Вы находитесь на странице: 1из 5

Living the VirtuReal: Negotiating Transgender Identity in Cyberspace

Cyberspace Atau Dunia Maya Merupakan Media Dalam Jaringan Komputer Yang Banyak
Digunakan Oleh Orang Secara Online. Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan
sebuah ruang baru yang bersifat artifisial dan maya, yaitu cyberspace. Ruang baru ini telah
mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, bahkan
seksual) dari dunia nyata ke dunia maya yang dikenal dengan dunia tanpa batas. Sehingga
apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata, kini dapat juga dilakukan dalam bentuk
artifisialnya dalam cyberspace. Sebuah migrasi besar-besaran kehidupan manusia tampaknya
tengah berlangsung, yaitu migrasi dari jagat nyata ke jagat maya dari kehidupan di ruang
nyata menuju kehidupan di ruang maya. Migrasi kemanusiaan ini telah menimbulkan
perubahan besar dalam cara setiap orang menjalani dan memaknai kehidupan.

Cyberspace menciptakan sebuah kehidupan yang mungkin nantinya sebagian besar akan
dibangun seluruhnya oleh model kehidupan yang dimediasi secara mendasar oleh teknologi,
sehingga berbagai fungsi alam kini diambil alih oleh subtitusi teknologisnya, yang disebut
kehidupan artifisial. Realitas-realitas sosial budaya yang ada di dunia nyata kini mendapatkan
tandingan-tandingannya. Pada akhirnya, batas antara keduanyamenjadi kian kabur.
Cyberspace yang terbentuk oleh jaringan komputer dan informasi yang terhubungkan secara
global telah menawarkan bentuk-bentuk komunitasnya sendiri (virtual community), bentuk
realitasnya (virtual reality), dan bentuk ruang nya sendiri (cyeberspace).

Perkembangan cyberspace telah mempengaruhi kehidupan sosial pada berbagai tingkatannya.


Keberadaan cyberspace tidak saja telah menciptakan perubahan sosial yang sangat mendasar.
Pengaruh cyberspace terhadap kehidupan sosial setidaknya tampak pada tiga tingkat yaitu :
individu, antarindividu, dan komunitas.

Pada tingkat individu, cyberspace menciptakan perubahan mendasar dalam pemahaman kita
tentang diri dan identitas. Struktur cyberspace membuka ruang yang lebar bagi setiap orang
untuk secara artifisial menciptakan konsep tentang diri dan identitas. Kekacauan identitas
akan mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas, dan gaya hidup setiap orang.
Bila setiap orang bisa menjadi siapapun, sama artinya semua orang bisa menjadi beberapa
orang yang berbeda pada saat yang sama. Pada akhirnya yang ada dalam cyberspace adalah
permainan identitas: identitas baru, identitas palsu, identitas ganda, identitas jamak. Tingkat
interaksi antarindividu, hakikat cyberspace sebagai sebagai dunia yang terbentuk oleh
jaringan (web) dan hubungan (connection) bukan oleh materi. Kesalingterhubungan dan
kesalingbergantungan secara virtual merupakan ciri dari cyberspace. Karena hubungan,
relasi, dan interaksi sosial di dalam cyberspace bukanlah antarfisik dalam sebuah wilayah
atau teritorial, yaitu interaksi sosial yang tidak dilakukan dalam sebuah teritorial yang nyata.
Pada tingkat komunitas, cyberspace dapat menciptakan satu model komunitas demokratis dan
terbuka. Karena komunitas virtual dibangun bukan di dalam teritorial yang konkret, maka
persoalan didalamnya adalah persoalan normatif, pengaturan, dan kontrol. Dalam komunitas
virtual cyberspace, pemimpin, aturan main, kontrol sosial tersebut tidak berbentuk lembaga,
sehingga keberadaannya sangat lemah. Jadi, di dalamnya, seakan-akan apa pun boleh.

Terdapat sebuah jurnal unik yang bertemakan :

Living the VirtuReal: Negotiating Transgender Identity in Cyberspace

Ketika kita berbicara mengenai transgender, tentunya hal ini tidak terlepaskan dari istilah
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) yang mana di Indonesia mereka merupakan
kelompok marjinal yang termajinalkan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pekerjaan,
pendidikan, pelayanan kesehatan dan banyak lagi. Bahkan BBC News mengklaim terdapat
89,3% kaum LGBT di dunia yang pernah mendapat perlakuan kekerasan dan diskriminasi.
Tindak kekerasan tersebut meliputi: fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan budaya.

Kasus diskriminasi terhadap kaum transgender yang sering kita dengar ini tentunya bukan
hanya terjadi di Indonesia. Avi Marciano dalam Jurnalnya mencoba untuk meneliti tentang
bagaimana komunitas transgender di Israel yang juga mengalami permasalahan dan
hambatan-hambatan yang sama yang mereka peroleh di kehidupan nyata seperti diskriminasi,
kekerasan dan lain sebagainya, mampu mengatur siasat mereka dalam hal ini adalah
memanfaatkan internet untuk mengatasi permasalahan-pemasalahan dan hambatan-hambatan
tersebut.
Tetapi mengapa diskriminasi dan perlakuan kekerasan terhadap kelompok transgender ini
bisa terjadi? Jawabannya menurut (West & Fenstermarker, 1995 dalam Marciano 2014)
adalah karena gender merupakan suatu konsep yang dibentuk oleh masyarakat, oleh karena
hal itu, individu diharapkan mampu berperilaku atau memainkan peran sesuai dengan peran
gender yang berlaku di masyarakat. Artinya, jika individu berperilaku tidak sesuai atau
berlawanan dengan nilai-nilai yang dibentuk masyarakat contohnya dengan menjadi
transgender, maka individu tersebut akan menuai banyak permasalahan seperti diskriminasi,
cacian, dan lain sebagainya seperti dalam berbagai kasus.

Studi dari jurnal ini berfokus pada dua arena online yang penting bagi komunitas transgender
Israel: newsgroup Transgenders & Friends dan website GoTrans. Untuk memahami makna
mendalam dari apa yang dilakukan mereka dalam kehidupannya di dunia maya.

Bagaimana Peran dunia maya dalam kehidupan pengguna transgender?

internet memang memiliki tempat yang spesial bagi kaum marjinal. Hal ini dikarenakan
internet memiliki sifat empowering atau memberdayakan. Berbagai penelitian telah
menyepakati adanya pengaruh positif yang diberikan internet kepada kaum marjinal atau
minoritas, yakni termasuk kelompok transgender. Pertama, internet mampu menjadi sumber
informasi yang tiada batas, internet juga mampu memberi dukungan dan konsultasi gratis
karena melalui internet kaum transgender dapat saling berinteraksi satu sama lain, dapat
tergabung dalam komunitas transgender lokal maupun global dan saling membagi
pengalaman mereka satu sama lain yang mana pengalaman ini mengurangi perasaan
terisolasi.

Kedua, internet mampu mengurangi tantangan atau hambatan dalam urusan teknis dan
komunal. Contohnya bagaimana di internet kelompok transgender dapat dengan mudah
membentuk suatu komunitas, atau organisasi tanpa membutuhkan persetujuan dari lembaga
masyarakat.

Ketiga, internet mampu menjadi platform atau wadah bagi kelompok transgender untuk
menjadi diri mereka sendiri, karena di dunia nyata mereka tidak bisa mengekspresikan diri
mereka secara bebas dan cenderung untuk menutup-nutupi identitas asli mereka untuk
menghindari sanksi sosial. Istilah ini oleh Goofman disebut sebagai front-stage dan
Backstage, front-stage adalah bagaimana kita menampilkan diri kita dihadapan publik.
Sedangkan Backstage adalah arena yang privat dan aman bagi kita untuk menjadi diri kita
sendiri.
Tetapi walaupun individu transgender sama-sama memanfaatkan internet, menurut Marciano
individu transgender memiliki level pemanfaatan internet yang berbeda yakni meliputi
preliminary, complementary dan alternative. Lingkup preliminary, merupakan pengunaan
internet sebagai tahap persiapan, dalam lingkup ini individu transgender dapat mengalami
pengalaman-pengalaman sebelum benar-benar terjun dalam dunia nyata.

Contohnya adalah pengalaman-pengalaman seperti menjalin hubungan romantis secara


virtual yang mungkin diharapkan mampu menjadi hubungan romantis yang menjadi
kenyataan di dunia nyata. Dalam lingkup Complementary, individu transgender
menggunakan internet sebagai pelengkap dari kehidupan offline mereka. Contohnya adalah
individu transgender yang menggunakan internet sebagai sumber informasi atau untuk
bergabung dalam komunitas transgender tertentu misalnya, yang mana identitas offline dan
online mereka tidak jauh berbeda atau bahkan sama, seperti penggunaan nama asli di dunia
maya. Berbeda dengan keduanya, individu transgender dalam lingkup alternative cenderung
untuk menggunakan identitas yang berbeda bahkan bersifat kontradiktif dengan kehidupan
offline mereka. Misalnya, perempuan yang menyembunyikan identitas biologisnya yakni
dengan menjadi laki-laki di dunia maya karena keinginannya untuk merasakan menjadi
seorang laki-laki yang seutuhnya. Dalam hal ini internet dinilai sangat bermanfaat dimana
mereka dapat menjadi seseorang yang benar-benar mereka inginkan baik laki-laki ataupun
perempuan tanpa harus menjalani operasi trans-sex.

Bidang yang diusulkan ini sebenarnya adalah alat analisis yang mengemas pengalaman
kompleks dan mengubahnya menjadi satu rangkaian deskripsi skematik atau skema yang
disederhanakan, oleh karena itu, hal ini mencerminkan kenyataan yang agak kacau. Dengan
demikian, pesan yang akan dipresentasikan di bagian ini tidak akan mengikuti urutan linier.
Yaitu, satu pesan tidak akan cocok secara eksklusif dengan satu bola tunggal. Tetapi dua
kisah berikut akan mengenalkan kita pada cara praktis dimana individu transgender
menggunakan dunia maya sebagai lingkungan alternatif.
Contoh pesan :

1. Saya secara virtual hidup sebagai wanita. Saya sudah berusia 27 tahun,saya adalah
seorang gay, tapi saya banyak menjalin hubungan dalam bentuk virtual sebagai wanita
biologis normal. Ketika hubungan berjalan dengan baik (dalam beberapa tahun) dan
saya sangat ingin bertemu orang disisi lain tersebut, namun saya tidak bisa bertemu
dengannya karena saya memiliki tubuh laki-laki. Apakah itu berarti saya harus
mengubah tubuh saya?
2. Tidak perlu melalui prosedur yang tidak penting, Selain tidak dapat menampilkan diri
Anda sebagai wanita, apakah Anda merasa bahwa kebutuhan Anda relevan dengan
situasi yang lainnya di dunia nyata? Mungkin kehidupan virtual dapat memuaskan
kebutuhan anda.

Pesan-pesan ini mencontohkan bagaimana individu transgender menggunakan dunia maya


sebagai lingkungan alternatif. Dalam pesan pertama, pengguna membedakan antara dunia
offline-nya, tempat dia tinggal dengan "tubuh laki-laki biasa", dan dunia maya online-nya,
tempat dia dapat tinggal sebagai "wanita biologis normal".

Dalam penutupnya Marciano berargumen bahwasannya melihat kehidupan seorang


transgender di internet, terutama dalam lingkup alternative ini seolah-olah membantah
penelitian-penelitian terdahulu yang berbicara tentang perbedaan kehidupan dan identitas
para individu transgender di dunia offline dan online. Hal ini dikarenakan dalam lingkup
alternative bukan berarti para transgender ini benar-benar menjadi individu yang beridentitas
palsu tetapi sebenarnya justru pararel karena individu transgender ini mampu menggunakan
identitas asli yang mereka yakini sebagai dirinya bukan identitas yang diharapkan oleh
masyrakat dan bersifat dipaksakan. Oleh karena hal tersebut Marciano menyimpulkan
bahwasannya ruang lingkup online yang diciptakan oleh kaum transgender dapat dilihat
sebagai dunia Virtu-Real, yakni sebuah istilah yang merefleksikan kedua fakta yakni fakta
bahwasannya dunia maya mampu menjadikan sarana penyeimbang posisi marjinal mereka di
dunia nyata, dan fakta bahwa mereka masih menjadi subjek dari pembatasan-pembatasan di
dunia nyata. istilah ini kemudian menengahi konsep antara virtual of reality dan real
virtuality.

Вам также может понравиться