Вы находитесь на странице: 1из 8

EKSEKUSI DALAM HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Tata Usaha Negara Lanjut
Dosen Pengampu : Lapon Tukan Leonard, S.H., M.A.

Disusun Oleh :
Roy Bagus O / 11010112170006

M. Fauzan Adhi Yustiawan / 11010113140501

Bagus Susilo / 11010113140633

Rizky Setyawan / 11010113140659

Monica Purada Tambunan / 11010115120013

Feby Cahyani Putri / 11010115120086

Azelia Gayaputri / 11010115130262

Mirza Rahmaniar / 11010115140232

Farida Rahma Vita / 11010115140261

Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
2017
Eksekusi dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara

Rumusan Masalah :

1. Jelaskan model eksekusi apa saja yang diatur dalam Pasal 116 UU No.5 tahun 1986, UU
No. 9 tahun 2004, dan UU No.51 tahun 2009?

2. Jelaskan mengapa model-model eksekusi tersebut dipakai pada saat itu?

A. UU No. 5 tahun 1986

Sifat UU No.5 tahun 1986 yaitu pelaksanaan putusan pada pasal 116 UU No. 5 tahun 1986
lebih bersifat dan mengandalkan pada paksaan oleh instansi hiekrarkis sendiri yang banyak
tergantung pada tingkat kesadaran hukum tergugat.

Ketentuan Eksekusi pada UU ini diatur dalm bagian kelima mengenai pelaksanaa putusan
Pengadilan dalam pasal 115 119 menentukan bahwa Hanya Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan

Model eksekusi yang terdapat pada Pasal 116 UU No.5 tahun 1986 menunjukkan
bahwa tidak semua orang yang dikenai putusan pengadilan akan mau melaksanakannya dengan
sukarela, sehingga kadang-kadang diperlukan upaya paksa.

Ada dua jenis eksekusi putusan menurut UU Nomor 5 Tahun 1986 ini yang pertama
eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pasal 97
UU ini. Putusan Pengadilan TUN yang berisi kewajiban Pencabutan Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) kepada terugat, maka ditetapkanlah eksekusi putusan menurut ketentuan pasal
116 ayat (2) UU nomor 5 Tahun 1986 yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap) dikirimkan tetapi tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya maka KTUN yang disengketakan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Maka mekanisme Eksekusi ini adalah Eksekusi otomatis.

Pada masa itu (tahun 1986) dalam Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam
Undang-Undang PTUN No. 8 Tahun 1986 adalah bahwa pelaksanaan putusan PTUN
dimungkinkan adanya campur tangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Karena Presiden
mempunyai kewenangan dalam persidangan sesuai dengan Pasal 23 UU No. 13 tahun 1965
tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Dalam hal ini presiden bertanggungjawab dalam pembinaan pegawai negeri/aparatur
pemerintahan, agar mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk
menaati putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum.

B. UU No. 9 tahun 2004

Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan setelah disahkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004. Ditentukan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN
dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan, agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika
tergugat masih tidak mau melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986), Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya
menurut jenjang jabatan. Instansi atasan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima
pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat tergugat
melaksanakan putusan pengadilan tersebut (lihat Pasal 116 ayat (5) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986). Dalam hal instansi atasan dimaksud tidak mengindahkannya maka Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan
(lihat Pasal 116 ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).

Unsur eksekusi hierarkis kembali muncul dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009,
pada Pasal 116 ayat (6). Ketua Pengadilan diharuskan untuk mengajukan hal ketidaktaatan
pejabat tergugat atau termohon eksekusi kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan.
Di samping itu juga mengajukannya kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan
fungsi pengawasan.

Pasal 116 UU Tahun 2004 baru mengenal bila tergugat tidak mentaati dan melaksanakan
secara suka rela putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka ada 2(dua)
jenis upaya paksa yang dapat diterapkan, yaitu:

a. Upaya paksa berupa sanksi administrasi


b. Upaya paksa berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan masih dapat diterapkan pula
kemungkinan untuk adanya sanksi pengumuman (publikasi) putusan dalam media massa
cetak.

Adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi
administratif serta publikasi di media cetak diharapkan mampu membuat efek jera terhadap
para pejabat TUN yang sebelomnya sulit untuk dijerat.

Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang yang dihukum
mematuhi dan melaksanakam hukuman. Tetapi pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih
menimbulkan permasalahan antara lain

a. Jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom)

b. Siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom)

c. Sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.

Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN
maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi
hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN
yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari
Yurisprudensi Counsil dEtat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan
kesalahan pribadi (Faute de personelle).

Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa, mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu
diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN
yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika
pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah
pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk melaksanakan pembayaran uang
paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala.
Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang
bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang
dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara
PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika
ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala
selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar
uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara
pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang
layak untuk biaya hidup.

Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah
sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun
1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat,
pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan
hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada
saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan
kewenangan jabatannya.

Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk
menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur
dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan
sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat
memilih pengenaan uang paksa (dwangsom).

Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU
No. 5 tahun 1986, menjadi UU No. 9 tahun 2004, merupakan salah satu kemajuan dari
perkembangan kepastian hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut
masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004
tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan
adanya revisi tersebut pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan seimbang dan adil
sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakat.

Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q.
putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat yang
menyalahgunakan wewenang. Sehingga masyarakat tidak lagi pesimis dan apatis dengan
penegakan hukum saat ini.
C. UU No. 51 tahun 2009

Model eksekusi dalam pasal 116 UU No. 51 tahun 2009 yakni model eksekusi upaya paksa.
Eksekusi putusan Peradilan TUN yang dilaksanakan sebelum adanya revisi UU No. 5 Tahun
1986 lebih dipengaruhi oleh asas self respect/self obicence dan sistem floating execution, yaitu
kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap,
sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang tanpa adanya kewenangan
bagi Peradilan TUN untuk menjatuhkan sanksi.Dalam hal ini pelaksanaan putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara diserahkan sepenuhnya kepada pejabat tata usaha negara agar dengan
kesadaran hukumnya sendiri bersedia melaksanakan putusan pengadilan, model ini disebut
juga dengan eksekusi mengambang karena tidak adanya upaya paksa dari pengadilan untuk
melaksanakan putusannya maupun dengan sistem yang lain .

Proses pelaksanaan putusan Peradilan TUN, setelah UU No. 5 Tahun 1986 direvisi melalui
UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, memperlihatkan dipergunakannya system
fixe execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui
sarana-sarana pemaksa/upaya paksa yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.

Pada kenyataannya Pejabat Tata Usaha Negara masih ada yang tidak melaksanaan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila para
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut tidak melaksanakannya maka di sini lah peran upaya paksa
akan dilakukan.

Adapun upaya paksa yang dimaksudkan adalah yakni:

a. Pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif (Pasal 116 Ayat (4) UU No. 51
Tahun 2009). Adapun besaran uang paksa, jenis sanksi administratif dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa/sanksi admisnistratif diatur dalam peraturan
perundang-undangan (Pasal 116 Ayat (7) UU No. 51 Tahun 2009).

b. Apabila Pejabat Tata Usaha Negara yang sudah dikenakan pembayaran uang paksa/ sanksi
administratif dan tetap tidak melakukan kewajibannya maka akan diumumkan dalam media
massa cetak setempat oleh panitera (Pasal 116 Ayat (5) UU No. 51 Tahun 2009),
disampinng diumumkan pada media massa cetak setempat, ketua pengadilan pun akan
mengajukan hal ini kepada Presiden untuk memerintahkan Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut melaksanakan putusan pengadilan dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan (Pasal 116 Ayat (6) UU No.51 Tahun 2009)
Model eksekusi dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni model eksekusi upaya paksa dengan
system fixe execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan
melalui upaya paksa yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.

Lalu yang menjadi pertanyaannya mengapa model eksekusi upaya paksa ini menjadi model
eksekusi yang diterapkan sampai sekarang di Indonesia?

Hal ini dikarenakan secara yuridis formal telah memberikan kekuatan atau upaya pemaksa
bagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengimplementasikan putusannya.

Pembaharuan Pasal 116 ayat (3) sampai ayat (6) dalam UU No. 5 Tahun 1986 menjadi UU
No. 51 Tahun 2009 mengakibatkan berubahnya model eksekusinya. Perubahan ini sebagai
koreksi terhadap lemahnya kekuasaan badan peradilan yang memberikan peraturan perundang-
undangan dan dinilai tidak mampu memberikan tekanan kepada para pihak pejabat atau badan
pemerintah untuk melaksanakan keputusannya.

Sehingga dengan mengubah model eksekusi dengan upaya paksa dinilai mampu
memberikan wewenang yang lebih luas lagi kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dan mampu
memberikan konsekuensi bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak melakukan putusan
pengadilan sehingga hal ini dinilai dapat meningkatkan keadilan juga bagi masyarakat.

Dengan lahirnya model eksekusi upaya paksa ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih yang signifikan bagi efektifitas pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Fadjar, Mukthie. Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik. In-Trans Malang.
2003

Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara Bogor- Jakarta, 1995.

Harahap, Zairin. 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.


Yogyakarta: PT.Raja Grafindo Persada

Вам также может понравиться