Вы находитесь на странице: 1из 9

PERUBAHAN KONSTITUSI DAN REFORMASI

KETATANEGARAAN INDONESIA

DISUSUN OLEH
NAMA : GINTA RATIKA SARI
NIM : 02011181621131
MATA KULIAH : HUKUM KONSTITUSI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2017/2018
PERUBAHAN KONSTITUSI DAN REFORMASI KETATANAGARAAN INDONESIA

Sistem ketatanegaraan modern mengisyaratkan dua model perubahan konstitusi, yaitu


renewal (pembaruan) dan amendemen (perubahan). Renewal merupakan sistem perubahan
konstitusi dengan model perubahan secara keseluruhan, sehingga yang diberlakukan ialah
konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem ini antara
lain : Belanda, Jerman, dan Perancis. Adapun, amendemen adalah perubahan konstitusi yang
apabila suatu konstitusi diubah, konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain,
perubahan pada model amendemen tidak terjadi secara keseluruhan bagian dalam konstitusi
asli, sehingga hasil dari amendemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang
menyertai konstitusi awal. Negara yang menganut sistem ini yaitu negara Amerika Serikat
termasuk juga Indonesia dengan pengalaman telah empat kali melakukan amendemen UUD.

Menurut Budiardjo, terdapat empat macam prosedur di dalam perubahan konstitusi, baik
dalam model renewal (pembaruan) dan amendemen, yaitu:
1. Sidang badan legislatif yang ditambah beberapa syarat, contohnya dapat ditetapkan
kuorum agar sidang yang dibicarakan mengenai usul perubahan UUD dan minimum
jumlah anggot abadanlegislatif atau menerimanya.
2. Referendum, pengambilan keputusan dengan menolak atau menerima usulan
perubahan UU.
3. Negara-negara bagian dalam negara federal (contohnya, Amerika Serikat, 3/4 dari 50
negara negara bagian diharuskan untuk menyetujui).
4. Perubahan yang dilakukan di dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh lembaga
khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

Dalam perubahan keempat UUD 1945 diatur mengenai tata cara perubahan UU. Bersandar
pada Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa :
Usul perubahan pasal pasal pada UUD dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang kurangnya 1/3 jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan
bagiannya secara jelas yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permu-
syawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 50 persen ditambah dengan satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

Wacana perubahan UUD 1945 mulai sering dibicarakan seiring dengan


perkembangan politik pasca Orde Baru. Sebagian kalangan menghendaki perubahan total
UUD 1945 dengan cara membuat konstitusi yang baru. Menurut kelompok ini, UUD 1945
dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan politik dan perkembangan ketatanegaraan di
Indonesia, sehingga dibutuhkan konstitusi baru sebagai pengganti UUD 1945. Adapun
sebagian dari kelompok lainnya berpendapat bahwa UUD 1945 masih relevan dengan
perkembangan politik Indonesia dan oleh karena itu harus dipertahankan dengan melakukan
amendemen pada pasal-pasal tertentu yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial-
politik dewasa ini.

Pendapat kelompok yang terakhir ini didasarkan pada pandangan bahwa di dalam UUD 1945
terdapat Pembukaan, jika UUD 1945 diubah akan mengakibatkan terjadinya perubahan
konsensus politik yang disepakati oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Lebih dari
sekadar perubahan kesepakatan nasional, perubahan UUD 1945 akan mengakibatkan pada
pembubaran NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dalam sejarah konstitusi Indonesia, beberapa kali terjadi perubahan (amendemen) atas UUD
1945. Sejak Proklamasi pada tahun 1945, telah terjadi perubahan perubahan atas UUD negara
Indonesia, yaitu :
1. UUD 1945 (tanggal 18 Agustus tahun 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember
tahun 1949).
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (tanggal 27 Desember tahun 1949 sampai
tanggal 17 Agustus tahun 1950).
3. UUDS Republik Indonesia 1950 (tanggal 17 Agustus tahun 1950 sampai tanggal 5
Juli tahun 1959).
4. UUD 1945 (tanggal 5 Juli tahun 1959 sampai tanggal 19 Oktober tahun 1999).
5. UUD 1945 dan Perubahan 1 (tanggal 19 Oktober tahun 1999 sampai tanggal 18
Agustus tahun 2000).
6. UUD 1945 dan Perubahan 1 dan 2 (tanggal 18 Agustus tahun 2000 sampai tanggal 9
November tahun 2001).
7. UUD 1945 dan Perubahan 1, 2, dan 3 (tanggal 9 November tahun 2001 sampai
tanggal 10 Agustus tahun 2002).
8. UUD 1945 dan Perubahan 1, 2, 3, dan 4 (tanggal 10 Agustus tahun 2002).

Sumber :
A. Ubaedillah, 2015. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila,
Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi. Yang Menerbitkan Prenada Media Group : Jakarta.

Di awal era reformasi pada tahun 1998 salah satu tuntutan dari berbagai pihak adalah
dilakukan perubahan Undang-undang Dasar 1945. Pada waktu era orde baru Undang-undang
Dasar 1945 disakralkan. Salah satu berkah reformasi adalah dilakukan perubahan
Undang-undang Dasar 1945. Adapun alasan-alasan diadakan perubahan Undang-undang
Dasar 1945 yaitu:
Pertama; Secara Filosofis. Yaitu: 1). Undang-undang Dasar 1945 moment opname dari
berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang demikian pada saat dirumuskan Undang-undang
Dasar 1945. Setelah lebih dari 50 tahun tentu terdapat perubahan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Hal ini belum tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945. 2).
Undang-undang Dasar 1945 disusun oleh manusia yang tidak sampai kepada kesempurnaan.
Kedua; Secara Historis. Dari semula penyusun Undang-undang Dasar 1945 bersifat
sementara. Hal ini dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua PPKI) dalam rapat pertama tanggal
18 Agustus 1945: Undang-undang Dasar yang kita buat adalah Undang-undang Dasar
kilat.Nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana lebih tentram kita tentu akan
mengumpulkan Majelis Perumusyawaratan Rakyat RI yang dapat membuat Undang-undang
Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.
Ketiga; Secara Yuridis. Para perumus Undang-undang Dasar 1945 telah menunjukan
kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika Undang-undang Dasar 1945 disusun akan
berbeda kondisinya dengan masa yang akan datang dan suatu saat akan mengalami
perubahan.
Keempat; Secara Substantif. Undang-undang Dasar 1945 banyak sekali mengandung
kelemahan antara lain: 1). Kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai checks and
balances. 2). Rumusan Undang-undang Dasar 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana,
umum atau tidak jelas sehingga menimbulkan multi tafsir. 3). Unsur-unsur konstitusionalisme
tidak dielaborasi secara memadai dalam Undang-undang Dasar 1945. 4). Terlalu menekankan
pada semangat penyelenggara negara. 5). Undang-undang Dasar 1945 memberikan atribusi
kewenangan terlalu besar kepada presiden untuk mengatur berbagai hal penting kepada
undang-undang. 6). Banyak materi muatan yang penting justru diatur di dalam penjelasan
Undang-undang Dasar 1945 dan tidak tercantum di dalam Pasal Undang-undang Dasar 1945.
7). Status materi penjelasan Undang-undang Dasar 1945 terpisah atau menyatu dengan pasal
Undang-undang Dasar 1945.
Kelima; Secara Politik. Salah satu kesepakatan MPR RI adalah untuk pembenahan sistem
dan struktur ketatanegaraan.
Sumber :
-Sri Soemantri M, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pemandangan,
Bandung:PT.Remaja Rosda Karya:2014.

Alasan perubahan Undang-undang Dasar 1945 menurut Maria Farida Indrati Soeprapto:
Tuntutan reformasi. Pada tahun 1998 di Negara Republik Indonesia terjadi
demonstrasi dari berbagai kalangan masyarakat termasuk mahasiswa untuk
menurunkan Presiden RI yang telah berkuasa selama sekitar 30 Tahun. Pada era
Orde Baru dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terhambat oleh ketentuan
bahwa MPR RI tidak akan mengubah Undang-undang Dasar 1945.
Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang multi tafsir. Dengan adanya pasal-
pasal Undang-undang 1945 yang multi tafsir, dalam praktik ketetanegaraan RI
menimbulkan ketidakpastian. Penafsiran pasal Undang-undang Dasar 1945 yang
dianggap benar adalah tafsir Pemerintah (Presiden RI). Salah satu contoh adalah
ketentuan Pasal 7 Undang-undang Dasar 1945: Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Tafsir
Pemerintah (Presiden RI) adalah: Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih lebih 2
kali periode asal masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden 5 Tahun dalam 1 periode
dan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan RI dengan suara terbanyak.
Tidak ada checks and balances terhadap organ negara. Paradigma sebelum perubahan
Undang-undang Dasar 1945 adalah Majelis Permusyawaratan RI sebagai pelaksana
dan pemegang kedaulatan rakyat, Lembaga tersebut sebagai lembaga tertinggi negara
yang membawahi lembaga tinggi negara yang diatur di dalam Undang-undang Dasar
1945.
Tidak banyak memuat Hak Asasi Manusia. Ada 2 kelompok yang berbeda pendapat
di persidangan BPUPKI yaitu: Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Muhammad
Hatta dan Muhammad Yamin di pihak lain. Soekarno dan Soepomo Perubahan
Konstitusi dan Reformasi Ketatanegaraan Indonesia berpendapat: Tidak menyetujui
pasal Hak Asasi Manusia dimasukkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Adapun
alasannya adalah Negara Indonesia yang didirikan adalah negara gotong royong
menolak individualisme. Selanjutnya Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin
berpendapat: Mengusulkan agar pasal-pasal Hak Asasi Manusia dimasukkan di dalam
Undang-undang Dasar 1945 agar Pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang.
Dengan adanya 2 kelompok yang berbeda pendapat, maka ditempuh jalan kompromi,
pengaturan Hak Asasi Manusia diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara
terbatas
Tidak merupakan living constitution. Dalam kenyataannya selama pemberlakuan
Undang-undang Dasar 1945 tidak merupakan living constitution atau merupakan
konstitusi yang hidup.
Sumber :
-Jimly Assidiqy dkk,Gagasan AmandemenUUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara
Langsung,Sekjen & Kepanitraan NKRI,2000,xvi.

Perubahan-perubahan yang mendasar yang bersifat fundamental yang terjadi terhadap


sistem perpolitikan dan sistem ketatanegaraa itu, sungguh membawa angin segar bagi
perkembangan demokrasi di negeri ini. Sebagaimana kita maklumi bersama, demokrasi yang
diterapkan di masa pemerintahan Orba sesungguhnya tidak lebih sekadar demokrasi semu
atau demokrasi yang bersifat formalitas, karena dalam faktanya secara substantial saat itu
tidak ada demokrasi.

Selain itu juga, sistem politik otoriter yang dibangun pemerintahan Orba melalui akumulasi
kekuasaan secara terus-menerus dengan menggunakan UUD45 yang ditafsirkan secara
sepihak oleh pemerintahan Orba, menyebabkan melemahnya supremasi hukum, sehingga
hukum tidak lagi supreme, yang supreme adalah kekuasaan yang dalam prakteknya sangat
menentukan karakter isi dan penegakan hukum. Ada pendapat bahwa apabila suatu sistem
politik tampil secara demokratis maka hukum yang lahir adalah hukum hukum yang
berwatak responsif. Namun, ketika sistem politik tampil secara otoriter maka hukum yang
lahir adalah hukum-hukum yang berwatak konservatif. Fakta yang terjadi pada masa Orba,
penerapan hukum yang sangat tidak demokratis dan jauh dari rasa keadilan rakyat. Hal ini
terjadi akibat penerapan sitem politik yang otoriter. Indikatornya terlihat secara jelas dan
nyata anatara lain:Dalam hal pembuatan produk perundangan, selalu didominasi pihak
eksekutif dan tidak memberikan peluang bagi kelompok-kelompok dan individu untuk
berpartisipasi. Bahkam, DPR dan MPR sekalipun saat itu tidak lebih dari sekadar rubber
stamp pihak eksekutif, karena hanya mengesahkan saja apa yang telah direncanakan dan
dibuat presiden.

1. Produk perundang-undangan dan/ atau produk hukum lainnya yang dibuat


selalu bersifat positivist-instrumentalistik, dalam arti selalu memberikan
justifikasi (pembenaran) terhadap apa yang telah dan akan dilakukan
pemerintah. Dengan demikian, hukum hanya dijadikan alat bagi pembenaran
atas kebijakan pemerintah, bahkan terhadap hal yang bersifat korup sekalipun.
2. Cakupan isi produk perundang-undangan selalu bersifat open interpretatif,
dalam arti membuka ruang yang luas bagi pemerintah untuk membuat
penafsiran secara sepihak, melalui delegasi kewenangan yang sedemikian luas.
Bukan saja dari sisi teknisnya, akan tetapi sudah masuk ke dalam hal-hal yang
bersifat substansial yang menyangkut soal-soal yang bersifat prinsip. Akibat
kewenangan yang begitu luas dalam hal penafsiran ini, menyebabkan banyak
peraturan pelaksana yang dibuat pemerintah menjadi bertentangan dengan
produk perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Selain dari yang dikemukan di atas, masih banyak lagi penyimpangan penyimpangan yang
terjadi dan dilakukan pada masa pemerintahan Orba terhadap UUD45, yang mengakibatkan
matinya sistem demokrasi di negeri ini. Misalnya:

Dalam hal penerepan otonomi daerah yang sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada
sama sekali hak-hak dari daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Asas
dekonsentrasi (sentralistik) saat itu jauh lebih menonjol ketimbang asas desetralisasi,
seperti dalam hal pemilihan kepala daerah, baik itu pemilihan Gubernur, Bupati dan/
atau Walikota pada setiap daerah/ wilayah di Indonesia pada dasarnya selalu
ditentukan atau paling tidak harus mendapat restu atau rekomendasi terlebih dulu dari
pemerintah pusat. Fungsi DPRD baik di tingkat provinsi, kabupaten dan/ atau kota
saat itu tidak lebih sekadar mengesahkan saja terhadap siapa yang telah memperoleh
rekomendasi pemerintah pusat untuk menjadi kepala daerah.
Hak-hak rakyat untuk berserikat, berkumpul dan meyatakan pendapat seperti yang
disebutkan dalam UUD45, sangat dibatasi dan bahkan diberangus rezim yang
berkuasa saat itu. Termasuk hak-hak politik rakyat seperti memilih dan dipilih.
Pemilihan umum yang dilaksanakan saat itu tidak lebih sekadar formalitas belaka.
Sebab, sebelum pemilu dilaksanakan sudah dapat diketahui terlebih dulu siapa
pemenangnya dan siapa-siapa yang akan duduk dan terpilih sebagai anggota DPR,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Keadaan ini diperparah lagi adanya hak presiden
untuk mengangkat sebagian anggota DPR yaitu dari utusan daerah dan utusan
golongan.

Ketatanegaraan pada era reformasi ini di mulai dari jatuhnya rezim orde baru dan
terjadinya reformasi total pada semua aspek salah satunya adalah terjadinya perubahan
perubahan pada UUD 45 dan mulainya pemerintahan demokrasi yang sebenar-benarnya.
Banyak sekali paradigma politik baru setelah perubahan UUD ini. Paling tidak ada sepuluh
paradigma yang dapat dikemukakan dari perubahan UUD ini, yaitu : Prinsip check and
balances dalam hubungan antar lembaga negara; Penguatan sistem pemerintahan demokratis;
engukuhkan prinsip kedaulatan rakyat; Menganut prinsip negara konstitusionalisme;
Penguatan prinsip negara hukum dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia; Pendekatan
fungsional dan efisiensi dalam penataan lembaga-lembaga negara, seperti pembubaran
Dewan Pertimbangan Agung (DPA); Jaminan atas pluralisme; Desentralisasi pemerintahan;
Peranan negara dalam memajukan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebuadayaan nasional;
serta Asas demokrasi ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Sumber :
- https://askarinote.wordpress.com/2010/.../ketatanegaraan-indonesia-
pada-era-reformas.
Daftar Pustaka
https://askarinote.wordpress.com/2010/.../ketatanegaraan-indonesia-pada-
era-reformas.

A. Ubaedillah, 2015. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila,


Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi. Yang Menerbitkan Prenada Media Group : Jakarta.
Sri Soemantri M, Hukum Tata Negara Indonesia, Pemikiran dan Pemandangan,
Bandung:PT.Remaja Rosda Karya:2014.
Jimly Assidiqy dkk,Gagasan AmandemenUUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara
Langsung,Sekjen & Kepanitraan NKRI,2000,xvi.

Вам также может понравиться