Вы находитесь на странице: 1из 7

1.

diharapkan mahasiswa dapat memahami akibat yang ditimbulkan karena srimulasi yang

berlebihan pada sistem saraf

2. mahasiswa dapat memahami kerja obat antikolvulsai dan dapat memahami

cara mengatasi konvulsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kejang

Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Secara pasti, apa

yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang memiliki muatan listrik

abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit, maka penderita hanya merasakan bau

atau rasa yang aneh. Jika melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang

otot di seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan

kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi linglung.

(Medicastore, 2008)

Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul karena

anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi

ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang

khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara

berlebihan. (Mardjono, 1988)


Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya parestesia

yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi

motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan

berkala adalah epilepsi. (Mardjono, 1988)

Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau

depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus dalam otak yang menyebabkan

bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang

disebut neuron epileptic. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan

Gan, 2007)

Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)

Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)

Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitan klonik,

bangkitan infantile

2. Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)

Bangkitan parsial sederhana

bangkitan parsial kompleks

Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum

3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)

(Utama dan Gan, 2007)

Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di

fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya.,

kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks


tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus

subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas

subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan

aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur

kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah

itu terjadi diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua fase, yakni fase

inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi

yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi

yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+

intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre

sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor

eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-

neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga

spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy umum/epilepsy sekunder. (Utama dan Gan,

2007)

B. Striknin

Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi

susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang bekerja secara sentral.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter

penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak
sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di

SSP. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat

konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif

tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda

dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari

kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan

sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada

hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula

spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada

medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan

hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistem kardiovaskuler,

tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral

striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral

striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin

digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya yang

pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi

masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih daripada di jaringan lain. Stirknin segera

di metabolisme oleh enzim mikrosom sel hati dan Necel 4 diekskresi melalui urin. Ekskresi

lengkap dalam waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap

rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal terjadi

gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium
ini badan berada dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit

saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas

terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang;

frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi

otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.

Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan

napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat

menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin

akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebab diazepam dapat

melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresi post ictal, seperti yang umum

terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang

diperlukan tindakan anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada

keracunan yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan.

Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk memperbaiki pernapasan. Dapat pula

diberikan obat golongan kurariform untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung

dikerjakan bila diduga masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas

lambung digunakan larutan KMnO4 0,5 atau campuran yodium tingtur dan air (1:250)

atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

C. Pentetrazol

Pentetrazol adalah obat yang dipakai sebagai stimulan peredaran darah dan pernafasan. Dosis

tinggi menyebabkan kejang, seperti yang ditemukan oleh ahli saraf Hungaria-Amerika dan
psikiater Ladislas J. Meduna tahun 1934. Telah digunakan dalam terapi kejang, tetapi tidak

pernah dianggap efektif, dan efek samping seperti kejang yang sulit untuk dihindari.

Pentetrazol dianggap sebagai antagonis GABA. Mekanisme aksi epileptogenik dari

pentetrazol pada tingkat saraf seluler masih belum jelas. Studi elektrofisiologi telah

menunjukkan ia bertindak pada tingkat membran sel mengurangi waktu pemulihan antara

potensial aksi dengan meningkatkan permeabilitas kalium dari akson. Studi-studi lain telah

menggejala peningkatan arus membran beberapa ion lainnya, seperti natrium dan kalsium,

yang menyebabkan peningkatan secara keseluruhan dalam rangsangan membran neuron.

Pentetrazol telah digunakan secara eksperimental untuk mempelajari fenomena penyitaan dan

untuk mengidentifikasi obat-obatan yang dapat mengontrol kerentanan kejang. Pentetrazol

juga merupakan obat anxiogenic prototipikal dan telah banyak digunakan pada model

binatang kecemasan. Pentetrazol menghasilkan stimulus diskriminatif handal yang sebagian

besar dimediasi oleh reseptor GABA.

Baru-baru ini, peneliti dari Universitas Stanford telah memperbaharui minat Pentetrazol

sebagai calon pengobatan farmakologis sindrom Down. Diterbitkan dalam edisi April 2007

Nature Neuroscience, komunikasi singkat mereka diuraikan percobaan yang dirancang untuk

menguji teori yang mendasari diusulkan untuk menjelaskan kemanjuran yang diklaim sebagai

GABA antagonis dalam memulihkan defisit memori deklaratif terkait dengan model tikus

Down Syndrome manusia. Ts65Dn tikus yang disuntik dengan 2 minggu resimen salah satu

dari dua senyawa picrotoxin atau bilobalide (keduanya antagonis GABA) menunjukkan

perbaikan yang ditandai di kedua eksplorasi dan pengakuan benda baru atas kontrol disuntik

dengan hanya garam. Hasil ini digandakan dalam percobaan kedua dengan tikus yang diberi

susu baik polos atau kombinasi susu dan dosis non-epileptogenik pentetrazol setiap hari

selama 17 hari. Tikus pentetrazol-makan mencapai skor tugas objek baru sebanding dengan

tikus wild type (normal). Perbaikan ini berlangsung setidaknya 1 sampai 2 bulan setelah
resimen pengobatan. Tidak mengherankan khasiat senyawa 'disertai dengan normalisasi

potensiasi jangka panjang dalam dentate gyrus satu bulan setelah akhir pengobatan, lanjut

menunjukkan perbaikan obat dimediasi gigih dalam belajar dan memori.

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat yang digunakan :

1. Timbangan mencit

2. Alat suntik

3. Sonde oral

3.2 Bahan yang digunakan

1. Pentetrazol larutan 0,75%

2. Fenitoin 100 mg

3. Na CMC

4. Luminal

Вам также может понравиться