi baik endogen maupun
eksogen.

Faktor endogen :

1. Perubahan fisiologik :

a. Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina

b. Kegemukan, karena banyak keringat

c. Debilitas
d. Iatrogenik, misal kateter intravena, kateter saluran kemih

e. Endokrinopati, penyakit Diabetes Melitus, gangguan gula darah kulit

f. Penyakit kronik; tuberculosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk

g. Pemberian antimikroba yang intensif (yang mengubah flora bakteri normal)

h. Terapi progesterone

i. Terapi kortikosteroid.

j. Penyalahgunaan narkotika intravena

2. Umur : orangtua dan bayi lebih muda terkena infeksi karena status imunologiknya tidak
sempurna

3. Imunologik (imunodefisiensi)

Faktor eksogen :

a. Iklim panas dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat

b. Kebersihan kulit

c. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan

memudahkan masuknya jamur

d. Kontak dengan penderita, misalnya pada trush, balanopostitis.2,4,6

Pada penyuntikan intravena terhadap tikus atau kelinci, supensi padat Candida albicans
menyebabkan abses yang tersebar luas, khususnya di ginjal, dan menyebabkan kematian
kurang dari satu minggu. Secara histologik, berbagai lesi kulit pada manusia menunjukkan
peradangan. Beberapa menyerupai pembentukan abses; lainnya menyerupai granuloma
menahun. Kadang-kadang ditemukan sejumlah besar Candida dalam saluran pencernaan
setelah pemberian antibiotika oral, misalnya tetrasiklin, tetapi hal ini biasanya tidak
menyebabkan gejala. Candida dapat dibawa oleh aliran darah ke banyak organ termasuk
selaput otak, tetapi biasanya tidak dapat menetap disini dan menyebabkan abses-abses
milier kecuali bila inang lemah. Penyebaran dan sepsis dapat terjadi pada penderita dengan
imunitas seluler yang lemah, misalnya mereka yang menerima kemoterapi kanker atau
penderita limfoma, AIDS, atau keadaan-keadaan lain.5

D. Diagnosa Klinik

Berdasarkan European Organization for Research and treatment of cancer /Mycoses Study e
(EORTC/MSG) diagnosis dari IFI dapat diklasifinisikan seikasikan menjadi proven, probable, dan
possible. Diagnosis proven dipertimbangkan bila pada pemeriksaan histopatologi ditemukan
infeksi dan terdapat hasil kultur yang biasanya tempat tersebut steril. Didefinisikan sebagai
probable jika terdapat manifestasi klinis yang dapat berupa gejala dan tanda dan gambaran
radiologi sekaligus terdapat spemeriksaan mikrobiologis yang mendukung, dikategorikan sebagai
possible bila hanya terdapat faktor resiko dari host dan manifestasi klinis saja.8

Menegakkan diagnosis infeksi jamur pada anak secara masih merupakan suatu tantangan
dalam dunia kedokteran. Terapi dengan obat anti jamur yang terbaru dan prosedur lain yang
dianggap efektif untuk mengontrol infeksi jamur ternyata tidak signifikan menurunkan mortalitas
akibat infeksi jamur invasif. Berbagai kemajuan teknologi dan beberapa perangkat diagnostik
terbaru dapat membantu menegakkan adanya infeksi jamur, namun teknik diagnosis yang masih
merupakan gold standard adalah dengan kultur jamur. Kelemahan teknik ini adalah memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendeteksi adanya pertumbuhan jamur, pengambilan sampel
memerlukan teknik pengambilan yang benar, disamping itu jamur merupakan kontaminan yang
paling sering ditemukan di laboratorium. Pada neonatus dengan candidemia hasil kultur darah
sering kali menunjukkan hasil negatif karena sampel darah yang terlalu sedikit, disamping itu
strain jamur Candida merupakan spesies jamur yang tumbuh sangat lambat sehingga sulit untuk
menegakkan infeksi lebih dini. Teknik diagnosis yang ideal adalah yang mampu mendeteksi
adanya infeksi jamur pada fase awal infeksi, yang mana kriteria ini tidak dapat dipenuhi oleh
pemeriksaan kultur. Sehingga sensitivitas pemeriksaan dengan kultur jamur menjadi lebih rendah.8

Diagnosis infeksi jamur ditegakkan berdasarkan gejala secara klinis dan beberapa
modalitas pemeriksaan mikrobiologi , biomolekuler dengan pemeriksaan antigen, dan pencitraan.
Beberapa gejala klinis infeksi jamur secara spesifik menunjukkan infeksi jamur tertentu. Pada
infeksi candida di kulit misalnya adanya rash makulopapular dapat merupakan tanda
patognomonik. Namun pada infeksi jamur invasif gejala-gejala yang ditumbulkan seringkali tidak
khas dan seringkali terabaikan. Gejala infeksi Candida invasif biasanya tidak spesifik, gejala yang
ditimbulkan antara lain adalah demam tanpa sebab yang jelas, atau gejala-gejala sindrom sepsis,
neutropenia, nyeri perut kuadran kanan atas dan peningkatan kadar alkali fosfatase bila candida
menginvasi ke hati atau limpa. Oleh karena gejala infeksi yang tidak khas ini sehingga diperlukan
pemeriksaan dan teknik diagnosis lain untuk menegakkan diagnosis infeksi jamur. Beberapa
teknik diagnosis infeksi jamur yang dapat dikerjakan adalah :

1. Kultur darah

Identifikasi infeksi jamur dengan kultur darah masih dianggap merupakan gold standar,
namun sangat disayangkan teknik ini tidak dapat diterapkan pada semua spesies jamur. Infeksi
yang disebabkan oleh candida yang terdeteksi dengan kultur darah hanya 40-70% sehingga
sensitivitasnya sangat rendah. Golongan jamur yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan kultur
darah adalah golongan Fusarium spp dan Scedosporium spp, sedangkan golongan Aspergillus spp
dan Zygomycetes hampir tidak pernah ditemukan pada pemeriksaan kultur darah.8,9

2. Pemeriksaan histopatologi

Jamur dapat diidentifikasi berdasarkan gambaran morfologi dan histopatologinya.


Pemeriksaan histopatologi adalah mendeteksi jamur dengan menggunakan teknik pewarnaan.
Berbagai teknik pewarnaan yang sering digunakan adalah dengan Gomori-silver stain (GMS),
periodic acid schiff (PAS), dan teknik fluoresensi dengan fluorescent dyes. Pemeriksaan
histopatologi memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tidak bisa diprediksi. Kelemahan teknik
diagnosis dengan cara ini adalah tergantung kepada jumlah jamur, jenis jamur serta kualitas dan
kedalaman spesimen yang diambil.8,9

3. Pemeriksaan biomolekular

a. Polymerase chain reaction (PCR)

Berbagai teknik untuk mendeteksi asam nukleat dari jamur telah dikembangkan dengan
tujuan untuk menegakkan infeksi jamur lebih awal. Deteksi asam nukleat jamur dengan teknik
PCR masih sedang diteliti. Masalah yang dihadapi adalah karena belum ada standarisasi untuk
melakukan tes PCR. Setiap laboratorium memiliki teknik ekstraksi, probe, protokol dan tata cara
yang berbeda dalam melakukan PCR. Kondisi ini menyebabkan teknik diagnosis dengan PCR
hasilnya masih diragukan, sehingga sensitivitas dan spesifitasnya menjadi rendah. Masih sangat
sedikit penelitian yang dilakukan untuk penegakan diagnosis infeksi jamur dengan PCR, yang
sudah dilakukan adalah penelitian untuk mendeteksi adanya Candida spp pada pasien dengan sakit
kritis dan menurut studi yang dipublikasikan tahun 2008, dengan teknik PCR untuk deteksi
beberapa spesies Candida spp dilaporkan nilai positive predictive value dan negative predictive
value adalah > 90%.8,9

b. Pencitraan

Teknik diagnosis dengan pencitraan mempunyai peranan yang penting untuk menegakkan
diagnosis dan pemantauan penyakit infeksi jamur invasif. Pemeriksaan dengan CT scan dan
magnetic resonance imaging (MRI) sangat penting untuk menegakkan diagnosis kandidiasis pada
hepar dan lien. Ekokardiografi merupakan komponen penting dalam menegakkan diagnosis
endokarditis akibat Candida spp. Sedangkan, pemeriksaan dengan foto thoraks kurang sensitif
untuk menegakkan infeksi jamur. Pada pasien yang menjalani transplantasi organ yang kemudian
mengalami febril neutropenia pemeriksaan CT scan daerah thoraks perlu dilakukan karena
kemungkinan infeksi jamur sangat besar. Gambaran infeksi jamur biasanya tampak sebagai nodul
padat dengan batas tegas atau gambaran halo disekelilingnya. Gambaran ini tidak spesifik sebagai
penanda infeksi jenis jamur oleh Aspergillosis spp, namun penemuan tanda ini lebih dini dan
tatalaksana lebih awal memberikan luaran yang lebih baik, karena infeksi jamur pada paru paling
banyak disebabkan oleh spesies Aspergillus spp. Infeksi jamur invasif lain pada paru seperti
fusariosis, zygomycosis dan scedosporiosis mempunyai gambaran yang sama dengan infeksi
aspergillosis.8

E. Terapi

Nistatin digunakan untuk terapi jamur di kutaneus, vagina dan infeksi mukosa yang
disebabkan oleh spesies candida yang bisa diberikan secara oral dan topikal. Neonatus dengan oral
thrush usia kurang dari 1 bullan. Golongan Polyenes merupakan golongan fungicidal, mempunyai
spektrum yang luas dalam terapi seperti pada Aspergillus terreus, Aspergillus Versikolor,
Aspergillus Lentulus dan beberapoa strain dari Aspergillus flavus, schedosporium dan Candida
lusitaniae. Golongan obat ini berintegerasi dengan ergosterol dari mmbran dan membentuk celah
membran, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran sitoplasma dan kematian sel,
Golongan Obat ini meliputu Nystatin dan Ampotericin B.9
Golongan Azole memiliki efek fungistatik dan memiliki efek melawan yeast dan jamur
filamen. Bekerja dengan cara menghambat enzym yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol
meenyebabkan ergosterol hilang dan terakumulasi menjadi sterol di membran. Kerusakan dari
struktur ini menyebabkan penghambatan dari perumbuhan jamur. Kelas ini digunakan untuk
memberikan terapi jamur superficial dan infeksi kutaneus seperti miconazole yang digunakan
sebagai obat luar untuk terapi jamur superfisial (athletes foot, ringworm), untuk mengobati jamur
di mukosa vagina maupun di mukosa oral. Bisa digunakan sebagai terapi alternatif pada bayi
dibawah usia 1 bulan. Econazole juga dapat diberikan untuk terapi tinea kulit, ptyriasis versikolor.
Golongan obat azole yang digunakan untuk terapi mikosis yang invasif adalah flukonazole,
itrakonazole, dan Pasaconazole dan Variconazole. Flukonazole sendiri karena mudah
diekskresikan pada usia anak jadai dosis harian yang diberikan menjadi double dari 6 menjadi 12
mg/KgBB untuk usia neonatus dan anak. Pemberian flukonazole dapat diberikan sebagai profilaxis
pada neonatus dengan berat kurang dari 1000 gram. Itrakonazole sendiri digunakan untuk terapi
invasif Asergillosis pada pasien yang refrakter dengan pemberian standar terapi. Pemberiannya
dikombinasikan dengan kortikosteroid, dan direkomendasikan pada bronkopulmonary aspergilosis
allergy. Pasaconazole direkomendasikan untuk mencegah aspergillosis invasif pada pasien dengan
neutropenia, pasien dengan kelainan hematologi dan efektif melawan Zygomycetes, golongan obat
ini tidak direkomendasikan pemberiannya pada usia anak.Variconazole digunakan sebagai terapi
utama dari aspergilosis invasif. Bisa dipergunakan pada anak di usia di atas 2 tahun.8,9

Golongan Fluoro Pyrimidines salah satu contohnya adalah 5 fluoro cytosine, molekul yang
menghambat biosintesis dari RNA dan DNA, penggunaannya memerlukan monitor dari serum
obat dalam darh karena penggunaan pada bayi dengan bert lahiramat sangat rendah obat ini
kadarnya bisa meningkat di dalam plasma karena terganggunya fungsi ginjal karena imaturitas.
Biasanya pemberiannya dikombinasikan dengan golongann Ampotericin pada pasien dengan
penyakit invasif.8,9

Golongan Echinocandin merupakan golongan anti jamur terbaru, 1,3 beta D glucan dan cra
kerjanya menghambat pembentukan dari dinding jamur, akantetapi beberapa jenis jamur seperti
Candida guiliermondii dan candida parasilosis, Zygomycetes, Cryptococcus, Trichosporon,
Fusarium dan Schedosporium sedikit kurang sensitif terhadap jenis ini. Golongean ini meliputi
Anidulafungin, Caspofungin, dan micafungin (hanya terdapat preparat parenteral). Hanya
micafungin yang diperbolehkan beredar untuk terapi awal terhadap candidiasis orofaringeal dan
invasif pada bayi baru lahir dan anak yang lebih besar.8,9

Berdasarkan pedoman yang dibuat oleh australia mengenai terapi antijamur pada neonatus dan
anak dengan kecurigaan telah terbukti, kemungkinan dan infeksi jamur yang invasif .11

Rekomendasi 1 untuk pasien dengan demam lama dean neutropenia : golongan terapi yang
dianjurkan adalah Amphotericin B atau Flukonazole, dan pilihan terapi alternatif dengan
caspofungin atau varikonazole, pada pasien dengan resiko tinggi infeksi moulds sebaiknya
mendapatkan terapi amphotericin B seperti pada penerima hematopoietik sresikotem sel, anak
dengan imunodefisiensi kongenital, anak dengan resiko tinggi keganasan atau yang sedang
menjalani protokol kemoterapi, anak yang mengalami neutropenia yang berkepanjangan.11

Rekomendasi 2 untuk pasien dengan candidemia dan candidiasis yang invasif, terapi yang
direkomendasikan pada situasi ini adalah flukonazole dan amphotericine B dan terapi alternatifnya
meliputi caspofungin dan variconazole, flikonazole direkomendasikan menjadi terapi utama pada
infeksi kandida, dan tidak dianjurkan penggunaannya pada anak yang sebelumnya telah
mendapatkan terapi anti jamur sampai penggunaan flukonazole dinyatakan sensitif, amphotericin
B direkomendasikan sebagai terapi inisial dari meningitis karena kandida dan endokarditis.11

Rekomendasi 3 penggunaan terapi antijamur pada Infeksi Aspergilosis, terapi yang


direkomendasikan yakni varikonazole, terapi alternatif meliputi amphotericin B dan
caspofungin.11

Rekomendasi 4 meliputi penggunaan terapi amphotericin B dimana tidak boleh mengguinakan


obat-obtan nefrotoksik, mendapatkan hidrasi yang adekuat, terdapat monitoring ketat dari fungsi
ginjal. Pasien yang memliki resiko tinggi kelaianan gibnjal jika menggunakan amphotericin B
yakni pasien yang menerima stem sel darah, anak yang mengalami gangguan ginjal dimana kadar
kreatinin 2 kali melebihi kadar normal.11

Sediaan Ampotericin B aktif melawan kebanyakan infeksi jamur, Jamur C lusitanae dilaporkan
masih sensitif dengan sediaan Ampotericin B, namun jamur Scedosporium dan Fusarium biasanya
sensitif dengan penggunaan dosis tinggi ampotericin B (sampai dengan > 5 mg/KgBB sediaan
lipid) untuk infeksi karena zygomicetes, Antijamur Flukonazole memiliki efek terapi terhadap
yeast tidak terhadap bentul mould. Flukonazole dilaporkan kurang sensitif penggunaannya
terhadap C. Krusei, C glabrata, C tropikalis. Itrakonazole memiliki sensitivitas tinggti terhadap
aspergilosis, Varikonazole memiliki efek pada kebanyakan yeast dan mould, Zygomicetes sensitif
terhadap posaconazole dan S prolificans resisten in vitro pada seluruh anti jamur. Jamur golongan
candida dan Aspergillus sensitif dengan pemberian caspofungin, dan memiliki efek lemah
melawan cryptococcus neoformans, Scedosporium, fusarium dan Zygomycetes.11

Terapi anti jamur pada candidemia dan candidiasis yang invasif

Memulai terapi antijamur lebih awal diperlukan pada IFI saat evaluasi diagnosis masih
dilakukan. Tidak terdapat perbedaan terapi menggunakan Ampotericin B konvensional dengan
flukonazole dan varikonazole pada pasien dewasa yang tidak mengalami neutropenia, penggunaan
echinocandin sama efektif dengan penggunaan ampotericin B secara konvensional dan
flukonazole pada pasien dewasa yang tidak neutropenia. Pengobatan terhadap candidemia
diteruskan sampai dengan 14 hari mengikuti kultur positif terakhir. Jika memungkinkan
pengobatan awal dengan menghentikan penggunaan kateter vaskular. Infeksi Candida Albican dan
candida parapsilosis merupakan penyebab tersering dari infeksi candida invasif. Biasanya infeksi
C parapsilosis terkait dengan penggunaan kateter. Penggunaan Ampotericin dengan flucytosine
merupakan terapi awal yang pada endokarditis yang disebabkan oleh infeksi candida dan
meningitis. Lama terapi 14-21 hari semenjak ditemukan kultur candida terakhir yang positif pada
anak dan neonatus. Pada pasien dengan kelainan neutropenia yng berat dan atau mendapatkan
kemoterapi, kandidemia biasanya berasal dari saluran gastrointestinal.8,9

Terapi anti jamur pada Aspergilosis invasive

Pada aspergilosis paru penggunaan liposomal ampotericin B sebanyak 3 mg/kgBB/hari sama


oral efektifnya dengan dosis 10 mg/kgBB/hari. Penggunaan terapi awal dengan variconazole
intravena dibandingkan dengan Ampotericin B konvensional lebih baik pada aspergilosis invassif,
caspofungin merupakan pilihan alternatif pada pasien yang intoleran pada terapi lain. Lama terapi
tergantung dari respon terapi dan pemulihan sistem imun dengan rata-rata durasi waktu sampai
dengan 93 hari pada anak dengan infeksi jamur yang invasif. Penggunaan terapi kombinasi
antijamur diperlukan pada gabungan infeksi candida dan aspergilosis.7

Pada Criptococcus neoformans complex penggunaan formulasi ampotericin B


direkomendasikan pada fase induksi terapi dari infeksi cryptococcal. Penambahan flucytosine
dirkomendasikan pada infekksi CNS, Infeksi HIV dan anak-anak yang mendapatkan terapi
imunosupresan. Terapi induksi diikuti dengan terapi maintenance dengan menggunakan
fluconazole, fluconazole juga merupakan terapi alternatif pada pasien dengan C. Neoformans var.
Neoformans seperti pada penyakit kulit dan paru. Jamur golongan Pseudallescheria boydii
(schedosporium apiospermum) dan Schedosporium prolificans terapi dengan variconazole
intravena merupakan pilihan terapi pada infeksi ini. Pada infeksi Spesies Fusarium penggunan
ampetericin B, variconazole dapat menjadi pertimbangan terapi. Infeksi oleh spesies zygomycetes
penggunaan dosis tinggi dari preparat lipid ampotericin B dapat direkomendasikan.9,10

Kegagalan dari terapi anti jamur ini sebagai keadaan persisten fungemia dan terdapat tanda
sepsis yang progresif >5 hari setelah pemberian anti jamur, infeksi refrakter jika terdapat 2 dari 3
kriteria klinis, radiologi dan mikologi yangh memburukyang dilihat setelah 7 hari mulainya terapi.

F. Toksisitas terapi antijamur

Preparat lipid memiliki efek nefrotoksik yang lebih sedikit dibandingkan dengan ampotericin
B yang konvensional. Terapi ampotericin B konvensional jika diberikan dengan infus kontinu,
memiliki efek nefrotoksik yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemberian dengan infus
standar.Penggunaan cyclosporin dan diuretik bersamaan dengan ampoticin B meningkatkan efek
nefrotoksik, kecenderungan ini lebih sering terjadi pada pasien post transplantasi. Golongan Azole
dan echinocandin memiliki efek nefrotoksik yang lebih rendah dibandingkan dengan konvensional
maupun liposomal ampotericin B.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Anaissie, E.J. The Changing Epidemiology of Candida Infection. Available from URL
: http://www.medscape.com/viewprogram/7208_pnt. 31 Mei 2007: 2-6 ; 10-15.
2. Kuswadji. Kandidosis. Dalam : Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ketiga, Jakarta, FK UI, 1999 : 103-6.
3. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert J., & Zinkernagel, R.M. Fungi as Human Pathogens
: Medical Microbiology. New York, Thieme Stuttgart, 2005 :3624.
4. Tortora, G.J, Funke, B.R., & Case, C.L. Microbiology an Introduction. Eighth Edition, San
Fransisco, Benjamin Cummings, 2004 : 606-7.
5. Jawetz E, Melnick J, & Adelberg E. Mikrobiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Edi
Nugroho & Maulany RF. Edisi 20, Jakarta, EGC, 1996 : 627-9.
6. Brooks G.F., Carrol K.C., Butel J.S., & Morse S.A. Medical Microbiology. 24th ed,
Mc Graw Hill, 2007 : 642-5.
7. Mauicio Rebolledo, Juan C Sarria. Intra-abdominal Fungal Infection. Available from URL
: http://www.medscape.com/ viewarticle/812630_2. 2o13;26(5):441-446.
8. Maragkoudakis E, Realdi G, Dore MP. Fungal infections of the gastrointestinal tract.
Available from URL : http://www. http://europepmc.org/abstract/med/16078762. Recenti
Progressi in Medicina [01 Jun 2005, 96(6):311-317]
9. Eras, Philips; Goldstein, Michael J.; Sherlock, Paul. Candida Infection Of The
Gastroinstestinal Tract. Available from URL : http:// http://journals.lww.com/md-
journal/citation/1972/09000/candida_infection_of_the_gastrointestinal_tract.2.aspx.
Medicine: September 1972 - Volume 51 - Issue 5 - ppg 367-380.
10. William R. Jarvis. Epidemiology of Nosocomial Fungal Infections, with Emphasis on
Candida Species. Available from URL : http:// https://academic.oup.com/cid/article-
abstract/20/6/1526/477408. (1995) 20 (6): 1526-1530.
11. M J Kennedy and P A Volz. cology of Candida albicans gut colonization: inhibition of
Candida adhesion, colonization, and dissemination from the gastrointestinal tract by
bacterial antagonism. Available from URL : http://
http://iai.asm.org/content/49/3/654.short. Infect. Immun. September 1985 vol. 49 no. 3
654-663.

Вам также может понравиться