Вы находитесь на странице: 1из 15

EKSPERIMENTASI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA DAN

//PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP PEMECAHAN MASALAH


DITINJAU DARI AQ MAHASISWA PADA MATA KULIAH MATEMATIKA SMA
SEMESTER III TAHUN AKADEMIK 2016/2017
Oleh: 1Neni endriana, 2Abdul Aziz
1
Program Studi Pendidikan Matematika Univeritsas Hamzanwadi Selong
email: nenyendriana.classb004@yahoo.co.id
2
Studi Pendidikan Matematika Univeritsas Hamzanwadi Selong
Email: aziz080389@gmail.com

Abstrak

Peneleitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui manakah yang menghasilkan


pemecahan masalah matematika yang lebih baik pada (1) masing-masing
pendekatan pembalajaran (2) pada masing-masing tipe AQ mahasiswa (3) pada
masing-masing tipe AQ mahasiswa terhadap pendekatan pembelajaran (4) pada
masing-masing pendekatan pembelajaran terhadap tipe AQ mahasiswa pada mata
kuliah Matematika SMA tahun akademik 2016/2017. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu (quasi-
eksperimental) dengan rancangan faktorial 3 x 3.Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah tes, dan angket dengan Instrumen penelitian adalah tes
pemecahan masalah matematika dan angket AQ. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis data kuantitatif berdasarkan hasil tes pemecahan masalah
matemtika mahasiswa. populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester III
pada mata kuliah matematika SMA yang terdiri dari 4 kelas, adapun sampel dalam
penelitian ini terdiri dari 3 kelas yang terdiri dari satu kelas dengan pendekatan
matematika realistic Indonesia (PMRI), satu kelas dengan model pembelajaran
problem based learning (PBL), dan satu kelas control. Analisis data dilakukan
dengan anlisis variansi dua jalan dengan sel tak sama. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) pembelajaran dengan pendekatan matematika realistic
Indonesia lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran model problem based
learning dan pembelajaran klasikal, Pembelajaran dengan model problem based
learning lebih baik dibandingkan dengan pemebelajaran klasikal; (2) Pemecahan
masalah mahasiswa dengan tipe climbers lebih baik dibandingkan dengan
mahasiswa dengan dengan tipe campers dan quitters, pemecahan masalah
mahasiswa dengan tipee campers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe
quitters; (3) mahasiwa dengan tipe climbers dan quitters menggunakan pendekatan
realistic matematika Indonesia dalam pemecahan masalah lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran model problem based learning dan pembelajaran klasikal,
pembelajaran model problem based learning lebih baik dibandingkan dengan
pembelajaran klasikal. Mahasiswa dengan tipe campers menggunakan pendekatan
realistic matematika Indonesia dalam pemecahan masalah lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran model problem based learning dan pembelajaran klasikal,
pembelajaran model problem based learning (PBL) lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran klasikal; (4) Pada pembelajaran dengan pendekatan
matematika realistic Indonesia pemecahan masalah mahasiswa dengan tipe
climbers lebih baik dibandingkan dengan mahmahasiswa tipe campers dan quitters,
dan mahasiswa tipe campers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe
quiiters, pada pembelajaran model problem based learning pemecahan masalah
mahasiswa dengan tipe climbers lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tipe
campers dan quitters, dan mahasiswa tipe campers lebih baik dibandingkan dengan
mahasiswa tipe quiiters, pada pembelajaran klasikal kemampuan pemecahan
masalah mahasiswa sama.

Kata kunci : Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), Problem Based


Learning (PBL), Adversity Quoetient (AQ) dan Pemecahan Masalah.

PENDAHULUAN

Undang-undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 12 ayat 1, dosen


sebagai anggota sivitas akademika memiliki tugas mentransformasikan Ilmu Pengetahuan
dan/atau Teknologi yang dikuasainya kepada Mahasiswa dengan mewujudkan suasana
belajar dan pembelajaran sehingga Mahasiswa aktif mengembangkan potensinya.
Mencermati hal tersebut, maka tingkat keberhasilan pendidikan di perguruan tinggi sangat
dipengaruhi oleh seberapa besar rasa peduli, tanggung jawab, dan kompetensi dosen dalam
melaksanakan suatu pembelajaran
Kualitas pembelajaran tersebut dapat ditunjang oleh beberapa unsur penting dalam
pembelajaran, antara lain: (1) tujuan yang harus dicapai; (2) bahan ajar yang akan mewarnai
dan memberi isi terhadap tujuan ; (3) metode dan alat bantu yang akan mengantarkan bahan
ajar sampai pada tujuan; dan (4) penilaian sebagai alat untuk mengetahui tercapai atau
tidaknya tujuan (Nana Sudjana, 2008:23).
Berdasarkan observasi kepada mahasiswa,dalam proses pembelajaran matematika SMA
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa cendrung rendah, Hal ini ditunjukkan dengan
kebanyakan mahasiswa yang belum mampu menyelesaikan suatu permasalahan.
Permasalahan yang dimaksudkan adalah pemecahan masalah dalam bentuk soal yang
diberikan. Hal ini kemungkinan besar berpengaruh dari faktor dosen yang belum mampu
merencanakan, melaksanakan pembelajaran dengan maksimal, penggunaan metode
pembelajaran yang bervariasi yang masih kurang, sehingga proses pembelajaran tidak begitu
bermakna bagi mahasiswa. Hal ini disadari bahwa pembelajaran yang digunakan cenderung
berpusat pada dosen (lecturer centered), yang berdampak pada rendahnya kemampuan
pemecahan masalah oleh mahasiswa
Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan pembelajaran yang bermakna
dan memberi kesempatan untuk menemukan kembali serta mengkonstruksi sendiri ide
matematika, sehingga mahasiswa dapat memahami apa yang mereka pelajari dan
mengaplikasikannya pada penyelesaian masalah. Sehubungan dengan itu diperlukan
pendekatan pembelajaran yang relevan diantaranya adalah pendidikan matematika realistic
Indonesia (PMRI) dan Problem Based Learning (PBL).
PMRI merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di
Indonesia. Jadi bukan hanya suatu metode pembelajaran matematika, tapi juga suatu usaha
melakukan transformasi sosial (Sembiring, 2007). Karakteristik dari pendekatan tersebut
adalah mahasiswa lebih aktif berpikir,konteks dan bahan ajar terkait langsung dengan
lingkungan sekolah dan mahasiswa, dan peran guru lebih aktif dalam merancang bahan ajar
dan kegiatan kelas.Disisi lain problem based learning (PBL) sebagai metode intruksional
yang menantang peserta didik agar belajar untuk belajar bekerjasama dalam kelompok untuk
mencari solusi bagi masalah yang nyata.
Alasan utama diterapkannya PMRI dan PBL pada mata kuliah Matematika SMA antara
lain pendekatan Metode PMRI dipilih dalam pembelajaran karena: (1) mengunakan masalah
kontekstual sebagai penerapan dan titik tolak darimana matematika yang diinginkan bisa
muncul); (2) menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal, perhatian
diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi daripada hanya mentransfer
rumus atau matematika formal secara langsung; (3) menggunakan kontribusi mahasiswa. (4)
interaktivitas, negosiasi secara eksplisit, intervensi, kerjasama dan evaluasi sesama
mahasiswa dan dosen adalah faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif;
(5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, pendekatan holistik yang menunjukkan
bahwa unit-unit belajar tidak akan dicapai secara terpisah namun keterkaitan dan
keintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah yang berupa jawaban non
formal (De Lange, 1987, 1996: Treffers, 1991: Gravemeijer, 1994 dalam Zulkardi 2003: 5).
Adapun pembelajaran dengan Pendekatan PBL menyediakan lebih banyak kesempatan
kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan matematis mereka, menggali,
mencoba, mengadaptasi, dan mengubah prosedur penyelesaian, termasuk memverifikasi
solusi, yang sesuai dengan situasi yang baru diperoleh.(Stanley P. Dewanto, 2008: 124).
Adapun prinsip kunci dalam pendidikan matematika realistic Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Guided Reinvention (menemukan kembali secara terbimbing).
Prinsip ini menekankan penemuan kembali secara terbimbing Melalui topik-topik
tertentu yang disajikan, mahasiswa diberi kesempatan sama untuk membangun dan
menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika
2. Progressive mathematization (Matematisasi Progresif).
Bagian dari prinsip ini menekankan matematisasi atau pematematikaan yang dapat
diartikan sebagai upaya untuk mengarahkan kepada pemikiran matematika. Dikatakan
prograsif karena terdapat dua langkah matematisasi itu, yaitu matematisasi (1)
horisontal dan (2) vertical yang berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan
akan berakhir pada matematika yang formal.
3. Didactical Phenomenology (fenomena didaktik)
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan
menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik
matematika kepada mahasiswa.
4. Self-developed Models (pengembangan model sendiri):
Prinsip ini menunjukkan adanya fungsi jembatan yang berupa model. Karena
berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika formal serta
adanya kebebasan, maka tidaklah mustahil mahasiswa akan mengembangkan model
sendiri. (R. Soedjadi, 2007: 4-5).
Barrows, Min Liu (2005) dalam karyanya yang berjudul Problem-Based Learning in
Medicine and Beyond: A Brief Overview mengemukakan beberapa karakteristik
Problem-Based Learning sebagai berikut. 1) proses pembelajaran bersifat student-
centered, 2) proses pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil, 3) guru berperan
sebagai fasilitator atau pembimbing, 4) permasalahan-permasalahan yang disajikan
merupakan stimulus pembelajaran, 5) informasi baru diperoleh dari belajar secara
mandiri (self- directed learning), dan 6) masalah merupakan wahana untuk
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah.
Sementara itu, Ehlert (2004) menyatakan bahwa keuntungan model PBL adalah: (1)
menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan penelitian; (2)
membangun keterampilan berpikir kritis; (3) mengenal content materi subyek dan
membangun tujuan sesuai konsep; (4) memberdayakan peserta didik menjadi seseorang
ahli dalam bidang tertentu; (5) memungkinkan peserta didik menghasilkan lebih dari
satu bentuk solusi; (6) menyatakan ketidaktentuan dan kebutuhan untuk
mengembangkan asumsi; dan (7) memotivasi peserta didik belajar.
Menurut Nurhadi, dkk.(2004, ada lima tahapan dalam PBL yaitu:
1. tahap orientasis mahasiswa pada masalah,
2. Tahap mengorganisasikan mahasiswa untuk belajar
3. Tahap membimbing penyelidikan individual dan kelompok
4. Tahap mengembangkan dan menyajikan hasil karya
5. Tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Selain model pembelajaran, faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan suatu proses
pembelajaran adalah sejauh mana kemampuan dari mahasiswa itu sendiri dalam
menyelesaikan kesulitan atau masalah yang dihadapinya. Ukuran mahasiswa untuk
mengetahui responnya terhadap kesulitan dinamakan dengan AQ. Stoltz (2000: 8)
Sedangkan Phoolka and Kaur (2012: 110) mendefinisikan AQ sebagai pemrediksi
keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan, bagaimana ia berperilaku dalam situasi
yang sulit, bagaimana ia mengontrol situasi, apakah dia dapat menemukan asal-usul yang
tepat dari masalah, apakah ia mengambil kepemilikannya dalam situasi itu, apakah dia
mencoba untuk membatasi efek dari kesulitan dan bagaimana ia optimis bahwa kesulitan itu
akhirnya akan berakhir).
AQ dapat dibagi menjadi tiga tipe. Pembagian ini biasanya dengan melihat respon
seseorang atau individu dalam menghadapi dan mengatasi masalah dan tantangan-tantangan
dalam hidupnya. Ketiga tipe yang dimaksud yaitu climbers, campers, dan quitters (Stoltz,
2000: 18-38). Dengan adanya perbedaan tipe AQ ini, terlihat bagaimana seorang siswa
menghadapi kesulitan dalam proses pembelajaran dan dapat menentukan tinggi rendahnya
prestasi siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika.
Adapun kemampuan yang ingin dicapaidalam pemebelajaran ini adalah kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa. Baroody (Nurizzati, 2009: 53) ada tiga interpretasi
pemecahan masalah yaitu: pemecahan masalah sebagai pendekatan (approach), tujuan
(goal), dan proses (process) pembelajaran. Dalam penelitian ini, pemecahan masalah
matematika yang dimaksud adalah tugas pemecahan masalah matematika yang meliputi
proses memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, melaksanakan perencanaan
sehingga diperoleh penyelesaian (solusi), dan terakhir bagaimana memeriksa kembali
penyelesaian yang diperoleh.
Berdasarkan kajian diatas maka penelitian ini membahas tentang eksperimentasi
pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI) dan problem based learning (PBL)
terhadap pemecahan masalah ditinjau dari AQ mahasiswa
METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu, dengan rancangan faktorial


3x3. Penelitian ini dilakukan pada mata kulian matematika SMA Universitas Hamzanwadi
Selong tahun akademik 2016/2107. Pada masing-masing kelas daiambil secara acak,
diantaranya kelas eksperimen 1 yang dikenai dengan pendidikan matematika realistik
Indonesia (PMRI), kelas eksperimen 2 yang dikenai model problem based learning (PBL)
dan kelas kontrol yang dikenai model pembelajaran klasikal.
Variabel bebas penelitian ini adalah pendekatan pemabelajaran yang terdiri dari
pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI), problem based learning (PBL) dan
pembelajaran klasikal. Variabel bebas lainnya adalah Adversity Quotient (AQ) dengan tiga
tipe AQ yaitu tipe climbers, tipe campers, dan tipe quitters. Adapun variabel terikatnya
adalah pemecahan masalah mahasiswa. Dalam tinjauan selanjutnya, penelitian eksperimen
semu digunakan untuk melihat dan menganalisis perbandingan pemecahan maslah
matematika mahasiswa dari kelompok yang diberikan perlakuan dengan menggunakan
pendekatan PMRI yang dijadikan sebagai kelas eksperimen 1, pembelajaran dengan PBL
yang dijadikan sebagai kelas eksperimen 2, dan pembelajaran klasikal yang dijadikan sebagai
kelas kontrol. Ketiga kelas tersebut diasumsikan sama dalam semua segi dan hanya berbeda
dalam pemberian perlakuan yaitu pendekatan pembelajaran
Metode pengumpulan data dan analsis data
Metode pengumpulan data terdiri atas, metode angket, dan metode tes. Instrumen
penelitian terdiri atas tes pilihan ganda dan angket AQ mahasiswa. Uji keseimbangan
dilakukan dengan analisis variansi satu jalan dengan sel tak sama. Sebagai prasyarat analisis
data perlu dilakukan analisis data dengan meggunakan metode Lilliefors dengan statistik uji
yang digunakan adalah L = Maks|( ) ( )|. Metode Lilliefors digunakan untuk uji
normalitas antara kelas eksperimen 1, eksperimen 2, dan kelas control. Adapun uji Bartlett
digunakan untuk uji homogenitas antara kelas eksperimen dan kelas control dengan statistic
2.303
uji adalah 2 = ( log RKG log 2 ) Adapun rincian rangkuman hasil uji

normalitas termuat dalam Tabel 1 dan rincian uji homogenitas termuat dalam tabel 2 berikut
Tabel 1. Hasil Analisis Uji Normalitas Data Prasyarat Anava Dua Jalan
No Sampel 0.05; Keputusan Keterangan
1 Kelas Eksperimen 1 0.1530 22 0.1815 H0 tidak ditolak Normal
2 Kelas Eksperimen 2 0.1270 20 0.190 H0 tidak ditolak Normal
3 Kelas Kontrol 0.1161 25 0.1730 H0 tidak ditolak Normal
4 Climbers 0.1121 32 0.1610 H0 tidak ditolak Normal
5 Campers 0.1568 19 0.1950 H0 tidak ditolak Normal
6 Quitters 0.2056 16 0.213 H0 tidak ditolak Normal

Tabel 2. Hasil uji homogenitas Prasyarat Anava Dua Jalan


Sampel k 2 2 0.05;2 Keputusan Kesimpulan
Model 3 4.2556 5.991 H0 tidak ditolak Homogen
Pembelajaran
AQ Siswa 3 2.2023 5.991 H0 tidak ditolak Homogen
Dari Tabel 1, pada masing-masing sampel diperoleh DK dan disimpulkan bahwa
masing-masing sampel berasal dari populasi-populasi yang berdristibusi normal. Dari Tabel 2,
diperoleh pada masing-masing sampel 2 , sehingga H0 tidak ditolak, dan disimpulkan
bahwa populasi pada ketiga model pembelajaran memiliki variansi yang sama dan populasi pada
ketiga tipe AQ memiliki variansi yang sama.
Selain itu, perlu dilakukan uji keseimbangan pada kelas eksperimen 1, eksperimen 2, dan
kelas kontrol dengan uji anava satu jalan dengan sel tak sama, dengan statistic uji yang

digunakan adalah = . Adapun hasil uji keseimbangan tersebut dapat diliahat pada tabel

3 berikut
Tabel 2. Rangkuman Uji Keseimbangan Tes Kemampuan Awal
Sumber JK dk RK .;, Keputusan
Metode . 2 . 0.2524 3.00 H0 tidak
ditolak
Galat . 344 . - - -
Total . 346 - - - -

Dari Tabel 3 diatas, diperoleh nilai , sehingga H0 tidak ditolak, maka dapat
disimpulkan bahwa populasi pada kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, dan kelas kontrol
berasal dari populasi yang mempunyai kemampuan awal yang sama (seimbang).
Uji Hipoteis Penelitian
Uji hipotesis menggunkan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama, model untuk
data populasi pada analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama yaitu: = + + +
() + . Adapun rangkuman uji hipotesis ditunjukkan pada Tabel 4, dan untuk rangkuman
rerata masing-masing sel dan rerata marginal ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan dengan Sel Tak Sama
Sumber JK dk RK Keputusan
Model Pembelajaran427.7262 2 213.8631 8.3924 3.19 H0A ditoak
(A)
Adversity Quotient (B) 118.0204 2 59,01022 6.2399 3.19 H0B ditolak
Interaksi (AB) 204,597 4 51.14925 3.9693 2.53 H0AB ditolak
Galat 1478 58 22,39818 - - -
Total 2628.34 66 - - - -

Tabel 5. Rangkuman Rerata Masing-masing Sel dan Rerata Marginal


Adversity Quotient Rerata
Model Pembelajaran
Climbers Campers (b2) Quitters Marginal
(b1) (b3)
PMRI (a1) 65 70.41 71.27
78.4
PBL (a2) 73.63 60.71 49.85 61.40
Pembelajaran Klasikal (a3) 70.70 60.75 41.66 57.71
Rerata Marginal 74.25 62.16 53.98

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa H0A ditolak, hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kemampuan pemecahan masalah mahasiswayang diberi pembelajaran dengan PMRI,
pembelajaran dengan PBL dan pembelajaran klasikal. Untuk mengetahui manakah pendekatan
pembelajaran yang lebih baik dilakukan uji lanjut antar baris. Selanjutnya dari hasil perhitungan
diperoleh bahwa H0B ditolak, ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa antara mahasiswa dengan tipe AQ climbers, campers dan
qiuters. Selanjutnya untuk mengetahui manakah tipe AQ yang lebih baik dilakukan uji lanjut
antar kolom. Pada tabel 4 diatas diperoleh H0AB ditolak, ini menunjukkan bahwa terdapat
interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tipe AQ mahasiswa. Untuk mengetahui
manakah yang lebih baik pada masing-masing pendekatan pembelajaran dan tipe AQ mahasiswa
maka diperlukan uji lanjut antar sel.
Hasil olah data uji lanjut ANAVA pendekatan pembelajaran dan tipe AQ mahasiswa
tgerhadap kemampauan pemecahan masalah mahasiswa dapat disajikan pada tabel 5 berikut.

Tabel 6 Rangkuman Hasil Uji Komparasi Rerata Antar Baris


H0 .;, Keputusan
. = . . ()(. ) = . H0 ditolak
. = . . ()(. ) = . H0 ditolak
. = . . ()(. ) = . H0 ditolak
Dari Tabel 6, diperoleh bahwa H0 dari ketiga hipotesis ditolak. Berdasarkan hasil
tersebut, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan pemecahan masalahmatematika antara siswa
yang dikenai dengan ketiga model pembelajaran yang berbeda. Dilihat dari rerata marginal pada
Tabel 5, mahasiswa yang dikenai PMRI memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa yang dikenai model pembelajaran PBL dan model pembelajaran klasikal, dan mahasiswa
yang dikenai model pembelajaran PBL memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa yang dikenai model pembelajaran klasikal.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendidikan
matematika realistic Indonesia (PMRI) menghasilkan pemecahan masalahmatematika lebih baik
daripada pembelajaran dengan problem based learning (PBL) dan model pembelajaran klasikal,
serta pembelajaran dengan problem based learning (PBL) menghasilkan pemecahan
masalahmatematika lebih baik daripada model pembelajaran klasikal.
Hasil tersebut juga memperlihatkan bahwa pendidikan matematika realistic Indonesia
(PMRI) atau pembelajaran dengan problem based learning (PBL) menghasilkan pemecahan
masalahyang lebih baik daripada model pembelajaran klasikal.
Selain itu, pendidikan matematika realistic Indonesia (PMRI) menghasilkan prestasi yang
lebih baik dikarena beberapa faktor, diantaranya mampu menumbuhkan keterampilan siswa
dalam bekerjasama, menyelesaikan permasalahan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Hasil
tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamiddin (2012) yang menyatakan
bahwa keunggulan dari strategi TSTS ditempatkan pada prosedur dan prinsip-prinsip belajar di
mana siswa dibentuk untuk bekerja secara kooperatif dan kolaboratif dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
Pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem based lerning
menghasilkan pemecahan masalah matematika yang lebih baik dibandingkan dengan model
pembelajaran klasikal. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elisa Putri
Anjasari (2013) bahwa model pembelajaran kooperatif tipe roundtable memberikan pemecahan
masalahmatematika lebih baik daripada model pembelajaran langsung.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa H0B ditolak, maka dilakukan uji komparasi rerata
antar baris dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Hasil Komparasi Rerata Antar Kolom
H0 .;, Keputusan
. = . . ()(. ) = . H0 ditolak
. = . . ()(. ) = . H0 ditolak
. = . . ()(. ) = . H0 ditolak

Dari Tabel 7, diperoleh bahwa H0 dari ketiga hipotesis ditolak. Berdasarkan hasil
tersebut, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan pemecahan masalahmatematika antara siswa
tipe climbers, campers dan quitters. Dilihat dari rerata marginal pada Tabel 5, mahasiswa tipe
climbers memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa dengan tipe campers
dan quitters, dan mahasiswa tipe campers memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa tipe quitters.
Hasil tersebut sesui dengan hasil penelitian Huijuan (2009) yang menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara AQ dengan prestasi akademik siswa. Selain itu, hasil
tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitri Era Sugesti
(2013) menyimpulkan bahwa siswa AQ kategori climbers (tinggi) mempunyai pemecahan
masalahmatematika lebih baik dibanding siswa dengan AQ kategori campers (sedang) dan AQ
kategori quitters (rendah). Siswa dengan AQ kategori sedang mempunyai pemecahan
masalahmatematika lebih baik dibanding siswa AQ kategori rendah.
mahasiswa tipe climbers mempunyai usaha yang tinggi dan sungguh-sungguh dalam
memecahkan masalah pada kegiatan pembelajaran dan tidak cepat menyerah. Adapun
mahasiswa tipe campers mempunyai perbedaan tingkat usaha dari tipe climbers. mahasiswa tipe
ini berusaha mencari jawaban permasalahan yang diberikan dan mereka merasa cukup dengan
jawaban yang diperoleh. Pada mahasiswa dengan tipe quitters, pembelajaran kerap tidak efektif
disebabkan karena prilaku siswa tipe ini yang mudah menyerah dan sering mengeluh ketika
diberikan tugas, serta mereka sering menerima jawaban atau hasil diskusi temannya tanpa
dipertanggung jawabkan.
Dari Tabel 4 diketahui bahwa H0AB ditolak, maka dilakukan uji komparasi rerata antar sel
pada baris yang sama dengan hasil selengkapnya terangkum pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Komparasi Rerata Antar Sel Pada Baris yang Sama
H0 .;, Keputusan
= 9.5631 ()(. ) = . H0 tidak ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
= . (8)(1.94) = 15.52 H0 ditolak
Dari Tabel 8 diperoleh hasil bahwa pada siswa tipe climbers dan tipe quitters,
penggunaan model PMRI menghasilkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang sama
baiknya dengan model pembelajaran kooperatif PBL dan lebih baik daripada model
pembelajaran klasikal. Dan model pembelajaran kooperatif tipe PBL menghasilkan kemampuan
pemecahan masalah yang sama baiknya dengan model pembelajaran klasikal. Pada siswa tipe
campers, penggunaan pembelajaran PMRI menghasilkan pemecahan masalahyang sama baiknya
dengan model pembelajaran PBL dan lebih baik daripada model pembelajaran klasikal. Dan
penggunaan model pembelajaran dengan PBL menghasilkan pemecahan masalah lebih baik
daripada model pembelajaran klasikal.
Selain komparasi rerata antar sel pada baris yang sama, dilakukan uji komparasi rerata
antar sel pada kolom yang sama dengan hasil uji terangkum pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Komparasi Rerata Antar Sel Pada Kolom yang Sama
H0 80.05;8, 338 Keputusan
11 = 12 12.1903 (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
12 = 13 0.9266 (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
11 = 13 17.2806 (8)(1.94) = 15.52 H0 Ditolak
21 = 22 0.0343 (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
22 = 23 23.7867 (8)(1.94) = 15.52 H0 Ditolak
21 = 23 24.0565 (8)(1.94) = 15.52 H0 Ditolak
31 = 32 4.4444 (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
32 = 33 3.0966 (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
31 = 33 14.2688 (8)(1.94) = 15.52 H0 tidak ditolak
Dari Tabel 10 diperoleh hasil bahwa pada mahasiswa yang diberi pembelajaran dengan
pendekatan reaistik matematika indonesia, mahasiswa tipe climbers memiliki pemecahan
masalah matematika yang sama baiknya dengan siswa tipe campers dan lebih baik daripada
siswa tipe quitters, serta mahasiswa tipe campers memiliki pemecahan masalah matematika yang
sama baiknya dengan siswa tipe quitters. Pada mahasiswa yang diberi pembelajaran dengan
probem based learning, siswa tipe climbers memiliki pemecahan masalah matematika yang sama
baiknya dengan mahasiswa tipe campers dan lebih baik daripada mahasiswa tipe quitters, serta
mahasiswa tipe campers memiliki pemecahan masalah matematika lebih baik daripada
mahasiswa tipe quitters. Pada mahasiswa yang diberi pembelajaran dengan model pembelajaran
klasikal, ketiga tipe AQ memiliki pemecahan masalah matematika yang sama.
Dari hasil tersebut nampak bahwa pada mahasiswa tipe climbers memiliki pemecahan
masalah yang lebih baik dari mahasiswa tipe quitters. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain mahasiswa mampu mengikuti setiap langkah dalam kegiatan pembelajaran, baik
dengan pendekatan realistic matematika atau dengan probem based learning. hasil ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan Cornista And Macasaet (2013) yang menyimpulkan bahwa
responden dengan tingkat AQ tinggi (climbers) memiliki tingkat motivasi tinggi untuk
berprestasi dan juga memiliki kekuatan interpersonal yang tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh simpulan bahwa: (1) Model pembelajaran
kooperatif tipe TSTS disertai dengan AfL melalui peer-assessment menghasilkan pemecahan
masalahmatematika lebih baik daripada model pembelajaran kooperatif tipe roundtable disertai
dengan AfL melalui peer-assessment dan model pembelajaran klasikal, serta model
pembelajaran kooperatif tipe roundtable disertai dengan AfL melalui peer-assessment
menghasilkan pemecahan masalahmatematika lebih baik daripada model pembelajaran klasikal;
(2) siswa tipe climbers memiliki pemecahan masalahmatematika lebih baik daripada siswa tipe
campers dan quitters, serta siswa tipe campers memiliki pemecahan masalahmatematika lebih
baik daripada siswa tipe quitters; (3) Pada siswa tipe climbers dan tipe quitters, penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe TSTS disertai dengan AfL melalui peer-assessment
menghasilkan pemecahan masalahmatematika yang sama baiknya dengan model pembelajaran
kooperatif tipe roundtable disertai dengan AfL melalui peer-assessment dan lebih baik daripada
model pembelajaran klasikal, serta penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe roundtable
disertai dengan AfL melalui peer-assessment menghasilkan pemecahan masalahmatematika yang
sama baiknya dengan model pembelajaran klasikal. Pada siswa tipe campers, penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe TSTS disertai dengan AfL melalui peer-assessment menghasilkan
pemecahan masalahmatematika yang sama baiknya dengan model pembelajaran kooperatif tipe
roundtable disertai dengan AfL melalui peer-assessment dan lebih baik daripada model
pembelajaran klasikal, serta penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe roundtable disertai
dengan AfL melalui peer-assessment menghasilkan pemecahan masalahmatematika lebih baik
daripada model pembelajaran klasikal; (4) Pada siswa yang dikenai model pembelajaran
kooperatif tipe TSTS disertai dengan AfL melalui peer-assessment, siswa tipe climbers memiliki
pemecahan masalahmatematika yang sama baiknya dengan siswa tipe campers dan lebih baik
daripada siswa tipe quitters, serta siswa tipe campers memiliki pemecahan masalahmatematika
yang sama baiknya dengan siswa tipe quitters. Pada siswa yang dikenai model pembelajaran
kooperatif tipe roundtable disertai dengan AfL melalui peer-assessment, siswa tipe climbers
memiliki pemecahan masalahmatematika yang sama baiknya dengan siswa tipe campers dan
lebih baik daripada siswa tipe quitters, serta siswa tipe campers memiliki pemecahan
masalahmatematika lebih baik daripada siswa tipe quitters. Pada siswa yang dikenai model
pembelajaran klasikal, ketiga tipe siswa memiliki pemecahan masalahmatematika yang sama.
Adapun saran dalam penelitian ini diantaranya: (1) Bagi kepala sekolah hendaknya
berperan aktif dalam pemilihan metode dalam kegiatan pembelajaran matematika dan
menyediakan sarana serta prasarana yang mendukung kelancaran proses pembelajaran sehingga
kegiatan pembelajaran terlaksana dengan baik dan mendapatkan hasil yang maksimal; (2) Bagi
pendidik hendaknya memperhatikan pemilihan model pembelajaran yang tepat dan sesuai
dengan kompetensi yang diajarkan pada kegiatan pembelajaran matematika. Salah satu model
pembelajaran matematika yang bisa diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS
dan tipe roundtable disertai dengan AfL melalui peer-assessment. Selain itu, hendaknya
pendidik memperhatikan tingkat AQ yang dimiliki oleh masing-masing siswa, agar pendidik
mampu mencari solusi untuk perbaikan dalam pembelajaran; (3) Adapun saran bagi peneliti lain,
hendaknya penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti lain yang meneliti masalah
serupa dan diharapkan bagi peneliti lain mampu mengembangkan penelitian ini menggunakan
variabel bebas yang sama dengan materi yang berbeda serta menyesuaikannya dengan kurikulum
yang berlaku. Dalam pengkategorian tipe AQ, hendaknya peneliti lain memperhatikan batasan
skor pada aspek-aspek CO2RE yang sesuai dengan Adversity Response Profile (ARP).

Вам также может понравиться