Вы находитесь на странице: 1из 20

MAKALAH STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIS

PENGENDALIAN PERBEKALAN FARMASI

Oleh :

KELOMPOK A2

DESI MULYAWATI (1720333588)


DESTY ERZA ANDRIANA (1720333589)
DEWI ANGGRIANI (1720333590)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XXXIII


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu
dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien
dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya
perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan
Kefarmasian (pharmaceutical care).
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan
perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi
pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar
perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat memenuhi
hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum.
Dengan demikian, para Apoteker Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di
negara sendiri.
Perkembangan di atas dapat menjadi peluang sekaligus merupakan tantangan bagi
Apoteker untuk maju meningkatkan kompetensinya sehingga dapat memberikan
Pelayanan Kefarmasian secara komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial
maupun farmasi klinik.
Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara memanfaatkan Sistem
Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada fungsi manajemen kefarmasian, sehingga
diharapkan dengan model ini akan terjadi efisiensi tenaga dan waktu. Efisiensi yang
diperoleh kemudian dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan farmasi klinik
secara intensif.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dan perkembangan
konsep Pelayanan Kefarmasian, perlu ditetapkan suatu Standar Pelayanan Kefarmasian
dengan Peraturan Menteri Kesehatan, sekaligus meninjau kembali Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit.
B. Ruang Lingkup
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus
didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan.
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh
rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan
keamanannya. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi:
1. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
telah ditetapkan
c. pola penyakit
d. efektifitas dan keamanan
e. pengobatan berbasis bukti
f. mutu
g. harga
h. ketersediaan di pasaran
2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat
jumlah, tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat dengan menggunakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan
epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. anggaran yang tersedia;
b. penetapan prioritas;
c. sisa persediaan;
d. data pemakaian periode yang lalu;
e. waktu tunggu pemesanan; dan
f. rencana pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah,
dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan
metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan
proses pengadaan, dan pembayaran.
4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang
harus tersimpan dengan baik.
5. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum
dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan
stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan
jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap
menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit harus
menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan
pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit
pelayanan.
7. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. dicabut izin edarnya.
C. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu departemen atau unit atau
bagian dari suatu Rumah Sakit di bawah pimpinan seorang Apoteker dan dibantu oleh
beberapa orang Apoteker yang memenuhi persyaratan perundang-undangan yang
berlaku dan kompeten secara professional, tempat, atau fasilitas penyelenggaraan yang
bertanggung jawabatas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian.
Tujuan IFRS
Tujuan IFRS antara lain :
Memberi manfaat kepada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan dan
kepada profesi farmasi oleh Apoteker rumah sakit yang kompeten dan
memenuhi syarat.
Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai dan memenuhi syarat.
Meningkatkan penelitian dalam praktik farmasi rumahsakit dan dalam ilmu
farmastik umumnya.
Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian.
Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan pertukaran informasi
antara para apoteker rumah sakit, anggota profesi dan spesialis yang serumpun.
Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut PerMenKes Nomor 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan
farmasi klinik di Rumah Sakit, Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit
harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan
bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.
Tugas Dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut PerMenKes Nomor 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit, Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit yaitu:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan
Pelayanan Farmasi Klinis yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan
etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek terapi dan
keamanan serta meminimalkan risiko
4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien
5. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi.
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan
farmasi klinis.
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit.
Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal
c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.
f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.
g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ke
unit-unit pelayanan di Rumah Sakit.
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.
i. Melaksanakan pelayanan Obat unit dose/dosis sehari.
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah memungkinkan).
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak dapat digunakan.
m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai
n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik.
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan Obat.
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat.
c. Melaksanakan rekonsiliasi Obat.
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik berdasarkan Resep
maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga pasien.
e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain.
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya.
h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO).
Pemantauan efek terapi Obat.
Pemantauan efek samping Obat.
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
i. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).
j. Melaksanakan dispensing sediaan steril
Melakukan pencampuran Obat suntik.
Menyiapkan nutrisi parenteral.
Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik.
Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil.
k. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga kesehatan lain,
pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit.
l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).
D. Pedoman Pengelolaan Sediaan Farmasi Berdasarkan Praktik Apoteker
Indonesia
a. Pemilihan
Apoteker membuat prosedur tertulis untuk pemilihan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang sesuai dengan jenis, jumlah dan waktu yang tepat.
Pemilihan hendaknya didasarkan pada rasio manfaat risiko, rasio manfaat biaya
dan kriteria yang ditetapkan.
b. Pengadaan
Apoteker menjamin sediaan Farmasi dan alat kesehatan memenuhi standar yang
ditetapkan.
Apoteker menjamin pemasok yang memenuhi persyaratan CDOB (Cara
Distribusi Obat yang Baik).
Pelaksanaan pengadaan harus terdokumentasi dengan baik.
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh suplier hendaknya didokumentasikan
dan ditinjau secara periodik untuk mencegah terjadinya kesalahan ulang.
Proses pengadaan meliputi : perencanaan, pelaksanaan dan penerimaan
Apoteker melakukan perencanaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dengan
menggunakan metode yang sesuai.
c. Penerimaan
Apoteker menjamin bahwa penerimaan sediaan farmasi dan alkes sesuai dengan
jenis, spesifikasi, jumlah, nomor batch, tanggal daluwarsa, waktu penyerahan dan
harga yang tertera dalam kontrak/pesanan.
Apoteker menjamin bahwa penerimaan sedian farmasi dan alkes dilakukan oleh
tenaga farmasi yang diberi kewenangan untuk itu.
Apoteker melakukan verifikasi dengan menggunakan daftar tilik (checklist) yang
sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk.
d. Penyimpanan
Penyimpanan harus dapat menjamin stabilitas, keamanan dan mutu sediaan
farmasi dan alat kesehatan.
Apoteker perlu melakukan pengawasan mutu terhadap sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang diterima dan disimpan.
Penyimpanan obat keras harus dilakukan di luar jangkauan pasien.
Obat yang perlu penanganan khusus seperti narkotika, psikotropika, obat yang
memerlukan suhu tertentu, obat yang mudah terbakar, sitostatik dan reagensia
disimpan pada tempat yang khusus.
Obat yang expired atau rusak disimpan terpisah dengan obat lainnya
Obat dengan kemasan, nama dan penyebutan yang mirip (look alike, sound
alike, LASA) harus diberi penandaan khusus.
e. Pendistribusian
Pendistribusian dilakukan dengan menyalurkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada fasilitas pelayanan.
Pendistribusian dilakukan dengan sistem distribusi yang menjamin kesinambungan
penyaluran, mempertahankan mutu, meminimalkan kehilangan, kerusakan dan
kadaluarsa.
Pendistribusian sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan pencatatan yang
baik.
f. Penghapusan dan Pemusnahan
Sediaan Farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat harus dimusnahkan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Penghapusan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari pembukuan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Pemusnahan obat harus menghindari terjadinya pencemaran lingkungan dan
mencegah penyalahgunaan.
Sediaan Farmasi yang akan dimusnahkan supaya disimpan terpisah dan dibuat daftar
yang mencakup jumlah dan identitas produk.
Penghapusan dan pemusnahan obat harus didokumentasikan sesuai dengan ketentuan
dan peraturan perundangan yang berlaku.
g. Penarikan kembali sediaan farmasi
Penarikan kembali (recall) dilakukan segera setelah diterima permintaan/instruksi
untuk penarikan kembali.
Untuk penarikan kembali sediaan farmasi yang mengandung risiko besar terhadap
kesehatan, hendaklah dilakukan penarikan sampai tingkat konsumen.
Pelaksanaan penarikan kembali agar didukung oleh sistem dokumentasi yang
memadai.
h. CSSD (Central Steril Supply Department)
Apoteker memilih dan menetapkan metoda sterilisasi, metoda pengemasan,
penyimpanan dan pendistribusian untuk bahan dan alat kesehatan.
Melakukan perencanaan kegiatan sterilisasi sentral dan kebutuhan bahan-bahan dan
uji sterilisasi.
Mejamin bahan atau alat kesehatan yang disterilkan memenuhi standar.
i. Produksi Skala Terbatas
Proses peracikan dilakukan di area yang khusus untuk peracikan.
Memastikan ruang/tempat kerja sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Penyiapan semua produk dengan menggunakan peralatan yang sesuai.
Menggunakan bahan yang memenuhi syarat farmakope dan yang disimpan dalam
kondisi yang direkomendasikan.
j. Pengemasan Kembali (Re-Packing)
Kegiatan pengemasan kembali harus dapat menjamin bahwa kualitas, stabilitas dan
khasiat obat tidak mengalami perubahan.
Pengemasan kembali harus dilakukan dengan menggunakan bahan yang tidak
membahayakan kesehatan manusia dan tetap menjamin mutu produk.
Pengemasan kembali harus memenuhi persyaratan CPOB
k. Sumber Daya Manusia
Apoteker memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker, Sertifikat Kompetensi yang
masih berlaku dan Surat Izin Praktik Apoteker atau Surat Ijin Kerja Apoteker.
Memenuhi persyaratan kesehatan fisik dan mental untuk menjalankan pekerjaan
kefarmasian.
Apoteker harus senantiasa memelihara dan meningkatkan kompetensi yang
dimilikinya melalui Program Pengembangan Apoteker Berkelanjutan/PPAB
(Continuing Professional Development/CPD).
Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang
undangan, sumpah apoteker dan standar profesi yang berlaku.
Apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian dapat dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian yang memiliki kemampuan, keterampilan dan teregristrasi.
ANALISA KASUS

KASUS DAN PENYELESAIAN

KASUS 4
RSUD. D adalah salah satu rumah sakit yang berkembang. Dalam rangka terus
meningkatkan pendapatan RS maka dilakukan analisa terhadap kondisi Instalasi Farmasi.
Hal ini karena pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus merupakan
revenue center utama. Mengingat besarnya kontribusi instalasi farmasi dalam kelancaran
pelayanan dan juga merupakan instalasi yang memberikan pemasukan terbesar di RS.
RSUD. D ini adalah rumah sakit pemerintah dan sangat diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat apalagi dalam era BPJS, jumlah
pasien baik rawat inap maupu rawat jalan meningkat signifikan.
Setelah dilakukan pengamatan dan penelitian secara bertahap ternyta didapatkan hasil
bahwa pada tahap seleksi, kesesuaian antara kesesuaian item obat dengan tersedia didalam
DOEN sebesar 67%. Pada tahap distribusi ternyata TOR sebesar 6,7x, ketepatan jumlah obat
dengan kartu stok sebesar 81%, sistem penaataan 68% FIFO dan 32% menggunakan FEFO.
Persentase dan nilai obat yang kaduluarsa dan atau rusak sebesar 11,80%. Persentase stok
mati sebesar 4,12% dan tingkat ketersediaannya obat 75%. Sementara itu masih ada juga
dokter yang membuat resep diluar standarisasi yang telah ditetapkan oleh Komite Farmasi
dan Terapi (KFT). Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya pembelian obat ke apotek
luar ataupun tidak terlayaninya resep terutama untuk pasien tunai karena ketidaktersediaan
obat.
Pertanyaan:
1. Jelaskan permasalahan dari kasus di atas!
2. Berikan solusi yang tepat berdasarkan standar yang ada!
3. Berikan gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker tersebut agar solusi
yang disarankan tersebut bisa berjalan sesuai dengan yang distandartkan.
PENYELESAIAN KASUS

1. Permasalahan pada kasus tersebut yaitu:


a) Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan
Terapi (PFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan obat yang
baik. Adapun salah satu fungsinya yaitu mengembangkan formularium rumah sakit
dan merevisinya. Dan juga membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan
tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai
penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal
maupun nasional (DepKes, 2004). Pada tahap seleksi, kesesuaian antara kesesuaian
item obat dengan tersedia didalam DOEN sebesar 67%. Dari hasil persen
kesesuaian obat yang tersedia sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan yaitu
76% (DepKes 2002). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan penggunaan
obat essensial belum sesuai dengan standar.
b) Inventory Turn Over Ratio Menurut Pudjaningsih (1996) standar ITOR untuk
rumah sakit adalah 8-12 kali setahun. Pada kasus tahap distribusi ternyata TOR
sebesar 6,7x. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya stock mati yang mana
adanya stock mati yang sangat besar mempengaruhi nilai persediaan.
c) Menurut WHO (1993) bahwa kecocokan antara stock gudang dengan kondisi
fisik adalah 100%, ini menandakan bahwa administrasi di gudang farmasi sudah
dikerjakan dengan baik dan optimal. Pada kasus ketepatan jumlah obat dengan
kartu stok sebesar 81%, ini menandakan bahwa administrasi di gudang farmasi
belum dikerjakan dengan baik dan optimal. Keadaan ini kemungkinan karena
kurang adanya mekanisme bagi setiap pegawai untuk melakukan kontrol
kesesuaian obat dengan kartu stock setiap hari atau minimal melakukan kontrol
setiap barang datang maupun keluar.
d) Sistem penaataan 68% FIFO dan 32% menggunakan FEFO. Sistem kombinasi
baik digunakan namun lebih baiknya memprioritaskan FEFO. Metode FIFO (First
in First Out), yaitu obat-obatan yang barumasuk diletakkan di belakang obat yang
terdahulu, sedangkan metode FEFO (firstexpired first out) dengan cara
menempatkan obat-obatan yang mempunyai ED (expired date) lebih lama
diletakkan di belakang obat-obatan yang mempunyai ED lebih pendek.
e) Persentase nilai obat yang kadaluwarsa dan rusak. Persentase nilai obat
kadaluwarsa di instalasi farmasi adalah 11,80%. Hal ini menandakan seberapa
besar kerugian yang dialami oleh rumah sakit, dapat pula disebabkan karena
adanya ketidaktepatan perencanaan atau kurang baiknya sistem distribusi dan
perubahan pola penyakit atau pola peresepan oleh dokter sehingga menyebabkan
obat-obat yang digunakan berubah, akibatnya terdapat obat yang tidak keluar atau
tidak digunakan dan menumpuk, yang akhirnya bias menjadi kadaluwarsa. Dalam
persentase yang sebenarnya menurut Pudjaningsih (1996) seharusnya tidak ada
obat yang rusak atau kadaluarsa (0%).
f) Persentase stock mati. Obat yang mengalami stock mati sebesar 4,12%. Hal ini
bisa terjadi disebabkan karena pola peresepan yang berubah. Hasil yang diperoleh
melebihi standar menurut Pudjaningsih (1996) yaitu 0%.
g) Tingkat ketersediaannya obat 75%. Hal ini tergolong cukup baik , dimana obat
dikatakan ketersediaan obatnya baik yaitu > 90 %, cukup baik (75 %-90 %).
h) Dalam kasus ini masih terdapat dokter yang membuat resep di luar standarisasi
yang telah ditetapkan oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT). Hal ini menjadi
salah satu penyebab terjadinya pembelian obat ke apotek luar atau tidak
terlayaninya resep terutama untuk pasien tunai karena ketidaktersediaan obat.
Artinya formularium yang digunakan dalam rumah sakit ini tidak di gunakan oleh
beberapa dokter dalam pemilihan obat.
2. Solusi berdasarkan standar yang ada
Dari berbagai permasalahan diatas dapt diberikan solusi sesuai standar, dimana semua
permasalahan diatas karena kurangnya pengendalian sistem yang sudah dibuat.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu :
a. Melakukan pemilihan (seleksi) dan perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan standar yang ada. Dalam hal
ini berdasarkan kepmenkes nomor 1197/MENKES/SK/X/2004, kegiatan pemilihan
(seleksi) obat meliputi:
- Meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit
- Identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis
- Menentukan criteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial
Selain itu menurut permenkes Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit pemilihan didasarkan pada :
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
telah ditetapkan
c. pola penyakit
d. efektifitas dan keamanan
e. pengobatan berbasis bukti
f. mutu
g. harga
h. ketersediaan di pasaran
Fungsi pemilihan (seleksi) obat digunakan untuk menentukan obat yang
diperlukan sesuai dengan pola penyakit. Kemudian dilakukan perencanaan,
perencanaan kebutuhan digunakan untuk menentukan jumlah dan periode pengadaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan hasil
kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah,
tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain metode konsumsi, epidemiologi, dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Sehingga dengan dilakukannya
pemilihan dan perencanaan sesuai dengan standar yang ada dapat menghindari
pembelian obat yang tidak terencana dan pembelian keapotek lain yang dapat
merugikan RS baik dari segi keuangan maupun pelayanan.
b. Turn Over Ratio, indikator ini digunakan untuk mengetahui kecepatan perputaran
obat, yaitu seberapa cepat obat dibeli, didistribusi, sampai dipesan kembali, dengan
demikian nilai TOR akan berpengaruh pada ketersediaan obat. Pada kasus ini masa
perencanaan obat harus benar-benar teliti. Obat yang dipesan harus memenuhi
kriteria yang sesuai standart, memesan obat sesuai formularium RS sehingga
ketersediaan obat di Rumah Sakit lengkap dan tidak terjadi kekosongan stok opname
obat. Solusi dari nilai TOR yang rendah yaitu:
Menggunakan data sisa persediaan dan data penggunaan periode lalu sebagai
dasar perencanaan.
Mengendalikan dan menyediakan data jumlah persediaan.
c. Permasalahan stok obat gudang yang masih bermasalah solusinya setiap obat yang
keluar dan masuk dicatat dikartu stok setiap harinya dan dilakukan stok opname
setiap bulan sekali untuk menghindari ketidaksesuaian pencatatan yang dilakukan
baik secara manual maupun dengan system komputer.
d. Penataan obat memprioritasnya FEFO baru kemudian dilakukan FIFO. Obat yang
ED-nya paling dekat diletakkan paling depan walaupun datangnya belakangan dan
obat yang sudah ED tidak dapat digunakan lagi untuk mencegah terjadinya obat
kaduluarsa lebih banyak sehingga biaya penyimpanannya menjadi minimal dan RS
tidak mengalami kerugian yang besar.
e. Solusi obat kadaluarsa dan rusak, secara umum lebih ke perencanaan dan
pengendalian perbekalan farmasi. Dimana dalam proses pemilihan sampai distribusi
diatur dengan teliti. Dan dilakukannya pengendalian dari perbekalan farmasi sendiri
yang ada di rumah sakit dengan cara dipantau detiap prosesnya agar tidak tejadi
kesalahan sehingga menyebabkan tertimbunnya obat dan akhirnya kadaluarsa.
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pengendalian
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat
dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi
(TFT) di Rumah Sakit. Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b. penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;
c. memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai. Pada kasus ini mungkin lebih pada pengaturan pola peresepan obat dari
dokter yang harus ditegakkan yaitu sesuai dengan formularium yang ada selain
itu dengan sistem pelayanan satu pintu.
f. Solusi untuk nilai stok mati yang tinggi yaitu:
Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit atau
sesuai dengan pola penyakit dan peresepan dokter.
Berperan aktif dalam Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) untuk menetapkan
dan mengembangkan formularium rumah sakit dan merevisinya dalam jangka
tertentu.
Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap stock setiap bulan agar
dapat diketahui adanya obat yang merupakan stock mati.
Menggunakan 10 penyakit teratas di dalam proses seleksi dan perencanaan.
Membentuk PFT dan menyusun formularium rumah sakit.
g. Solusi untuk mengatasi tingkat ketersediaan obat yang hanya 75% yaitu
Mengendalikan sistem perencanaan obat dari pengadaan barang yang sesuai dengan
jumlah barang yang dibutuhkan atau tidak berlebihan serta sistem penyimpanan dan
distribusinya.
h. Adanya dokter yang membuat resep di luar standarisasi yang telah ditetapkan oleh
Komite Farmasi dan Terapi (KFT). Maka solusi untuk mengatasi hal ini yakni
melakukan diskusi terlebih dahulu dengan dokter melalui komite medik, sehingga
komite medik dapat menyampaikan kepada dokter untuk meresepkan obat-obatan
sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
Bila peresepan di luar standarisasi tersebut berulang untuk obat yang sama, instalasi
farmasi harus membuat pengajuan ke KFT untuk memasukkan obat-obatan tersebut
ke dalam standarisasi. Selama proses pengajuan dan disetujui oleh KFT.
3. Gambaran seharusnya yang harus dilakukan oleh Apoteker agar solusi yang
disarankan bisa berjalan sesuai dengan yang distandarkan
a. Sebelum perencanaan pengadaan obat dibuat, sebaiknya apoteker melakukan
konsultasi terlebih dahulu dengan pihak manajemen, dan dokter melalui KFT tentang
obat-obatan yang akan diadakan. Salah satu tugas KFT adalah membuat formularium
obat RS, agar dapat memaksimalkan penggunaan obat secara rasional. Daftar obat
yang ada di formularium ini yang menjadi dasar apoteker untuk melakukan
perencanaan pengadaan obat serta dokter dapat meresepkan obat sesuai formularium
RS. Selanjutnya apoteker dapat melakukan pengadaan obat-obatan sesuai dengan
standar yang ada yang diawali dengan pemilihan dan perencanaan terlebih dahulu.
Anggaran pengadaan obat di RS sebaiknya dibuat untuk setiap bulannya. Sehingga
tidak terjadi adanya pembelian obat tidak terencana yang harus disegerakan (cito) dan
pembelian ke apotek lain
b. Apoteker harus selalu mengingatkan dan mengontrol TTK nya untuk melakukan
pencatatan stok obat setiap harinya dan stok opname setiap bulan sekali untuk
menghindari ketidak sesuaian pencatatan yang dilakukan baik secara manual maupun
dengan sistem komputer. Besarnya stok akhir obat menjadi dasar pengadaan obat
karena dari stok akhir tidak saja diketahui jumlah dan jenis obat yang diperlukan,
tetapi juga diketahui percepatan pergerakan obat, sehingga kita dapat menentukan
obat-obat yang bergerak cepat (laku keras) dapat disediakan lebih banyak.Besarnya
persediaan (stok akhir) dan komposisi obat yang dimiliki dapat diketahui setelah
diadakan penyetokan (stock opname) pada setiap periode, sehingga agar tujuan
inventory control tercapai yaitu terciptanya keseimbangan antara persediaan dan
permintaan, maka stock opname harus seimbang dengan permintaan pada satu periode
waktu tertentu.
c. Apoteker membuat perencanaan dengan menggunakan metode gabungan (metode
konsumsi dan metode epidemiologi). Menghitung kebutuhan obat atau alkes yang
mana telah mempunyai data konsumsi yang jelas namun kasus penyakit cenderung
berubah (naik atau turun). Gabungan perhitungan metode konsumsi dengan koreksi
epidemiologi yang sudah dihitung dengan suatu prediksi (boleh prosentase kenaikan
kasus atau analisa trend). Metode gabungan ini digunakan untuk menutupi kelemahan
metode mordibitas dan konsumsi.
d. Adanya dokter yang membuat resep obat di luar dari daftar yang ada dalam
formularium RS menyebabkan pengadaan obat dan barang farmasi tidak dapat
direncanakan oleh apoteker sehingga, mengakibatkan obat yang kadaluarsa
menumpuk, serta item obat yang diperlukan tidak tersedia. Solusi yang dapat
dilakukan apoteker terhadap masalah tersebut yaitu; dapat melakukan pencatatan
kembali terhadap obat-obat yang sering diresepkan dokter di luar dari daftar
formularium yang telah disepakati kemudian dilakukan pengamatan apakah obat
tersebut memang sangat dibutuhkan oleh pasien atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat
dari masalah kesehatan yang sering terjadi di rumah sakit. Selanjutnya apoteker dapat
mengajukan daftar obat-obat tersebut ke KFT untuk dimasukan ke dalam standarisasi.
Namun jika obat-obatan tersebut tidak sesuai dengan kondisi kesehatan yang sering
terjadi di rumah sakit maka apoteker dapat melalui diskusi dengan komite dokter
memberitahukan kepada dokter pengertian untuk tidak meresepkan obat-obatan di
luar dari formularium.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan
pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan
Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan
pengobatan yang rasional.
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:
a. membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik Fungsional
(SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik;
b. mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;
c. membahas usulan tersebut dalam rapat Tim Farmasi dan Terapi (TFT), jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar;
d. mengembalikan rancangan hasil pembahasan Tim Farmasi dan Terapi (TFT),
dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik;
e. membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF;
f. menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit;
g. menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan
h. melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor1197/Menkes/SK/X/2004 tentang


Standar Pelayanan Farmasi diRumah Sakit, Jakarta.

Ikatan apoteker Indonesia. 2013. Pedoman Praktik Apoteker Indonesia. Pengurus pusat
ikatan apoteker indonesia. Jakarta.

Kementerian Kesehatan, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58


Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian DiRumah Sakit. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Pudjanigsih,D., 1996, Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Instalasi


Farmasi Rumah Sakit (Tesis). Jogjakarta :Fakultas Kedokteran, Program Pendidikan
Pasca sarjana,Mangister Manajemen Rumah Sakit, Gadjah Mada.

WHO, 1993.,How to Investigate Drug Use in Health Facillities, Selected Drug UseIndikator,
Action Program on Essential Drug, WHO, Geneve

Вам также может понравиться