Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Perkerasan Jalan


Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan pengikat yang digunakan
untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai adalah batuan pecah atau batu belah
ataupun bahan lainnya. Bahan ikat yang dipakai adalah aspal, semen ataupun tanah liat. Apapun
jenis perkerasan lalu lintas, harus dapat memfasilitasi sejumlah pergerakan lalu lintas, apakah
berupa jasa angkutan lalu lintas, berupa jasa angkutan manusia, atau berupa jasa angkutan barang
berupa seluruh komoditas yang diijinkan untuk berlalu lalang disitu. Dengan beragam jenis
kendaraan dengan angkutan barangnya, akan memberikan variasi beban ringan, sedang sampai
berat. Jenis kendaraan penumpang akan memberikan pula sejumlah variasi.Dan hal itu harus
didukung oleh perkerasan jalan, daya dukung perkerasan jalan raya ini akan menentukan kelas
jalan yang bersangkutan, misalnya jalan kelas 1 akan menerima beban besar dibanding jalan
kelas 2. Maka dilihat dari mutu perkerasan jalan sudah jelas berbeda. Persyaratan umum dari
suatu jalan adalah dapatnya menyediakan lapisan permukaan yang selalu rata dan kuat, serta
menjamin keamanan yang tinggi untuk masa hidup yang cukup lama, dan yang memerlukan
pemeliharaan yang sekecil-kecilnya dalam berbagai cuaca. Tingkatan sampai dimana kita akan
memenuhi persyaratan tersebut tergantung dari imbangan antara tingkat kebutuhan lalu lintas,
keadaan tanah serta iklim yang bersangkutan. Sebagaimana telah dipahami bahwa yang
dimaksud dengan perkerasan adalah lapisan atas dari badan jalan yang dibuat dari bahan-bahan
khusus yang bersifat baik/konstruktif dari badan jalannya sendiri (Wikipedia, 2009).

2.2 Sejarah Perkerasan Jalan


(Sejarah) perkembangan jalan dimulai dengan sejarah manusia itu sendiri yang selalu
berhasrat untuk mencari kebutuhan hidup dan berkomunikasi dengan sesama. Dengan demikian
perkembangan jalan saling berkaitan dengan teknik jalan, seiring dengan perkembangan
teknologi yang ditemukan manusia.

Pada awalnya jalan hanya berupa jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup. Setelah
manusia mulai hidup berkelompok jejak-jejak berubah manjadi jalan setapak yang masih
belum berbentuk jalan yang rata. Dengan dipergunakan alat transportasi seperti hewan,kereta,
atau yang lainnya, mulai dibuat jalan yang rata. Sejarah perkembangan jalan di indonesia
yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia adalah pembangunan jalan Daendles pada
Zaman Belanda, yang dibangun dari Anyer di Banten Sampai Panarukan di Banyuwangi
Jawa Timur. Yang diperkirakan 1000 km. Pembangunan tersebut dilakukan dengan kerja
paksa pada akhir abad 18. Tujuan pembangunan pada saat itu terutama untuk kepentingan
strategi dan dimasa tanam paksa Untuk memudahkan pengangkutan basil bumi.
Jalan Daendels tersebut belum direncanakan secara teknis baik geometrik maupun
perkerasannya. Konstruksi perkerasan jalan berkembang pesat pada jaman keemasan Romawi.
Pada saat itu telah mulai di bangun jalan-jalan yang terdiri dari beberapa lapis perkerasan.
Perkembangan konstruksi perkerasan jalan seakan terhenti dengan runtuhnya kekuasaan
Romawi sampai abad 18.
Pada abad 18 para ahli dari Perancis, Skotlandia menemukan bentuk perkerasan yang
sebagian sampai saat ini umum digunakan di Indonesia dan merupakan awal dari
perkembangan konstruksi perkerasan di Indonesia yang antara lain : konstrukasi perkerasan
batu belah (Telford), konstruksi perkerasan macadam.
Konstruksi Telford diciptakan Oleh Thomas Telford (1757-1834) dari Skotlandia,
sedangkan Macadam oleh Jhon Lander MacAdam (1756-1836 dari Skotlandia.
Perkerasan jalan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat ditemukan pertama
kali di Babylon pada tahun 625 SM, tetapi perkerasan jenis ini tidak berkembang sampai
ditemukan kendaraan bermotor oleh Gofflieb Daimler dan Karl Benz pada tahun 1880. Mulai
tahun 1920 sampai sekarang teknologi konstruksi perkerasan dengan menggunakan aspal
sebagai bahan pangikat maju pesat. Di Indonesia perkembangan perkerasan aspal dimulai pada
tahap awal berupa konstruksi Telford dan Macadam yang kemudian diberi lapisan aus yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan ditaburi pasir kasar yang kemudian
berkembang menjadi lapisan penetrasi (Lapisan, Brutu,Burda,Buras). Tahun 1980
diperkenalkan perkerasan jalan dengan aspal emulsi dan butas t et api , dalam pelaksanaan atau
pemakaian aspal butas terdapat permasalahan dalam hal variasi kadar aspalnya yang kemudian
disempurnakan pada tahun1990 dengan teknologi beton mastic, perkembangan konstruksi
perkerasan jalan menggunakan aspal panas (hot mix) mulai berkembang di Indonesia pada tahun
1975, kemudian disusul dengan jenis yang lain seperti aspal beton (AC) dan lain-lain.
Konstruksi perkerasan menggunakan semen sebagai bahan pengikat telah ditemukan
pada tahun 1828 di London tetapi konstruksi perkerasan ini mulai perkembangan awal 1900
konstruksi perkerasan dengan menggunakan semen dan concrete pavement mulai digunakan
diindonesia secara besar besaran awal tahun 1970 yaitu pembangunan jalan tol prof Sudiyatmo.
Secara umum perkembangan konstruksi perkerasan di Indonesia mulai berkembang sejak tahun
1970 dimana mulai diperkenalkannya pembangunan perkerasan sesuai dengan fungsinya.
Sedangkan perencanaan geometrik jalan seperti sekarang ini baru dikenalkan sekitar tahun
1960 kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat tahun 1980.sekitar pertengahan
tahun 1960 kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 1980
(Hamirhan Saodang, 2005).

2.3 Klasifikasi jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan dalam menerima beban
lalu lintas yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton, dan
kemampuan jalan tersebut dalam melayani lalu lintas kendaraan dengan dimensi tertentu.
Klasifikasi kelas jalan, fungsi jalan, dan dimensi kendaraan maksimum kendaraan yang di
ijinkan melalui jalan tersebut menurut peraturan pemerintah RI NO. 43/1993, PASAL 11. Di
tunjukan dalam tabel 1.1 berikut :

Tabel 1.1 klasifikasi jalan menurut kelas, fungsi, dimensi kendaraan, dan muatan sumbu terberat
Kelas Fungsi jalan Dimensi kendaraan Maksimum lebar Muatan sumbu
jalan panjang (m) terberat MST
(ton)

I ARTERI 18 2,5 >10

II 18 2,5 10

III 18 2,5 8

III A KOLEKTOR 18 2,5 8


III B 12 2,5 8

III C LOKAL 9 2,1 8

Tabel 1.2 lebar lajur dan bahu jalan sesuai dengan kelas jalan

KELAS LEBAR LAJUR (m) LEBAR BAHU JALAN SEBELAH LUAR (m)
JALAN
TANPA TROTOAR DENGAN TROTOAR

Disaran Minimum Disaran Minimum Disaran Minimum


kan kan kan
I 3,60 3,50 2,50 2,00 1,00 0,50

II 3,60 3,00 2,50 2,00 0,50 0,25

III A 3,60 2,75 2,50 2,00 0,50 0,25

III B 3,60 2,75 2,50 2,00 0,50 0,25

III C 3,60 * 2,50 2,50 0,50 0,25

* = jalan I- jalur, 2 arah dengan lebar 4,50 m

2.4 Muatan Sumbu Kendaraan Berat


Muatan sumbu adalah beban kendaraan yang disalurkan pada suatu sumbu penumpu
kendaraan yang berupa sumbu roda. Semakin berat suatu kendaraan, beban pada sumbunya pun
akan semakin berat. Semakin banyak sumbu roda, beban pada tiap sumbu akan berkurang karena
beban keseluruhan kendaraan didistribusikan pada banyak sumbu. Muatan sumbu terberat (MST)
adalah jumlah tekanan maksimum roda terhadap jalan, penetapan muatan sumbu terberat
ditujukan untuk mengoptimalkan antara biaya konstruksi dengan efisiensi angkutan. .Jika jalan
hanya dirancang untuk menahan muatan sumbu terberat seberat 8 ton, jalan akan rusak ketika
ada kendaraan dengan MST di atas 8 ton. Berikut adalah gambar MST :
Gambar 2.1 Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat

2.5 Jenis Konstruksi perkerasan


Pada umumnya, perkerasan jalan terdiri dari beberapa jenis lapisan perkerasan yang
tersusun dari bawah ke atas, sebagai berikut :
1. Lapisan tanah dasar (subgrade)
2. Lapisan pondasi bawah (sub base course)
3. Lapisan pondasi atas (base course)
4. Lapisan permukaan/penutup (surface course)
Berikut adalah gambar dari lapisan perkerasan :

Lapis permukaan

Lapis pondasi

Lapis pondasi bawah

Tanah dasar

Gambar 2.2 Lapisan Perkerasan lentur

2.5.1 Konstruksi Perkerasan Jalan Lentur (Flexible pavement)


Lapisan perkerasan jalan berfungsi untuk menerima beban lalu-lintas dan menyebarkannya
kelapisan di bawahnya terus ke tanah dasar

Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)


Lapisan tanah dasar adalah lapisan tanah yang berfungsi sebagai tempat perletakan
lapis perkerasan dan mendukung konstruksi perkerasan jalan diatasnya. Menurut
Spesifikasi, tanah dasar adalah lapisan paling atas dari timbunan badan jalan setebal 30
cm, yang mempunyai persyaratan tertentu sesuai fungsinya, yaitu yang berkenaan dengan
kepadatan dan dayadukungnya (CBR)
Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya
baik, atau tanah urugan yang didatangkan dari tempat lain atau tanah yang distabilisasi
dan lain lain. Ditinjau dari muka tanah asli, maka lapisan tanah dasar dibedakan atas :
Lapisan tanah dasar, tanah galian.
Lapisan tanah dasar, tanah urugan.
Lapisan tanah dasar, tanah asli.
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-
sifat dan dayadukung tanah dasar.Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar
adalah sebagai berikut :
Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat beban lalu lintas.
Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air.
Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat tanah pada
lokasiyang berdekatan atau akibat kesalahan pelaksanaan misalnya kepadatan yang
kurang baik.

Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)


Lapis pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak di atas lapisan tanah
dasar dan dibawah lapis pondasi atas.Lapis pondasi bawah ini berfungsi sebagai:
Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
Laisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik kelapis pondasi
atas.
Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari beban roda-roda alat berat (akibat lemahnya
dayadukung tanah dasar) pada awal-awal pelaksanaan pekerjaan.
Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca terutama hujan

Lapisan pondasi atas (base course)


Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi
bawah danlapis permukaan.Lapisan pondasi atas ini berfungsi sebagai :
Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan
beban kelapisan di bawahnya.
Bantalan terhadap lapisan permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi atas ini harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan
beban-beban roda.Dalam penentuan bahan lapis pondasi ini perlu dipertimbangkan
beberapa hal antara lain,kecukupan bahan setempat, harga, volume pekerjaan dan jarak
angkut bahan ke lapangan.
Lapisan Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan adalah lapisan yang bersentuhan langsung dengan beban roda
kendaraan.Lapisan permukaan ini berfungsi sebagai:
Lapisan yang langsung menahan akibat beban roda kendaraan.
Lapisan yang langsung menahan gesekan akibat rem kendaraan (lapisaus).
Lapisan yang mencegah air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan
bawahnya dan melemahkan lapisan tersebut.
Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh
lapisan dibawahnya.Apabila dperlukan, dapat juga dipasang suatu lapis penutup /
lapis aus (wearing course) di ataslapis permukaan tersebut. Fungsi lapis aus ini adalah
sebagai lapisan pelindung bagi lapis permukaan untuk mencegah masuknya air dan
untuk memberikankekesatan (skid resistance) permukaan jalan. Apis aus tidak
diperhitungkan ikut memikul beban lalu lintas.

2.5.2 Konstruksi Perkerasan Jalan Kaku (Rigid pavement)

Plat beton

Lapisan pondasi bawah

Lapisan tanah dasar

Gambar 2.2 Lapisan Perkerasan kaku


Perkerasan jalan beton semen atau secara umum disebut perkerasan kaku, terdiri atas plat
(slab) beton semen sebagai lapis pondasi dan lapis pondasi bawah (bisa juga tidak ada) di
atastanah dasar. Dalam konstruksi perkerasan kaku, plat beton sering disebut sebagai lapis
pondasikarena dimungkinkan masih adanya lapisan aspal beton di atasnya yang berfungsi
sebagai lapispermukaan. Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang
tinggi, akanmendistribusikan beban ke bidang tanah dasra yang cukup luas sehingga bagian
terbesar darikapasitas struktur perkerasan diperoleh dari plat beton sendiri
Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari
teballapis pondasi bawah, lapis pondasi dan lapis permukaan. Karena yang paling penting
adalahmengetahui kapasitas struktur yang menanggung beban, maka faktor yang paling
diperhatikandalam perencanaan tebal perkerasan beton semen adalah kekuatan beton itu sendiri.
Adanyaberagam kekuatan dari tanah dasar dan atau pondasi hanya berpengaruh kecil terhadapkapasitas
struktural perkerasannya.Lapis pondasi bawah jika digunakan di bawah plat beton karena
beberapa pertimbangan, yaituantara lain untuk menghindari terjadinya pumping, kendali
terhadap sistem drainase, kendaliterhadap kembang-susut yang terjadi pada tanah dasar dan
untuk menyediakan lantai kerja (working platform) untuk pekerjaan konstruksi. Secara lebih
spesifik, fungsi dari lapis pondasibawah adalah :
Menyediakan lapisan yang seragam stabil dan permanen
Menaikan harga modulus reaksi tanah dasar menjadi modulus reaksi gabungan
Mengurangi kemungkinan terjadinya retakretak pada plat beton
Menyediakan lantai kerja bagi alat alat berat selama masa kostruksi
Menghindari terjadinya pumping, yaitu keluarnya butir-butiran halus tanah bersama air
padadaerah sambungan, retakan atau pada bagian pinggir perkerasan, akibat lendutan atau
gerakanvertikal plat beton karena beban lalu lintas, setelah adanya air bebas terakumulasi di
bawahpelat. Pemilihan penggunaan jenis perkerasan kaku dibandingkan dengan perkerasan
lenturyang sudah lama dikenal dan lebih sering digunakan, dilakukan berdasarkan keuntungan
dankerugiannya.
Pada awal mula rekayasa jalan raya, plat perkerasan kaku dibangun langsung di atas
tanahdasar tanpa memperhatikan sama sekali jenis tanah dasar dan kondisi drainasenya. Pada
umumnya dibangun plat beton setebal 67 inch. Dengan bertambahnya beban lalu-lintas,
khususnya setelah Perang Dunia ke II, mulai disadari bahwa jenis tanah dasar berperan
pentingterhadap unjuk kerja perkerasan, terutama sangat pengaruh terhadap terjadinya pumping
padaperkerasan.
Oleh karena itu, untuk selanjutnya usaha-usaha untuk mengatasi pumping sangatpenting
untuk diperhitungkan dalam perencanaan.Pada periode sebelumnya, tidak biasa membuat pelat
beton dengan penebalan di bagian ujung/ pinggir untuk mengatasi kondisi tegangan struktural
yang sangat tinggi akibat beban truk yangsering lewat di bagian pinggir perkerasan. Kemudian
setelah efek pumping sering terjadi pada kebanyakan jalan raya dan jalan bebas hambatan,
banyak dibangun konstruksi pekerasan kaku yang lebih tebal yaitu antara 9 10 inch. Guna
mempelajari hubungan antara beban lalu-lintas dan perkerasan kaku, pada tahun 1949 di
Maryland USA telah dibangun Test Roads atau JalanUji dengan arahan dari Highway Research
Board, yaitu untuk mempelajari dan mencarihubungan antara beragam beban sumbu kendaraan
terhadap unjuk kerja perkerasan kaku. Perkerasan beton pada jalan uji dibangun setebal potongan
melintang 9 7 9 inch, jarak antara siar susut 40 kaki, sedangkan jarak antara siar muai 120
kaki. Untuk sambungan memanjang digunakan dowel berdiameter 3/4 inch dan berjarak 15 inch
di bagian tengah. Perkerasan beton uji ini diperkuat dengan wire mesh. Tujuan dari program
jalan uji ini adalahuntuk mengetahui efek pembebanan relatif dan konfigurasi tegangan pada
perkerasan kaku.Beban yang digunakan adalah 18.000 lbs dan 22.400 pounds untuk sumbu
tunggal dan 32.000 serta 44.000 pounds pada sumbu ganda.
Hasil yang paling penting dari program uji ini adalah bahwa perkembangan retak pada
pelatbeton adalah karena terjadinya gejala pumping. Tegangan dan lendutan yang diukur pada
jalan uji adalah akibat adanya pumping. Selain itu dikenal juga AASHTO Road Test yang
dibangun di Ottawa, Illinois pada tahun 1950. Salah satu hasil yang paling penting dari penelitian
pada jalanuji AASHTO ini adalah mengenai indeks pelayanan. Penemuan yang paling signifikan
adalah adanya hubungan antara perubahan repetisi beban terhadap perubahan tingkat
pelayanan jalan. Pada jalan uji AASHTO, tingkat pelayanan akhir diasumsikan dengan angka 1,5
(tergantung juga kinerja perkerasan yang diharapkan), sedangkan tingkat pelayanan awal selalu
kurang dan5,0.Berdasarkan adanya sambungan dan tulangan plat beton perkerasan kaku,
perkerasanbeton semen dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis sebagai berikut :
Perkerasan beton semen biasa dengan sambungan tanpa tulangan untuk kendali retak.
Perkerasan beton semen biasa dengan sambungan dengan tulangan plat untuk Kendali retak.
Untuk kendali retak digunakan wire mesh diantara siar dan penggunaannya independen
terhadap adanya tulangan dowel.
Perkerasan beton bertulang menerus (tanpa sambungan). Tulangan beton terdiri daribaja
tulangan dengan prosentasi besi yang relatif cukup banyak (0,02 % dari luas penampang
beton).Pada saat ini, jenis perkerasan beton semen yang populer dan banyak digunakan di
negara-negara maju adalah jenis perkerasan beton bertulang menerus (Hamirhan Saodang,
2005).

2.6 Pengertian Kerusakan Jalan


Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur
rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan struktural.
Kegagalan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan yang
direncanakan dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan. Sedangkan kegagalan
struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur
perkerasan jalan yang disebabkan lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas,
kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar (Yoder, 1975).
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), kerusakan pada konstruksi jalan
(demikian juga dengan bahu beraspal) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Air, yang dapat berasal dari hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, atau naiknya air
berdasarkan sifat kapilaritas air bawah tanah.
b. Iklim, di Indonesia yang termasuk beriklim tropis dimana suhu dan curah hujan yang
umumnya tinggi.
c. Lalu lintas, yang diakibatkan dari peningkatan beban (sumbu kendaraan) yang melebihi
beban rencana, atau juga repetisi beban (volume kendaraan) yang melebihi volume
rencana sehingga umur rencana jalan tersebut tidak tercapai.
d. Material konstruksi perkerasan, yang dapat disebabkan baik oleh sifat/ mutu material
yang digunakan ataupun dapat juga akibat cara pelaksanaan yang tidak sesuai.
e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, yang mungkin disebabkan karena cara pemadatan
tanah dasar yang kurang baik, ataupun juga memang sifat tanah dasarnya yang memang
jelek.

2.6.1 Retak
Retak adalah suatu gejala kerusakan/ pecahnya permukaan perkerasan sehingga akan
menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke lapisan dibawahnya dan hal ini
merupakan salah satu faktor yang akan membuat luas/ parah suatu kerusakan (Departemen
Pekerjaan Umum, 2007).
Di dalam pendekatan mekanika retak diasumsikan ada bagian yang lemah pada setiap
material. Ketika pembebanan terjadi, ada konsentrasi tegangan yang lebih tinggi di sekitar
bagian tersebut, sehingga material tersebut tidak lagi memiliki distribusi tegangan yang seragam
dan terjadilah kerusakan/ retak pada bagian tersebut dan berkembang ke bagian yang lainnya.
Mekanika retak juga menggambarkan perkembangan retak tergantung pada sifat material
tersebut (Roque, 2010).
Jenis - jenis retak
Pengelompokan jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada retak bermacam-macam,
seperti jenis retak berdasarkan bentuk retak, penyebab terjadinya kerusakan retak, tingkat
keparahan retak, lokasi retak, dan cara berkembangnya. Berdasarkan bentuk retak
Departemen Pekerjaan Umum (2007) mengelompokkan jenis kerusakan retak
berdasarkan bentuknya menjadi:
1. Meander (meandering) yaitu retak yang terjadi berbentuk seperti sungai yang
berkelok-kelok (meander). Jenis retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah:
retak halus (hair cracks). Yang dimaksud retak halus adalah retak yang terjadi
mempunyai lebar celah 3 mm. Sifat penyebarannya dapat setempat atau luas
pada permukaan jalan. Kemungkinan penyebabnya adalah :
Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik.
Pelapukan permukaan.
Air tanah pada badan perkerasan jalan.
Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.
Akibat lanjutan:
o Meresapnya air pada badan jalan sehingga mempercepat kerusakan dan
menimbulkan ketidak-nyamanan berkendaraan.
o Berkembang menjadi retak buaya (alligator cracks).
Solusi : Untuk pemeliharaan dapat dipergunakan lapis latasir, atau buras. Dalam
tahap perbaikan sebaiknya dilengkapi dengan perbaikan sistem drainase. Retak
rambut dapat berkembang menjadi retak kulit buaya.
Gambar 2.3 Retak rambut (Hair Cracks), Tenriajeng (1999)

2. Garis (line) yaitu retak yang terjadi berbentuk garis dan dapat berupa memanjang
(longitudinal), melintang (transverse), dan diagonal. Jenis kerusakan retak yang
termasuk dalam kerusakan ini adalah : retak tepi (edge cracks), retak pertemuan
perkerasan dan bahu (edge joint cracks), retak sambungan jalan (lane joint
cracks), dan retak sambungan pelebaran (widening cracks).
A. Retak tepi (edge cracks)
Retak ini disebut juga dengan retak garis (lane cracks) dimana terjadi pada
sisi tepi perkerasan/ dekat bahu dan berbentuk retak memanjang (longitudinal
cracks) dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu. Retak ini dapat terdiri
atas beberapa celah yang saling sejajar.
Kemungkinan penyebab:
Bahan dibawah retak pinggir kurang baik atau perubahan volume akibat jenis
ekspansif clay pada tanah dasar .
Sokongan bahu samping kurang baik.
Drainase kurang baik.
Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab
terjadinya retak tepi.
Akibat lanjutan:
o Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan sehingga
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
o Retak akan berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada
tepi retak.
Solusi : Retak dapat diperbaiki dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair
dan pasir. Perbaikan drainase harus dilakukan, bahu jalan diperlebar dan
dipadatkan. Jika pinggir perkerasan mengalami penurunan, elevasi dapat
diperbaiki dengan mempergunakan hotmix. Retak ini lama kelamaan akan
bertambah besar disertai dengan terjadinya lubang-Iubang.

Gambar 2.4 Retak Tepi (Edge Cracks) ), Tenriajeng (1999)

B. Retak sambungan jalan (lane joint cracks)


Sesuai dengan namanya retak ini terjadi pada sambungan dua jalur lalu
lintas dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks).
Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar.
Kemungkinan penyebab:
Ikatan sambungan kedua jalur yang kurang baik.
Akibat lanjutan:
o Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
o Lepasnya butir pada tepi retak dan bertambah lebar
Solusi : Perbaikan dapat dilakukan dengan memasukkan campuran aspal cair dan
pasir ke dalam celah-celah yang terjadi. Jika tidak diperbaiki, retak dapat
berkembang menjadi lebar karena terlepasnya butir-butir pada tepi retak dan
meresapnya air ke dalam lapisan.

Gambar 2.6 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks) ), Tenriajeng (1999)

C. Retak sambungan pelebaran (widening cracks)

Bentuk retak ini adalah retak memanjang (longitudinal crack) yang akan
terjadipada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran.
Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar dan akan
meresapkan air pada lapisan perkerasan.
Kemungkinan penyebab:
Ikatan sambungan yang kurang baik.
Perbedaan kekuatan/ daya dukung perkerasan pada jalan pelebaran dengan
jalan lama.
Akibat lanjutan:
o Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan
akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.
o Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.
Solusi : Perbaikan dilakukan dengan mengisi celah-celah yang timbul dengan
campuran aspal cair dengan pasir. Jika tidak diperbaiki, air dapat meresap masuk
ke dalam.

Gambar 2.7 Retak Sambungan Pelebaran (Widening Cracks) ), Tenriajeng (1999)

3. Blok (block) yaitu retak yang saling berhubungan membentuk serangkaian blok,
dengan bentuk menyerupai persegi empat. Jenis kerusakan retak yang termasuk
dalam kerusakan ini adalah: retak refleksi (reflection cracks), dan retak susut
(shrinkage cracks).
a. Retak refleksi (reflection cracks)
Kerusakan ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay), dapat berbentuk
memanjang (longitudinal cracks), diagonal (diagonal cracks), melintang
(transverse cracks), ataupun kotak (blocks cracks) yang menggambarkan pola
retakan perkerasan dibawahnya. Retak ini dapat terjadi bila retak pada
perkerasan lama tidak diperbaiki secara benar sebelum pekerjaan pelapisan
ulang (overlay) dilakukan.
Kemungkinan penyebab:
Pergerakan vertikal/ horizontal di bawah lapis tambahan (lapisan overlay)
sebagai akibat perubahan kadar air pada tanah dasar yang ekspansif.
Perbedaan penurunan (settlement) dari timbunan/ pemotongan badan jalan
dengan struktur perkerasan.
Akibat lanjutan:
o Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
o Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.
solusi : Untuk retak memanjang, melintang, dan digonal perbaikan dapat
dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir. Untuk
retak berbentuk kotak perbaikan dilakukan dengan membongkar dan melapis
kembali dengan bahan yang sesuai.

Gambar 2.8 Retak Refleksi (Reflection Cracks) ), Tenriajeng (1999)

b. Retak susut (shrinkage cracks)


Retak yang terjadi tersebut saling bersambungan membentuk kotak besar
dengan sudut tajam atau dapat dikatakan suatu interconnected crack yang
membentuk suatu seri blocks cracks. Umumnya penyebaran retak ini
menyeluruh pada perkerasan jalan.
Kemungkinan penyebab:
Perubahan volume perkerasan yang mengandung terlalu banyak aspal dengan
penetrasi rendah.
Perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar.
Akibat lanjutan:
o Retak ini akan menyebabkan meresapnya air pada badan jalan sehingga akan
menimbulkan kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
o Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes).
Solusi : Perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran aspal
cair dan pasir danmelapisi dengan burtu.

Gambar 2.9 Retak Susut (Shrinkage Cracks) ), Tenriajeng (1999)

4. Kulit buaya (crocodile) yaitu retak yang berbentuk kulit buaya. Jenis yang termasuk
dalam kerusakan ini adalah: retak kulit buaya (alligatorcracks).
a) Retak kulit buaya (crocodile cracks)
Istilah lain adalah chickenwire cracks, alligator cracks, polygonal cracks,
dan crazing. Lebar celah retak 3 mm dan saling berangkai membentuk
serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya atau kawat untuk
kandang ayam. Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas.
Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan
oleh repetisi beban lalulintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh
lapisan permukaan tersebut.
Kemungkinan penyebab:
Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik.
Pelapukan permukaan.
Air tanah pada badan perkerasan jalan.
Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.
Akibat lanjutan:
o Kerusakan setempat/ menyeluruh pada perkerasan.
o Berkembang menjadi lubang akibat dari pelepasan butir - butir.
Solusi : Retak kulit buaya untuk sementara dapat dipelihara dengan
mempergunakan lapis burda, burtu, ataupun lataston, jika celah ~ 3 mm.
Sebaiknya bagian perkerasan yang telah mengalami retak kulit buaya akibat air
yang merembes masuk ke lapis pondasi dan tanah dasar diperbaiki dengan eara
dibongkar dan membuang bagian-bagian yang basah, kemudian dilapis kembali
dengan bahan yang sesuai. Perbaikan harus disertai dengan perbaikan drainase di
sekitarnya. Kerusakan yang disebabkan oleh beban lalu lintas harus diperbaiki
dengan memberi lapis tambahan. Retak kulit buaya dapat diresapi oleh air
sehingga lama kelamaan akan menimbulkan lubang-lubang akibat terlepasnya
butir-butir.

Gambar2.10 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks) ), Tenriajeng (1999)


5. Parabola (crescent) yaitu retak yang berbentuk parabola. Jenis yang termasuk
dalam kerusakan ini adalah: retak selip (slipage cracks).
a. Retak selip (slipage cracks)
Kerusakan ini sering disebut dengan parabolic cracks, shear cracks, atau
crescent shaped cracks. Bentuk retak lengkung menyerupai bulan sabit atau
berbentuk seperti jejak mobil disertai dengan beberapa retak. Kadang-kadang
terjadi bersama dengan terbentuknya sungkur (shoving).
Kemungkinan penyebab:
Ikatan antar lapisan aspal dengan lapisan dibawahnya tidak baik yang
disebabkan kurangnya aspal/ permukaan berdebu.
Pengunaan agregat halus terlalu banyak.
Lapis permukaan kurang padat/ kurang tebal
Penghamparan pada temperature aspal rendah atau tertarik roda penggerak
oleh mesin penghampar aspal/ mesin lainnya.
Akibat lanjutan:
o Kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
o Lepasnya butir pada tepiretak sehingga timbul lubang (potholes).
Solusi : Perbaikan dapat dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dan
menggantikannya dengan lapisan yang lebih baik.

Gambar 2.11 Retak Selip (Slipage Cracks) ), Tenriajeng (1999)

2.6.2 Distorsi (Distortion)


Distorsi adalah perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar,
pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan akibat
beban lalulintas.
Sebelum perbaikan dilakukan sewajarnyalah ditentukan terlebih dahulu jenis dan
penyebab distorsi yang terjadi. Dengan demikian dapat ditentukan jenis penanganan yang
cepat. Distorsi (distrotion) dapat dibedakan atas :
1. Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur dapat
merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di atas permukaan
jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retak-retak.
Penyebab : Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang
padat, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban
lalulintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat
pula menimbulkan dejormasi plastis.
Solusi : Perbaikan dapat dilakukan dengan memberi lapisan tambahan dari
lapis permukaan yang sesuai.

Gambar 2.12 Alur (ruts) ), Tenriajeng (1999)

2. Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Dengan timbulnya


lapisan permukaan yang keriting ini pengemudi akan merasakan
ketidaknyamanan mengemudi.
Penyebab : Kerusakan ini adalah rendahnya stabilitas campuran yang berasal
dari terlalu tingginya kadar aspal, terlau banyak mempergunakan agregat halus,
agregat berbentuk bulat dan berpermukaan penetrasi yang tinggi. Keriting
dapat juga terjadi jika lalulintas dibuka sebelum perkerasan man tap (untuk
perkerasan yang mempergunakan aspal cair).
Solusi : Jika lapis permukaan yang berkeriting itu mempunyai lapis pondasi
agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan menggaruk kembali, dieampur
dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis permukaan baru.
Jika lapis permukaan bahan pengikat mempunyai ketebalan >5 em, maka lapis
tipis yang mengalarni keriting tersebut diangkat dan diberi lapis permukaan
yang baru.

Gambar 2.13 Keriting (corrugation) ), Tenriajeng (1999)

3. Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, di tempat


kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam

Gambar 2.14 Sungkur (shoving) ), Tenriajeng (1999)


4. Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas
dapat terdetcksi dengan adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat
meresap ke dalam lapisan perkerasan yang akhirnya menimbulkan lubang.
Penyebab : Amblas adalah beban kendaraan yang melebihi apa yang
direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian
perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement. retak.

Gambar 2.15 Amblas (grade depressions) ), Tenriajeng (1999)

5. Jembul (upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak.


Penyebab : Adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif.
Solusi : Dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisinya
kembali.

Gambar 2.16 Jembul (upheaval) ), Tenriajeng (1999)

2.6.3 Cacat permukaan (disintegration)


Cacat permukaan yaitu cacat yang mengarah kepada kerusakan secara kimiawi
dan mekanis dari lapisan perkerasan.Yang termasuk dalam cacat permukaan ini adalah
a. Lubang (potholes), berupa mangkuk, ukuran bervariasi dari kecil sampai besar.
Lubang-Iubang ini menampung dan meresapkan air ke dalam lapis permukaan
yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan. Lubang-lubang tersebut
diperbaiki dengan cara dibongkar dan dilapis kembali. Perbaikan yang bersifat
permanen disebut juga deep patch (tambalan dalam), yang dilakukan sebagai
berikut:
Bersihkan lubang dari air dan material-material yang lepas,
Bongkar bagian lapis permukaan dan pondasi sedalam-dalamnya sehingga
mencapai lapisan yang kokoh (potong dalam bentuk ynag persegi panjang),
Beri lapis tack coat sebagai lapis pengikat,
Isikan campuran aspal dengan hati-hati sehingga tidak terjadi segregasi,
Padatkan lapis campuran dan bentuk permukaan sesuai dengan
lingkungannya.

Gambar 2.17 Lubang (potholes) ), Tenriajeng (1999)

b. Pelepasan butir (ravelling), dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek serta
disebabkan oleh lubang.
Penyebab : Dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek serta disebabkan
oleh hal yang sarna dengan lubang.
Solusi : Memberikanlapisan tambahan di atas lapisan yang mengalami pelepasan
butir setelah lapisan tersebut dibersihkan, dan dikeringkan.
c. Pengelupasan lapisan permukaan (stripping),
penyebab : Kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya, atau
terlalu tipisnya lapis permukaan.
Solusi : Dapat diperbaiki dengan cara digaruk, diratakan, dan dipadatkan. Setelah
itu dilapisi dengan buras.

2.6.4 Pengausan (Polished Aggregate)


Permukaan jalan menjadi licin, sehingga membahayakan kendaraan.
Penyebab : Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus
terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan licin, tidak
berbentuk cubical.
Solusi : Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan latasir, buras, atau latasbun.

Gambar 2.18 Pengausan (Polished Aggregate) ), Tenriajeng (1999)

2.6.5 Kegemukan (bleeding or flushing)


Permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan
terjadijejak roda. Berbahanya bagi kendaraan.
Penyebab : Kegemukan (bleeding) dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang tinggi
pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pekerjaan prime coat atau
tack coat.
Solusi : Dapat diatasi dengan menaburkan agregat panas dan kemudian dipadatkan, atau
lapis aspal diangkat dan kemudian diberi lapisan penutup

Gambar 2.19 Kegemukan (bleeding or flushing) ), Tenriajeng (1999)

2.6.6 Penurunan Pada Bekas Penanaman Utilitas (utility cut depression)


Terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas.
Penyebab : Hal ini terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat.
Solusi : Dapat diperbaiki dengan dibongkar kembali dan diganti dengan lapis yang
sesuai.

Gambar 2.20 Penurunan Pada Bekas Penanaman Utilitas (utility cut depression), Tenriajeng
(1999)

Вам также может понравиться